
"Mana mungkin aku melewatkan moment indah ini dengan tidur. Waktu bersamamu adalah sangat berharga bagiku. Aku telah menyia-nyiakan waktu itu cukup lama. Mulai sekarang tak akan pernah kulewati saat-saat indah seperti ini. Hanya Bersamamu."
Bab 1. Sejuta Rasa
Sebuah gedung perkantoran di kota jakarta. Tepat di lantai dua puluh lima, seorang pria tampan dengan wajah tegas berwibawa, menggeser tombol hijau dengan jari telunjuknya yang kokoh, saat mendengar nada panggilan pada ponselnya.
"Farhan, Istrimu akan melahirkan!'
Tubuh pria bernama Farhan itu menegang mendengar kabar yang baru saja dia dengar. Ponsel ditangannya nyaris jatuh saat mendengar suara ibu mertuanya dari seberang sana.
"Iy-iyaa, Bu. Farhan segera pulang. Dira dibawa ke rumah sakit mana, Bu?"
"Rumah sakit Kasih Bunda, Nak."
Setelah menutup panggilan telphon dari Bu Ani-mertuanya, Farhan bergegas mengambil kunci mobil di laci meja kerja, meraih jas di sandaran kursi, kemudian melesat keluar dari ruangannya dan setengah berlari hendak memasuki lift khusus yang menuju lobby.
"Tunda semua jadwalku hari ini! striku melahirkan."
Sang sekretaris tak sempat menjawab, hanya bisa ternganga melihat atasannya, Farhan Adiguna, melangkah sangat cepat dan berlalu begitu saja di depannya.
Setengah berlari, Farhan menghampiri mobilnya di area parkir khusus direksi yang berada tak jauh dari lobby utama. Pria berdarah minang campur jerman itu bergegas masuk dan melajukan mobilnya.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya dia berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya. Entah kenapa dia merasa aneh dengan perasaannya saat ini. Kenapa dia sangat mencemaskan Dira? Wanita yang terpaksa dia nikahi tanpa cinta sejak setahun yang lalu. Waktu itu Farhan hanya tak ingin mengecewakan bundanya yang sudah tua, hingga dia terpaksa menerima perjodohan ini. Dia tak pernah menyangka Bundanya telah melamar Dira pada Bu Ani di kampung tanpa sepengetahuannya.
Setelah melewati kemacetan dan perjalanan yang cukup melelahkan, Farhan tiba di area parkir Rumah Sakit bersalin Kasih Bunda. Sesuai petunjuk dari ibu mertuanya, Farhan langsung menuju ruang bersalin yang bersebelahan dengan Unit gawat darurat (UGD).
Farhan semakin mempercepat langkahnya ketika melihat ruangan bertuliskan 'Kamar Bersalin' dari kejauhan. Bu Ani yang sudah menunggunya sejak tadi telah berdiri didepan pintu masuk Kamar bersalin.
"Masuklah, Nak. Adzankan anakmu!" Wajah wanita paruh baya itu nampak sangat bahagia saat menantunya mencium tangannya.
Farhan hanya mengangguk dan bergegas masuk melewati pintu kaca ruang khusus bersalin ini.
Setetes embun menetes dari sudut netra tajam milik laki-laki berahang kokoh itu ketika melihat Nadira terbaring lemah. Disampingnya seorang bayi merah nan mungil menggeliat seraya menggerak-gerakkan tangannya.
"Anakku ..." lirihnya dengan suara bergetar.
Nadira mengangguk lemah namun dia berusaha untuk tetap tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya.
"Anak kita perempuan, Uda." Suara Nadira sangat lemah. Namun aura kebahagiaan terpancar di wajah ovalnya yang cantik.
"Andai saja Bunda masih hidup, pasti beliau senang. Bunda sangat ingin sekali cucu perempuan," lanjut wanita berkulit kuning langsat itu.
Kali ini bulir bening mengalir dari mata Nadira. Seorang wanita minang yang dengan ikhlas menerima perjodohan dari orang tuanya setahun yang lalu. Walaupun dia tahu Farhan tidak pernah mencintainya, hingga hari ini.
Dengan hati-hati Farhan menggendong bayi mungil itu dan mengadzankannya dengan berlinang air mata. Kemudian setelahnya, kembali meletakkan bayi cantik itu tepat di samping Nadira.
"Dia akan tetap menjadi anakmu, Uda Farhan. Sampai kapanpun dia adalah anakmu. Kamulah nanti yang akan menjadi walinya ketika dia menikah kelak."
Farhan mengernyitkan dahi tak mengerti apa maksud perkataan Nadira barusan.
"Apa maksudmu, Dira? Kenapa kamu berkata begitu?"
"Uda Farhan tak perlu khawatir. Aku tidak akan melanggar perjanjian yang telah kita sepakati. Aku ikhlas menerima perjanjian itu." Parau suara Dira, tubuhnya bergetar. Sungguh sebenarnya terasa begitu berat mengucapkan apa yang baru saja dia katakan.
Sontak Farhan terdiam. Napasnya tiba-tiba sesak. Mengingat perjanjian yang telah dia buat sendiri delapan bulan yang lalu, persis beberapa hari setelah kepergian Bunda untuk selama-lamanya. Ketika itu, dia memaksa Nadira untuk menandatangani surat perjanjian itu.
Kini, entah kenapa Farhan justru hampir lupa dengan surat itu.
"Nantilah kita bicarakan itu. Tunggulah sampai anak kita berumur tiga bulan." Ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Farhan. Entah kenapa saat ini dia tak ingin membahasnya. Padahal dulu hampir setiap hari Farhan mengingatkan tentang isi surat itu pada Nadira.
"Tidak usah repot-repot mengurusku. Kamu tidak akan mengerti kebutuhanku yang sudah terbiasa tinggal di kota. Aku sudah biasa mengurus diriku sendiri. Jangan bikin aku tergantung denganmu, akan repot jadinya jika kita telah bercerai nanti."
"Uruslah dirimu sendiri, tak usah hiraukan Aku. Pernikahan kita ini hanya sementara. Jangan sampai ada perasaan apapun diantara kita."
Kata-kata Farhan itu yang selalu memenuhi kepala Nadira setiap hari. Hingga mau tak mau wanita itu mulai mempersiapkan hati dan jiwanya jika kelak Farhan menceraikannya.
Namun, walau selalu dilarang, Nadira tetap menjalankan kewajibannya mengurus dan melayani suaminya setiap hari. Karena itu yang diajarkan oleh ibunya.
"Tak perlu Uda menunggu sampai tiga bulan. Bukankah Uda sudah menanti waktu itu cukup lama? Aku tidak pernah keberatan jika sewaktu-waktu uda datang menengok anak kita."
Sesak sudah napas Farhan mendengar penuturan Nadira. Entah kenapa sekarang justru hatinya terasa nyeri mendengar Nadira membahas tentang perjanjian itu.
Farhan bergeming.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah tak asing lagi baginya.
[ Sayang, kamu di mana? Aku kangen. Bisa ketemu di tempat biasa?)
Farhan hanya membaca pesan itu, kemudian menutupnya kembali. Entah mengapa, rasanya enggan untuk membalas. Ada apa dengan dirinya? Seharusnya dia bahagia ketika mendapat pesan dari Erika, wanita yang sejak lama menjadi kekasihnya, jauh sebelum menikah dengan Nadira.
"Jika Uda harus kembali ke kantor, silakan!' ucap Nadira dengan merasakan nyeri di dadanya, lalu membuang pandangannya ke langit-langit kamar bersalin ini.
Kedua kaki Farhan seakan berat untuk melangkah. Seakan terpaku, dia tetap berdiri di samping ranjang Nadira. Menatap wajah wanita yang sekarang telah menjadi ibu dari anaknya.
Baru kali ini Farhan menatap wajah Dira dengan sejuta rasa yang dia sendiri tak paham. Entah kenapa kali ini enggan rasanya berpaling dari wajah cantik bermata teduh yang nampak kelelahan itu.
Sementara Nadira merasakan keanehan yang terjadi pada suaminya. Hingga membuatnya tak berani bertemu mata dengan Farhan.
"Permisi, Bu Nadira. Bayinya saya bawa ke ruang bayi dulu, agar ibunya bisa dipindahkan ke ruang rawat." Seorang perawat tiba-tiba masuk dan membawa bayi Nadira keluar.
Keduanya mengangguk. beberapa saat kemudian mereka kembali canggung dan tak banyak bicara.
Selama ini Farhan memang sangat jarang berbincang dengan Nadira. Dari sejak awal menikah, mereka bicara hanya seperlunya saja.
Hingga ingatannya kembali pada kejadian setahun yang lalu. Saat dirinya terpaksa menikah dengan wanita yang kini berada dihadapannya.
Bab 2. Baralek Gadang
Setahun yang lalu
"Bunda ini sudah tua, Farhan. Bunda ingin menyaksikan kamu menikah sebelum ajal menjemput. Pulanglah! Menikahlah dengan gadis pilihan Bunda. Nadira gadis yang baik dan pintar. Bunda yakin dia akan menjadi istri yang baik untukmu."
Farhan tak kuasa menolak permintaan Bundanya. Hanya Bunda yang dia miliki satu-satunya di dunia ini.
"Bunda ingin kamu sering-sering pulang ke kampung, makanya kamu bunda nikahkan dengan gadis sekampung dengan kita."
Walau dengan terpaksa, Farhan tetap menerima perjodohan ini. Sejak dulu, Bunda memang tak menyetujui hubungannya dengan Erika, wanita modern yang sudah terbiasa hidup mewah di jakarta. Erika itu bukan orang minang, itu alasan Bunda.
"Jika kamu tidak menikah dengan orang minang, selamanya kamu akan lupa dengan kampung halaman kita,"
Entah kenapa pikiran Bunda sangat kolot di jaman digital ini. Namun Farhan tak mampu menolak. Dia sangat menyayangi Bundanya. Walau sebenarnya dia pun tak tega melihat Erika yang terus menangis melepas kepergianya ketika di bandara..
"Kamu tega ninggalin aku, Farhan!"
"Bersabarlah, Aku hanya ingin membahagiakan Bunda. Setelah ini kita pikirkan lagi langkah selanjutnya agar kita bisa tetap bersama!" bujuk Farhan yang berhasil membuat Erika berhenti menangis. Sungguh wanita itu tak ingin kehilangan Farhan. Pria kaya raya pemilik perusahaan yang bergerak di bidang investasi dan perdagangan. Apapun yang Erika minta selalu dipenuhi oleh Farhan. Hanya satu yang Farhan tidak bisa memenuhi permintaan Erika, yaitu menolak permintaan Bundanya. Bunda adalah segala-galanya bagi Farhan. Setahun belakangan ini, Bunda memilih untuk tinggal di kampung saja. Hingga dia dijodohkan dengan gadis sekampungnya.
Farhan tiba di kampung halamannya menjelang sore, dengan dijemput oleh supir pribadi bunda di bandara international Minangkabau. Perjalanan dari bandara sampai ke kampung halamannya yang berada di kabupaten Solok memakan waktu kurang lebih dua jam. Sepanjang perjalanan ke Solok yang dilalui jalan berliku serta keindahan tanah minang yang memanjakan mata. Membuat mata Farhan tak lepas terus memandang keluar jendela. Terakhir kalinya dia pulang kampung ketika masih sekolah di SMA.
Berkali-kalli Erika berusaha menghubunginya. Namun karena sinyal yang kurang mendukung, Farhan memutuskan untuk mematikan saja ponselnya.
Farhan sengaja mengambil cuti hanya beberapa hari saja. Sungguh dia tak ingin berlama-lama berada di kampung. Pria tampan dengan tubuh tegap dan tinggi di atas rata-rata itu, tiba di kampung halamannya sehari sebelum acara akad nikah dan upacara adat berlangsung. Bahkan dia sama sekali tidak ingin melihat siapa calon istri yang dijodohkan sang bunda.
"Apa kamu tidak mau pergi ke rumah Dira dan menemuinya sebentar, Farhan? Kamu harus mengenal lebih dulu calon istrimu." bujuk Bunda Aisyah, wanita yang sudah melahirkannya.
Pria berdarah campuran Minang dan Jerman itu menggeleng.
"Aku lelah, Bunda. Mau istirahat."
Bunda Aisyah hanya menghela napas panjang. Tak ingin memaksa. Dalam hatinya dia berdoa agar acara pernikahan Farhan berjalan dengan lancar.
☆☆☆
Acara akad nikah berjalan dengan lancar. Setelah selesai, Farhan sama sekali tak ingin melihat wajah istrinya dengan lekat. Tatapannya hanya lurus ke depan. Sesekali melihat istrinya hanya sekilas, saat mengikuti arahan dari panitia.
Saat malam tiba, acara baralek gadang berlangsung ramai. Hampir dari setiap penjuru kampung datang ingin melihat kedua mempelai. Terutama mempelai pria yang menjadi topik pembicaraan hampir seluruh warga kampung Kinari, karena ketampanannya bak artis ibukota. Anak tunggal Bunda Aisyah, orang terkaya dan terpandang di kampung itu, sudah lama sekali tak pulang. Sehingga membuat penasaran bagi setiap warga kampung yang hendak melihatnya.
Nadira, gadis minang itu sungguh beruntung mendapatkan Farhan. Warga kampung pun memuji kecantikan Nadira, gadis yang juga baru beberapa hari ini pulang ke kampung atas permintaan ibunya dengan meninggalkan bisnisnya di Jakarta.
Nadira memanglah seorang gadis yang patuh pada ibu dan mamaknya. Sejak Ayahnya meninggal dunia tujuh tahun yang lalu, hidup Nadira menjadi tanggung jawab Mamaknya yang bernama Sutan Sati, adik kandung dari Bu Ani. Nadira pun dengan ikhlas menerima perjodohan yang telah diatur oleh Ibu dan Mamaknya.
Acara adat berlangsung hingga malam. Setelah acara selesai kedua mempelai kembali ke rumahnya masing-masing..
☆☆☆
"Bunda, pekerjaanku banyak, sore ini aku kembali ke jakarta."
Lagi-lagi Bunda Aisyah banya bisa menghela napas.
"Malam ini adalah malam pertamamu dengan Dira. Apa kamu tidak ingin menikmati satu malam lagi di kampung halamanmu ini?" Bunda Aisyah berusaha membujuk anaknya.
"Maafkan aku, Bunda. Perusahaan sedang banyak masalah. Harus Aku sendiri yang mengurusnya."
Wanita yang sudah berumur enam puluhan itu hanya bisa menahan sesak, tak ingin berdebat.
"Baiklah, bawa sekalian istrimu ke Jakarta! Nadira sudah menjadi tanggung jawabmu sekarang," tegas Bunda membuat wajah Farhan bingung.
"Bagaimana mungkin aku langsung membawanya ke jakarta? Kami belum saling mengenal," celetuk Farhan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Halah! Nanti juga kau akan terbiasa dengan kehadiran Dira ....," Bunda Aisyah terkekeh, mencoba menggoda anak laki-lakinya.
Akhirnya sore itu mereka berdua berangkat ke Jakarta. Sepanjang jalan Farhan hanya bersikap dingin. Tak bicara jika tak perlu. Begitu juga dengan Nadira, gadis berhijab itu pun tak berani memulai pembicaraan dan memilih untuk diam hingga tiba di Jakarta. Dia bisa memahami, mungkin suaminya belum terbiasa dengan situasi seperti ini.
Sepanjang perjalanan Dira menyibukkan dirinya dengan ponselnya. Begitu banyak pekerjaannya yang tertunda. Namun dia telah memutuskan untuk mempercayakan bisnis onlinenya pada sahabatnya. Karena mulai saat ini Dira ingin berbakti pada suaminya. Seperti ibunya dulu, yang selalu mengurus dan melayani Almarhum Ayahnya dengan baik.
Namun sesuatu yang dia tidak duga sama sekali. Ternyata Farhan tidak pernah menginginkan pernikahan ini.
Saat malam tiba, Farhan mengajaknya bicara.
"Maafkan Aku, mungkin kita tidak akan bahagia dengan pernikahan ini. Seharusnya, suatu pernikahan dilakukan oleh orang yang saling mencintai. Jadi janganlah pernah berharap untuk bahagia hidup denganku."
Nadira tersentak, hatinya terasa diremas setelah mendengar ucapan Farhan.
"Maaf Uda, bukankah cinta itu bisa tumbuh seiring waktu?" tanyanya dengan suara bergetar menahan buliran bening yang seakan mendesak ingin keluar.
"Aku ... sudah punya kekasih. Maaf ...!" Akhirnya Farhan mengakuinya.
Lolos sudah air mata Dira. Betapa nyeri dan perih rasa di hatinya.
Nadira memang belum mencintai suaminya. Namun saat ini dia merasa harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya.
Namun tak mungkin dia pulang kembali. Semua sudah terjadi. Saat ini dia sah sebagai istri Farhan di mata Allah. Begitu banyak kewajiban yang harus dia jalankan, begitu yang ibu ajarkan padanya. Nadira bertekad akan tetap menjalankan pernikahan ini, akan tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, serta melayani suaminya dengan baik. Walaupun dia tahu, suaminya sama sekali tak mencintainya.
Bab 3. Hati yang Menghangat
Sudah tiga hari Nadira dirawat di rumah sakit setelah melahirkan, dan hari ini dokter memperbolehkan dia untuk pulang.
Setelah menutup laptopnya, Dira menghubungi seseorang lewat ponselnya.
"Hallo, Assalamualaikum, Vivi, apa yang Aku minta sudah kamu siapkan?"
"Waalaikumsalam, udah beres, Bu Bos. Kapan mau di jemput?"
"Tunggu intruksi berikutnya! Aku ingin bicara dulu dengan Uda Farhan."
"Udahlah Dira, kamu tinggalin aja suamimu itu. Bisanya cuma nyakitin hatimu aja."
Nadira terdiam mendengar ucapan asisten pribadi sekaligus sahabatnya itu. Memang benar kata Vivi. Selama hidup setahun bersama Farhan, hanya sakit yang dia rasakan. Farhan terang-terangan mengatakan bahwa dia punya kekasih dan sama sekali tidak mencintai dirinya. Hampir setiap hari Farhan mengingatkan Dira tentang perjanjian mereka.
Walau demikian Nadira dengan ikhlas tetap melayani dan mengurus Farhan dengan baik. Walau berkali-kali suaminya itu melarangnya.
Nadira pun teringat saat-saat baru menikah dengan Farhan dulu.
"Sudah kubilang tidak usah repot-repot mengurusku!" pinta Farhan pagi itu saat Nadira telah menyiapkan pakaian serta sarapan untuk Farhan.
"Selama Aku masih menjadi Istri Uda, mohon izinkan Aku tetap mengurus Uda dengan baik. Tolong jangan larang aku untuk meraih surgaku."
Farhan tertegun mendengar ucapan lembut dari mulut Nadira. Sekesal dan semarah apapun Farhan padanya, Gadis sederhana itu selalu berusaha untuk berbicara lemah lembut padanya. Tidak sekalipun Nadira meninggikan suaranya pada Farhan.
Dia selalu ingat pesan ibu dan mamaknya, suamimu adalah surgamu dan nerakamu.
Kamu akan masuk surga karena keridhoan suamimu, sebaliknya kamu akan masuk neraka karena kemarahannya.
"Hallo Dira, kamu masih di sana?"
Panggilan Vivi membuyarkan lamunannya.
"Ya, Vi. Aku masih di sini. Maaf!" sahut Nadira parau, seraya menyusut air mata yang entah sejak kapan meluruh di kedua pipinya.
"Jangan sedih terus, Dira. Kamu harus bisa melupakan segala kesedihan ini. Ayo bangkit lagi, perusahaan menantimu untuk bisa aktif lagi."
"Nantilah, Vi. Setelah Aku resmi bercerai dari Uda Farhan."
Vivi berdecak kesal, Nadira rela meninggalkan perusahaannya demi berbakti pada suaminya. Namun apa yang dia dapat, hanya rasa sedih dan luka yang mendalam.
"Kamu nggak apa-apa aku titip perusahaan sampai urusanku beres, kan Vi?" bujuk Nadira dengan nada memohon.
"Untuk sahabat sebaik kamu apapun akan kulakukan. Yang terpenting kamu bisa bahagia," sahut Vivi tulus dari seberang sana.
"Terima kasih, Vi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Nadira menutup ponselnya.
"Telphon dari siapa, Dira?" Dira dikejutkan oleh suara Bu Ani yang tiba-tiba masuk ke ruang rawat
"Dari Vivi, Bu."
"Vivi teman Kau waktu kulliah dulu? Bagaimana kabarnya kawan kau itu? Di mana dia kerja?" tanya Bu Ani bersemangat.
"Di perusahaan online, Bu," jawab Nadira sambil merapikan kembali laptopnya.
"Pagi, Bu Nadira. Ini bayinya diberi ASI dulu!" Nadira tersenyum lebar saat seorang perawat mengantarkan bayinya.
Perawat itu meletakkan bayi merah itu di pangkuan Nadira. Wanita yang suka memakai hijab instan itu mencium anaknya dengan penuh cinta. Bu Ani memandang anak dan cucu pertamanya itu dengan senyum hangat.
"Sudah kau kasih nama anakmu ini Dira?"
Nadira menggeleng.
"Kasihlah cepat! Biar bisa ibu panggil-panggil namanya." Bu ani mengusap lembut cucu tercintanya.
"Biar Uda Farhan saja yang kasih nama nanti, Bu."
Setelah menutup tirai di depannya, Nadira mulai memberi ASI pada anaknya.
.
.
.
"Assalamualaikum, Bu." Farhan mencium tangan ibu mertuanya saat baru saja tiba.
"Waalaikumsalam. Kamu indak kerja, Nak Farhan?"
"Tidak, Bu. Aku mau jemput Dira. Dokter bilang hari ini sudah bisa pulang."
"Dira sedang menyusui anaknya. Masuklah ke dalam jika ingin bicara dengannya."
Sedang menyusui? Bagaimana jika dia marah kalau aku main masuk aja?
Farhan ragu. Walau dia tau Nadira tidak akan marah sekalipun dia melihat Nadira polos. Bagaimanapun juga Farhan berhak atas istrinya. Namun sejak ada perjanjian itu, keduanya seolah menjaga jarak. Farhan lebih sering tidur di ruang kerjanya. Akan tetapi Nadira paham dengan kewajibannya sebagai istri. Wanita itu tak pernah menolak jika Farhan sesekali meminta kebutuhan biologisnya. Nadira selalu melayani suaminya dengan baik.
"Aku tak ingin berdosa. Melayani Uda adalah ladang pahala untukku. Semua kulakukan ikhlas karena Allah."
Jawaban Nadira seakan menampar dirinya, kala dia bertanya kenapa Istrinya tak pernah menolak, padahal dia tahu bahwa Farhan memiliki kekasih dan mereka akan bercerai.
Farhan terkesiap saat tiba-tiba tirai didepannya terbuka. Senyum Nadira muncul persis di depan matanya. Jantungnya berdegup kencang saat mata mereka bertemu.
Nadira menggeser tubuhnya mendekat pada Farhan. Diraihnya tangan kokoh dengan jemari kekar milik suaminya, kemudian diciumnya.
"Uda sudah datang ..." lirihnya.
Tidak hanya saat ini Nadira mencium tangannya setiap dia datang ataupun hendak pergi. Namun kenapa ada desiran aneh yang dia rasakan kali ini.
"Iy-iyaa. Mau pulang jam berapa?" tanyanya tanpa sedikitpun berpindah dari tempatnya berdiri. Farhan merasakan degup jantungnya tak karuan melihat Nadira sedang memasang kancing bajunya. Ada apa dengannya?
"Maaf, Uda!" Wajah Nadira memerah menahan malu saat tersadar Farhan sedang memperhatikannya. Sontak wanita bertubuh langsing itu memiringkan badannya membelakangi Farhan.
"Farhan, Dira, Ibu ke musholla dulu!" teriak Bu Ani, kemudian wanita paruh baya itu beranjak keluar dari kamar rawat VVIP itu.
"Duduklah, Uda." Nadira turun dari tempat tidur, kemudian meletakkan bayinya yang sudah tertidur, di box bayi yang berada di sebelahnya.
Farhan yang diminta duduk oleh Nadira malah mendekat dan memandang bayinya.
"Lihat, Dira! Dia mirip sekali denganku." Farhan terkekeh.
Nadira tersenyum.
"Uda akan kasih nama siapa anak kita?"
Farhan mendongakkan kepalanya. Mata mereka kembali bertemu.
"Bolehkah aku yang kasih namanya?"
"Tentu, Uda kan papanya." kali ini Nadira yang terkekeh.
Tanpa mereka sadari hati keduanya menghangat.
"Bagaimana jika kita kasih nama Nafa. Nafa Adiguna."
"Nafa ...? Bagus ...," sahut Dira seraya mengangguk.
"Sekarang, bersiaplah! Kita pulang!" ajak Farhan. Namun matanya masih terus memandang buah hatinya dengan senyuman. Nafa, adalah nama gabungan antara nama Nadira dan Farhan. Sejak semalam dia telah menyiapkan nama itu untuk putri tercintanya.
Nadira terdiam. Sejenak menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu pada suaminya. Setelah menghela napas panjang, wanita yang tetap cantik tanpa riasan tebal itu mulai bicara.
"Uda ..., jika diizinkan, Aku dan Ibu sebaiknya pulang ke rumahku saja." Dengan sangat hati-hati Nadira bicara.
"Apaa? Rumah di kampung?" Farhan mengernyitkan dahinya.
.
"Bukan. Beberapa waktu lalu aku membeli sebuah rumah. Tidak jauh dari rumah Uda."
Farhan tersentak mendengar perkataan istrinya.
"Untuk apa kamu beli rumah?" tanya Farhan dengan dada bergemuruh.
"Untuk ...untuk tempat tinggalku dan Nafa setelah kita berpisah nanti," sahut Nadira tertunduk.
Sontak Farhan menegang. Matanya menatap nanar pada Nadira. Entah kenapa hatinya seakan tidak terima. Kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. Sesak di dada bagaikan dihimpit batu besar. Dia terdiam. Tenggorokannya tercekat.
Bab 4. Menantu Kebanggaan Ibu
"Kamu dan Nafa harus pulang ke rumah kita! Berkemaslah, Aku tunggu di luar!" Suara bariton Farhan berucap datar dan dingin.
Nadira hanya mematung mendengar perintah suaminya. Sungguh dia tak mengerti dengan jalan pikiran Farhan. Bukankah dulu suaminya itu berkali-kali mengingatkan bahwa setelah aku melahirkan kita akan bercerai?
Nadira menatap punggung tegap itu hingga menghilang di balik pintu. Perlahan dia masukkan pakaiannya ke dalam tas, sambil menanti perawat yang mempersiapkan kepulangannya dan bayi Nafa.
"Hendak kemana suamimu, Dira? Sini ibu bantu berkemas!"
Bu Ani terheran melihat wajah Nadira yang murung.
"Ada apa sebenarnya, Nak?" Wanita berhijab lebar yang tak lagi muda itu menyentuh lengan Nadira karena tak mendengar pertanyaannya.
"Eh, ... maaf tadi ibu bilang apa?" Nadira terperangah dan gugup.
"Suamimu mau kemana? Tadi ibu lihat dia sedang berjalan di lorong rumah sakit ini. Nampaknya Farhan sedang kesal. Apa kamu sudah membuatnya marah?"
Nadira menggeleng.
"Uda Farhan mungkin hanya kelelahan saja, Bu."
Sejak awal Nadira memang tak pernah bercerita pada Ibu dan mamaknya tentang keadaan rumah tangganya yang sebenarnya. Sejujurnya dia pernah berharap agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan membina rumah tangga yang bahagia bersamanya. Hampir tiap hari Nadira memanjatkan doa di sepertiga malam, memohon pada Sang Pemilik hati. Karena hanya Dia Maha membolak balik hati manusia.
Namun keputusasaan akhirnya merajai hati. Nadira pasrah dan mulai mempersiapkan hati untuk menerima segala keputusan suaminya. Wanita yang selalu bertutur kata lemah lembut itu mencoba berbesar hati jika suatu hari Farhan meninggalkan dirinya demi kekasih hatinya.
"Selamat siang Bu Nadira, ini obat-obatan yang masih harus diminum dan dihabiskan. Untuk vitamin ini, ibu minum setiap hari." Dua orang perawat masuk ke dalam ruang rawat Nadira dan memberikan berbagai penjelasan.
Sementara satu perawat menggantikan pakaian bayi Nafa dengan stelan bayi berwarna merah muda bermotif bunga matahari yang sangat lucu. Bayi Nafa terlihat sangat cantik dan menggemaskan.
Sementara itu, di salah satu cafe rumah sakit, melalui ponselnya, Farhan sibuk membujuk sang kekasih yang memaksanya untuk makan siang bersama.
"Mengertilah Erika. Aku sedang menjemput istriku pulang dari rumah sakit."
"Suruh saja supirmu! Kenapa harus kamu sendiri yang menjemputnya?" geram Erika dari seberang sana.
Farhan menghempas napas kasar.
"Ini pertama kali Aku menjemput anakku. Mana mungkin supirku yang melakukannya?"
"Kamu berlebihan, Farhan!" Erika menutup panggilan secara sepihak.
Farhan hanya bisa menarik napas panjang. Dia sudah menduga apa yang akan Erika lakukan setelah ini. Dia sudah hapal dengan tingkah laku wanitanya itu. Erika akan berbelanja sepuasnya dengan kartu debit pemberiannya, demi melampiaskan rasa kesalnya pada Farhan.
Pria tinggi tegap dengan wajah campuran indojerman itu melangkah kembali menuju ruang rawat Nadira. Sampai saat ini pikirannya tak lepas dari perkataan Nadira tentang rumah yang baru dia beli. Dari mana wanita itu punya uang? Selama ini Farhan memang memberinya uang bulanan. Nadira pun membelanjakan uang itu dengan baik. Istrinya itu termasuk sangat jarang berbelanja. Namun jika ada lebihnya pun sangat tidak mungkin bisa untuk membeli sebuah rumah di kota jakarta ini.
Yang Farhan ketahui, Nadira hanyalah gadis kampung yang sejak menikah dia ajak ke jakarta. Selama ini Nadira lebih banyak di rumah, hanya sesekali bertemu dengan teman kuliahnya yang bernama Vivi. Itupun Farhan tak pernah menemani kemanapun Nadira pergi. Farhan hanya sibuk dengan pekerjaan dan kekasihnya, Erika. Hampir tiap hari Erika mengajaknya makan siang atau makan malam.
"Apa sudah siap?" Farhan membuka pintu ruang rawat Nadira.
Istrinya itu telah bertukar pakaian dengan gamis merah muda serta phasmina instan berwarna putih. Nadira tampak lebih segar dan cantik dengan bentuk badannya yang sudah kembali langsing namun lebih padat dan berisi.
Farhan tercengang melihat penampilan istrinya. Jakunnya naik turun, susah payah dia menelan air liur. Jantungnya berdegup kencang saat bertemu mata dengan netra wanita yang telah melahirkan darah dagingnya.
Akhirnya Farhan mengalihkan pandangannya pada putrinya yang digendong oleh Bu Ani. Pria berjambang itu tersenyum hangat melihat pakaian putrinya yang berwarna senada dengan Nadira.
"Nak Farhan, ayo kita berangkat!" ajakan Bu Ani membuyarkan lamunannya.
Farhan mengambil alih tas besar di tangan Nadira. Dia memang sengaja tidak membawa supir. Farhan ingin menikmati sendiri momen pertamanya menjadi seorang Ayah. Entah kenapa dia merasa itu adalah sesuatu yang sangat spesial.
Perawat datang membawa kursi roda untuk Nadira.
"Sini, Suster," Farhan meraih kursi itu dan menyodorkannya pada Nadira, memberi isyarat agar istrinya itu duduk.
Hati Nadira kembali menghangat melihat perlakuan suaminya yang tak biasa. Diam-diam dia tersenyum melihat Farhan menyelempang tas besar itu pundaknya.
Farhan mendorong Nadira yang duduk di kursi roda sambil memangku bayi Nafa. Tanpa mereka sadari, senyum terbit dari wajah keduanya. Entah sampai kapan kehangatan itu akan terus hadir di hati mereka.
Selama di perjalanan, Bu Ani lebih mendominasi percakapan. Sungguh suatu suasana yang baru bagi keluarga mereka. Bu Ani yang baru empat hari yang lalu tiba di jakarta, itu pun setiap malam beliau memilih tidur di rumah sakit menemani Nadira, merasakan bahagia yang tak terkira bisa berkumpul dengan anak, menantu dan cucu pertamanya.
"Ibu masih lama, kan di Jakarta?" tanya Nadira manja.
"Ibu maunya sih begitu. Tapi nenekmu kan juga sedang sakit di kampung. Mamakmu mana bisa merawat nenek lama-lama," sahut Bu Ani seraya memandangi cucunya.
"Jika ibu hendak pulang, kasih tau Farhan, biar Farhan pesankan tiket dan antar ke bandara, tapi Farhan berharap Ibu bisa lebih lama di jakarta."
"Iya, Nak. Pasti itu. Tak perlu khawatir. Cuma Nak Farhan menantu terbaik ibu satu-satunya." Candaan Bu Ani membuat nyeri hati Nadira.
Bagaimana jika Farhan tak lagi menjadi menantu kebanggaan Ibu?
.
.
Mobil mewah yang dikendarai Farhan telah tiba di depan sebuah rumah besar bak istana. Seorang security tergopoh -gopoh membukakan pintu gerbang.
Bu Ani selalu bangga dengan menantunya ini. Farhan sukses menjadi pengusaha muda meneruskan perusahaan peninggalan sang kakek dan Ayahnya yang berdarah jerman. Kehandalannya dalam berbisnis membuat perusahaannya berkembang sangat pesat. Bu Aisyah juga membuat rumah bak istana di kampung halaman mereka. Menandakan merekalah orang paling berada di desa Kinari.
Berbeda dengan keluarga Bu Ani yang hidup sederhana. Biaya sekolah hingga kuliah Nadira pun berasal dari hasil sawah yang tidak seberapa. Oleh sebab itu sejak SMA Nadira telah mulai berbisnis online kecil-kecilan, hingga saat ini tanpa sepengetahuan Ibu dan suaminya, wanita yang sangat berbakat dalam bisnis dan berdagang itu bisa mendirikan sebuah perusahaan berbasis toko online. Walaupun perusahaan yang Nadira miliki tak sebesar perusahaan milik Farhan, Namun Nadira mampu menghasilkan omzet ratusan juta setiap bulannya. Hingga kini dia mampu membeli sebuah rumah dan mobil untuknya.
Beberapa pelayan menyambut kedatangan mereka.
Nadira dan bayi Nafa langsung menuju kamar mereka yang sudah disiapkan oleh para pelayan.
Farhan yang baru saja masuk ke dalam rumah, langsung duduk sejenak di ruang tamu melepas penat. Sebuah nada notifikasi terdengar dari ponselnya. Perlahan pria itu meluruskan kakinya di sofa panjang seraya membuka ponselnya.
Matanya membelalak saat melihat notifikasi dari SMS banking yang membuat emosinya tersulut.
Sebuah transaksi pengeluaran dengan nominal yang cukup besar baru saja terjadi siang ini dengan kartu debit atas nama diriinya. Kali ini habis sudah kesabaran Farhan. Tak menunggu lama lagi, diraihnya kembali kunci mobil, kemudian dengan langkah lebar Farhan menuju mobilnya yang masih terparkir di depan teras. Dengan kecepatan penuh, Farhan melajukan mobilnya menuju suatu tempat.
Bab 5. Rasa Yang Tak Lagi Sama
Fahran melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalan kota jakarta yang akrab dengan kemacetan. Tujuannya kali ini adalah sebuah rumah yang terletak di wilayah menteng. Daerah yang dekat dengan perkantoran dan segitiga emas. Pria beralis tebal itu mengumpat dalam hati karena jalanan mulai tidak lancar.
Di tengah kemacetan Farhan mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya.
"Hallo, Erika kamu di mana?"
"Hai, Sayang. Aku baru sampai rumah," sahut Erika manja dari seberang sana.
"Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana, sebentar lagi aku datang!" tegas Farhan singkat.
"Benarkah? So sweet bangeeet. Akhirnya kamu datang juga. Aku tau kamu pasti kangen sama aku, kan, Sayang?" Erika terpekik saking senangnya.
Farhan menutup ponselnya secara sepihak. Dia kembali menambah kecepatan mobilnya saat jalan raya mulai lancar. Hingga Farhan berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Rumah yang dulu dia beli untuk Erika setahun yang lalu, tepatnya beberapa hari sebelum dia pulang kampung untuk menikah dengan Nadira. Farhan terpaksa membelikan rumah seharga milyaran itu agar Erika mau mengizinkannya menikah dan menunggunya hingga dirinya menceraikan Nadira. Begitu besar cinta Farhan pada Erika saat itu. Tanpa peduli hartanya berkurang, demi Erika. Cinta pertamanya yang sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya.
Seorang security membukakan pintu gerbang. Mobil Farhan masuk ke halaman rumah yang tidak terlalu banyak tanaman. Mobil Erika terparkir sempurna di bagasi yang terbuka.
"Farhan ... terima kasih, akhirnya kamu datang!" Erika menghambur ke dada bidang Farhan dan memeluk pria itu dengan penuh kasih.
Farhan bergeming. Matanya menatap nanar pada Erika. Perlahan dia mengurai pelukan. Mundur dan sedikit menjauh.
Erika mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan sikap Farhan. Tak biasanya Farhan seperti ini. Farhan selalu memeluknya hangat. Bahkan tak pernah melepasnya sebelum Erika berontak.
"Ada apa denganmu, Farhan? Apa kamu sudah mulai menyukai gadis kampung itu?"
"Diaaam! Jangan pernah hina istriku lagi!"
Erika terlonjak mendengar bentakan Farhan. Wanita berambut sebahu itu terheran. Bukankah Farhan sendiri yang menyematkan panggilan gadis kampung pada istrinya itu? Wanita yang memang berasal dari kampung dan tiba-tiba tinggal dikota sejak menikah dengan Farhan. Itu yang selalu dia dengar dari kekasihnya itu.
"Farhan, kamu kenapa? Apa yang merubahmu?" Suara Erika mulai parau menahan tangis. Farhan tak pernah membentaknya seperti ini.
"Apa yang kamu beli sampai menguras uang di rekeningku, Erika?" Farhan menatap dingin pada wanita yang saat ini memakai celana pendek dengan kaos tak berlengan.
"Kenapa kamu mempersoalkan uangmu, Sayang? Bukankah uangmu banyak? Kamu tidak akan jatuh miskin jika aku berbelanja satu mall sekalipun." Tangan Erika mulai travelling ke dada dan punggung Farhan. Walau dia tau Farhan akan menolaknya secara halus
Erika tak habis pikir dengan kekasihnya itu. Farhan selalu memberinya apapun yang dia minta. Namun pria itu tak pernah menyentuh Erika. Padahal Erika sangat ingin memberikan kehormatannya yang selama ini dia jaga, khusus untuk Farhan seorang. Namun farhan selalu menolak secara halus.
Erika pun sangat kecewa, saat mengetahui Nadira hamil. Farhan tak pernah mau menyentuhnya, tapi kenapa dengan Nadira sampai hamil. Bukankah kekasihnya itu pernah bilang kalau dia tak mencintai Nadira?
"Jawab aku, Erika! Apa yang kamu beli?"
Erika terhenyak saat Farhan menepis tangannya
"A-aku membeli perhiasan," lrihnya.
Farhan menghempas napas kasar.
"Dengar, Erika! Jika kamu terus-terusan seperti ini, aku bisa bangkrut!"
"T-tapi ...." Erika terduduk di sofa.. Kemudian manangis tergugu.
"Seadainya aku adalah istrimu. Pasti kamu tidak akan mengatakan hal ini padaku." Erika tertunduk dengan wajah sedih. Air matanya terus mengalir.
"Andai saja waktu itu kamu tidak memintaku untuk menunggu, mungkin aku tidak akan merasa tersiksa seperti ini, Farhan. Aku menunggu sesuatu yang tak pasti. Kamu bilang tak mencintai wanita itu. Tapi mengapa dia bisa sampai hamil? Kenapa Farhan ... Kenapaa ... jawab aku!" Erika terus menjerit.
"Apa kamu tau, betapa sakitnya aku membayangkanmu setiap malam tidur bersama wanita itu? Apa kamu tau, setiap hari aku sendirian di rumah ini mengharapkan kedatanganmu?"
Erika terus meracau dengan tangisnya yang menyayat hati.
Farhan mematung berdiri menatap Erika. Ya, ini memang salahnya. Dia yang dulu meminta Erika agar menunggunya. Dia yang berjanji akan menikahi Erika setelah bercerai dengan Nadira.
Kini Farhan merasa sangat Iba pada Erika. Emosi wanita ini memang meledak-ledak sejak dia menikah dengan Nadira. Erika banyak berubah sejak dia menerima perjodohan itu. Erika berubah karena rasa cemburunya.
Dulu Erika adalah wanita yang penurut dan selalu membuatnya nyaman. Hingga Farhan sangat mencintainya sepenuh hati.
Namun entah ada apa dengan dirinya kini. Rasa pada Erika sudah tak lagi sama. Semua semakin hambar dan tak berwarna.
Apalagi sejak kehadiran Nafa, buah hatinya. Farhan merasa hidupnya lebih berharga dan berguna di dekat anak dan istrinya.
Pandangan Farhan kembali pada Erika yang masih terisak dengan sisa-sisa tangisannya. Rasa bersalah pada wanita di hadapannya kembali merajai hatinya.
Perlahan Farhan mendekati Erika. Pria bertubuh tinggi itu duduk di samping Erika. Farhan memiringkan tubuhnya hingga mereka kini saling berhadapan.
Erika menatap Farhan dengan wajah memelas membuat pria itu semakin merasa bersalah. Namun hanya rasa iba yang kini dia rasakan. Dia tak ingin membohongi dirinya sendiri.
"Maafkan Aku, Erika. Aku telah menyebabkan kamu begini. Aku harap kamu bisa mengerti dengan posisiku saat ini."
Erika kembali membesarkan matanya.
"Apa maksudmu?" Erika kembali menahan gejolak emosi yang tadi sudah mereda. Dadanya kembali terasa sesak.
"Aku akan memikirkan kembali hubungan kita ini." tegas Farhan seraya berdiri.
"Farhan, kamu tidak akan meninggalkan aku, bukan?" Tiba-tiba Erika ikut berdiri. Dia sama sekali tak menyangka Farhan akan berkata demikian. Dia mengira Farhan akan membujuknya mati-matian seperti yang sudah-sudah.
"Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap, Erika. Entah kenapa ada sesuatu yang membuatku bimbang untuk menceraikan Nadira. Permisi!"
Dada Erika bergemuruh mendengar ucapan Farhan barusan. Hawa panas mengalir di sekujur tubuhnya. Erika tidak akan pernah terima jika Farhan sampai meninggalkannya.
Erika menatap punggung tegap milik Farhan yang mulai menghilang di balik pintu. Wanita itu semakin geram.
"Dasar perempuan kampungan! Mulai main-main dia denganku. Awas, Nadira! Aku akan membuat kalian berpisah secepatnya!"
Bab 6. Debaran Yang Tak Biasa
Erika memandang kagum pada bayangan dirinya di cermin. Pagi ini, wanita berkulit putih dengan mata agak sipit itu sengaja berhias dengan penampilan memukau. Dress selutut berwarna peach dengan high heels berwarna senada membuatnya tampil segar dan cantik. Gadis itu berniat hendak membuat kejutan untuk kekasih hatinya.
Mobil sport keluaran terbaru telah terparkir cantik di depan rumahnya. Seorang supir pribadi telah siap mengemudi dan membawa Erika ke tempat tujuan.
"Ke mana, Non?" Tanya Dipa sang supir pribadi seraya melirik majikannya dari kaca spion dalam mobil ini..
"Kita ke kantor Farhan!"
"Baik, siap, Non!" Dipa langsung melajukan mobil ke arah jalan Jendral Sudirman, yang memang tak jauh dari lokasi rumah Erika.
Kantor Farhan memang berada di pusat kota Jakarta, diantara gedung-gedung pencakar langit. Perjalanan belum begitu macet, hingga mereka hanya menempuh waktu lima belas menit sudah tiba di area parkir PT. Elang Naga, milik Farhan Adiguna.
Erika turun di lobby utama, kemudian dengan melenggak lenggokkan tubuh sintalnya melangkah menuju lantai dua puluh lima, tempat di mana ruang kerja Farhan berada.
"Selamat pagi, Bu Erika!" sapa seorang sektetaris yang telah mengenal Erika sejak lama. Hampir seluruh karyawan pun mengenal Erika dengan baik. Wanita itu terkenal cukup ramah pada semua orang.
Tak ada satupun karyawan yang berani menanyakan perihal istri dari pemilik perusahaan ini. Mereka memang mendengar Farhan sudah menikah. Namun tak pernah sekali pun Farhan membawa atau memperkenalkan istrinya pada karyawannya. Saat acara-acara kantor pun, Farhan justru selalu membawa Erika. Hampir seluruh relasi bisnis Farhan mengenal Erika sebagai kekasih Farhan.
"Pagi, apa Farhan sudah datang?" tanya Erika sambil melirik ruangan Farhan yang masih tertutup rapat
"Pak Farhan belum datang, Bu."
"Ya sudah. Aku tunggu di dalam ya." Dalam hatinya Erika bersorak karena Farhan belum datang. Dengan begitu dia bisa menjalankan misinya sebelum kekasihnya itu tiba.
"Silakan Bu Erika."
Erika sudah biasa keluar dan masuk dengan bebas di kantor Farhan, juga di ruang pribadi Farhan. Namun kali ini ada misi tertentu yang hendak Erika lakukan di ruang pribadi kekasihnya itu.
Erika duduk di kursi kebesaran sang CEO seraya memandang sekeliling ruangan. Wanita cantik itu sedang mencari sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang bisa membuat Farhan dan istrinya segera bercerai.
Mata Erika tertuju pada sebuah lemari terbuat dari besi di sudut ruangan. Pada beberapa lacinya bertuliskan 'dokumen keluarga'. Erika melangkah menghampiri lemari tersebut dan perlahan mulai membuka laci itu satu persatu dari bagian atas.
"Di mana surat perjanjian itu?" gumamnya.
Erika terus memilah satu persatu map-map yang berada di dalam laci-laci lemari itu.
Mata Erika melebar saat menemukan sabuah map coklat bertuliskan ' surat perjanjian pernikahan'.
Dengan cepat Erika meraih Map itu dan membukanya. Selembar kertas bermaterai dalam genggamannya membuat Erika tersenyum penuh kemenangan. Tanpa menunggu lama, Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kamera. Erika mulai mengambil beberapa gambar surat perjanjian itu.
Setelahnya, Erika meletakkan kembali surat itu ke tempat semula. Dia menghela napas panjang karena lega. Satu bukti sebagai senjatanya sudah berada di tangannya kini.
Erika kembali duduk di kursi kebesaran Farhan sambil menunggu datangnya CEO itu datang. Tak lama kemudian sang sekretaris mengetuk pintu dan kemudian masuk.
"Ada apa? Apa Farhan sudah datang?" tanya Erika bingung karena sekretaris Farhan hanya masuk sendirian.
"Maaf Bu Erika. Pak Farhan baru memberi kabar, beliau tidak ke kantor hari ini."
Erika menggerutu dan geram. Dia khawatir Farhan mulai menghindarinya.
"Ya sudah, besok saya ke sini lagi " sahut Erika tak bersemangat seraya meraih tasnya yang berada di meja Farhan.
Erika kembali pulang dengan rasa kecewa dan emosi. Sejak tadi pun Farhan sama sekali tak membalas pesannya. Apalagi menerima panggilannya. Sepertinya Farhan benar-benar telah menghindar darinya.
.
Sementara itu, dari pintu dapur Nadira terharu melihat Farhan dengan semangat menemani baby Nafa berjemur di taman belakang. Sejak tadi Farhan tak beranjak duduk dari kursi taman di sebelah stroler Baby Nafa.
"Uda tidak jadi ke kantor hari ini?" tanya Nadira seraya menghampiri suami dan anaknya.
"Tidak," sahut Farhan singkat dengan pandangannya masih terus pada Baby Nafa yang menggeliat-geliat di dalam strolernya.
Sebenarnya Nadira ingin sekali menanyakan alasannya kenapa suaminya yang tadi sudah rapi dengan pakaian kerjanya, tiba-tiba saja tak jadi berangkat dan memilih menemani Baby Nafa di taman.
Namun Nadira mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh. Dia tak ingin merusak suasana yang membuat damai hatinya. Saat ini Nadira berusaha menghindari perdebatan dengan Farhan. Karena masih ada Bu Ani di rumahnya.
Saat Baby Nafa telah digendong kembali oleh Nadira, Farhan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Pria itu memang membatalkan kepergiannya ke kantor saat mendengar laporan dari sekretarisnya bahwa Erika sedang menunggunya di sana. Sejak kedatangannya ke rumah Erika beberapa hari yang lalu, Farhan belum ingin bertemu kembali dengan kekasihnya itu. Saat ini dia sedang meyakinkan dirinya dengan keputusan yang hendak dia ambil nantinya.
.
.
.
Farhan, Nadira dan Bu Ani saat ini sedang menikmati makan siang di meja makan.
"Dira, Mamakmu tadi menelpon Ibu. Katanya besok dia akan ke jakarta. Apa Nak Farhan bisa menjemputnya di bandara?"
"Bu, biar Mamak pakai taksi online sajalah. Uda Farhan pasti sibuk dengan pekerjaannya. Mana mungkin Uda bisa jemput-jemput Mamak ke bandara. Lagipula besok masih hari kerja," sanggah Nadira cepat karena merasa tidak enak jika sampai merepotkan Farhan.
"Tidak apa-apa. Biar Aku saja yang jemput Mamak besok," sahut Farhan tenang.
Nadira sontak menoleh pada Farhan dan memandangnya tak percaya.
Sementara Farhan nampak tenang menikmati makan siangnya tanpa menghiraukan Nadira.
"Terima kasih, Nak Farhan." Wajah Bu Ani berbinar. Hatinya makin merasa bangga dengan Farhan.
Sejak pulangnya Nadira dari rumah sakit, Farhan banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Saat istirahat dia menghabiskan waktunya bermain dengan Baby Nafa.
Namun malam ini entah mengapa sejak beberapa jam yang lalu Farhan belum beranjak dari kamar Nadira. Entah kenapa satu perasaan aneh menyelusup ke dalam relung hatinya. Farhan duduk di sofa kamar sambil membuka-buka ponselnya. Sementara Nadira menyusui Baby Nafa sampai putrinya itu tertidur pulas.
"Uda belum tidur?" Nadira menyapa suaminya yang masih tertunduk melihat ponselnya. Wanita itu meletakkan Baby Nafa yang sudah nyenyak, di box bayi.
Farhan mendongakkan kepalanya dan memandang Nadira yang sedang duduk di tepi ranjang. Entah kenapa Farhan ingin sekali memeluk istrinya itu saat ini. Hatinya selalu menghangat setiap berada di dekat Nadira. Ada debaran yang tak biasa saat bertemu pandang dengan istrinya yang semakin hari terlihat semakin cantik di matanya.
Farhan perlahan mendekati ranjang dan duduk persis di sebelah Nadira. Jantungnya berpacu dengan cepat. Tatapan mereka seakan saling mengunci satu sama lain. Tanpa ragu, Farhan meraih tubuh Nadira dan memeluknya erat.
"Maafkan Aku, maafkan Aku ...!" lirihnya dengan napas memburu.
Bab 7. Jagalah Hatinya
Nadira terjaga mendengar tangisan Nafa dari box bayinya. Namun sesuatu yang melingkar diperutnya membuatnya sulit untuk bangkit. Jantung Nadira bedetak cepat saat menyadari sebuah tangan kokoh memeluknya dari belakang. Hembusan napas hangat di belakang lehernya meciptakan desiran hebat di dadanya.
"Sejak kapan Uda Farhan tidur di sebelahku?" pikirnya dalam hati.
Semalam, setelah mereka berpelukan cukup lama, Farhan masuk ke ruang kerjanya lewat pintu tembus dari kamar mereka, dan tidak kembali hingga Nadira tertidur pulas. Dia mengira , seperti biasanya, Farhan akan tidur di sofa panjang di ruang kerjanya itu sampai pagi.
Namun entah kapan suaminya itu kembali dan tertidur di sampingnya.
Perlahan Nadira mengangkat tangan kekar yang masih melingkar di perutnya. Namun Tangan itu begitu erat. Tangisan Nafa mulai terdengar kencang.
"Uda, maaf! Nafa nangis." Nadira menepuk pelan lengan suaminya.
Sontak Farhan terjaga dan melepaskan tangannya. Nadira pun bangkit lalu menghampiri Nafa dan meraih bayi cantik itu.
Kali ini Nadira menyusui baby Nafa di atas sofa, karena suaminya kembali terlelap di ranjangnya.
Wanita itu sesekali melirik pada Farhan. Dirinya merasakan adanya perubahan sikap Farhan sejak dia melahirkan.
Dulu, Farhan tidak pernah tidur hingga terlelap di sampingnya Setiap hari Farhan selalu tidur di sofa besar di ruang kerja. Dia sengaja membuat pintu tembus, agar tidak ada yang mengetahui tentang keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya.
Sesekali Farhan meminta hak kebutuhan biologisnya walau tanpa rayuan ataupun kata-kata mesra layaknya pasangan suami istri. Lalu setelah selesai, dia akan kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan Nadira sendirian.
Tak jarang Nadira mendengar obrolan mesra suaminya dengan sang kekasih hingga malam hari. Karena dinding ruang kerja Farhan menyatu dengan dinding kamarnya.
Memang awalnya semua terasa menyakitkan. Perlahan Nadira berusaha berdamai dengan hatinya. Mencoba untuk ikhlas menjalani rumah tangga yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya
Dia terpaksa menyetujui perjanjian itu. Sepakat bercerai setelah Nadira melahirkan. Karena dia tak punya pilihan lain. Andai saja waktu bisa berputar kembali ke masa lampau. Ingin rasanya menolak perjodohan itu. Ingin rasanya menolak permintaan Ibu dan Mamak. Namun Nadira adalah anak yang sangat tahu balas budi. Dia tak ingin mengecewakan Mamak yang telah menyekolahkannya sejak dia SMA.
"Turuti saja permintaan mamakmu, Dira. Kita banyak hutang budi pada beliau. Kalau tidak ada Mamak Sutan Sati, mana bisa kamu melanjutkan sekolah."
Walaupun Nadira membiayai kuliahnya sendiri, tapi dia sadar, kalau bukan karena Mamaknya, mungkin dia tak sekolah sejak lulus SMP. Mamaknya pula yang memberinya ongkos untuk merantau ke Jakarta.
Sikap Farhan beberapa hari ini sungguh berbeda dari biasanya. Farhan menjadi lebih betah di rumah. Sejak pulang dari rumah sakit, Nadira belum pernah mendengar lagi percakapan Farhan dengan kekasihnya lewat ponselnya. Sikap dan cara bicara Farhan juga berbeda. Tidak datar dan dingin seperti biasanya.
Apa semua perubahan ini karena hadirnya Nafa? Atau karena saat ini ada Ibu di tengah-tengah kita?
Adzan subuh telah berkumandang. Nafa kembali tertudur. Seperti biasa, Nadira menyiapkan pakaian farhan. Namun dia tak berani membangunkan suaminya itu. Setelah membersihkan diri, Nadira memilih keluar kamar dan memeriksa pekerjaan para pelayan di dapur.
Setelah semuanya sudah selesai, Nadira menyiapkan sarapan untuk suaminya di meja makan.
Farhan baru saja selesai manunaikan salat subuh saat Nadira kembali masuk ke kamarnya. Nadira mengulum senyum melihat Farhan salat tepat di samping box bayi Nafa, bukan di ruang kerja seperti biasanya.
"Sarapan sudah siap, Uda."
Farhan mengangguk.
"Mamak berangkat dengan pesawat pagi. Setelah ini Aku akan ke bandara menjemput beliau. Suruhlah para pelayan memasak lebih banyak dan enak. Biar Mamak menginap di sini saja selama di Jakarta."
Sungguh Nadira tak percaya dengan apa yang Farhan katakan. Kenapa kini suaminya itu sangat peduli dengan keluarganya.
"Iya, Uda. Terima kasih."
Nadira mengikuti Farhan ke ruang makan seraya mendorong stroller Baby Nafa. Seorang Baby sitter mengambil alih Baby Nafa dan membawanya ke taman belakang. Seperti biasa, Nadira menemani dan melayani suaminya sarapan.
Tiba-tiba ponsel Farhan berdering. Suami Nadira itu melirik sekilas pada layar, sebuah nama dan foto terpampang membuatnya enggan untuk menerima panggilan yang baru saja masuk. Farhan meletakkan kembali ponselnya di atas meja.
Diam-diam Nadira memperhatikan sikap Farhan yang tidak seperti biasanya. Dia menduga itu adalah panggilan telphon dari kekasih Farhan. Nadira hapal betul dengan tampilan fotonya. Walau tak begitu jelas, namun Nadira mengenali foto itu, karena sebelumnya tak jarang Farhan menerima panggilan telphon dari kekasihnya itu, di dekat Nadira.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Farhan bangkit dari kursi, kemudian menghampiri Bu Ani yang sedang menonton televisi.
"Bu, Aku ke Bandara dulu jemput Mamak. Ibu mau ikut?" tanyanya .
"Indak usah, Nak. Ibu mau bantu-bantu masak sajalah di dapur."
"Jangan terlalu lelah, Bu. Biar pelayan yang mengerjakannya! Saya pamit, Bu!" Farhan mencium tangan Bu Ani sebelum beranjak menuju mobilnya.
Nadira melihat jelas tatapan bangga Bu Ani pada menantunya. Dia menghela napas kasar. Bagaimana jika suatu saat Ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangganya
.
Nadira melepas kepergian Farhan menuju bandara. Kemudian kembali disibukkan dengan Baby Nafa hingga sore hari. Nadira memang ingin mengurus sendiri putrinya sebelum dia aktif kembali di perusahaan, setelah bercerai nanti dengan Farhan.
.
.
.
Mamak Sutan Sati berdecak kagum melihat besarnya rumah Farhan. Pria paruh baya itu berkeliling mengitari rumah Farhan dan memuji setiap kemewahan yang berada di setiap sudutnya.
Tak henti-hentinya Mamak Sutan Sati memuji-muji menantu kebanggaannya itu. Jika di kampung, dialah yang paling dipuji oleh orang-orang karena telah berhasil menikahkan keponakannya dengan orang terkaya dan terpandang dikampungnya.
"Mamak sangat bangga padamu, Farhan. Hampir semua orang menginginkan punya menantu seperti kamu ini. Sudah sukses, taat agama, santun dan tidak sombong." Mamak Sutan Sati menepuk-nepuk punggung menantunya yang bertubuh dua kali lipat lebih besar darinya.
Farhan hanya tersenyum mendengar ucapan Mamak Sutan Sati. Saat ini mereka berdua sedang bersantai melepas penat di salah satu saung taman belakang, setelah perjalanan jauh dari bandara.
Nadira dan Bu Ani datang menghampiri mereka, membawa satu nampan berisi makanan dan minuman..
"Silakan di cicipi, Mak, Uda!" Nadira menghidangkan isi nampan itu di depan dua pria berbeda usia yang sedang serius berbicara.
"Farhan, Nadira ini adalah keponakan yang Aku besarkan sejak umur enam belas tahun.. Karena sejak Ayahnya meninggal, dia adalah tanggung jawabku. Sejak menikah denganmu, Dia menjadi tanggung jawabmu dunia dan akhirat. Tolong jaga dia! Bukan hanya fisiknya, tapi jagalah juga hatinya. Jika sampai dia terluka karena kamu, Aku tidak akan pernah memaafkanmu." Mamak Sutan Sati berkata tegas seraya menatap dalam pada Farhan.
Suami Nadira itu sontak terdiam menahan sesak. Selama ini dia memang tak pernah melukai Nadira secara fisik. Namun dia tahu betul bahwa dirinya telah menciptakan luka yang dalam di hati istrinya.
Kini sepasang suami istri itu saling menatap lekat. Ada penyesalan tersirat dari mata tegas milik Farhan. Sementara Nadira kembali merasakan gemuruh di dadanya. Mengingat semua yang telah dia alami selama menjadi istri Farhan.
Bab 8. Rencana Erika
Farhan geram karena sejak kemarin Erika tak henti-hentinya menghubungi ponselnya. Dia sengaja tak mengangkatnya karena seharian kemarin Farhan berada di rumah. Dia tidak mungkin menerima panggilan dari kekasihnya itu saat ada Mamak dan mertuanya di rumah.
Pagi-pagi sekali Farhan sudah berangkat ke kantor. Banyak pekerjaan yang tertunda. Beberapa meeting dengan relasi bisnis terpaksa diganti jadwalnya. Semua ini karena keinginan Farhan yang lebih suka berada di rumah akhir-akhir ini.
Mobil mercy keluaran terbaru milik Farhan telah terparkir sempurna di area parkir khusus untuknya sebagai CEO. Dengan langkah panjang Farhan berjalan menuju lobby hingga menaiki lift ke ruang kerjanya di lantai dua puluh lima.
"Selamat pagi, Pak! " Sekretaris Farhan langsung berdiri menyapa atasannya.
"Pagi!, Apa semua berkas sudah di letakkan di meja saya, Dian?"
"Sudah,Pak. Satu jam lagi ada rapat dengan semua kepala divisi di ruang meeting."
Dian, sang sekretaris membacakan jadwal Farhan hari ini yang begitu padat. Pria itu menghempas napas kasar. Membayangkan kesibukan yang akan dia hadapi hari ini.
Tiba-tiba langkah Farhan terhenti saat sebelum memasuki ruangannya.
"Dian, pesanan saya apa sudah jadi?"
"Sudah, Pak. Sudah saya pajang di atas meja kerja Bapak."
Farhan tersenyum, tak sabar ingin melihat sesuatu yang dia pesan pada sekretarisnya itu kemarin.
Farhan tersenyum behagia melihat pigura foto yang saat ini berada di atas meja kerjanya. Diraihnya pigura itu, kemudian dipandangnya tak berkedip. Betapa cantik dua wanita berbeda usia yng berada dalam foto itu. Kemarin sore, diam-diam farhan memotret istrinya yang sedang menggendong Nafa, kemudian dia mengirim foto itu pada Dian-sekretarisnya untuk di cetak. Ada rasa hangat yang tak dapat dilukiskan saat dia memandang foto itu.
Mata Farhan kemudian beralih pada tumpukan pekerjaan yang harus dia hadapi. Pria itu menghempas napas kasar membayangkan padatnya jadwal kerjanya hari ini.
***
Ponsel Farhan terus bergetar sejak sedang meeting tadi. Farhan mendengkus kesal melihat nama yang tertera pada layar. Seperti biasa Erika pasti akan mengajaknya makan siang. Farhan memilih untuk mengabaikan dan kembali ke ruangannya, menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk.
Tok tok tok!
"Masuk!"
"Farhan, kenapa akhir-akhir ini kamu mengabaikanku?" Mata Farhan melebar saat melihat Erika meyerobot masuk melewati Dian.
Wanita cantik yang kerap memakai dress selutut itu menatap tajam pada sang kekasih.
"Aku sangat sibuk, Erika," sahut Farhan dingin.
"Halah, alasan saja! Ada apa denganmu? Apa perempuan kampung itu telah berhasil mempengaruhimu?"
"Jaga bicaramu, Erika! Aku sudah bilang untuk memikirkan kembali hubungan kita," sanggah Farhan pelan namun penuh penekanan.
"Kenapa? Kenapa harus kamu memikirkan kembali? Bukankah kamu sudah berjanji akan menceraikan istrimu setelah anakmu lahir, dan kemudian menikahiku?" pekik Erika frustasi.
Farhan terdiam. Ada penyesalan dihatinya karena telah menjanjikan sesuatu pada Erika. Dia memang salah. Dulu betapa dia sangat mencintai Erika hingga dia membuat surat perjanjian itu dan memaksa Nadira menandatanganinya.
Namun entah apa yang membuatnya saat ini meragu. Farhan tidak yakin dengan janjinya pada Erika, juga tidak yakin dengan surat perjanjian yang dia buat delapan bulan yang lalu.
Namun ada sesuatu yang menguatkan dalam dirinya untuk tetap mempertahankan rumah tangganya saat ini.
"Jawab, Farhan!"teriak Erika tepat di hadapan Farhan.
Pria itu semakin tak respek pada kekasihnya. Selama menikah, tak pernah sekalipun Nadira meninggikan suaranya jika bicara dengannya. Padahal dirinya selalu membuat luka di hati Nadira.
"Cukup, Erika! Aku sibuk. Silakan kamu keluar!' Farhan berdiri dan menunjuk pintu.
Erika memandang Farhan tak percaya.
"Kamu mengusirku? Kamu tau, Aku sudah menunggumu selama tiga tahun. Aku relakan kamu menikah demi keinginan ibumu. Aku kesepian setiap malam, sementara kekasihku bersama wanita lain di sana. Tidak mengertikah kamu akan perasaanku, Farhan? Aku telah mengorbankan perasaanku demi kamu!"
Erika terus berbicara sambil tergugu. Sesekali suaranya meninggi sambil menunjuk-nunjuk Farhan.
"Diam, Kamu! Nadira bukan wanita lain. Tapi dia istriku!" geram Farhan.
Erika terus meracau dan menangis. Hingga akhirnya Farhan tidak tega. Bagaimanapun juga sejak awal ini semua memang salahnya. Namun siapa mengira rasa cintanya yang besar dulu pada Erika tiba-tiba saja menguap.
"Maafkan Aku ...!" lirih Farhan. Akhirnya pria itu mengalah.
Melihat pria itu sudah mulai tenang, Erika menjatuhkan dirinya di dada Farhan. Dia menggunakan kesempatan ini untuk kembali mengambil hati Farhan. Namun Farhan hanya diam tak merespon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
"Pergilah! Aku sedang tidak ingin diganggu,' ujar Farhan datar dan dingin.
Erika mendongakkan kepalanya. Ditatapnya mata pria itu lekat. Namun tetap saja Farhan tidak membalas tatapannya.
Hati Erika mencelos. Perlahan mundur dan melepaskan diri. Napasnya memburu menahan emosi.
"Baiklah. Aku pergi." Tanpa menunggu jawaban dari Farhan, Erika membalikkan badannya lalu melangkah menuju pintu. kedua punggung tangannya terus menghapus air mata yang terus mengalir.
Erika terus melangkah keluar, melewati kubikel para karyawan. Dia tak peduli jika para karyawan Farhan saling membicarakan dirinya. Saat di lift, wanita dengan riasan wajah tebal itu menghubungi Dipa-supirnya agar menjemputnya di lobby.
Selama di dalam mobil, Erika sedang merencanakan sesuatu. Wanita itu menghubungi seseorang lewat ponselnya.
"Hallo, aku butuh nomor ponsel aktif istri Farhan yang kampungan itu. Aku perlu cepat!" Suara Erika menggeram akibat emosi yang tak terbendung.
Tidak memakan waktu lama, sebuah pesan masuk mengirimkan sederet angka yang merupaan nomor ponsel Nadira.
Erika tersenyum sinis.
"Kau tak perlu susah-susah menceraikan perempuan kampung itu, Farhan. Karena sebentar lagi wanita itu sendiri yang akan meninggalkanmu dan kembali ke kampung halamannya," geram Erika dengan senyum sinisnya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil.
.
.
.
Nadira sedang berbincang dengan Bu Ani dan Mamak Sutan Sati di Saung taman belakang.
"Dira, hari minggu nanti semua keponakan dan adik-adik Mamak akan ke sini menengokmu. Masaklah yang banyak untuk menyambut mereka."
"Baik, Mak. Nanti Dira akan buatkan rendang untuk mereka."
"Jangan lupa asam padeh Ayam buatan Ibumu. Biar suamimu itu juga merasakan enaknya masakan ibumu ini. Hahaha!"
Mereka tertawa bersama.
"Jangankan masakan Ibunya, masakan istrinya saja Farhan sangat jarang mencicipi. Karena Farhan lebih sering makan siang dan makan malam diluar bersama kekasihnya," pikir Nadira dengan hati mencelos,
Tiba-tiba ponsel Nadira bergetar. Ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.
Mata Nadira melebar ketika melihat gambar pada layar ponselnya.
"Astaghfirullah ...!" Nadira membekap mulutnya agar tak berteriak.
"Ada apa, Dira? Ada apa, Nak? Siapa yang menelpon?" Bu Ani terlihat panik melihat wajah Nadira yang memucat.
Bab 9. Teror
Nadira masih shock melihat foto yang muncul pada layar ponselnya. Namun segera dia tutup ketika Bu Ani hendak mendekatinya.
"Ada apa, Dira? tanya Bu Ani penasaran.
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya orang salah kirim.
"Ooo ....Ibu kira ada apa."
"Dira ke kamar dulu mau lihat Nafa!" pamit Dira seraya berjalan tanpa menunggu jawaban dari Ibu dan Mamaknya.
Nadira menutup pintu kamarnya dan kembali membuka ponselnya. Hatinya semakin terluka melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain.
Wanita itu sangat cantik dan seksi. Raut wajah Farhan terlihat bahagia merangkul wanita itu. Tanpa di sadarinya genggaman tangannya semakin kuat saat mencengkeram ponsel itu. Tubuhnya luruh ke lantai bersandar pada pintu.
Selama ini Nadira tahu kalau suaminya memiliki kekasih jauh sebelum menikahinya. Tapi dia masih bisa bertahan untuk tetap bersama Farhan hingga detik ini. Hampir setiap sepertiga malam Nadira memanjatkan doa untuk kebahagiaan keluarga kecilnya.
Namun pertahanan yang dia jaga selama ini seakan ambruk ketika melihat foto-foto itu. Farhan tak pernah semesra itu padanya. Kenapa sesakit ini rasanya. Nadira tak sanggup menahan air mata yang terus jatuh di kedua pipinya yang mulus. Kulit wajahnya yang putih memerah karena menangis.
Selama ini dia kuat karena tak pernah melihat wanita yang menjadi kekasih suaminya. Namun kini bayangan suaminya bersama wanita lain begitu menyakitkan hatinya.
Kenapa sesakit ini rasanya ya Allah ...
Sebuah pesan masuk kembali dari nomor yang sama. Dengan tangan gemetar Nadira membuka pesan tersebut . Hatinya kembali bagai diremas ketika membaca kalimat yang dikirim oleh wanita itu.
Aku akan mengambil Farhan yang telah kau rebut dariku setahun yang lalu. Tinggalkan Dia malam ini juga! Atau aku akan melakukannya dengan caraku sendiri!
Tak henti-hentinya Nadira beristighfar setelah membaca pesan dari wanita itu.
Malam ini? Apa yang harus kuperbuat?
Nadira dilanda kebingungan dan kecemasan. Bagaimana mungkin dia pergi malam ini juga? Sementara masih ada Ibu dan Mamaknya di sini. Namun bagaimana jika perempuan itu nekad?
Tangisan Nafa membuyarkan lamunannya. Nadira bergegas menghampiri Box bayi dan meraih Nafa untuk diberi Asi.
-----
"Jadi bagaimana Farhan? Apa Dira sudah bicara padamu bahwa keluarga besar kami besok akan datang ke rumah ini, mereka ingin melihat anakmu."
Nadira tersentak mendengar pertanyaan Mamak pada Farhan saat mereka sedang makan malam bersama. Pasalnya dia memang belum mengatakan apapun pada suaminya itu. Sejak kemarin menerima pesan dari wanita yang mengaku kekasih Farhan itu, Nadira banyak melamun dan tak banyak bicara.
"Apa? Oh ya, sudah. Nadira sudah bicara. Nanti Aku akan bilang pada Nadira agar menyuruh pelayan masak yang enak-enak."
Nadira tertegun mendengar jawaban Farhan. Padahal dia sama sekali belum bicara apa-apa pada suaminya itu.
Nadira tersentak saat tersadar bahwa Farhan sedang tersenyum menatapnya.
Wanita itu salah tingkah dan langsung tertunduk. Farhan tersenyum geli melihat kegugupan istrinya.
"Ah baiklah, Farhan. Nanti Mamak akan kenalkan kamu pada semua saudara Mamak yang tinggal di jakarta ini. Mereka pasti akan bangga padamu."
"Iya, Mak. InsyaAllah besok saya tidak ke mana-mana."
Sepanjang makan malam, Farhan tak henti-hentinya menggoda istrinya. Dia terus mencuri-curi pandang dan sesekali mengedipkan satu matanya pada Nadira. Hingga membuat istrinya itu semakin gugup dan salah tingkah.
☆☆☆
Sejak pagi Bu Ani dan pelayan sibuk di dapur. Aroma masakan khas padang menguar sampai ke halaman belakang. Membuat Mamak dan Farhan yang sedang duduk santai di saung taman sesekali memuji aroma masakan itu.
"Ini pasti masakan Ibu mertuamu, Farhan. Kamu pasti tak akan berhenti makan nanti. Hahahaha! Kalau istilah minangnyo, sampai indak nampak mintuo lalu." Mamak Sutan Sati terus memuji masakan Bu Ani.
"Iya, Mak. Saya sudah lama tidak makan masakan asli kampung kita. Rindu rasanya. Jadi ingat masakan Bunda," sahut Farhan terkekeh.
"Memangnya Nadira tidak pernah memasakkan kamu masakan awak? Asal kamu tau, masakan Nadira tak kalah enaknya dari masakan ibunya."
Farhan gelagapan. Bukannya Nadira tidak pernah memasak untuknya. Tapi memang dia yang melarang Nadira untuk mengurus dirinya. Walau Nadira tetap saja memasak setiap hari, namun dia enggan untuk makan di rumah. Entah kenapa kini ada perasaan menyesal menyelusup ke relung hatinya.
"Nadira, Kemarilah!" Tiba-tiba Mamak memanggil Nadira yang kebetulan lewat di depannya.
"Ada apa Mak?" Nadira mendekat.
"Kenapa kamu tidak pernah memasak masakan kampung kita untuk Farhan?"
Nadira spontan menoleh pada Farhan. Suaminya itu membalasmya dengan tatapan rasa bersalah.
"Oh, mungkin Nadira pikir Saya tidak suka masakan kampung kita, Mak. Karena Saya sudah lama tinggal di Jakarta. Tidak apa-apa, Mak. Mulai besok saya akan minta Nadira sesekali memasak masakan padang untuk Saya," sanggah Farhan cepat sebelum Nadira menjawab.
"Apa benar itu, Dira?"
"Iy-iyyaaa, Mak." Maaf, Mak. Dira ke dapur dulu." Nadira segera beranjak meninggalkan dua lelaki berbeda usia itu sebelum lebih banyak lagi yang akan ditanyakan oleh Mamaknya.
Nadira kembali dikejutkan oleh pesan masuk lewat ponselnya dari nomor yang sudah dua hari ini menerornya
Nadira berusaha untuk mengabaikan. Walau hatinya tak tenang.
Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Sanak family yang datang tidak hanya yang tinggal di sekitar jakarta saja. Bahkan ada yang datang dari bekasi , Cikarang, Tangerang dan Bogor. Untunglah rumah Farhan sangat luas. Para tamu tak henti-hentinya berdecak kagum melihat rumah Farhan yang megah seperti istana.
Mamak tak henti-hentinya membanggakan menantunya itu. Farhan jadi tidak enak hati pada para tamunya.
Sesekali Farhan merangkul pundak Nadira dan bersikap mesra di hadapan para tamu. Membuat mereka semakin kagum pada Farhan. Pria itu menggendong Nafa dengan bangga dan penuh kasih sayang.
Betapa bahagianya Farhan hari itu. Hingga tak dihiraukannya berpuluh-puluh kali panggilan dari Erika pada ponselnya.
Sementara, Nadira gelisah tak menentu sejak tadi. Karena tiap sebentar ponselnya bergetar. Ancaman demi ancaman dari wanita itu terus menerornya. Namun Nadira berusaha tenang demi menghormati para tamunya.
"Beruntung kamu, Dira. Punya suami sukses seperti Farhan itu."
"Farhan itu baik dan sayang sekali sama kamu, Dira."
Nadira hanya membalas dengan senyuman ucapan-ucapan dari para sepupunya.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan gerbang. Terdengar suara seorang wanita berbicara lantang pada security yang berjaga di depan.
Farhan dan Mamak yang berada di ruang tamu sontak berdiri hendak melihat apa yang terjadi.
Nadira pun penasaran dan berjalan melangkah ke depan.
Namun setibanya di depan, mereka semua ternganga melihat seoang wanita cantik berpakaian seksi datang bertamu.
Mata Farhan melebar melihat seseorang yang sangat dikenalnya, saat ini berada di halaman rumahnya.
Bab 10. Kedatangan Erika
Mata Farhan melebar melihat seseorang yang sangat dikenalnya, saat ini berada di halaman rumahnya.
"Erika ...!' Farhan menggeram. kedua tangannya mengepal. Matanya menatap nanar pada wanita yang telah menjadi kekasihnya sejak tiga tahun yang lalu.
Napas Farhan memburu. Kecemasan tingkat tinggi merajai perasaannya kini. Bagaimana tidak. Erika datang saat keluarga besar Nadira sedang berkumpul di rumahnya. Mamak dan ibu mertuanya juga ada di sini. Apa yang akan dia jelaskan nanti? Dia yakin Erika akan nekad. Perempuan itu keinginannya selalu harus terpenuhi. Termasuk agar dirinya segera menceraikan Nadira.
Sementara Nadira membelalakkan matanya kala melihat wanita yang sangat persis dengan foto-foto yang di kirim orang tak dikenal ke ponselnya.
"Apakah wanita ini yang selalu menerorku akhir-akhir ini?" pikir Nadira dalam hati.
Erika masih berusaha untuk masuk ke dalam. Namun security masih belum mengizinkannya.
"Mbak Erika, di dalam sedang ada acara keluarga besar Bu Dira. Saya mohon Mbak pulang saja!'
"Kurang ajar kamu, Ya! Kamu lupa siapa saya? Sampai detik ini saya masih kekasihnya Farhan!" sahut Erika lantang. Membuat hampir semua orang di teras mnoleh ke arah Erika. Termasuk Mamak dan Bu Ani.
"Nona siapa? Kenapa bicara seperti itu?" Mamak Sutan Sati yang merasa terganggu dengan ucapan Erika lantas menghampiri wanita yang mengaku sebagai kekasih Farhan itu.
"Mak, sudahlah. Jangan ikut campur. Sebaiknya kita masuk saja!" Nadira yang masih ingin menutupi aib suaminya, mengajak Mamak Sutan Sati masuk. Namun laki-laki paruh baya itu justru melangkah menghampiri Erika.
Melihat hal itu, Farhan semakin gelisah. Wajahnya memucat. Nadira melirik suaminya yang terlihat panik. Perlahan Nadira mendekati suaminya.
"Uda ... bagaimana ini? Tolong cegah perempuan itu. Jangan sampai membuat malu keluarga besar Mamak!" bisik Nadira dengan penuh penekanan.
Farhan bingung. Benar apa yang dikatakan Nadira. Erika akan membuat malu dan hancur keluarga istrinya. Diam-diam hati Farhan menghangat, saat mengetahui Nadira masih menutupi kesalahannya di depan keluarga besarnya.
"Siapa kamu sebenarnya? Berani--beraninya mengaku-ngaku sebagai kekasih menantu saya?"Mamak Sutan Sati mengulang kembali pertanyaannya. Raut wajahnya nampak mulai emosi.
"Hello ... Bapak tua, Dengerin, ya! Saya ini sudah tiga tahun menjadi kekasih Farhan. Tapi sayangnya, perempuan yang bernama Nadira itu telah merebutnya dari saya. Tapi nggak apa-apa, toh sebentar lagi mereka akan bercerai!'
"Apaaa? Bercerai?" Suara Mamak Sutan Sati menggelegar.
"Erika! Jangan bikin kegaduhan di rumahku! Cepat kamu pergi dari sini!" Farhan berteriak mengusir Erika.
Para sanak family yang hadir satu persatu keluar ingin melihat apa yang terjadi. Diantara mereka ada yang saling berbisik membicarakan kedatangan wanita berbaju yang berbeda dengan semua yang hadir saat ini. Semua wanita di keluarga besar Nadira menutup aurat dengan memakai hijab serta pakaian yang tidak menampakkan lekuk tubuh. Sementara Nadi memakai baju ketat yang sangat pendek, dengan riasan wajah tebal dan sangat mencolok.
Di saat ketegangan terjadi, Erika tiba-tiba menyerobot masuk dan menghampiri Farhan.
"Sayang, kamu tidak akan melanggar janjimu, kan?" Erika menatap mesra dan lekat kekasihnya itu. Tangannya mulai menyentuh lengan Farhan.
Nadira yang berada tak jauh dari Farhan, hatinya terasa bagai diremas melihat sikap mesra Erika pada suaminya.
"Jaga sikapmu, Erika!" Erika tersentak dan marah ketika Farhan menepis tangannya dengan kasar.
Sementara Bu Ani yang sejak tadi menyaksikan keributan itu. Merasa sangat malu. Air matanya mulai berjatuhan mendengar bisikan-bisikan para tamu yang membicarakan anak dan menantunya.
"Beginilah ujiannya kalau punya suami tampan dan kaya. Banyak perempuan penganggu. Lebih bagus kita, walau tidak kaya, tapi suami setia."
"Laki-laki kalau punya uang banyak, pasti selingkuhannya di mana-mana, ya nggak?"
"Kasian Bu Ani dan Nadira, selama ini dibohongi sama si Farhan itu."
"Ooo ... seperti ini rupanya kelakuan menantu yang di bangga-banggakan itu."
Telinga Bu Ani semakin panas. Dadanya semakin bergemuruh. Anak dan menantunya diperbincangkan di depan matanya sendiri.
Nadira tak tega melihat Bu Ani yang terus menangis. Perlahan dia menghampiri Ibunya.
"Bu, kita ke dalam saja, yuk!" bisiknya seraya meraih lengan Bu Ani dan membawanya ke dalam.
Saat di dalam, Nadira menghubungi salah satu security lewat ponselnya.
"Pak, tolong usir perempuan itu secepatnya!"
Sebenarnya Nadira pun saat ini ingin menangis sekencang--kencangnya. Sungguh dia merasa sangat dipermalukan oleh perempuan itu. Namun sekuat tenaga Nadira menahan agar bulir bening itu tak jatuh di pipinya
Ketegangan semakin menjadi di luar. Erika mulai memperlihatkan foto-foto mesranya bersama Farhan, pada Mamak Sutan Sati.
"Erika! Pergi kamu dari sini!" usir Farhan gemetar. Namun sebisa mungkin ia menahan tangannya agar tak melukai Erika yang semakin membuatnya emosi.
Wajah Mamak Sutan Sati memerah melihat foto-foto yang ditunjukkan oleh Erika. Amlop coklat besar yang dibawa perempuan itu berisi banyak foto-foto Farhan dan Erika.
Erika juga memperlihatkan pada para tamu yang berada di luar.
Farhan semakin tampak panik. Dia memberi kode pada salah satu security agar mengusir Erika.
Dua security melangkah menghampiri Erika.
"Asal kalian tahu, Farhan itu seharusnya sudah menceraikan istrinya yang kampungan itu setelah anaknya lahir." Erika berkata lantang seolah-olah hendak memberi pengumuman pada mereka yang hadir.
"Menceraikan? Apa maksud kamu?" teriak Mamak Sutan Sati.
"Nona sebaiknya pergi dari sini!" Tiba-tiba dua orang security menarik paksa tangan Erika dan membawanya keluar.
Erika menyempatkan diri memberikan amplop coklat besar itu pada Mamak Sutan Sati sebelum melangkah keluar gerbang.
"Silakan anda lihat sendiri salinan surat perjanjian mereka di dalam amplop ini!"
Mamak Sutan Sati meraih amplop itu dengan wajah emosii
Wajah Farhan semakin memucat melihat amplop coklat itu
"Apa benar Erika punya salinan surat perjanjian itu?"pikirnya dalam hati dengan rasa cemas yang luar biasa.
Entah kenapa saat ini dirinya sangat takut kehilangan Nadira dan Nafa. Dalam hatinya Farhan tak henti-hentinya menyesali diri. Kenapa tidak sejak dulu saja dia tinggalkan Erika. Wanita yang selalu membuat dirinya susah. Wanita manja yang taunya hanya uang, perhiasan dan barang-barang mewah.
Dua security terus memaksa Erika untuk pergi.
"Farhan! Aku tunggu janjimu!"Teriak Erika lantang sebelum wanita itu menghilang di balik gerbang.
Mamak menatap murka pada Farhan. Tangannya menggenggam erat amplop coklat yang tadi diberikan oleh Erika.
Tubuh Farhan gemetar. Apa yang akan dia katakan jika benar salinan surat perjanjian itu ada di dalam amplop coklat itu. Bagaimana caranya dia menjelaskan nanti pada Mamak dan ibu mertuanya itu?
Perlahan Farhan masuk ke dalam dan melangkah ke ruang kerjanya.
"Uda, mungkin ini sudah saatnya. Mari kita katakan yang sebenarnya pada Mamak dan
Ibu. Setelah itu, ceraikan aku. InsyaAllah aku sudah siap."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
