Air Mata Maduku Bab 1 - 10

10
6
Deskripsi

Tidak selamanya istri pertama itu menderita karena dimadu.
Zahra justru berhasil membuat istri baru suaminya sering menangis dengan caranya yang elegan.

Zahra seorang wanita yang tegar, berusaha untuk tidak menangis di depan siapapun.

Dewa menyesal setelah menikahi Liana yang manja.  Karena melihat penampilan  Zahra-istri pertamanya yang dulu diremehkan,  kini  berubah cantik dan elegan setelah bekerja dan menjabat sebagai kepala cabang suatu perusahaan.

Apa yang terjadi ketika Zahra bertemu dengan pria yang jauh lebih tampan, kaya dan setia dari pada suaminya?

Bab 1. Aku Harus Kuat



"Aku menghamili Liana, Bu." 

Apa? Tidak salah dengarkah aku? 

Dengan gemetar, diam-diam aku terus mendengarkan percakapan Mas Dewa-suamiku dengan ibunya dari balik pintu kamar ini. Bukan maksud ingin menguping. Namun Aku tak tau kalau ada Mas Dewa di dalam saat aku hendak mengambil pakaian kotor ibu di dalam kamarnya. 

"Tega sekali kamu mengkhianati istrimu, Dewa!. Zahra wanita yang baik. Dia tidak hanya mengurusmu, tapi dia juga mengurus ibu yang sedang sakit ini." Jelas terdengar suara Ibu bergetar menahan sesak. 

Sama sepertiku. Sangat sesak. Bahkan  saat ini aku sangat sulit bernapas. 

Liana adalah sekretaris Mas Dewa di kantor. Wanita itu memang sangat cantik dan menarik. Kebersamaan mereka hingga sering keluar kota, membuat mereka lupa diri. Ya, sebenarnya aku telah lama menduga ada hubungan khusus diantara mereka. Namun karena kesibukanku yang terlalu banyak di rumah, membuatku tak sempat untuk memikirkan hal itu. 

"Aku bosan dengan Zahra, Bu. Lihat saja dia, semakin hari nampak tidak menarik saja. Zahra tidak pandai mempercantik dirinya untuk menyenangkanku." 

Bagai petir menggelegar di siang hari, Aku sangat terkejut mendengar alasan yang Mas Dewa utarakan pada Ibu. Selama ini aku pikir Mas Dewa tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Kenapa dia tak pernah mengatakan langsung padaku? 

"Zahra tak sempat, Dewa. Dia terlalu lelah mengurus ibu dan kamu. Seharusnya kamu mengerti!" Ibu masih terus membelaku. 

"Masa cuma dandan aja nggak sempat, Bu? Sudahlah, Bu. mulai besok aku akan membawa Liana tinggal di sini. Dia berhenti bekerja. Secepatnya Aku akan menikahi Liana." 

Tubuhku semakin lemas. Kedua kakiku gemetar seakan tak sanggup lagi menopang tubuh rampingku ini. 

Tidak! Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah.  Aku harus bisa menghadapi semua ini dengan elegan. Dengan menarik napas panjang secara perlahan, aku mencoba untuk tenang. 

"Kamu harus minta izin Zahra dulu! Ibu tak ingin kamu pisah dengan Zahra. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kita. Orang tuanya menitipkannya pada Ibu. Oleh sebab itu Ibu menjodohkan Zahra denganmu dulu. 

Mas Dewa membuang napas kasar. Mungkin dia merasa berat  untuk meminta izin padaku. 

"Tidak perlu, Bu. Aku sudah mendengar semuanya." 

"Zahra ...?" 

Mas Dewa dan Ibu terkejut melihatku tiba-tiba muncul dari balik pintu. 

'Seizinku atau tidak, kamu pasti akan tetap menikahi Liana. Ya,kan, Mas?" 

"Zahra ... maksud Mas ...." 

"Silakan, Mas. Tapi ada satu syarat. Ceraikan aku dulu!" 

"Zahra ..." Kali ini Ibu menyebut namaku dengan suara parau. 

"Tidak. Aku tidak akan menceraikanmu!" 

Aku mendengkus kesal. Sebenarnya aku tidak tega dengan Ibu. 

"Baiklah, Mas. tapi tetap aku punya satu syarat. Izinkan aku bekerja!" 

Spontan Mas Dewa terbahak-bahak. 

"Mau kerja apa kamu? Cleaning service? Pelayan toko? Atau Office girl? Jangan mimpi ketinggian kamu, Zahra! Kamu beda dengan Liana. Dia itu memang berpengalaman dan terpelajar. Sedangkan kamu ..., memangnya kamu pernah kerja apa, hah?" 

Laki-laki yang sudah dua tahun menjadi suamiku itu kembali terkekeh. Tega-teganya dia membanding-bandingkan diriku dengan selingkuhannya. Sejak awal kami dijodohkan, memang Mas Dewa tidak pernah dan tidak mau peduli dengan latar belakangku. Dia hanya tinggal beres saja saat akan akad nikah. Semua Ibu yang mengurus. Ketika itu Ibu masih sehat dan sangat bersemangat menjodohkan kami. 

"Tidak usah kamu pikirkan, Mas. Aku mau kerja apa biar menjadi urusanku!" ketusku. 

"Kalau kamu kerja, siapa yang mengurus Ibu?" tanya Mas Dewa. 

"Bukankah kamu bilang Liana berhenti bekerja? Jadi,  biar dia yang menggantikanku. Toh dia juga calon menantu ibu, bukan?" 

Sebenarnya aku tidak tega mengatakan hal ini di depan ibu. Tapi hatiku sudah terlanjur sakit. Semoga Ibu dapat memahami perasaanku. 

"Iya, Dewa. Izinkan saja Zahra bekerja. Biar Liana yang menjaga ibu nanti." 

Aku tersenyum puas mendengar ucapan Ibu. 

"Terserah kamu saja! Lagian memangnya gampang cari kerja. Siapa juga yang mau terima orang nggak berpengalaman kayak kamu!" Mas Dewa terlihat frustasi. 

Dia tau Liana pasti akan menolak untuk merawat Ibu yang sudah tidak bisa bangun dari ranjang. Ibu mengalami stroke pada separuh tubuhnya. Tapi beruntung Ibu masih bisa lancar berbicara. 

Setelah lelah bersitegang dengan Mas Dewa, diam-diam aku mengirim pesan pada seseorang. 

[ Ivan, tawaran posisi manager pemasaran untukku apa masih berlaku?] 

Ternyata pesanku  langsung di baca oleh sahabatku itu. 

[ Masih, Ra, cuma kamu yang pas untuk jabatan ini. Apa kamu berubah pikikan?] 

[ Ya, Aku terima tawaranmu. Kapan aku mulai kerja?] 

[ Alhamdulilah. Akhirnya perusahaanku bisa merekrut orang cerdas dan berpengalaman  sepertimu. Lusa kamu sudah bisa mulai kerja. ] 

Untunglah belum ada yang mengisi posisi itu. Manager pemasaran adalah posisi yang aku tinggalkan saat aku akan menikah dengan Mas Dewa. Karena aku ingin sepenuhnya berbakti pada suamiku. Seperti Ibuku berbakti pada Ayah. Hingga Ayah makin mencntai Ibu. 

Namun Mas Dewa ternyata berbeda dengan Ayah. Aku justru membosankan untuknya. 

Siap-siaplah menangis maduku. Kamu akan menerima karmamu. Karena kamu akan tinggal dirumah dengan penampilan yang membosankan. Sementara aku akan merubah diriku seperti ketika sebelum mengenal Mas Dewa. Menjadi seorang wanita karier yang selalu mengutamakan penampilan. 

Bab 2. Permainan Baru Akan Dimulai
 



"Zahra, kamar tamu sudah kamu bersihkan?" Tiba-tiba Mas Dewa menghampiriku yang sedang membuat sarapan. 

"Untuk apa, Mas?" 

"Mulai hari ini Liana akan tinggal di sini." 

"Tapi kalian belum menikah, Mas. Kalau nanti di gerebek warga gimana?" 

"Halah, jangan ngadi-ngadi kamu! Bilang aja kamu cemburu. Nanti kalau ada yang tanya, tinggal jawab aja kalau Liana itu calon istriku," sahutnya seenaknya. 

Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Terserah dia saja. Semoga aja beneran di gerebek. Sukur-sukur sekalian ada yang viralin. Ya ampun, sakit hati yang kurasakan ini memang bisa merubahku menjadi jahat. 

"Hei, kok malah bengong! Sana bersihin, kasih pewangi ruangan yang banyak!" Aku terlonjak mendengar  bentakannya. Belum juga Liana ada di rumah ini, Mas Dewa sudah bentak-bentak aku. Bagaimana jika nanti kami semua seatap. 

Aku mendengkus kesal. Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis  Aku adalah Zahra, wanita kuat. Aku bisa hadapi semua ini secara elegan. 

Berkali-kali berusaha menguatkan diri. Siapa yang tidak sakit jika suaminya menikah lagi? Siapa yang tidak hancur saat suaminya menghamili wanita lain? 

Dengan rasa sesak aku membersihkan kamar tamu yang memang sangat jarang ditempati. Mengganti kain alas kasur dan sarung bantal dengan yang bersih. Tak lupa pewangi ruangan sesuai permintaan Mas Dewa. 

Setelah semua beres,  aku kembali ke dapur menyiapkan sarapan untuk ibu. Kini saatnya memandikan dan menyuapi Ibu sarapan bubur. 

Selama setahun ini memang aku lebih banyak mengurus ibu. Namun aku tak pernah mengeluh. Karena ibu begitu baik dan menyayangiku. Aku merasa seakan merawat ibuku sendiri. 

"Dewa, ibu keberatan jika Liana tinggal di sini sebelum kalian menikah. Tidak baik di lihat orang." 

Aku kembali berhenti di depan pintu ketika hendak membawakan bubur ke kamar ibu. Sepertinya Ibu dan Mas Dewa sedang berbicara serius. 

"Secepatnya kami akan menikah, Bu." 

"Kenapa tidak tunggu setelah menikah saja?" pinta ibu lagi. 

"Sudahlah, Ibu sama saja dengan Zahra. Tidak bisa melihat aku bahagia. Aku ini capek bekerja, Bu. Kalau Liana ada di rumah ini, aku semangat jika hendak pulang ke rumah." 

Apa dia bilang? Jadi selama ini dia tidak pernah semangat jika pulang? Pantas saja Mas Dewa sering sekali pulang larut malam selama ini. Bahkan tak jarang hampir pagi. 

Lagi-lagi hatiku mencelos. Menyadari diriku yang kadang lupa untuk merias diri saat Mas Dewa pulang. 

Aku mengetuk pintu ketika mereka sudah tak membahas Liana. Sepertinya Ibu tak berhasil mengingatkan Mas Dewa. 

"Ibu, mau makan atau mandi dulu?" tanyaku seraya menyiapkan pakaian bersih untuk Ibu. 

"Mandi dulu saja, Zahra." 

"Ke kamar mandi, yuk!" 

Ibu hanya pasrah saat aku membantunya untuk duduk di kursi roda. Kemudian membawanya ke kamar mandi. Sementara Mas Dewa memperhatikan kami dari sudut kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Selama ini suamiku itu tak pernah mau tahu bagaimana merawat ibu. Karena jika hari libur seperti ini biasanya dia jarang di rumah, atau sibuk dengan ponselnya. 

Aku semakin terheran menemukan Mas Dewa masih berada di kamar ibu saat kami keluar dari kamar mandi. Sesekali suamiku itu menatapku dengan tatapan seakan tidak percaya. Aneh. Hampir setahun aku merawat ibu, baru kali ini Mas Dewa seperti ini. 

Dengan telaten aku memakaikan pakaian juga diapers untuk Ibu. Wanita yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu mengernyitkan dahinya padaku setelah melirik pada anak laki-lakinya. Seolah bertanya tentang sikap Mas Dewa yang tidak seperti biasanya. 

"Mungkin Mas Dewa nanti ingin memberitahu Liana bagaimana merawat ibu di rumah," bisikku pada ibu. 

Ibu terkikik, kemudian mengangguk paham. 

"Dewa, nanti kalau Zahra sudah kerja, biar Liana yang merawat ibu. Dia pasti bisa telaten dan sabar seperti Zahra ini." Ibu tersenyum memandangku. 

Entah kenapa wajah Mas Dewa berubah gusar. Kemudian berlalu meninggalkan kami. 

"A-aku jemput Liana dulu." 

Ibu hanya memandang sedih pada anak laki-laki satu-satunya itu. 

"Zahra ..., maafkan Ibu. Dewa ternyata tidak bisa membahagiakanmu, Nak. Ibu telah melanggar janji pada ibumu. Jika kamu ingin mencari kebahagiaan di tempat lain, ibu ikhlas, Nak. Kamu anak baik. Kamu berhak untuk bahagia." Tiba-tiba ibu tergugu di hadapanku. 

"Apa maksud Ibu? Ibu tidak perlu minta maaf. Ini bukan salah Ibu." Akupun tak sanggup menahan  air mata yang lolos begitu saja dari kedua sudut mataku. 

Kamipun berpelukan. Justru aku lebih berat jika harus berpisah dengan ibu. Wanita yang selalu membelaku di depan Mas Dewa. 

Setelah kembali tenang, dengan penuh kesabaran,  Aku kembali menyuapi Ibu bubur. 

---- 

Menjelang sore, Mas Dewa belum pulang juga. Tidak hanya ibu, sebenarnya sejak tadi aku pun gelisah menunggu kepulangannya. Sekuat tenaga menyiapkan hati untuk menerima wanita lain dirumah ini. Wanita lain yang dicintai suamiku. 

Menjelang malam terdengar deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Jantungku berdegup kencang kala mengetahui itu adalah mobil Mas Dewa. Sejujurnya aku juga seorang wanita yang punya perasaan. Kucoba menepis semua rasa sakit itu. Semua harus aku hadapi dengan tegar. 

Baiklah  Calon maduku, permainan baru akan dimulai.

 

Bab 3. Tertangkap Basah




"Ayo masuk Liana, inilah rumahku." 

Dari ruang tengah ini aku melihat Mas Dewa masuk bersama Liana. Aku memang pernah beberapa kali bertemu dengannya ketika Ibu sedang dirawat di rumah sakit dulu. Saat itu Liana beberapa kali datang menjenguk ibu dengan teman-teman kantor mas Dewa. 

Mataku tertuju pada perutnya yang masih rata. Mas Dewa tidak mengatakan berapa bulan Liana hamil. Wanita dengan rambut berwarna kuning keemasan itu memang suka memakai pakaian terbuka. Seperti saat ini. Dress tanpa lengan dengan panjang di atas lutut jelas menampakkan kulit putih mulus serta lekuk tubuh yang menonjol. Sepertinya dia memang sengaja 

Sebelum masuk, Liana memandang sekeliling rumah ini dengan tatapan ... merendahkan. Memang rumah ibu ini besar, tapi jauh dari kata mewah. Rumah bergaya lama yang sama sekali belum tersentuh oleh renovasi apapun. Namun rumah ini termasuk bersih dan rapi. Walau barang-barang di dalamnya sebagian besar masih barang-barang lama milik Ibu semasa Mas Dewa kecil. 

"Mas, nggak salah ini rumahmu?" tanya Liana seraya melipat kedua tangannya. 

Mas Dewa hanya salah tingkah seraya menggaruk-garuk kepalanya yang pastinya tidak gatal. 

"Iy-iya, Li. Ini rumah ibuku." 

Liana tampak lebih mendominasi. Bukankah di kantor Liana itu hanya sekretaris Mas Dewa? Kenapa Mas Dewa sekarang jadi takut pada sekretarisnya itu? 
Dasar laki-laki tidak pintar! 

Aku masuk ke kamar ibu. Sejak tadi ibu menanyakan calon menantu barunya itu. 

"Bu ..., sudah tidur?" bisikku, karena ibu tampak sudah memejamkan matanya  

"Zahra ..., apa Dewa sudah pulang?" 

Ternyata ibu belum tidur. 

"Sudah, Bu Mungkin sebentar lagi mereka akan masuk ke sini." 

Benar dugaanku, beberapa saat  kemudian terdengar bunyi pintu kamar ibu dibuka. 

"ini Ibuku, Liana." 

Lagi-lagi Liana menyisir tiap ruangan kamar ini dengan tatapan merendahkan. Ibu yang masih berbaring hanya bisa memandang diam dari jauh. 

"Ibu, ini Liana, calon menantu ibu." Hatiku terasa diremas ketika Mas Dewa menggandeng tangan Liana dengan mesra menghampiri ibu. 

Ibu hanya diam. 

Sementara mas Dewa memberi kode dengan gerakan matanya pada Liana, agar selingkuhannya itu mendekati ibu. 

Perlahan Liana melangkah mendekati Ibu. Wanita itu sempat melirikku sekilas. Sekuat tenaga aku bersikap tenang. Saat ini aku duduk tepat di sebelah kanan Ibu. 

" Zahra ...., sana!"  Mas Dewa memintaku menjauh dengan gerakan kepalanya.  Mungkin suamiku itu ingin Liana yang menggantikan tempat dudukku. 

Baiklah. Aku turuti dulu kemauanmu, Mas. 

Aku bangkit, lalu pindah berdiri bersandar pada dinding kamar. 

Liana perlahan mendekat, dengan ragu-ragu wanita seksi itu duduk di tempatku tadi. Namun wajahnya tampak seperti terpaksa. Entah kenapa aku melihat duduknya seperti tidak tenang 

"Bu ..., ini Liana. DI perut Liana ada cucu ibu, loh!" dengan senyum manisnya Liana mencoba menyapa Ibu dengan antusias. 

Tiba-tiba ibu memalingkan wajahnya ke arah dinding. 

"Bikin dosa kok bangga," gumam ibu, namun sangat jelas terdengar oleh kami. 

Wajah Liana berubah pias. 

"Ibu .... ini salah aku. Bukan Liana." Mas Dewa berusaha membela selingkuhannya. 

Ibu tak menyahut. Wajahnya masih mengarah ke dinding. 

"Sudahlah, Li. Mungkin ibu mengantuk. Ayo aku antar ke kamar!' 

Liana mengangguk, kemudian berdiri mendekati Mas Dewa kembali, lalu melangkah keluar dari kamar ibu. 

"Mas ..., Aku mulai besok sudah masuk kerja. Titip Ibumu!" ujarku seraya melewati mereka berdua yang sudah berdiri di depan pintu kamar ibu. 

"Zahra ...! Aku belum mengizinkan kamu bekerja. Lagian berapa sih gaji kamu? Tiga kali gajimu aku masih mampu menafkahimu!' 

"Maaf, kita sudah membicarakan hal ini kemarin," tegasku tanpa menoleh lagi padanya dan terus melangkah menuju kamarku. 

Aku tak menghiraukan lagi panggilan Mas Dewa. Biarlah kali ini aku berdosa padanya  Pada suami yang terang-terangan berkhianat sampai menghamili wanita lain. 

Hatiku pun tak cukup kuat melihat kebersamaan mereka di depan mataku. 

Sesampainya di kamar, Aku mulai menyiapkan pakaian untuk bekerja besok. Beruntung pakaian lamaku sewaktu bekerja dulu masih ada. Tak pernah sekalipun aku memakainya sejak menikah. 
Selama ini, karena hanya di rumah, Aku  hanya memakai homedress sederhana berukuran panjang di bawah lutut dengan riasan wajah seadanya. 

♡♡♡ 

Aku terjaga saat tengah malam. Mas Dewa tak ada di sebelahku. Pikiran-pikiran buruk melintas di kepalaku. Saat ini calon maduku ada di rumah ini. Apakah mereka tidur satu kamar? Sementara mereka belum sah menikah. Namun, bukankah mereka sudah biasa melakukan itu? 

" Assalamualaikum., Pak Dewa ..., buka pintunya!" 

Aku tersentak saat mendengar panggilan dari luar. Aku melirik jam dinding saat ini pukul  satu malam. 

Siapa yang datang malam-malam begini? 

Gegas aku keluar kamar hendak membuka pintu. Namun aku mendengar suara-suara aneh saat melewati kamar tamu yang letaknya paling depan. 

"Waalaikumsalam. Pak Rt?" Mataku melebar melihat Pak Rt dan dua orang keamanan berada di depan pintu. 

"Silakan masuk, bapak-bapak." 

"Pak Dewa, Ada, Mbak?" tanya Pak RT ketika sudah duduk di sofa ruang tamu. 

"Ada Pak Rt, tapi ..." 

"Ada apa sih ribut-ribut? Nggak bisa liat orang seneng!" Tiba-tiba terdengar suara Mas Dewa bersamaan dengan  pintu kamar tamu terbuka. 

Kami semua terlonjak saat melihat Mas Dewa dan Liana keluar kamar dengan penampilan berantakan.  

Astaga ternyata mereka ....

Bab 4. Menangis Bukanlah Caraku



Kami semua terlonjak saat melihat Mas Dewa dan Liana keluar kamar dengan penampilan berantakan.  

Astaga! ternyata mereka .... 

Jantungku seolah ingin lepas dari tempatnya. Mas Dewa semakin menjadi-jadi. Dianggap apa aku di sini? Sungguh keterlaluan mereka. Aku menarik napas dalam-dalam.  Berusaha agar tetesan bening ini tak jadi turun. Karena mereka memang tak pantas ditangisi. 

Rambut Liana dan Mas Dewa sangat berantakan. Keringat tampak menetes pada wajah mereka, padahal malam ini cukup dingin. Beberapa kancing daster Liana terpasang tidak sempurna. Sementara Mas Dewa memakai kaos terbalik. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan. Entah kemana akal sehat dua manusia di hadapanku ini. 

"Astaghfirullah, Pak Dewa? Ternyata apa yang dikhawatirkan warga benar-benar terjadi." 

Wajah Pak Rt tampak gusar. Wajahnya memerah. Mungkin saat ini Pak Rt juga sedang menahan amarah.
Sontak ketiga tamu pria paruh baya itu berdiri dan menghampiri Mas Dewa. 

"Oh ... eh . .a ...a ...da Pak Rt?" 

Wajah sepasang manusia itu mendadak pias. Liana menggeser tubuhnya berlindung di belakang Mas Dewa.  
Suamiku itu tampak gemetar dan cemas. Namun matanya menatap tajam padaku. Kenapa dia melihatku dengan tatapan curiga? Apa dia pikir aku yang nengundang Pak Rt ke sini? 

"Pak Dewa, tolong jelaskan pada kami sekarang?" tegas  Pak Rt, laki-laki paruh baya yang sangat dihormati di sekitar komplek perumahan ini. 

"Pak Rt, apa tidak bisa besok saja? Ini sudah malam." Mas Dewa mencoba bernegosiasi. Benar-benar tidak punya malu suamiku ini. Sudah jelas bersalah tapi masih mencoba berkilah. 

"Tidak bisa! Beberapa warga sedang menunggu di pos keamanan." 

"A-apaa? Apa maksud Pak Rt?" Mas Dewa dan Liana tampak panik. 

"Beberapa warga melihat Bapak membawa tamu wanita ke rumah. Warga tidak terima karena Pak Dewa tidak melapor dan membawa wanita itu menginap di sini. Warga mencurigai ada yang tidak wajar pada kalian berdua." Pak Rt menjelaskan panjang lebar. Tampak laki-laki itu menahan emosi yang memuncak terhadap Mas Dewa dan Liana. 

"Ini Liana, Pak. Dia calon istri kedua saya. Kami akan segera menikah, kok," jelas Mas Dewa seraya menatap lekat calon maduku itu. Hingga sepasang manusia itu tatap-tatapan mesra di depan kami. Cih, sungguh tak tau malu. 

"Pak Dewa, kalian belum menikah tapi sudah satu kamar. Nggak bener ini! Sudah, langsung aja kita arak ke pos dan nikahkan mereka malam ini juga Pak Rt!" Salah seorang keamanan lingkungan nampak sudah mulai emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa. 

"Eh ... eh ... tunggu dulu! Kami memang mau menikah, kok, tapi bukan malam ini!" Mas Dewa mulai ketakutan. 

"Zahra, ini semua pasti gara-gara kamu! Siapa lagi yang melapor kalau bukan kamu!" Mas Dewa membentakku dengan tatapan nyalang. 

"Udahlah, Mas. Mau nikah malam ini atau nanti sama aja! Toh kalian udah tidur bareng, kan?" balasku dengan menaikkan alis. 

Suamiku itu melotot padaku. 

Aku berusaha setenang mungkin. Walau sebenarnya hati dan perasaanku perih bagai diiris-iris pisau tajam. 

"Bukan Mbak Zahra yang melaporkan, Pak. Tapi banyak warga yang melihat kemesraan bapak dengan wanita ini. Sedangkan warga tau wanita itu bukan istri Bapak," Beruntung Pak Rt menjelaskan kembali. 

Wajah Mas Dewa kembali panik. 

"Sudah Pak Rt, kelamaan! Bisa-bisa warga menyusul kemari!" pungkas salah satu keamanan warga. Aku tak tau nama-nama mereka. Karena memang aku jarang sekali keluar rumah. 

"Baiklah, silakan hubungi orang tua dari saudari Liana. Kita minta untuk datang ke sini," pinta Pak Rt. 

"A-apaaa? Orang tua?" teriak Mas Dewa dan selingkuhannya itu bersamaan. Kebingungan dan kepanikan tampak dari wajah keduanya. Liana memucat seraya memandang Mas Dewa. Sepertinya mereka tidak ingin orang tua Liana mengetahui kejadian ini. 

"Ya! Kami tunggu!" tegas pak Rt lagi. 

"Segera dihubungi orang tuanya, Mbk Liana! Jangan sampai warga di pos mengamuk karena menunggu lama." Salah seorang warga yang bersama pak RT mencoba mengingatkan Liana. 

Astaga! Ibu. Gegas aku melangkah cepat menuju kamar ibu  Apa ibu mendengar semua ini? 

Perlahan aku membuka pintu kamar Ibu. Ternyata ibu benar terjaga. Keributan di ruang tamu tadi terdengar hingga ke kamar Ibu. 

Aku menghampiri Ibu dan duduk tepat di sebelahnya 

"Ada apa, Zahra?" tanya ibu dengan suara lemah. 

"A-ada Pak Rt, Bu." 

Ibu diam. Matanya memandang kosong pada langit-langit kamar 

"Dewa ... Ibu kecewa sama kamu," gumam Ibu mertuaku itu. 

Sepertinya Ibu sudah menduga apa yang sedang terjadi. 

"Ibu mau ke depan?" 

Wanita yang  tampak mulai keriput di wajahnya itu menggeleng. 

"Ibu malu, Zahra. Dewa sudah mencoreng wajah Ibu. Dewa sudah mengotori muka Ibu." Wajah ibu merah padam. Matanya mulai mengembun. Emosi dan rasa malu pasti dirasakan ibu saat ini. 

"Ibu ..., Ibu tenang ya! Jangan terlalu dipikirkan." 

Tubuh Ibu bergetar hebat. Ibu menangis. 
Aku hanya diam mendengar ungkapan-uangkapan kemarahan dari Ibu di sela-sela tangisnya. Sejujurnya aku pun sangat terpukul dengan perbuatan Mas Dewa. Namun, menangis bukanlah caraku. 
Aku ingin perempuan itu juga merasakan sakit yang aku rasakan saat ini. Berusaha menjadi lebih kuat dan tegar adalah pilihan tepat untukku sekarang. 

Aku menemani Ibu sampai beliau merasa tenang dan kembali terlelap. 

Aku terjaga menjelang subuh. Ternyata aku tertidur di sebelah ibu dengan posisi duduk di karpet dan merebahkan kepalaku di samping ibu.  

Astaga! Bukankah hari ini adalah hari pertama aku bekerja? Kembali aku melihat wajah lelah Ibu yang sedang terlelap. Sepertinya Ibu kelelahan menangis semalaman. 

Apa aku tega meninggalkan wanita yang begitu menyayangiku ini? 

Bagaimana nasib pasangan yang tertangkap basah semalam? Apakah mereka jadi menikah di depan warga?

Bab 5. Tangisan Pertama Maduku




Aku beranjak dari kamar Ibu, dan mengerjakan aktivitas rutin seperti biasanya. Keadaan rumah sepi. Mas Dewa dan selingkuhannya itu tidak ada. Di kamar tamu juga kosong. Kemanakah mereka? Setelah ke kamar Ibu semalam, aku tak lagi keluar kamar hingga tidak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya pada Mas Dewa. 

Aku beranjak melangkah ke dapur, mengambil beberapa bahan makanan untuk Ibu, segera kuracik dan memasaknya Ya, mulai hari ini aku hanya memasak untuk Ibu. Biar saja Mas Dewa dan Liana memikirkan perut mereka sendiri. Sedangkan aku nanti bisa makan di luar atau pesan online. 

Setelah  makanan khusus untuk Ibu telah siap, aku kembali ke kamar beliau. 

"Ibu mandi dulu, yuk!" 

Wanita itu mengangguk. Mata ibu agak bengkak. Wajahnya sedikit sembab. Pasti semalaman ibu menangis. 

Selama aku membantu ibu mandi hingga berpakaian, wanita itu tidak bicara apa-apa. Padahal aku sudah mengajaknya bicara hal lain. Namun Ibu tak menanggapi. Nampaknya ibu sangat terpukul dengan kejadian semalam. 

"Zahra, bukankah hari ini pertama kamu masuk kerja?" Tiba-tiba saja ibu bertanya saat aku suapi bubur. 

"Iy-iyaa, Bu." 

"Pergilah! Ibu tidak apa-apa." Mertuaku itu berkata lirih dengan tersenyum. Tampak ketulusan dari wajahnya. Ibu memang selalu baik padaku. 

Namun justru aku bimbang. Bagaimana jika sampai siang Mas dewa belum kembali. Siapa yang membantu menyuapi ibu makan siang? Siapa yang membantu Ibu ke kamar mandi? Sungguh aku tidak tega meninggalkan Ibu tanpa ada yang menjaganya. Selama ibu sakit satu kalipun aku tak pernah meninggalkannya sendirian. 

Tak lama kemudian terdengar beberapa orang berbicara di ruang tamu. Karena penasaran, perlahan aku melangkah ke sana. Dari kejauhan aku melihat dua orang tamu laki-laki dan wanita paruh baya yang tidak aku kenal selain Mas Dewa dan Liana. 

"Kalian bikin malu saja! Papi tidak pernah menyangka kamu menikah dengan cara memalukan seperti ini, Liana." 

Apa? Mereka sudah menikah? 

Seorang laki-laki tambun dengan rambut nyaris botak, terlihat sangat marah pada Mas Dewa dan Liana. Wajahnya merah padam menahan emosi yang sepertinya sudah sangat memuncak. 

Sementara seorang wanita dengan model pakaian terbuka yang tidak jauh berbeda dengan yang dipakai Liana, hanya menangis di samping laki-laki tambun itu. 

Mas Dewa dan Liana tertunduk dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka gemetar. Sesekali Mas Dewa mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Suamiku tampak sangat gugup dan ketakutan. 

Sepertinya pria dan wanita paruh baya itu adalah orang tua Liana. Orang tua mana yang tidak akan malu dengan kelakuan bejat anaknya. Begitu juga dengan Ibu. Andai saja ibu sehat, mungkin beliau akan bersikap sama seperti apa yang dilakukan kedua orang tua Liana. 

"Maafkan saya, Papi. Saya janji akan membahagiakan Liana," ucap Mas Dewa dengan suara bergetar. 

"Terserah padamu. Aku sudah tidak peduli. Kalian sudah merusak nama baik keluarga besar kita," balas pria yang dipanggil papi oleh Liana dengan wajah sangat kesal. Matanya menatap nyalang pada pasangan mesum didepannya. 

"Liana ..., mulai detik ini kamu tidak boleh menginjakkan kakimu lagi di rumah Papi! Kami semua kecewa padamu. Ayo Mami, kita pulang!"  Liana histeris mendengar ultimatum yang baru saja diucapkan oleh papinya. Air mata terus mengalir di kedua pipinya. 

"Papi ... Mami ... Li minta maaf. Ampuni Li ...!" 

LIana menjerit hendak menahan kedua orang tuanya. Namun, sepasang suami istri itu tak menghiraukan dan terus pergi. Sementara Mas Dewa berusaha menenangkan istri barunya yang terus menangis.  

"Sudahlah, Liana. Kamu yang sabar! Kamu akan bahagia tinggal bersamaku di sini. Sudah jangan menangis terus! Mau pecah rasanya kepalaku ini," sungut Mas Dewa seraya meremas-remas rambutnya. 

Drama pagi yang cukup menarik. Tontonan yang cukup menghibur untukku. Diam-diam aku menyunggingkan sebuah senyuman di bibir. Air mata pertamamu setelah menikah dengan suamiku, baru saja hadir, Liana. Mungkin saja akan banyak air mata yang akan kamu keluarkan nantinya. Kamu akan menerima semua akibat dari kelakuanmu selama ini. 

Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Nama dan foto Ivan  muncul di layar ponselku. Gegas aku ke kamar untuk menerima panggilan dari Ivan. 

"Hallo, pagi, Ivan." 

"Pagi Ra. Sebaiknya kamu datang ke kantorku besok saja. Hari ini aku masih di luar kota." 

"Tidak apa-apa, Van. Aku bisa kerjakan apa saja dikantormu hari ini." 

Ivan diam sejenak. 

"Begini, Ra. Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu. Untuk itu datanglah besok sekalian menunggu hasil meeting para pemegang saham perusahaanku." 

"Apaa? Hasil meeting para pemegang saham? Maksudnya gimana? Apa ada hubungannya denganku?" Sungguh aku dibuat bingung oleh Ivan. 

"Iya. Besok saja dibahasnya ya? sekalian aku kasih kejutan untukmu!' Ivan terkekeh. 

Ivan menutup panggilan. Aku terdiam dalam kebingungan. Kejutan apa yang dimaksud sahabatku itu? Rasanya tidak sabar menunggu besok. 

Ivan adalah sahabatku di perusahaan tempat kerjaku dulu. Kami satu team. Belakangan aku baru tahu bahwa laki-laki itu adalah anak dari Pak Lucas,  pemilik perusahaan tempat kami bekerja. Ivan merahasiakan itu dari semua karyawan. Bahkan aku yang teman akrabnya tidak tau bahwa Pak Lucas, salah satu konglomerat di kota ini adalah orang tua Ivan. Pantas saja Ivan terlihat sedikit berbeda. Dia sangat handal dalam berbisnis. Hingga kini Ivan memiliki perusahaan sendiri. 

Aku kembali keluar kamar. Mas Dewa dan Liana masih termenung di ruang tamu. 

"Zahra, mana sarapan? Aku lapar." Mas Dewa berteriak saat melihatku keluar dari kamar. 

"Mas Dewa lapar? Bilang saja sama istri barumu itu. Suruh aja dia masak, Mas!" Sahutku asal sambil terus berjalan ke dapur. 

"Zahra ... Zahra!" 

Aku tak lagi menghiraukan panggilannya dan terus berjalan ke dapur membuat sepiring nasi goreng untukku sendiri. 

"Zahra, untukku dan Liana mana?" Tiba-tiba Mas Dewa menyusulku ke dapur. 

"Maaf, Mas. Aku cuma bikin satu. Kalau Mas mau , yuk makan  sepiring berdua sama aku !" 

"Kenapa nggak sekalian kamu bikinin kita?" 

Apa? Kita? Dih, Nggak sudi. 

"Memangnya Mas nggak mau merasakan masakan istri baru? Itu bahan-bahan masakannya ada di kulkas. Suruh aja dia masak!" ujarku sambil menyiapkan minum untukku sendiri dan membawanya ke meja makan. 

Aku mulai menikmati sepiring nasi goreng buatanku. Biasanya Mas Dewa paling suka dengan nasi goreng ini. Suamiku itu memandangku yang sedang duduk di meja makan sambil sesekali menelan ludah. 

"Mas Mau?"tanyaku seraya menyuap sesendok nasi goreng ke mulutku. Sepertinya Mas Dewa hendak mendekatiku namun tiba-tiba gerakannya terhenti. 

"Maaas, Aku lapar!"  Liana datang menghampiri Mas Dewa. 

"Kamu masak aja sana! Itu bahan-bahannya ada di kulkas!" 

"A-apaaa? Masak? Aku mana bisa, Mas!"sahut Liana seraya melotot pada Mas Dewa. 

"Kamu nggak bisa masak?" Suara Mas Dewa mulai meninggi. 

Mas Dewa memandang kesal pada istri barunya itu. 

"Aku kan wanita karier,Mas. Jadi mana pernah masak?" jelas Liana membela diri. 

"Halaah, alasan saja!" ketus Mas Dewa. 

Aku pura-pura tidak mendengar perdebatan mereka yang diakhiri dengan memesan makanan via online. 

Bab 6. Teruslah Menghinaku



Aku memang lebih sering berada di kamar Ibu. Setidaknya agar Ibu tidak sulit memanggil jika membutuhkanku. Apalagi sejak ada istri baru Mas dewa di rumah ini. Rasanya sangat malas untuk keluar dari kamar ibu. 

Seperti saat ini, aku memilih untuk  merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau. 

Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.
Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu. 

Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat. 

Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang. 

"Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama. 

"Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. Maafkan Aku, Bu!" ucap Mas Dewa dengan posisi masih tertunduk dan menggenggam jemari Ibu. 

Ibu tak menyahut. Tatapannya kosong menghadap langit-langit kamar. 

"Liana akan tinggal di sini. Dia akan merawat Ibu bersama Zahra nanti," lanjut suamiku. 

Sontak Liana menoleh pada Mas Dewa dengan tatapan memprotes. Mas Dewa mengedipkan sebelah matanya pada Liana. 

"Benar itu, Liana? Kamu mau merawat Ibu?" tanya ibu tanpa menoleh sedikitpun pada menantu barunya itu. 

"Iy-iyaa, B-Bu," sahut wanita berambut kuning itu gugup. Sesekali sudut matanya melirik Mas Dewa dengan penuh tanda tanya. Sepertinya Mas Dewa tidak kompromi dulu dengan istri barunya itu sebelum menemui ibu. 

"Zahra ..." Ibu memanggilku. 

"Iya, Bu?" 

"Ajarkan Liana. Mulai besok, Dia yang merawat Ibu," tegas ibu mertuaku


"Dengan senang hati, Bu!" Aku mengangguk senang. Kemudian memberikan sebuah senyum kemenangan pada sepasang suami istri itu. 

"Loh, Kan Zahra juga ada di rumah. Kenapa hanya Liana yang merawat Ibu?" protes Mas Dewa. 

"Mas lupa dengan syarat yang aku pinta kemarin?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di depan dada. 

"Apa? Kamu mau kerja?" Mas Dewa kembali tertawa merendahkanku. 

Aku mengangguk. 

"Sana kerja kalau dapat!" tantang Mas Dewa lagi. 

"Halah, paling-paling juga jadi pembantu. Istrimu ini pantesnya jadi cleaning serviice, Mas. Cocok dengan kesehariannya. Suka bersih-bersih," bisik Liana, namun terdengar jelas olehku. 

Sepasang pengantin baru yang sudah basi itu mentertawaiku. 

"Aku mau kerja apa dan dimana, itu urusanku! Yang pasti mulai besok aku  sudah mulai kerja," balasku tegas. 

Mereka terkekeh seraya saling pandang seakan merendahkanku. 

"Jangan meremehkan Zahra!" geram ibu mendengar ocehan mereka. Sontak sepasang manusia itu terdiam. 

Kini mereka berdua menatap sinis padaku. Mas Dewa terlihat kesal karena Ibu selalu membelaku. 

Teruslah menghinaku, Liana! Aku yakin, kamu tak akan mampu melakukam semua pekerjaan yang biasa aku lakukan di rumah. Kita lihat saja nanti! 

"Ayo Liana, aku akan memberitahu apa saja yang harus kamu lakukan." Aku mulai melangkah menyusuri beberapa tempat di kamar ibu. 

Dengan malas Liana mengikutiku. 

"Semua baju-baju ibu ada di lemari ini. Tolong rapikan setiap selesai menyetrika." 

"Apaa? Setrika? Siapa yang akan setrika baju?" Mata Liana melotot. 

"Ya, kamulah. Masa ibu yang setrika bajunya sendiri?"sahutku asal sambil terus melangkah. 

"Pastikan mengganti diaper Ibu jangan terlalu lama." ujarku sambil memberitahu letak diaper dan perlengkapan ibu lainnya.  

"Hah? Apa? Diaper?" Liana terkejut, matanya melebar menatapku. 

"Ibu kena stroke, hingga kesulitan untuk bangun dan beraktifitas, jadi ibu harus selalu memakai diaper. Mandikan Ibu setiap subuh dan sore hari. Nanti sore kamu bisa lihat aku bagaimana caranya," jelasku. 

Maduku itu ternganga. Entah kenapa aku melihat ada keraguan di matanya. 

"Kamu harus banyak belajar sama Zahra, Liana. Zahra itu sangat sabar dan telaten mengurus Ibu. Tidak cuma itu, semua pekerjaan rumah dikerjakan dengan baik olehnya," papar ibu. 

"Halah, cuma kerjaan rumah aja mah gampang, Bu.! Nggak perlu dibanggain juga," sanggah Mas Dewa. Lagi-lagi tatapan sinisnya menghujam iris mataku.  

"Liana ini juga hebat, Bu. Selama jadi sekretarisku di kantor, dia juga sangat pandai dan cekatan!" lanjut suamiku lagi. 

Tampak Liana tersipu malu karena dipuji oleh Mas Dewa.  

Kembali aku menahan sesak, ketika dengan sengaja suamiku memuji wanita lain di depan mataku. Sementara aku selalu tak berarti apa-apa di matanya. 
Namun aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja. Pantang bagiku jika terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus bisa menahan diri untuk tidak menangis. Apalagi ketika perhatian Mas Dewa lebih besar pada Liana.  Alasannya, karena Liana saat ini sedang hamil. 

"Wanita hamil itu nggak boleh manja! Jangan kebanyakan tidur. Sering-sering gerak!" ketus Ibu karena sering melihat Liana yang sebentar-sebentar masuk ke kamarnya dan tidur. 

Maduku itu hanya cemberut setiap Ibu memperingatinya. 

------- 

Seharian ini aku meminta Liana memperhatikanku bagaimana merawat Ibu. Namun, perempuan itu seakan malas-malasan melakukannya. Gemas aku. Wanita berpakaian seksi itu sama sekali tidak memperhatikan aku. Entah bagaimana besok, apa dia bisa merawat ibu dengan baik? 

Hingga malam tiba, Aku kembali memberi semua arahan pada Liana. Maduku itu terlihat kesal. 

"Banyak banget, sih? Memangnya nggak pake pembantu di sini?" umpatnya. 

"Loh, kan ada kamu. Apa bedanya?" sahutku seraya mengulum senyum. 

"Kurang ajar! Dasar istri kampungan!" hardik wanita yang suka bercelana pendek itu. Matanya  seakan hendak lepas dari tempatnya karena melotot padaku. 

Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang merah padam karema emosi.. 

"Liat saja, Aku akan minta Mas Dewa agar mencarikan pembantu untuk di sini," gumamnya  seraya masuk ke kamar. 

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya tidak mungkin Mas Dewa yang perhitungan itu mau membayar pembantu untuk di sini. 

**** 

Sejak subuh tadi aku tidak melihat tanda-tanda kedua pengantin baru itu bangun. Rumah masih sangat sepi. Kamar yang ditempati Liana dan Mas Dewa masih gelap. 

Sudah kesepakatan dengan maduku itu. Setiap subuh akulah yang memandikan  dan menyuapi Ibu. Setelah semua aku kerjakan, kini saatnya bersiap-siap untuk berangkat kerja. 

Gegas aku masuk ke kamar dan membersihkan diri. Pintu kamar sengaja aku kunci, khawatir Mas Dewa nanti tiba-tiba masuk. Walau semua pakaian suamiku itu sudah aku serahkan pada Liana. Bagaimanapun juga kamar ini adalah milik kami berdua. Namun rasanya aku sudah tak sudi satu kamar apalagi satu ranjang dengannya. 

Setelah ritual mandiku selesai, aku pun gegas bersiap-siap. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Aku harus bisa tampil  seperti dulu lagi. Ketika masih bekerja di perusahaan Pak Lucas-orang tua Ivan. 

Kali ini aku mengenakan kemeja tunik serta kulot berwarna senada. Dengan riasan sedikit tebal namun tetap berkesan natural, membuatku berdecak kagum pada hasil tanganku sendiri, saat berdiri di depan cermin. Dengan rambut panjang yang sehari-harinya selalu kugelung,  kini kubiarkan tergerai, menambah sempurnanya penampilanku hari ini. 

Sepatu high heels yang sejak lama  kusimpan rapi di dalam lemari, sudah waktunya aku kenakan kembali. 

Setelah kembali bercermin memantaskan diri, aku bersiap keluar kamar untuk pamit pada Ibu. 

Tiba-tiba aku mendengar pintu kamarku diketuk. Perlahan aku membuka pintu. 

"Zahra kamu lihat baju aku yang ... Astaga ...!" 

Mas Dewa tiba-tiba ternganga menatapku tak berkedip. Saat ini suamiku itu berdiri terpaku di depanku. 


Bab 7. Selamat Menikmati Harimu



"Kamu cari apa, Mas?" 

Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba. 

Ini pertanda tidak baik untukku. 

Ada apa  dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku? 

Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku. 

"Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat  telah melewatinya beberapa langkah. 

"Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku. 

"Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku. 

Mas Dewa hanya menggeleng di sela-sela deru napasnya. 

"Tolong lepasin, Mas! Jangan seperti ini!" tegasku lagi. 

Mas Dewa tak menghiraukan perkataanku. Genggaman tangannya justru semakin erat. 

Bagai magnit, mata kami bertemu dan saling menatap cukup lama. Aku pernah merindukan tatapan itu. Aku pernah mengagumi wajah tampan itu. Mata tegas dengan manik kecoklatan milik Mas Dewa  yang pernah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hingga aku tak kuasa menolak perjodohan itu. Pesona Mas Dewa memang luar biasa. Apalagi dengan kariernya sebagai manager diperusahaan tempat dia bekerja sekarang. Tentunya banyak wanita yang menginginkannya. Namun sayang, pria tampan ini tak mampu menjaga hatinya. Dengan mudahnya berbagi cinta dan ranjang dengan wanita lain di luar sana. Kembali hatiku memanas. Bara api itu mulai kembali bersemayam di relung hati yang terluka. 

"Lepaskan Aku, Mas!" pintaku lagi. Kali ini ucapanku lebih pelan. 

"Aku masih berhak atas dirimu, Zahra," tegasnya. 

Memang benar. Aku masih sah sebagai istri Mas Dewa. Dia juga masih berhak atas diri ini. Akan tetapi apa aku masih sanggup menganggapnya sebagai suamiku? Setelah penghianatan yang dia lakukan? 

Cengkraman tangannya mulai melonggar, namun tak juga dilepaskan. Kami masih saling bertatapan. 

"Ehheemmm ..." 

Cengkraman tangan Mas Dewa terlepas begitu saja ketika mendengar suara Liana. Begitu takutnya dia jika ketahuan oleh istri keduanya itu. Bukankah aku ini juga masih istrinya? Bukankah kami masih memiliki hak dan kewajiban sebagai istri? 

Astaga! Apa yang sudah aku pikirkan? 

Buru-buru kutepis pikiran-pikiran yang seharusnya tidak boleh muncul dibenakku. 

"Kamu ngapain, Mas?" ketus Liana dengan tatapan menyelidik pada kami. Seakan memergoki pasangan yang sedang selingkuh. Tampak wajahnya merah padam karena emosi. Matanya berkilat-kilat memandang suamiku. 

Mas Dewa tampak sangat gugup. Keringat dingin mengalir di sekitar dahinya. Bodohnya suamiku ini. Kenapa juga harus takut dengan wanita seperti Liana. 

Istri baru Mas Dewa itu terlihat sangat gusar. Dadanya naik turun karena emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa dengan penuh curiga. 

Sementara aku tersenyum puas telah membuat maduku itu cemburu dan merasa kepanasan di pagi yang sejuk ini. 

"Kamu ngapain di sini, Mas?" bentak liana lagi. 

"Aku ... aku ..." Mas Dewa tergagap dan gemetar. 

"Cepat jawab, Mas!" jerit Liana lagi. 

"A-aku ... tadi aku ... cari sesuatu. Tapi apa, ya ...?" Suamiku itu menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. 

Astaga! Kenapa Mas Dewa jadi seperti ini? Kemana Mas Dewa yang dulu begitu tegas dan berrwibawa? 

Liana benar-benar telah merubahnya. Begitu cintakah Mas Dewa pada wanita ini? Sampai-sampai Suamiku bertekuk lutut padanya? 

Mata Liana beralih padaku. Emosi pada wajahnya sudah jelas terlihat. Tatapan tajamnya menelisik penampilanku. 

"Kamu mau kerja apa, sih? Kalau cuma reseptionis atau cleaning service, nggak usah lebay gitu dandannya!" hardiknya dengan nada tinggi. 

Aku tau dia sedang kesal, karena Mas Dewa masih terus curi-curi memandangku. Sementara penampilannya pagi ini sangat berantakan. Lihat saja, daster buntungnya masih yang semalam. Sepertinya maduku itu juga belum cuci muka karena masih ada jejak berwarna putih yang menempel dekat pipinya, serta rambut yang belum disisir sama sekali. 

"Aku mau dandan seperti apa, mau kerja di mana, itu urusanku. Sudah ya, aku berangkat dulu. Jangan lupa cucian sudah numpuk di belakang!" bisikku seraya tersenyum puas saat melewatinya. Aku pun melangkah hendak  menuju kamar Ibu. 

Liana melotot padaku. Namun dia tak mampu berkata-kata. Dadanya kembang kempis. Pasti saat ini dadanya yang besar itu akan meledak karena emosi yang tertahan. 

Aku terkikik dalam hati, membayangkan wajah kesal Liana dalam menghadapi banyaknya pekerjaan rumah yang menumpuk. Cucian baju Ibu dan Mas Dewa, rumah yang masih berantakan, memasak dan yang paling penting adalah  mengurus ibu. 

Selamat menikmati hari-harimu di rumah, maduku. Rasanya sudah tidak sabar melihat keadaanmu sore nanti. Apakah sektetaris cekatan dan pintar seperti yang dikatakan suamiku semalam, akan terbukti kebenarannya? 

Ibu ternyata sedang terlelap saat aku masuk. Aku tak tega  membangunkannya. Semoga saja Liana bisa mengurus beliau dengan sabar. Karena sikap ibu masih tidak ramah pada maduku itu. Aku sempatkan mengecek segala keperluan ibu di lemari. Agar Liana tidak kesulitan jika ada yang habis. Hingga saat aku keluar kamar, ibu masih terlelap. Hmm ..., tidak biasanya. Segelas teh masih hangat yang sudah tinggal setengah nampak di atas nakas. Sejak kapan ibu minum teh manis? Bukankah setiap pagi ibu selalu minum air putih? Apakah Liana yang membuatkan teh untuk Ibu? 

Aku melirik arloji di tanganku sudah hampir pukul tujuh. Segera kuraih ponselku dan  memesan taksi online. Kemudian kembali melangkah menuju pintu keluar. 

Saat hendak melewati meja makan, aku melihat Mas dewa sedang menikmati sarapan nasi goreng buatanku. Bukannya aku sengaja membuatkan untuknya. Tapi suamiku itu ternyata menghabiskan sisa sarapanku tadi pagi, karena tak ada sarapan apapun di atas meja. Miris sekali nasibmu, Mas. Entah kenapa pagi ini aku tak nafsu makan. Mungkin karena hari ini pertama kali aku kembali bekerja setelah sekitar dua tahun yang lalu. 

Mas Dewa sarapan sendirian. Padahal biasanya dia pantang jika aku tak menemaninya. Disaat  punya dua istri seperti sekarang ini,  malah nggak ada satupun yang menemani. Lagi-lagi miris banget nasibmu, Mas. Padahal aku lihat Liana kembali merebahkan tubuhnya di kasur, ketika aku melewati kamarnya yang terbuka. 

Perlahan aku melangkah mendekati mas Dewa. 

"Aku pergi dulu, Mas," pamitku seraya mengulurkan tangan padanya yang juga sudah rapi dengan pakaian kantornya.  Bagaimanapun juga laki-laki ini masih suamiku. 

"Eh ... Iy-iyaa." Spontan suamiku memberikan punggung tangannya untuk aku cium. 

Hatiku terasa diremas saat mengingat tangan kokoh itu telah menjamah tubuh wanita lain sampai menghamilinya. 

Buru-buru kulepaskan tangannya setelah menempelkan sekejap pada keningku. Tak sanggup jika harus mencium atau mengecupnya lagi. 

Mas Dewa terus menatapku dengan wajah yang sulit aku artikan. Seperti ada raut penyesalan yang tampak dari matanya.. Mungkinkah dia menyesal? Jika benar, tentu saja sudah tidak ada artinya lagi saat ini. Luka yang dia ciptakan sudah begitu dalam. Rasanya begitu sakit walau tak berdarah. Rasanya begitu nyeri walau tak berbekas. 

Tanpa berkata lagi, gegas aku keluar hendak menghampiri taksi online yang sudah aku pesan. Tak ingin berlama-lama berada di hadapannya seperti ini. 

"Zahra ..., ayo aku antar!"  Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku.

Bab. 8 Istri  Rasa Selingkuhan



"Zahra ..., ayo Aku antar!"  Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. 

"Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online," sahutku seraya mencari keberadaan taksi yang sudah aku pesan. Namun setelah kulihat sekeliling, taksi itu tak kunjung datang. Kembali kubuka aplikasi taksi online di ponselku, ternyata pesananku dicancel. Segera aku memesannya kembali, mengingat hari semakin siang. 

Mas Dewa masih berdiri di sebelahku. Laki-laki itu masih mencuri-curi pandang padaku. Aneh, kenapa seperti sedang mencuri pandangan dengan wanita lain? Bukankah aku ini istrinya? 

"Zahra ... kamu ... kamu ..." Nampaknya ada sesuatu yang hendak dia tanyakan. Namun sepertinya suamiku itu ragu. 

"Kenapa, Mas?" 

"Kamu beda ..." lirihnya nyaris tak terdengar. 

"Apa? Kenapa? Aku nggak denger, Mas."
Aku pura-pura tidak mendengar. 

"Kamu ..." 

Mas Dewa gelagapan ketika tiba-tiba Liana muncul dań dalam rumah. Laki-laki yang sebenarnya masih halal untukku itu segera masuk ke dalam mobilnya, diikuti tatapan penuh curiga dari istri keduanya. 

Rumah tangga macam apa ini. Seharusnya aku sebagai istri pertama yang marah ketika Mas Dewa mendekati wanita lain yang kini menjadi istri barunya. Namun kali ini justru istri kedua yang tak tahu diri ingin menguasai semuanya. 

Saat ini, kenapa justru aku merasa sebagai selingkuhannya Mas Dewa? 

"Sombong banget! Gaji nggak seberapa aja naik taksi. Dasar boros! Bisa habis gaji suamiku nanti!" ketus Liana seraya melotot padaku. 

Astaga! Darahku mulai mendidih. 

Menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar emosiku tidak terpancing. Bisa rusak moodku pagi ini. 

Tidak. Jangan terpancing, Zahra! 

Beruntung tak lama kemudiaan pesanan taksi onlineku datang. Gegas aku naik dan duduk di bangku penumpang di barisan tengah. 

Masih terdengar gerutuan dari maduku itu saat aku hendak menutup pintu. Aku sama sekali tak menghiraukannya lagi. 

Beruntung Mas Dewa tidak jadi mengantarku. Belum saatnya suamiku itu tahu tempat aku bekerja. Saat ini aku ingin kembali meniti karierku hingga sukses, sebelum benar-benar meninggalkan Mas Dewa kelak. 

Biarlah sementara aku tetap di rumah itu. Sepertinya saat ini Mas Dewa juga keberatan jika aku minta cerai. Aku harus bisa mencari cara agar Mas Dewa mau menceraikanku. Lagipula, aku tidak tega jika harus meninggalkan Ibu sekarang ini. 

**** 

Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana. 

"Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya  sudah telat, nih!" 

"Maaf, Mbak. Kita  lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi. 

"Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!" 

Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar. 

Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional. 

Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan  sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling  berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya. 

Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, karena hari pertama saja aku sudah tidak disiplin. Alasan apa yang harus aku katakan pada Ivan nanti. Walaupun aku  kenal baik dengan laki-laki itu yang aku dengar juga sebagai pemilik dari perusahaan ini, namun aku tetap harus profesional 

Dua pintu lift terbuka secara berbarengan. Para karyawan masuk saling ingin mendahului. Sementara aku yang belum paham situasi di sini, hanya bisa memandang mereka.

Lift kembali penuh. Terpaksa aku mengalah, menunggu lift berikutnya terbuka kembali. Aku menoleh ke belakang, ternyata sudah sepi. Hanya ada aku dan seorang pria berjas abu tua. Pria itu mengangguk ramah padaku. Sebagai orang baru, aku pun membalas anggukannya. 

Setelah cukup lama menunggu,  pintu lift kembali terbuka. Aku dan pria itu masuk bersamaan. Kemudian Pria itu menekan angka dua belas. 

"Lantai berapa?" Suara bariton pria itu mengejutkanku. 

"Kebetulan sama, dua belas juga," sahutku. 

Pria itu mengernyitkan dahinya. Mungkin dia bertanya-tanya karena kami akan menuju ke perusahaan yang sama. 

Pintu lift terbuka dan langsung berada di depan sebuah pintu kaca bertuliskan PT Fortune Pharma. 

"Silakan, Nona!" Pria itu memintaku untuk keluar dari lift lebih dulu. 

"Terima kasih," sahutku dengan sedikit menunduk. 

Aku melangkah keluar dan hendak menghampiri meja reseptionis yang berada tidak jauh dari pintu kaca. Namun saat kami baru saja keluar dari lift, semua orang yang berada di sana sontak berdiri dan mengangguk hormat pada pria yang bersamaku ini. 

"Pagi Pak Devan ..." 

"Selamat datang Pak Devan." 

Spontan aku menoleh padanya. Pria itu kembali mengangguk dan tersenyum pada mereka. 

"Selamat pagi!" Kembali suara bariton itu menggema di telingaku. 

Siapa pria ini sebenarnya? Aku terus memandang punggung tegapnya hingga menghilang melewati pintu kaca kantor ini. 
 

Bab 9 Apakah Itu Anakku?

POV DEWA 

"Mas, Aku hamil." 

Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. 

"A-apa? Hamil?". 

Wanita seksi itu mengangguk cepat. 

Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini.  Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. 

Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. 

Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. 

Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing hasratku. Wanita yang sudah dua tahun aku nikahi itu semakin membosankan. Setiap pulang dari kantor, Zahra hanya memakai daster lusuh dan tanpa riasan wajah sedikitpun. Dia selalu terlihat repot, padahal kami belum punya anak. 

Zahra di rumah hanya menemani Ibu yang sudah lebih dari setahun terkena  stroke. Sebenarnya apanya yang repot? Mungkin dia hanya ingin di hargai karena telah merawat ibuku. Padahal sudah jelas itu adalah kewajibannya sebagai menantu. Lagipula apalagi yang dia bisa kerjakan selain bantu-bantu di rumah. 

"Maaaas! Kok malah bengong, sih? Kamu harus tanggung jawab!" 

Apa dia bilang? Tanggung jawab? Apa benar yang diperutnya itu adalah anakku? Sementara Liana sudah tidak suci lagi saat aku gauli. Wanita itupun nampak sangat biasa dan mahir jika diranjang. Bahkan dia sangat liar dan selalu sengaja menggodaku. Sebagai laki-laki aku sangat menyukai itu. Namun sayangnya aku tidak mendapatkannya dari istriku. 

Sebenarnya Zahra jauh lebih cantik dari Liana. Namun hidupku terasa datar dan membosankan bersamanya. Sangat berbeda dengan Liana yang selalu memberikan gairah serta semangat baru untukku. 

"Maaaas! Kamu harus segera melamar pada orang tuaku!" 

Liana yang manja menghentak-hentakkan kakinya di depanku. 

"Iya, nanti aku pikirkan!"  jawabku asal, sambil mencari  cara untuk mengetahui bahwa itu benar anakku atau bukan. 

Namun Liana terus mendesakku. 

"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" 

"Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." 

Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. 

"Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." 

"Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" 

Sial! Apes aku! 

"Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. 

"Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" 

Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat  dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. 

"Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" 

"Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. 

Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja belum. Dia tidak akan mengerti kesulitanku saat ini. 

"Maaf, Pak. Ini sangat penting dan tidak bisa ditunda." 

"Ya sudah. Segera kembali jika urusannya sudah selesai!" tegas pria bertubuh jauh lebih tinggi dan besar dariku. 

"Baik. Terimakasih, Pak." 

Gegas aku turun menuju area parkir khusus manager yang terletak tidak jauh dari lobby utama. Liana sudah berada di dalamnya. Wanita itu  tampak sedang berbicara dengan seseorang dengan wajah sumringah. Cepat sekali perubahan emosi pada dirinya. Apa karena dia sedang hamil? 

Lagi-lagi aku menyayangkan kenapa bukan Zahra saja yang hamil. Walau istriku itu membosankan, namun aku sangat mencintainya. 

"Ayo, cepat, Mas! Papi dan Mami kebetulan sedang ada di rumah," pinta Liana. 

**** 

Setelah tiga puluh menit perjalanan,  Kami tiba di depan sebuah rumah besar. Menurut Liana, itu adalah rumah Almarhum kakeknya. Namun  sekarang ditempati saudara-saudara Papi dan keluarganya. Pantas saja rumah itu terlihat ramai. 

"Tunggu, Li. Sebaiknya kita tunda dulu ketemu dengan orang tuamu." 

"Loh, kenapa ditunda, Mas?" tanyanya mulai kesal. 

"Apa kamu tidak malu jika saudaramu tau kondisimu sekarang ini?" 

Liana menghempas napas kasar. Wanita bertubuh sintal itu berpikir sesaat. 

"Baiklah, kamu benar." Akhirnya  Liana menyerah. 

"Kita ke hotel aja, yuk?" ajaknya antusias. 

Aku menggeleng. Entah kenapa hari ini aku kurang berminat dengannya. 

"Pak Devan memintaku segera kembali ke kantor," tegasku. 

Liana tak menyahut. Aku tau wanita itu pasti kecewa karena aku menolaknya. 

Setelah memutar balik arah mobilku, segera kulajukan mobil kembali ke kantor.

 

Bab 10. CEO Tampan

"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. 

"Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. 

"Saya Zahra Fatma." 

"Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" 

Aku mengikuti langkah kaki wanita itu
hingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. 

Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. 

"Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. 

Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang
wbarang mewah dan canggih. 

Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku.  

"Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona."  

Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. 

Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepemimpinan semakin terpancar dari sikapnya.  

"Ranti, kamu boleh kembali ke depan."  

"Baik, Pak." 

Reseptionis yang ternyata bernama Ranti itu keluar meninggalkanku. 

"Silakan duduk, Zahra!"  

Ivan mempersilakan aku duduk di sebelah laki-laki dihadapannya. 

Tunggu, sepertinya aku mengenal punggung tegap berbalut jas abu tua itu.  

"Devan, kenalkan ini Zahra, yang tadi aku ceritakan!" 

Aku tersentak saat kami sama-sama menoleh dan bertemu mata. 

"Kamu ...."  

"Kamu ...." 

Ucap kami bersamaan. 

"Kalian sudah kenal?" Ivan memandang kami berdua secara bergantian. 

Aku menggeleng. 

Sementara pria itu mengangguk.. 

Kemudian spontan kami tertawa bersama. 

"Sebenarnya kami tadi satu lift saat menuju kemari," jelas pria itu dengan tatapan matanya masih tertuju padaku.  

"Nona Zahra, kenalkan saya Devan." Aku menyambut uluran tangannya  

Saat ini aku melihat wajah Devan dalam jarak yang sangat dekat. Aku terpana dengan ketampanannya. Mata tegas yang berada di bawah alis yang berbaris tebal, serta hidung mancung menjulang tegak di atas bibir tipis yang di kelilingi jambang halus di sekitar pipi dan dagu, terbingkai indah pada wajah serta rahang yang begitu kokoh.  

Segera membuang pandangan ketika aku tersadar telah memuji lelaki yang bukan suamiku. Entah kenapa aku merasa bersalah walaupun pujian itu berada jauh di dalam hati. 

"Ehmm ... Silakan duduk!" Suara Ivan membuyarkan lamunanku. 

"Devan ini adalah kakakku. Dia mengelola salah satu perusahaan milik Fortune Group. Nama perusahaannya Giant House.  

Giant House ? Kenapa nama perusahaan itu seperti tidak asing olehku? 

"Zahra, perusahaan kami akan membuka kantor cabang dipinggir kota. Rencananya kami mempercayakan kantor cabang itu padamu." 

"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. 

Ivan mengangguk. 

"Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. 

"Tentu. Sangat yakin." 

"Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." 

"Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. 

"Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri.  

"Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. 

"Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. 

Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. 

"Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. 

Sungguh ini menjadi satu tantangan bagiku. Pujian demi pujian itu seakan menjadi sesuatu yang harus aku pertanggung jawabkan kebenarannya.  

Memimpin sebuah kantor cabang adalah sebagian dari mimpiku dulu, sebelum menikah dengan Mas Dewa. Namun mimpi-mimpi itu makin lama terkubur oleh cintaku pada Mas Dewa yang terus terpupuk. Namun cinta itu semakin terkikis oleh pengkhianatan yang sangat menyakitkan. 

Kini aku bertekad akan kembali menggali mimpi itu, bahkan hingga menjadi sebuah kenyataan. 

Saat tiba waktu makan siang, Devan mengajak kami makan di luar. Sebuah restauran ternama di kota ini, dengan berbagai menu nusantara.  

Kami memesan menu masakan khas sunda. Dengan sambal dadakan dan aneka lalapan. Devan juga memesan beberapa macam menu bakar dan pepesan.  

Tiba-tiba aku teringat dengan Ibu. Apakah ibu sudah makan? Sial! Aku tidak menyimpan nomor ponsel perempuan itu. 
Apa aku tanyakan saja pada Mas Dewa? 

Gegas aku meraih ponselku dari dalam tas kemudian mencari nama Mas Dewa. Namun setelah sesaat aku urungkan. Tiba-tiba saja aku sangat malas menghubungi suamiku itu.  

Kembali aku mencari kontak seseorang. Yaitu Bude Tari. Sebaiknya aku meminta tetanggaku itu mampir ke rumah menengok Ibu. Bude Tari adalah sahabat ibu. Pasti beliau mau menolongku.  

Segera kukirim pesan pada tetanggaku itu. Sambil menikmati hidangan di meja bundar ini, sesekali melirik ponsel untuk melihat balasan pesan dari Bu de Tari. 

[Ibumu belum makan. Masih tidur. Sementara istri baru Dewa itu sedang rebahan ketika aku masuk. Padahal rumahmu sangat berantakan ] 

Apaa? Ibu tidur lagi?  

Kenapa aku merasa Aneh dengan Ibu? Kenapa ibu lebih banyak tidur hari ini? 
Rasanya aku ingin segera pulang dan melihat kondisi ibu. Apakah ibu sakit? 

 

bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Air Mata Maduku Bab 11-12
24
12
Tidak selamanya istri pertama itu menderita karena dimadu. Zahra justru berhasil membuat istri baru suaminya sering menangis dengan caranya yang elegan.Zahra seorang wanita yang tegar, berusaha untuk tidak menangis di depan siapapun.Dewa menyesal setelah menikahi Liana yang manja.  Karena melihat penampilan  Zahra-istri pertamanya yang dulu diremehkan,  kini  berubah cantik dan elegan setelah bekerja dan menjabat sebagai kepala cabang suatu perusahaan.Apa yang terjadi ketika Zahra bertemu dengan pria yang jauh lebih tampan, kaya dan setia dari pada suaminya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan