Sita Hatiku (1-3)

10
3
Deskripsi

Guyys, aku bawa cerita lama ini sekalian revisi. Kalian bisa baca ulang sambil sabar menunggu update terbaru dari kisah Alisha yaa… 😘😘😘

1 - Pertemuan Kami

Namanya Sita. 

Aku pertama kali melihatnya tepat satu hari setelah resepsi pernikahan sepupu kesayanganku, enam tahun lalu. Bagiku, cinta pada pandangan pertama itu hanya dusta. Tapi sekarang, dengan bodohnya aku mennggakui hal itu benar adanya. Ya, karena aku mengalaminya sendiri. Masih teringat jelas enam tahun lalu ketika melihat Sita berjalan masuk ke butikku di daerah Soekarno Hatta. Rambut hitam yang dikuncir kuda, binar mata yang ceria namun tajam yang mampu membiusku saat itu juga. Aku masih mengingat sedetail itu semua tentang Sita.

              Saat itu Sita datang untuk mencari sahabatku, Shila, yang ternyata adalah adik kandungnya. Aku baru tahu jika Shila punya kakak secantik Sita. Nama mereka pun serupa, beda dikit lah. Sita dengan nama panjang Anarasita Mahesa Putri. Pada awal pertemuan aku sempat ragu jika mereka adalah saudara kandung. Sita itu meski lebih dewasa lima tahun di atas Shila, wajahnya imut banget, nggak bosenin meski dilihat berjam-jam. Sedangkan Shila, ekspresinya lebih menunjukkan jika ia tipe orang yang cenderung kaku. Makanya aku sempat tak percaya jika usia mereka terpaut lima tahun, karena mereka terlihat seumuran.

              "Shila masih di dalam?" tanya Sita saat itu di pertemuan pertama kami.

Aku mengangguk. "Kamu siapanya Shila?" Tatapanku tak beralih dari sepasang manik kecoklatan yang sedari tadi menyita perhatian.

"Bilangin Shila, ditunggu kakaknya."

"Kakak?" aku menautkan kedua alis karena ragu. 

"Iya, buruan panggil. Urgent!!" aku hanya tersenyum miring karena belum sepenuhnya percaya.

Ketika aku naik memanggil Shila dan memberitahunya, barulah aku percaya. Shila langsung turun dengan langkah tergesa. Begitu sampai di depan butik aku melihat mereka berdua berpelukan erat seperti lama tak bersua. 

"Cal, aku cabut ya, sorry nggak bisa bantuin sampe sore," pamit Shila.

"It's okay, Shil," ucapku. "Eh, Shil, itu beneran kakakmu? nggak pernah lihat soalnya."

"Mbak Sita emang nggak di Malang, makanya jarang ketemu," jawab Shila masih sibuk memasukkan laptop ke dalam tas.

"Tinggal bareng mama kalian?"

"Yaa gitu deh." 

Entah kenapa ekspresi Shila terlihat tak suka dengan segala pertanyaanku tentang kakaknya. Shila dulu sempat bercerita jika orang tua mereka berpisah saat Shila masih kecil. Shila dan Syauki, adik laki-lakinya tinggal dengan papa mereka, sedangkan sang mama tinggal di Jogjakarta.

"Hmm ... aku berangkat ke Jogjakarta, Cal. Mama sakit," ucap Shila lagi. Aku hanya mengangguk saat melihatnya terburu-buru memakai jaket.

Aku mengantar Shila hingga parkiran depan butik. Sita hanya mengangguk sopan saat aku malah bersemangat mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ckk, malu-maluin nggak sih. Dia malah berpesan padaku sebelum membonceng adiknya dengan motor matic yang Shila pakai tadi.

“Kalo bisa jangan sering-sering ajak Shila nongkrong di butik kamu yah, biar dia fokus sama kuliahnya. Nanggung kurang sebentar lagi," ucapnya disertai lirikan tajam.

"Hah? Hei... aku nggak pernah ngaj—"

"Bye, Assalamu'alaikum.." 

Selang tiga hari sejak kepergian Shila dan Sita ke Jogjakarta. Shila mengabariku bahwa ibunya meninggal. Sebagai sahabat tentu saja aku langsung berangkat ke Jogjakarta. Pulang kuliah aku langsung menuju bandara, setelah memesan tiket penerbangan ke Jogjakarta melalui aplikasi online. Menjelang maghrib aku sampai di Jogjakarta. Ternyata sudah ada Lisa dan Bram juga di sana. Mereka berdua termasuk teman dekat kami di kampus.

"Hai," kataku membuat Lisa dan Bram menoleh bersamaan, tapi tidak dengan Shila yang masih tergugu diapit mereka berdua.

"Shil..." 

Akhirnya mata kami bertemu. Masih bisa kulihat gurat kesediaan di dalam sana. Aku mendekat untuk duduk bersebelahan dengannya, memaksa Bram bergeser demi memberiku ruang di samping Shila. Sengaja kuhentakkan tubuh Shila dalam dekapanku. Erat, sangat erat. Membuatnya semakin menangis terisak.

Aku pernah mengalami fase terberat seperti ini. Kehilangan sosok ibu saat usiaku masih labil, sekitar empat belas tahun. Ibuku meninggal karena kanker payudarà. Aku benar-benar terpuruk saat itu, marah sekaligus sedih dalam waktu yang bersamaan. Jangan ditanya bagaimana hancurnya hatiku saat itu. Mungkin karena pernah mengalami perasaan yang sama, sedikit banyak aku bisa memahami kondisi Shila. Gadis itu pasti sedang berada di titik kesedihan yang paling dalam.

"Harusnya.. harusnya aku.." katanya terbata-bata.

"Sstt ... jangan bicara dulu," potongku cepat, tanganku dan tangan Lisa masih setia mengusap punggungnya yang berguncang karena tangis.

"Makasih udah dateng, Cal. Buruan makan dulu gih, pasti belum sempat makan. Ambil ke dapur sendiri ya," ucap Shila setelah tangisnya reda. Gadis itu mengendikkan dagu ke arah pintu di belakangku.

"Okay, kamu?"

"Aku udah makan." 

Mendengar jawabannya membuatku beranjak ke arah dapur. Rumah keluarga Shila di Jogjakarta ini masih kental dengan nuansa etnik Jawa, desain joglo dan banyak kayu-kayuan yang ditata sangat apik di sana sini. Belum sampai meja makan, aku sempat berbincang sebentar dengan Papa Rio, papanya Shila untuk mengucap bela sungkawa. 

"Makasih udah datang ya, silakan makan dulu, Om ke depan sebentar menemui tamu," pamit beliau lalu berjalan ke arah teras.

Setelah menikmati santap malam sendirian, aku berjalan ke halaman samping rumah, sekedar menghirup udara Jogja yang sedang dingin karena musim hujan. Hingga telinnggaku menangkap suara tangis lirih seorang gadis yang duduk seorang diri di bangku taman. Sita. Aku mengenalinya karena bajunya masih sama seperti tadi sore saat aku baru tiba. Dress hitam bermotif bintang sepanjang lutut, dilengkapi dengan pashmina hitam polos yang melingkar di lehernya.

"Hei, kenapa nangis sendirian?" tanyaku yang ternyata mengagetkan gadis itu.

Dia menoleh sekilas, bisa kulihat jelas matanya merah dan sembab karena jejak air mata. Tangan kurusnya sibuk menghalau tangis yang membanjiri pipi putihnya.

"Kalau mau nangis nggak apa-apa, luapin aja biar lega," kataku pelan. Tanpa permisi aku langsung duduk di sebelahnya, sangat dekat. Sengaja memang.

"Need hug?" lirihku dengan merentangkan kedua tangan. Namun dia menggeleng pelan.

"Kita nggak kenal, kan?" jawab Sita di sela-sela tangis.

"Harus kenalan dulu ya biar bisa bantu kurangin kesedihan kamu?" 

"Eh.. tapi kamu udah tahu namaku kan? Masa lupa sih?" aku pasang mode cerewet untuk menarik perhatiannya.

"Kamu .. kamu? aku Mbaknya Shila. Usia kamu mungkin sama kayak Shila kan? yang sopan panggilnya," jawab Sita anggak panjang membuatku sedikit lega.

"Iya deh, Mbak Sita," cibirku semakin bergeser mendekat padanya.

"Ckk.. ngapain sih geser-geser. Sana jauhan." Sita menggerakkan tangannya seolah mengusirku.

"Kan tadi aku tawarin, Mbak. Need hug?" ulangku lagi sambil merentangkan kedua tangan.

"Eng... Eng- enggak," sahutnya putus-putus.

Aku tahu Sita saat itu hanya gengsi. Padahal terlihat sekali ia sedang butuh pelukan untuk menenangkan hatinya, mengurangi kesedihannya.

"Yakin?" godaku sambil mendekatkan wajah di depannya.

"Ya.. ya.. ya- yakin kok," jawab Sita, namun sedetik kemudian tangisnya pecah lagi, hingga kedua telapak tangan menutup wajahnya.

Entah keberanian dari mana, tanpa bertanya aku menarik tubuhnya dalam pelukanku. Sita sempat berontak, namun tak kuasa melawan kekuatanku. Meski banyak yang bilang aku pria kalem dan lemah lembut. Gini-gini aku tetaplah seorang pria. 

Tadi aku memeluk Shila untuk menenangkannya. Dan sekarang, aku memeluk kakaknya, Sita, dengan tujuan yang sama, meski harus memaksa. Tapi kenapa jadi beda gini? Saat dengan Shila jantungku berdegup biasa-biasa saja, sama seperti ketika aku memeluk Nana, sepupuku.

Tapi ini … saat mendekap Sita. Kenapa jantungku mendadak ribut tak tahu malu? Aku sampai khawatir jika Sita bisa mendengar detak jantungku yang menggila saat dekat dengannya. Malu kan, duuh...

🤍🤍🤍
 

2 - Bridesmaid to Be

 

Beberapa bulan sudah aku mengenal Sita. Dia sudah pindah ke Malang sejak dua bulan kepergian sang ibu, papa Rio mengajak putri sulungnya itu untuk pindah bersamanya. Shila tampak begitu bahagia ketika menceritakan kakak yang selalu ia banggakan akan tinggal di rumah besar mereka. Sita ini sarjana arsitektur, lagi-lagi aku mencuri informasi dari kecerewetan Shila. Aku tak paham tentang dunia arsitektur, tapi menurut cerita sang adik, Sita ini jurusan desain interior. Hebatnya lagi, selain jago gambar, Sita ini ternyata juga atlet karate. 

Nggak nyangka kan? Gadis manis dengan wajah imut seperti Sita ternyata bisa garang di arena. Duh yaa... makin norak jantungku setiap ingat tentang gadis itu. By the way semalam akhirnya aku bisa mendapatkan nomor ponsel Sita. Lagi-lagi Shila yang aku perdaya agar mau membocorkan nomor pribadi sang kakak. Meski harus cemberut, Shila akhirnya mau berbagi info.

Entah apa karena aku anak yang sholeh, rajin ibadah, rajin menabung serta tidak sombong. Tuhan begitu sayang padaku ya. Belum sempat aku menghubungi Sita, malah Sita sendiri yang pagi ini tiba-tiba menghubungiku.

"Assalamu'alaikum, Ical,"

"Wa- wa'alaikumsalam. Iya ini Ical," jawabku mendadak gagu.

"Hmmm... ini Sita, kakaknya Shila," sahutya lagi. 

"Iya tahu," jawabku singkat.

"Ehhh, udah tahu nomorku?" tanya Sita terdengar curiga.

"Ya? Hah? Anu ... iya, maksudku iya kedengaran jelas dari suaranya kalo kamu Sita, eh.. Mbak Sita." Kan ... jawabanku mendadak memalukan karena lidah yang berbelit-belit ini

"Kata Shila, hmm ... di butik kamu bisa buat pesan baju dadakan ya? aku ada perlu mendesak banget, buat besok lusa. Jadi bridesmaids gitu... hmm.. kainnya tinggal dijahit aja. Gimana? Bisa?" 

Demi apapun, aku mematung begitu mendengar suara merdunya berbicara panjang lebar. Kalian pernah mendengar suara Raisa, mungkin lebay, tapi yang telinnggaku dengar memang begitu. Sukar membedakan mana suara Raisa atau  Sita. Ini aku yang mendadak sakit jiwa karena cinta atau apa ya?

"Cal.. Ical. Masih di situ?"

"Eh, iya, gimana gimana Sita, eh Mbak?"

"Aku mau bikin dress buat bridesmaids," ulangnya lagi membuyarkan lamunanku.

"Eh.. iya, Mbak, eh Sita. Iya siap, kapanpun siap."

"Panggil Sita aja nggak apa-apa," ucapnya membuatku tak sadar makin melebarkan senyum.

Panggil sayang boleh? batinku meronta.

"Oke siap siap ... jadi kapan bisa ketemu?" sambungnya lagi.

"Hari ini juga bisa."

"Oke, kebetulan siang ini aku mau keluar cari accessories. Nanti aku mampir butik kamu. Butik kamu yang di Sulfat itu kan? yang dulu aku jemput Shila?"

"Eh... yang di Sulfat itu yang deket rumah, lagi direnovasi. Janjian di butik yang di MOG aja gimana? di sana juga banyak stand accessories juga. Nanti aku bisa jadi fashion stylist kamu deh," jawabku sambil berbuncah bahagia.

"Oke, habis dhuhur ya."

"Sita aku jemput ya? Di rumah kan?"

"Hmm.. boleh, tapi nanti aku ada janji sama temen dulu sih."

"Nggak masalah, nanti berkabar aja kalo udah di rumah lagi."

Tapi hal menyebalkan terjadi siang itu. Membuatku harus berkali-kali meminta maaf karena batal menjemput Sita. Dia santai siih, tapi akunya yang nggak nyantai. Gagal dong berduaan sama dia di mobil. Ckk ... dan semua ini karena si gulali Nana Aruna, sepupu kesayanganku.

Aku belum pernah cerita ya tentang Nana ini? Dia itu sepupuku, anak budhe Dewi yang tak lain adalah kakak kandung almarhumah bundaku. Usia kami hanya terpaut dua minggu, dia lebih dahulu lahir. Selain sepupu paling dekat, kami juga saudara sepersusuan. Karena masalah kesehatan, bunda nggak bisa memberiku ASI. Jadilah budhe Dewi yang sedang memberi ASI eksklusif pada Nana, juga ikut memberiku.

Kami tumbuh besar bersama, mulai TK hingga SMA kami selalu di tempat yang sama. Hanya ketika kuliah kami berpisah. Lulus SMA dia pergi bekerja ke Padang, karena tak tahan dikekang Pakde, ayahnya. Sedangkan aku melanjutkan kuliah desainer.

Pulang dari Padang si gulali Nana ini drama lagi karena pakde enggan merestui hubungannya dengan Mas Gege. Malah terang-terangan dijodohkan dengan pria lain, ya meski akhirnya perjodohan itu batal juga sih. Dan namanya juga jodoh ya, nggak bisa ditebak. Setelah tiga tahun pisah, eeh... si Nana ini malah ketemu lagi sama Mas Gege secara nggak sengaja lalu nggak pake lama mereka langsung ijab kabul beberapa bulan lalu. Duuuh.. jangan-jangan jodohku juga kayak gitu ya, penuh teka-teki. Mau dong ya Allah, sama Sita aja ya kalau boleh.

Kembali ke tingkah Nana yang membuatku batal menjemput tambatan hatiku, Sita. Siang ini mendadak dia mendatangi butik dengan alasan super nggak jelas. Ingin aku menemaninya belanja keliling mall dan memenuhi permintaannya jajan ini itu di semua food court.

"Berisik, buruan makannya. Sita udah on the way," ocehku pada Nana saat ia lambat sekali menghabiskan sepotong pizza terakhirnya.

"Ya udah suruh sini, sekalian kenalan sama aku," jawabnya dengan mulut penuh makanan.

"Diih ... kalo dia ketularan cablak kayak kamu repot, Na. Sita tuh anggun banget, kalem." Belaku terang-terangan.

Nggak cukup dengan membuatku kepayahan keliling mall segede ini. Nana beraksi lagi ketika kami baru saja meninggalkan restoran. Nana pingsan. Iya, di depan restoran dia tergeletak begitu saja tanpa daya. Aku panik, memanggil semua orang di sekitar resto. Beberapa security yang mengenalku dengan sigap menaikkan tubuh Nana ke atas punggungku. Lari tunggang langgang lah aku ke tempatku memarkir mobil. Salah satu security juga ikut berlarian di belakangku membawakan barang belanjaan si nona gulali.

"Sita!!!" teriakku saat melihat Sita di dekat pintu keluar. Untung aku melihatnya, jika tidak mungkin dia akan sangat kecewa karena tak bisa menemui ku di butik.

"Masuk mobil cepet..!" perintahku saat ia mendekat dengan raut wajah kebingungan.

"Sorry jadi kacau, sepupuku rese' nih tiba-tiba pingsan," ucapku saat meliriknya mengerutkan kening ketika melihat tubuh ringkih Nana di kursi belakang.

"Ya sudah cepet ke rumah sakit," jawab Sita ikut panik setelah meletakkan paper bag.

Tak sampai 15 menit kami sampai di rumah sakit. Aku menggendong lagi tubuh Nana hingga UGD, dengan Sita mengekor di belakangku. Kelelahan, itu kata dokter yang memeriksanya. Lebay? Nggak kok, ternyata Nana sedang mengandung. Mungkin karena itu juga yang membuatnya ringkih. Kehamilan di awal-awal memang rentan kan ya? Entahlah, aku kan belum pernah menghamili anak orang. Nanti akan kutanyakan Sita saat ia bersedia hamil anakku. Tuh kan, otakku.

"Maaf ya, jadi hectic gini." Sesalku saat membawa Sita kembali menuju butik. Setelah memastikan budhe Dewi dan Mas Ge datang menemani Nana.

"Nggak apa-apa, yang penting nggak terjadi sesuatu yang buruk. Siapa namanya tadi?"

"Aruna, kami panggilnya Nana. Heran deh sama dia, bunting gitu masih keluyuran aja."

"Dokter kan tadi bilang, kemungkinan dia nggak tahu kalo lagi hamil." 

Duuh ya, baiknya Sita, baru kenal aja sudah membela Nana seperti itu. Nggak salah pilih kan aku.

"Aku ukur badan kamu dulu ya?" kataku merentangkan meteran setelah Sita menghabiskan jus alpukat yang ku pesankan.

"Kamu yang ukur sendiri?" katanya sedikit terkejut.

"Eeh..? sorry sorry bukan aku. Ada pegawaiku yang cewek," kataku gelagapan, tapi mendadak tenang lagi setelah melihat senyumnya merekah sempurna.

"Yarniii!!" teriakku memanggil salah satu staff yang biasa mengukur klien perempuan.

Aku meneruskan menggambar desain dress yang diinginkan Sita setelah Yarni masuk dan mengukur beberapa bagian tubuhnya.

"Bagus," kata Sita mengangguk-angguk saat aku menyerahkan sketsa desain bajunya. "Tapi kalau bisa bagian ini jangan terlalu rendah, naikin dikit," lanjutnya menunjuk gambarku.

Aku menyembunyikan senyum. Padahal tadi aku sengaja membuat desain yang sedikit seksi untuk bagian depan. Tapi sekarang aku lega karena dia menolak desain itu. Menjaga banget ya dia.

"Terlalu terbuka ya?" tanyaku mengulum senyum, dan dia mengangguk cepat sebagai jawaban.

"Oke siap, akan aku kebut mulai malam ini," kataku sambil melipat kain brokat berwarna biru laut ini dan memasukkannya lagi ke dalam paper bag.

"Makasih banget ya."

Aku mengangguk saja tanpa melepaskan tatapan pada sepasang manik matanya. Cantik. "Memang siapa yang mau menikah?"

"Temen latihan karate." 

"Hmm ... udah punya temen buat dijadiin pasangan ke sana?" tanyaku tiba-tiba.

Semoga saja belum, aku akan bergerak cepat menawarkan diri.

"Belum sih." Sita tertunduk sambil memanyunkan bibir. Gemesiiin.

"Aku temenin boleh?"

🤍🤍🤍
 

3 - Pemeran Utama

 

Malam hari hingga menjelang pagi, aku sibuk merombak kain dengan warna lembut yang Sita berikan. Aku hanya meninggalkan karya untuk wanita tercintaku ini ketika harus absen sholat saja. Eh... beneran deh, sepertinya aku memang sudah jatuh cinta sama Sita. Emang cinta segila itu ya ternyata, aku yang baru mengenalnya tiga bulan, hanya beberapa kali bertemu, tapi sudah mantap mennggaku mencintai. Ckk ... kalau sampai si Nana tahu, pasti habis aku diledeknya.

Esoknya aku benar-benar tak meninggalkan galeri yang terletak di ruko depan rumah. Renovasi di lantai bawah belum sepenuhnya selesai, jadi butik masih sengaja aku tutup. Bagus juga sih, aku jadi bisa fokus mengerjakan gaun cantik untuk Sita. Aah, iya, dia memperbolehkanku memanggilnya hanya dengan nama kan kemarin? Tanpa embel-embel 'mbak' yang kusematkan sebelumnya.

Ical : Sita besok acara nikahannya jam berapa? Dress nya hampir selesai.

Menjelang siang aku sengaja mengirimkan pesan padanya. Kangen, heheheh.... 

Sita : Wah cepet banget. Maaf ya bikin staffmu kerja lembur.

Staff?

Ini aku sendiri yang ngerjain dress mu sayang. 

Aku nggak bisa nyerahin gitu aja dress untuk wanita pujaanku dikerjakan orang lain. Memang sih mereka bisa, tapi aku akan lebih puas jika mengerjakannya sendiri. Hasil tanganku nggak bisa bohong lho, lihat aja besok.

Ical : Aku sendiri yang ngerjain dress kamu, Sita. Aku nggak bisa percaya sama anak-anak kalo kliennya seistimewa kamu.

Akhirnya aku mengaku, sekalian pamer sih.

Sita : Serious? Kamu bisa jahit?

Ckk, belum tahu aja dia. Dikira aku hanya owner butik mungkin ya.

Ical : Iyalah, aku jurusan desainer sama kayak adek kamu, pasti bisa kalo sekedar jahit. Lihat aja nanti, pasti kamu suka.

Tak puas hanya dengan mengirimkan pesan. Menjelang senja aku mendatangi rumah Sita setelah memastikan keberadaannya. Papa Rio yang memang sudah akrab denganku mempersilahkan aku masuk dan menunggu di ruang tamu. Sedang sepi rumahnya. 

Ah, iya.. tentu saja sepi. Shila sedang berada di Surabaya karena sedang ikut pameran fashion. Shila sudah lulus terlebih dahulu dari kampus kami. Beda denganku yang masih menyandang gelar mahasiswa bangkotan. Tapi aku yakin segera lulus kok, akhir tahun ini targetku. Malu juga ternyata terlalu lama jadi mahasiswa.

"Kenapa, Cal? mendadak banget kasih kabar mau ke sini."  Sita muncul dari lantai atas. Hanya mengenakan piyama pendek, dengan rambut hitam legamnya dicepol ke atas. Cantik natural, meski sedikit berantakan.

"Hah? apa? gimana?" Kan? lihat titisan bidadari turun dari tangga saja bisa bikin aku terhipnotis dan mendadak oleng begini.

"Oh.. itu, anu... Dress nya udah jadi. Tadi aku dari Matos, jadi sekalian mampir sini. Kan searah."     

Kataku penuh dusta. Padahal dari rumah aku langsung ngacir ke sini, demi bisa melihat Sita mencoba gaun yang aku buat dengan tanganku sendiri.

"Serius udah jadi?" tanyanya tak percaya. "Cepet banget? Kamu nggak tidur semalaman buat ngerjain baju aku?"

Demi kamu apa sih yang enggak, teriakku dalam hati.

"Tidur kok. Tapi kan aku udah janji mau selesaikan secepat mungkin."

"Makasih ya, Cal. Eh, berapa duit ini? Aku transfer ya, mana nomor rekeningmu," ucap Sita seraya mengambil ponselnya.

Aku memberinya tatapan tajam tanda tak suka. Ini maksudnya dia mau bayar? Hei, aku nggak butuh uang kamu. Aku butuh hati kamu.

"Apaan sih?" aku melengos tak menggubris pertanyaannya.

"Cal, aku serius."

"Aku juga serius Sita. Kayak apaan deh, aku udah tahunan sahabatan sama Shila. Masa kakaknya bikin baju aku terima uangnya sih." Aku menekan nada bicaraku agar dia mengerti.

"Terus?"

"Cukup bolehin aku nemenin kamu ke acara nikahan besok," jawabku cepat.

"Kan sudah aku iyakan kemarin." 

"Tapi besok aku jemput ke sini ya, jangan janjian di TKP," celotehku masih menahan kesal.

"Iya.. iya, nurut," jawab Sita lantas terkekeh kecil. 

"Ya udah sana cobain dulu. Nanti kalau ada yang kurang atau nggak nyaman, langsung aku benerin, aku bawa alat tempur di mobil," perintahku seraya mengendikkan dagu. Eh, tapi dia menurut langsung naik ke kamarnya.

Sepertinya sejak kemarin ini, obrolan kami sudah lancar tanpa rasa canggung. Dia bahkan menurut saja ketika aku tanpa sadar menyuruhnya ini itu. Ya, seperti barusan itulah. Beberapa menit kemudian aku dikejutkan dengan teriakan kecilnya saat berjalan menuruni tangga.

"Icaaaaaalllll .... bagus banget, sumpah!!!" pekiknya riang sekali.

Dan yang tak pernah aku perhitungkan adalah, dia yang menubruk tubuhku begitu sampai di sofa yang aku duduki. Secepat kilat dia duduk bersebelahan denganku dan mencubit gemas kedua pipiku. Tak hanya mencubit, setelahnya ia juga mengusap perlahan pipiku. Aku mimpi apa coba semalem, pipi mulusku dielus-elus Sita.

"Bagus banget ini," ucapnya lagi masih dengan binar yang sama.

"Syukurlah kalau kamu suka."

"Pasti suka, cantik begini, Cal."

"Terlihat cantik karena dipake wanita secantik kamu Sita." ucapku serius, membuatnya merona. 

***

Esok harinya, lagi-lagi aku dibuat terpaku ketika melihat sudah memakai gaun rancanganku dengan cantik. Iya, cantiknya makin bertambah berkali-kali lipat karena Sita merias wajahnya, riasan natural nggak berlebihan sama sekali. Rambut panjangnya digelung kecil di belakang tengkuk hingga memamerkan leher jenjangnya yang ... yang … damn, seksi. Tak ketinggalan ia membawa clutch berwarna biru gelap yang dihiasi sulaman benang perak di bagian tepi.              

"Cal, titip Sita ya. Hati-hati kalau bawa mobil," suara papa Rio membuyarkan lamunanku. Bisa kulihat senyum tipis di wajah papa Rio saat melihatku mematung karena ulah putri cantiknya.

"Eh, iya, Pa, pastilah Ical hati-hati bawa gadis secantik Sita," jawabku kemudian.

"Papa senang kamu bisa akrab sama Sita. Kirain cuma Shila aja yang bisa bikin kamu sering main ke sini," lanjut papa Rio.

"Kalo sama Shila kan Ical butuh contekan tugas-tugas kuliah, Pa."

"Kalo Sita?"

"Pengen cepet-cepet halalin," jawabku spontan yang membuat Papa Rio terbahak dan menepuk pundakku.

"Bisa aja kamu, Ical,” 

"Kalian ngobrolin apa sih? seru amat," tanya Sita ketika ia sudah selesai memakai sepatunya.

"Mau minta restu Papa Rio biar bisa deketin kamu," jawabku tak tahu malu.

"Duuh, bercandanya kelewatan kamu. Yuk ah berangkat. Pa, Sita pergi dulu ya." Sita berpamitan pada papa Rio lantas mengecup punggung tangan beliau, bergantian denganku. 

Untungnya Malang tak terlalu macet ketika sore ini. Jadi tak sampai 30 menit kami sudah tiba di tempat resepsi. Sita bilang, ia akan berkumpul dengan teman-temannya sesama bridesmaids sebentar. Tentu saja aku persilahkan, pasti dia ingin melepas rindu karena bertahun-tahun tak bertemu karena kepindahannya ke Jogjakarta. Saat aku lihat hari kejauhan, Sita sedang melakukan pemotretan bersama pengantin dan beberapa temannya yang berpakaian senada. 

Aku dengan setia menunggunya sambil berkeliling venue, sesekali menikmati makanan yang disediakan. Hingga tiba-tiba aku melihat Sita berjalan cepat ke arah ku dengan wajah datar yang tak bisa ditebak. Kulirik sebentar ke arah jam tangan, masih jam empat lebih. Baru sebentar rasanya, kenapa Sita sudah kembali dari acaranya seru-seruannya bersama para bridesmaids?

"Mas Fais!!" pekiknya dengan mata berkedip beberapa kali padaku seolah memberi isyarat yang entah apa itu.

Mas? Fais? 

Aku maksudnya? Namaku kan, Faisal.

Belum selesai kepalaku mencerna, kedua tangan Sita sudah bergelayut manja di lenganku. Juga mimik wajahnya yang dibikin manja saat kami saling menatap. Astaga Sita ... bahaya kalau aku nggak kuat iman dan harus obrak-abrik bibir pink kamu di sini.

"Pulang yuk, Mas. Katanya kita mau kencan?"

Kencan?

Apa pula ini gustiiii...

"Sita," panggil suara berat seorang pria dari belakang Sita. Membuat aku spontan mencari asal suara, dan menemukan sosok pria tinggi dengan kumis tipis tengah memperhatikan kami berdua.

"Maaf, Mas Bayu, aku nggak bisa lama-lama. Udah ditunggu Mas Fais," jawab Sita masih menempel erat di lengan atasku.

Sepertinya aku tahu situasi macam apa ini. Oke baik. Sekalian saja aku mainkan drama yang diinginkan Sita. Dengan posesif tangan kiriku merengkuh pinggang kecil Sita dan menariknya mendekat. Sita membolakan mata sekejap. Aku mana peduli, aku menikmati kok.

"Yuk sayang kita pulang," kataku sambil mengecup pelipis Sita. Memainkan peranku secara total. Maksimal. Karena aku ingin jadi pemeran utama dalam kisah ini, kisah yang Sita ajukan padaku.

🤍🤍🤍

Masih gratis guysss, yuukk merapat!!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Sita
Selanjutnya Sita Hatiku (4-6)
8
1
Kalau nggak mau obatin badanku, ya udah terima cintaku!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan