Merindu Suamimu (7-8)

14
5
Deskripsi

Malam semuanyaa, Melisa kembali menyapa…
Sekarang aku seringnya muncul malam yess?? maklumin aja lah yaa… kan nunggu baby bala-bala bobo syantiiieqq dulu…. 😆😆😆😆

Ya udah yuukk, langsung baca aja 😍😍

7. Jangan Dipertanyakan

Ini gila ... benar-benar mau gila rasanya. Padahal tadi siang hanya hitungan menit saja aku bertatap muka dengan pria itu. Tapi kenapa efeknya sampai segitunya sih? Sekarang sudah hampir tengah malam, dan mataku masih terbuka lebar, padahal hampir seluruh dunia tahu kalau aku paling anti begadang. Bahkan biasanya jam sembilan atau sepuluh malam aku sudah berkelana di alam mimpi.

Namun nyatanya? malam ini rasa kantuk tak juga berhasil membawa anganku pergi. Kilasan demi kilasan ingatan pada kejadian tujuh tahun lalu kembali menghampiri. Bagaimana bisa aku tak mengenali Bu Nadia sebagai istri seorang Arfino Hesta, pria menawan yang membuat duniaku jungkir balik karena terlalu memujanya. Aku memejam sesekali demi menggali kenangan pahit itu, tapi tetap saja tak menemukan ingatan tentang wajah Bu Nadia.

Aah ... tapi bisa saja, karena memang waktu itu aku tak terlalu fokus pada wajah si mempelai wanita yang menjadi ratu sehari. Saat itu, tatapan sedihku hanya terpaku pada sosok si pria yang nampak terkejut dengan kehadiranku yang mendatangi pesta asmaranya. Apalagi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat, karena tak sampai tiga puluh menit mendadak saja aku jatuh lunglai hilang kesadaran saking terkejutnya. Begitu sadar, tahu-tahu aku sudah berada di sebuah klinik di antar salah saorang kerabat Bang Fino yang entah siapa namanya.

Aku mendesah saat melirik jam dinding di sudut ruangan. Hampir jam satu malam, dan aku belum beristirahat sama sekali. Memilih bangkit sesaat menuju nakas, aku membuka laci kecil dan mengacak isinya demi mencari satu strip obat tidur yang dulu pernah aku beli. Rasanya masih ada satu atau dua butir yang bisa aku konsumsi malam ini. Besok aku dan Mbak Yuni harus serah terima jabatan, meski tak begitu formal, aku tetap mau tampil maksimal tanpa gangguan dari dark circle di sekitar mataku. Akan jadi hal yang memalukan sekali jika besok aku muncul bak seorang zombi dengan lingkaran hitam di bawah mata kan?

"Meliii buruan!!" Suara Nathan memekakkan telinga saat aku baru saja mengangkat panggilannya. "Ditungguin Mbak Yuni tuh sepuluh menit lagi katanya!"

"Iya, Nathan, iya. Gue udah di parkiran kok ini," pungkasku lantas mematikan ponsel dan memasukkannya lagi ke dalam saku blazer.

Sambil berjalan cepat aku melirik ke arah jarum jam di pergelangan tangan kiri. Masih setengah delapan, rajin sekali Mbak Yuni sudah datang sepagi ini. Padahal sebelumnya kami sepakat bertemu di ruangan baruku jam delapan pagi. Sebelun nantinya kami serah terima lalu ia akan berpamitan pada semua staff di lantai tujuh karena akan pindah ke luar pulau mengikuti dinas sang suami.

Menuju jalan pintas di sebelah slot parkir, lenganku mendadak ditahan  oleh seseorang. Hampir saja aku menjerit karena menyangka akan menjadi korban tindakan criminal atau semacamnya. Ini ibukota negara guys, banyak kejadian seperti itu yang sering aku lihat di tayangan berita malam. Membayangkan saja sangat mengerikan, apalagi mengalaminya secara langsung. Amit-amit jabang bayi!!

"Lisa!" ternyata tangan Bang Fino yang menahanku. Tapi bagaimana bisa ia muncul sepagi ini di gedung Gayatri sih? serajin itukah pria ini mengantar sang istri pujaan hati?

"Bang," jawabku spontan. "Pak Fino?" ralatku sedetik kemudian.

"Abang minta maaf," katanya tiba-tiba, masih menahan lenganku dengan genggamannya yang tak begitu erat. "Aku benar-benar menyesal udah nyakitin kamu, Lisa."

Kenapa dia harus mengungkit hal itu lagi. Aku jadi memaksa mengukir senyum miris. Meski sulit, aku ingin terlihat tegar di depan pria yang ternyata masih bisa membuat debar jantungku menggila. 

"Bukan sepenuhnya salah Pak Fino kok, dari awal, sepertinya saya yang terlalu menaruh harapan, maklum, saat itu masih belum banyak pengalaman cinta-cintaan," balasku sedikit sarkas  tak mau berbasa-basi. Aku juga paham kok maksudnya mendadak meminta maaf, pasti karena pengkhianatannya tujuh tahun lalu. Heh, apa itu tandanya dia juga tergganggu dengan kejadian di masa lalu?

"Bukan salahmu juga, Lisa." Aku menarik lenganku sedikit keras. Tak ingin berlama-lama   merasakan sentuhan tangannya. "Hmmm … bisa ganti sebutan 'Pak' itu? tolong," imbuhnya kemudian.

Aku mengernyit sesaat, tapi kemudian tergelak dalam hati. Pria ini benar-benar tak bisa ditebak.

"Maaf, tapi saya harus segera naik." Pamitku tak mau berlama-lama.

"Kalau begitu nanti kita bicara lagi." Bang Fino terlihat sedikit kecewa.

"Maaf, tapi saya sibuk, Pak."

Bang Fino terdiam, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan ketidaksukaan dengan panggilan formalku untuknya.

"Aku sibuk, Bang," ralatku pada akhirnya. Tak lupa aku selipkan decakan singkat untuk menunjukkan kalau waktuku benar-benar tak bisa disita untuk pembicaraan kurang faedah seperti ini. "Lagi pula tidak ada yang perlu kita bicarakan. Anggap saja kita baru kenal kemarin."

"Abang akan tunggu sampai kamu nggak sibuk!" putusnya terdengar egois.

"Aku nggak ada waktu untuk berbincang dengan suami orang!" tegasku pada akhirnya.

"Suamimu pencemburu ya?"

Suami?

Aku sontak menganga mendengar pertanyaan Bang Fino. Pria ini tahu tentang pernikahanku? sungguh? Lalu ... dia tidak tahu tentang perceraianku begitu?

Aku berdeham sekali sekedar menormalkan mimik wajah. "Ya begitulah, dia pecemburu. Sangat," dustaku mengangkat kedua bahu. 

Padahal seingatku, Bayu sama sekali bukan orang yang pecemburu. Ya bagaimana dia mau cemburu kalau dia sama sekali tak mencintaiku. Dia butuh aku jadi istrinya hanya untuk menutupi rahasia kelamnya saja. Ah … kampret!! kenapa malah inget kambing jantan jadi-jadian itu sih?!

"Sebentar saja, Lisa. Gimana kalau kamu saja yang tentukan waktu dan tempatnya, Abang ngikut." Ternyata setelah terpisah tujuh tahun lamanya merubah pria jangkung ini menjadi seorang pemaksa.

"Sorry, Bang, tapi pagi ini aku beneran sibuk!" putusku lalu cepat-cepat berlari kecil menuju pintu yang langsung terhubung ke lobby sebelah utara. Mataku terasa panas, gumpalan air mata sudah berdesakan ingin keluar bergantian. Oleh karena itu aku tergesa menjauh, agar Bang Fino tak mencemooh betapa lemahnya hatiku di hadapannya.

Bang Fino mendebas napas panjang. "Ya sudahlah, mungkin Abang yang terlalu tergesa-gesa," gumamnya masih sempat kudengar sebelum kami terpisah di ruangan yang berbeda.

Baru dua hari aku bekerja di kantor pusat, dan sudah dua kali ini pula jantungku dipaksa berdisko ria dengan semua kejutan yang disiapkan semesta. Sialan!! Padahal aku berharap bisa lebih tenang ketika menjauh dari Surabaya dan segala kenangan buruk tentang Bayu. Ternyata prediksiku malah melenceng jauh, bukannya hidup damai justru masuk dan tenggelam ke dalam kenangan lain yang merubahku menjadi sosok Melisa yang sangat jauh berbeda.

Begitu sampai di lantai tujuh aku langsung memeluk tubuh Mbak Yuni yang sudah menunggu di dalam ruang kerja baruku. Perempuan yang dulunya gempal itu nampak jauh lebih langsing dan memukau dari tahun lalu saat aku terakhir melihatnya. Luar biasa sekali perubahan sosok yang dulu menjadi leaderku ini.

"Maaf udah bikin nunggu lama, Mbak," ujarku saat kami mengurai pelukan.

Mbak Yuni malah mengibaskan tangan. "Apaan sih, Mel. Baru lima menitan aja kok, santuy." Meskipun hanya lima menit, aku tetap saja nggak rela. Apalagi jika keterlambatan itu disebabkan oleh orang yang ingin aku hindari demi kesehatan hati.

Aku dan Mbak Yuni berbincang beberapa saat. Dia banyak memberiku arahan dan tips-tips agar pekerjaanku tak banyak kesalahan di kemudian hari.

Begitu jam menunjukkan pukul sepuluh. Bu Nadia mengumpulkan semua staff penghuni lantai tujuh. Bu Nadia yang hari ini tampil elegan dengan setelah berwarna navy berdiri di antara aku dan Mbak Yuni. Semua staff tentu saja sudah tahu akan hal ini. Bu Nadia akan secara resmi melepas Mbak Yuni yang memilih mengundurkan diri dari karirnya. 

Semuanya berjalan lancar dan penuh keharuan, bahkan ada beberapa teman yang menitikkan air mata saat Mbak Yuni menyampaikan salam perpisahannya dengan suara bergetar. Maklum, Mbak Yuni termasuk karyawan senior karena mulai bergabung dengan Gayatri sejak penerbitan tersohor ini berdiri hampir dua belas tahun silam. Jadi wajar saja kalau ikatan antara Mbak Yuni dan tempat ini sangat-sangat terasa sekali.

Setelah acara berakhir aku bergabung makan siang dengan Bu Nadia, Mbak Yuni dan dua timku yang lain. Kata Bu Nadia makan siang perpisahan untuk Mbak Yuni karena besok ia akan terbang ke tempat tinggal barunya.

“Mbak Yuni sejak nikah bucin banget ya sama Mas Rey?” goda Anin di sela-sela makan siang kami.

“Namanya juga pengantin baru, Nin. Makanya nikah gih, biar tau rasanya. Tapi habis nikah jangan ikutan resign ya!” Bu Nadia ternyata sangat bisa berbaur dan bercanda dengan staff yang lain.

“Tuuh dengerin Bu Nad, Anin. Jangan kelamaan pacaran kamu sama cowokmu itu,” balas Mbak Yuni disambut bibir Anin yang langsung maju beberapa centi. 

Aku hanya menyimak saat mereka mulai bersahut-sahutan. Meski mengenal Anin dan Mbak Yuni sejak lama, aku kurang nyaman dengan pembahasan tentang pasangan kali ini. Aku paling anti jika dikorek-korek tentang uruna pribadi. Cukup sahabat terdekatku saja yang tahu bagaimana perjalanan cintaku yang tak mulus jalan tol cipularang itu.

“Bu Nadia sama Pak Hesta siapa yang paling bucin?” celetuk Nathan membuatku tersedak seketika. Kenapa masih berlangsung sih pembahasan tentang bucan-bucin ini. Aku enggan mendengarnya. Apalagi jika itu mengenai Bu Nadia dan … Bang Fino. Bisa-bisa nangis di tempat aku nanti.

“Hmmm, siapa ya?” Saat kulirik, Bu Nadia tengah menggaruk dagunya seolah sedang berpikir. “Rahasia perusahaan dong, jangan dibahas deh, malu.”

Untunglah Bu Nadia enggan menjawab. Setidaknya aku bisa terhindar dari serangan jantung mendadak jika membayangkan bagaimana manisnya perlakuan Bang Fino pada istri cantiknya ini. Shit!! memikirkannya saja sudah membuatku sesak seketika.

“Kalau kamu Mel? siapa yang paling bucin? kamu atau Bayu?” tanya Mbak Yuni menatapku. Mbak Yuni datang saat pesta resepsiku dengan Bayu lebih dari setahun silam. Tapi dia tak tahu menahu tentang perpisahan kami. Beda dengan Anin dan Nathan yang sudah tahu dengan statusku ‘janda’ yang aku sandang saat ini.

“Sttt… Mbak Yun!” Aku mengatupkan bibir saat melihat Anin menyikut lengan Mbak Yuni. Mungkin mencoba memberi peringatan karena itu hal yang sensitif bagiku. 

“Apaan sih, Anin. Jangan bilang elo ngiri deh, karena gue nanya ke Meli tentang Bayu.” Mbak Yuni terkekeh saat mengerling padaku.

“Kami udah nggak barengan lagi, Mbak Yun. Jadi nggak perlu dipertanyakan lagi,” ujarku dengan senyum mengenaskan. Sekalian saja aku mengaku daripada di masa yang akan datang aku kembali dihadapkan dengan situasi seperti ini.

🍂🍂🍂

8. Gagal Paham

"Kok Bu Nad, nyetir sendiri ya?" tanyaku begitu selesai memasang sabuk pengaman di depan tubuh. 

Aku bertanya hal demikian karena tak jauh dari mobil Anin aku melihat Bu Nadia masuk ke mobilnya dan langsung melaju begitu saja. Sore ini aku memang sengaja pulang menumpang mobil Anin karena katanya, gadis ini sedang butuh teman bicara melepas penat akibat pertengkarannya dengan sang kekasih. Ia tak bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan leluasa jika bersama Nathan, karena itu Anin sedikit memaksaku untuk menjadi pendengarnya. Diih, korban bucin ternyata bisa berantem juga.

"Laah, emang biasanya gitu," jawab Anin santai. Gadis berambut cokelat terang itu mulai mengarahkan mobilnya mengantre untuk keluar area parkir.

“Bukannya diantar jemput sama suaminya ya?"

Sejak obrolan di acara makan siang tadi, aku jadi sedikit penasaran dengan kehidupan rumah tangga antara Bang Fino dan Bu Nadia. Memang dasar akunya yang bodoh luar dalam kan? menanyakan hal seperti ini memang berpotensi mengoyak hati, tapi mau bagaimana lagi? aku terlanjur ingin tahu dengan pasangan yang membuatku cemburu itu.

"Nggak lah, mereka malah jarang kelihatan bareng kok meski kantornya deketan gini."

Kantor Bang Fino dekat dari kantor?

Informasi baru! Aissh ... ada apasih dengan diriku? kenapa berubah norak lagi pasca bertemu dengan pria itu.

Please sadar, Meli!! Dia suami orang!

Suami atasan lo sendiri!!

"Ohh.." balasku singkat karena tak ingin Anin menganggapku terlalu kepo dengan kehidupan atasan kami. Aku mendesah pelan sambil fokus ke arah jalanan ibukota yang tak pernah lengang ini.

"Yang kapan hari itu kayaknya Pak Fino kebetulan aja nganter Bu Nad soalnya anaknya lagi rewel. Katanya habis sakit gitu deh, makanya lagi manja!" Ternyata tak terlalu susah mengorek informasi dari seorang Anin yang memang pada dasarnya suka bicara ngalor ngidul ini. Cukup lempar satu pertanyaan singkat, gadis ceria ini akan langsung menjawab sepanjang jalan kenangan.

"Oh, namanya Pak Fino," ulangku seolah baru mendengar namanya. Padahal kan ... ya begitulah.

"Yoi, cakep banget ya? husband material banget kan? sebelas dua belas sama Yasir." Anin malah cengengesan saat membicarakan suami dari atasan kami. Ngomong-ngomong Yasir ini nama pacarnya Anin. Mereka sedang perang dingin, entah karena apa.

Aku hanya mengangkat kedua bahu. "Nggak tau deh, kan bukan suami gue, Nin."

"Diih, elo mah. Ya kali aja elo butuh referensi buat nyari suami lagi, cari yang kayak Pak Fino gitu, Mel. Meski tatapannya tajam, orangnya baik banget."

"Suami ya?" aku sontak menggaruk kulit kepalaku yang tak gatal. "Kapan-kapan aja deh."

"Kok kapan-kapan sih? emang elo belom move on dari Bayu? diih..." Anin langsung menoleh dan memberiku tatapan penuh tanya.

"Gue udah move on, Anin. Cuma lagi males aja kalau harus cepet-cepet cari pengganti. Nggak segampang itu!" Aku tak berdusta krena kenyataannya memang demikian. Lebih mudah melupakan Bayu darpada pria yang menjadi cinta pertamaku itu.

Gedung apartemen yang menjadi tempat tinggalku terlihat semakin dekat. Anin mengambil lajur kiri untuk memudahkannya saat masuk area parkir.

"Unit lo ada di lantai berapa?" tanya Anin ketika kami sampai di lobby.

"Tiga belas."

"Woiii... angka keramat," komentar Anin dengan ekspresi berlebihan.

"Nggak ah, biasa aja. Malah pemandangan dari sana bagus banget kalau malam. Kapan-kapan lo nginep deh, atau malam ini aja sekalian nginep."

Itu tak berlebihan, karena memang begitulah adanya. Aku sering berjam-jam menghabiskan waktu di depan jendela besar kamar sambil menyelesaikan naskah untuk kukoreksi. View gemerlap langit juga meriahnya lampu ibukota benar-benar memanjakan mata.

"Kapan-kapan ajalah, malam ini gue nggak bawa baju ganti. Besok pagi juga harus sekalian anter nyokap nganter food tester ke rumah temennya."

Ibunya Anin ini punya usaha catering sehat dengan menu lezat yang dibuat dari bahan organik dan tanpa bahan pengawet. Menu yang tidak terlalu cocok untukku karena aku penyuka makanan cepat saji yang sudah klop dengan lidahku.

"Hai, Mel," suara tak asing menarik perhatianku dari layar ponsel saat aku menunggu di depan lift dengan Anin. Ternyata Mas Hanif baru saja keluar dari lift sebelah dengan membawa tumpukan map tebal di tangan kirinya. Mas Hanif tinggal di gedung ini juga, jadi seharusnya aku tak terlalu kaget kalau besok-besok akan sering berpapasan dengannya.

Pria itu tersenyun manis saat berjalan mendekat. "Baru pulang kerja?"

"Iya, Mas. Mas Hanif sendiri?" dengan penampilan segar dan rambut setengah basah dia mirip seseorang yang baru akan berangkat kerja daripada pulang kerja. Tapi sesore ini?

"Baru mau berangkat ngecek gerai kopi si juragan," balasnya santai seraya melirik map di tangannya. Juragan yang ia maksud pasti Senopati suaminya Anya. Selain pemilik rumah sakit, dia juga dikenal punya banyak gerai kopi di beberapa titik.

"Waah asik tuh kalau diajak ngopi juga?" aku menoleh ke arah Anin yang sudah senyam senyum tak jelas. Gadis ini sama sekali tak terganggu dengan pelototan mataku yang menyisirnya.

"Eh, kenalin Mas, ini Anin, temenku. Nin, kenalin ini Mas Hanif. Jangan dengerin ocehan dia ya, Mas," ujarku menahan malu. Anin dan tingkat kepedeannya kadang malu-maluin juga.

“Hanif,” Mas Hanif yang pertama kali mengulurkan tangan dengan ramah.

“Anin, Mas.”

“Boleh kok, kapan-kapan kita ngopi bareng-bareng. Seru juga kayaknya.” Mas Hanif ternyata menanggapi celetukan sahabatku dengan santai.

“Jangan dengerin mulut embernya, Anin deh, Mas,” omelku sembari melirik sinis pada Anin yang malah mencebik padaku. Sialan nh temen laknat!

It’s okay kok, Mel. Saya serius juga kok mau ngajakin kalian ngopi di Gold Espresso. Kalau dari sini sih, yang paling deket ya cabang Sudirman.” Mas Hanif malah terkekeh lantas melanjutkan tawarannya. Ini orang beneran ramah nggak kaleng-kaleng atau gimana sih?

“Kami nggak mau ngerepotin Mas Han—”

“Ini undangan resmi dari saya, Mel, jangan ditolak ya!” Mas Hanif masih mempertahankan senyumnya saat mengangkat telunjuk di depanku.

“Ahh … oke,” desahku pada akhirnya. 

“Anggap aja sebagai jamuan selamat datang kamu ke Jakarta, Meli,” seru Mas Hanif saat menepuk pundakku dua kali. “Oke, have fun ya, saya berangkat dulu. Nanti kalau nggak kemaleman saya bawain muffin kesukaan kamu.” 

Waktu datang pertama kali ke Jakarta minggu lalu, Mas Hanif dengan ramahnya membawakanku dan mama satu kotak muffin. Kudapan kesukaanku. Lalu akibat obrolan randomnya dengan mama, sekarang pria itu jadi tahu kalau muffin memang sangat mempan memperbaiki mood-ku.

“Nggak usah rep—”

Bye, Meli, Anin,” potong Mas Hanif ketika melambaikan tangan pada kami berdua. Terserahlah kalau begitu. Aku tak pernah meminta, tapi rasanya segan juga kalau Mas Hanif terlalu perhatian padaku yang notabene baru saja kenal. Eh … atau aku saja yang terlalu besar kepala ya? siapa tahu memang perangai Mas Hanif yang sebaik itu pada semua orang.

“Cakep juga, Mel,” komentar Anin begitu berada di dalam lift yang membawa kami berdua ke lantai atas.

“Siapa?”

“Yang barusan,” balas Anin.

“Mas Hanif?” Anin langsung mengangguk secepat kilat.

“Cakep mana sama Dion?” tanyaku balik sambil terkikik. Dion yang kumaksud adalah kekasih Anin, yang saat ini sedang meratapi nasib malangnya akibat didiamkan oleh sahabatku yang satu ini. Entah masalah apa yang mereka dua tengah alami, aku hanya tinggal menunggu hitungan menit hingga Anin menceritakan semuanya gundah hatinya.

“Eh, ya cakep Dion kemana-mana dong?” sahut Anin dengan cepat.

“Terus kok berantem?” Aku sempat melihat wajah tercengang Anin begitu aku membuka pintu apartment. Raut wajah yang ditunjukkan Anin persis seperti ekspresiku dan mama begitu menyadari begitu mewahnya unit yang aku tempati ini.

“Biasalah, beda pendapat. Gue pengen lamaran dulu, eh Dion pengennya langsung akad nikah aja,” jawab gadis itu masih menoleh ke kanan dan kiri mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan.

Setelah meletakkan ransel berisi laptop dan kawan-kawannya di ruang tengah, Aku berlalu ke arah pantry hendak mengambilkan minuman dingin untuk tamu pertamaku di apartment ini. “Ya bagus dong kalau Dion minta langsung sah, lebih cepat lebih baik, Nin. Sat set gitu,” komentarku begitu duduk tepat di sebelahnya.

“Sebenarnya sih iya, tapi gue beneran belum siap kalau langsung ijab kabul, Mel.” Anin melepas sweaternya hingga menyisakan blouse lengan pendek berwarna maroon.

“Why?”

“Pokoknya gue pengen lamaran dulu, terus kasih jarak minimal setahunan gitu deh sambil mantepin hati ke jenjang pernikahan.” 

“Jadi selama ini hati lo belum mantep sama Dion?” aku duduk bersila lantas mengambil satu toples berisi brownies kering buatan mama.

“Gue sayang banget sama Dion, gue juga yakin Dion sayang setengah hidup ke gue. Tapi … pernikahan itu langkah yang besar, Mel. Gue nggak mau gegabah lalu menyesal di kemudian hari.” 

Suara Anin berubah sendu, sepertinya hatinya memang sedang galau urusan lamar melamar ini. Tapi sedikit banyak aku setuju juga dengan pemikirannya. Jangan sampai Anin tergesa-gesa mengambil keputusan lalu berakhir penyesalan seperti yang ku alami.

“Menurut lo gimana, Mel?” 

Aku mengangguk pelan saat menelan minuman dinginku. “Gue sih setuju sama elo, Nin. Jangan sampai ambil keputusan terburu-buru karena merasa sudah menjadi budak cinta sesaat. Eh … ndilalah ujung-ujungnya menyesal karena pernikahannya hancur kayak gue sama Bayu.” Aku tersenyum miring sengaja menertawakan takdirku sendiri.

“Gue nggak bermaksud nyindir kisah lo, Mel,” sesal Anin mengusap lengan atasku.

“Biasa aja deh, muka lo jangan sok prihatin gitu,” ujarku lantas terbahak. “Tapi menurut gue yang belum begitu kenal Dion, dia kayaknya baik deh. Tulus juga ke elo, kelihatan kok dari tatapannya waktu ngeliatin elo. Setidaknya dia ‘lurus’, nggak kayak—” aku menunduk sesaat sampai sedetik kemudian terhenyak dengan pekikan Anin yang memekakkan telinga.

 “Tunggu, tunggu … gue gagal paham deh, maksud lo … Bayu si mantan lo itu belok? suka pedang-pedangan gitu?”

🍂🍂🍂

Eaaaa…. ini si Meli keceplosan atau gimana sih? wkwkwkwk…
Btw guys, yang udah baca komen doong, krn dari kemaren notif Karyakarsa kadang nggak muncul, (◠‿◕)
Jangan lupa FOLLOW akunku jugaa yaa…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Melisa Fino
Selanjutnya Sepasang Ratu (7-9)
7
1
Helloo semuanya... Kisah bapak-bapak casanova berlanjut lagi, yukk, ramaikaan 😍😍  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan