
Haloooo pagii…
Kisah Fino & Meli berlajut lagi, cuss yukk… 😍😍😚😚
3. Suara Tak Asing
Sial, sial, sial..!!
Bukan aku mendadak terngiang-ngiang lagu populer yang dibawakan penyanyi cantik Mahalini. Bukan. Namun, ini karena aku baru menyadari perasaanku pada Bang Fino tak pernah usai bahkan hingga bertahun lamanya kami terpisah.
Terbelenggu pada perasaan yang sama selama bertahun-tahun ternyata sangat menyiksa dan semenyesakkan ini ya? Sekuat apapun aku mencoba menyangkal, kenapa semua rasa tetap tertuju pada satu nama itu. Ckk, lagi-lagi sial kan?! Padahal beberapa kali aku pernah menjalin kedekatan dengan pria berbeda sejak kenyataan pahit yang aku dapatkan dari kisah kami berdua. Aku dan Bang Pino maksudnya. Kalau dia, entah bagaimana kelanjutan hidupnya, yang aku tahu hanya ... Bang Pino mengingkari janjinya padaku sejak ia menikahi perempuan lain. Selebihnya, aku memilih tak tahu dari pada harus mengulang perihnya luka karena terbakar cemburu.
Dan ini semua karena obrolan dengan Kak Vin dan Mas Rega beberapa hari lalu. Pasangan itu sengaja menyebut nama Bang Fino di pertemuan kami. Salah satu hal yang menjadi pemicu aku akhirnya membuka folder tersembunyi di laptop yang berisi foto-foto lawas kami berdua. Semua masih tersimpan rapi di sana, mulai dari foto kami berdua pertama kali ketika singgah di Pantai Panjang hingga gambar-gambar lain yang menunjukkan betapa dekatnya kami saat itu.
Bukan hanya satu atau dua gambar, tapi ratusan pose yang ambil ambil di beberapa tempat yang berbeda. Saat itu memang kami sangat senang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, terutama jika tempat tersebut masih berkaitan dengan pantai. Kami, aku, Bang Fino juga beberapa kawan yang lain selalu meluangkan waktu setidaknya sekali dalam dua minggu untuk berkumpul dan merencanakan perjalanan itu.
"Heh, ngelamun aja!" Tahu-tahu mama menepuk pundakku. Ternyata aku melamun terlalu lama. “Taksinya udah deket itu, ayo siap-siap. Mana aja tasmu?”
Mama memaksa ikut mengantarku ke Jakarta hari ini. Padahal ya, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku perempuan dewasa yang bahkan pernah menikah (meskipun itu gagal), ya kali kemana-mana masih dikawal orang tuanya. Tapi ya, begitulah seorang ibu, sedewasa apapun anaknya akan tetap dianggap anak kecil yang harus mereka lindungi kapanpun.
“Iya, Ma, iya. Astaga … semangat banget sih, Mama. Ngalah-ngalahin aku yang mau pindah ke sana,” cibirku mengundang gelak kecil di sudut bibirnya.
“Ya harus semangat dong,” ujar Mama sambil mengangkat travel bag berukuran sedang berisi beberapa helai pakaiannya. “Mau nganter anaknya buka lembaran baru masa nggak semangat sih?”
Aku berdecak memiringkan senyum. Membuka lembaran baru ceunah!
“Mama ada-ada aja. Aku cuma mutasi kerja, Ma. Bukan menempuh hidup.”
“Ya kali aja nanti di Jakarta kamu ketemu sama jodohmu yang beneran. Nggak kaleng-kaleng kayak sebelumnya.” Mama enteng sekali membahas masalah jodoh seolah aku ini harus banget cepet-cepet ketemu pasangan baru dan menikah. Lagi. Padahal, belum ada satu tahun aku menyandang status janda setelah terlepas dari mantan biadab itu.
“Hadeeh, Mama, ih. Ujung-ujungnya nggak nyambung deh,” decakku manyun.
“Lho, Mama ini cuma doain yang baik-baik. Kok dibilang nggak nyambung.”
“Ya wes terserah Mama deh, itu taksinya udah dateng, Ma.” Aku mengendikkan dagu ke arah pagar, dimana mobil berwarna putih berhenti di halaman rumah kami yang tak seberapa luas.
Kami masuk ke dalam mobil dan mulai membicarakan hal lain, aku yang sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Salah satu ciri perempuan lah yaa, gampang banget belok dari satu topik ke topik lainnya. Pokoknya nggak lagi bahas mantan atau desakan untuk membuka hati pada orang baru, aku sih nyaman-nyaman saja.
Bukannya apa, mamaku ini tanpa sadar kadang gemar sekali membujukku agar segera memiliki pasangan baru. Bukan karena dikejar usia, usia dua puluh tujuh masih aman kok menurutku. Melainkan karena banyak sepupuku yang sepantaran denganku, atau bahkan usianya di bawaku, akan segera melepas masa lajang. Jadi di setiap acara keluarga, pastilah mama menjadi sasaran empuk yang selalu ditanya perihal menantu dariku.
"Kamu udah hubungi Anya?" tanya Mama ketika kami sudah masuk ke gerbong kereta api. Iya, kami berdua naik kereta api menuju Jakarta. Meskipun ada mobil peninggalan papa, kereta api masih menjadi alat transportasi favoritku dan mama sejak aku kecil.
“Udah dong, Ma. Semalam aku udah hubungi ulang kok. Nanti begitu nyampe Jakarta, dia maksa akan ngirim supir buat jemput."
"Heh, kok sampe repot-repot gitu?" Mama tampak terkejut karena spontan saja menepuk punggung tanganku.
"Aku nggak pernah minta, Ma. Udah aku tolak berkali-kali juga. Tapi Mama tau sendirilah gimana loyalnya Anya kalau udah sama temen sendiri." Aku mengeluarkan muffin yang tadi aku beli di food court. Kue kesukaanku ini selalu menjadi teman perjalanan terbaik selama aku bepergian.
"Ya pokoknya jangan banyak ngerepotin orang aja nanti di sana. Kemaren soal apartmen udah dibantuin Anya, sekarang masalah jemputan juga dibantu dia juga. Pokoknya jangan sampai kamu dianggap dompleng sama dia ya, tau dirilah pokoknya."
Ngomong-ngomong soal Anya, dia ini teman dekatku sejak masa SMA dan kuliah. Meski hubungan kami sempat renggang sejak semester enam, karena dia terlalu asyik bekerja di salah satu WO dan punya pekerjaan sambilan lainnya. Akan tetapi meskipun jarang bertemu secara langsung, kami tetap rutin bertukar kabar lewat pesan singkat atau telepon. Aku bahkan datang saat pesta resepsinya dengan Senopati Rajata tiga tahun silam. Gelaran pesta yang sukses bikin melongo juga sih, karena Anya yang terkenal dingin, ketus, tomboy dan ratunya cuek sejak lama, ternyata sekarang jadi menantu dari keluarga Dwisastro, konglomerat yang namanya udah bikin keder aja kalau mendengarnya.
"Mama ih, dompleng-dompleng apaan. Aku juga ngerti situasi kali, lagian aku sama Anya deket nggak setahun dua tahun aja, Ma. Kami udah kayak luar dalem kok," sanggahku setelah gelak tawaku reda. Mamaku ini memang overthinking-nya nggak ada lawan deh.
"Jadi, besok begitu kita nyampe stasiub pasar senen udah ada yang jemput gitu?"
"Ya begitulah, Nyonya, supir Anya bakalan standby nungguin kita. Setelah itu langsung ke apartmennya sekalian."
Sejak pertama tahu perihal kepindahanku ke Jakarta, Anya langsung antusias hingga tiba-tiba menawarkan apartmen miliknya yang sudah lama kosong karena penyewanya pindah ke luar negeri. Daripada terlalu lama tak berpenghuni, ibu muda itu menawarkan padaku agar bersedia tinggal di sana. Aku langsung menyetujui dengan syarat ia mau menerima uang sewa dariku, karena awalnya dia menolak tegas ide tersebut. Bisnis tetap bisnis kan, jadi ya ... aku memaksa tetap membayar sewa apartemen tersebut.
Keesokan harinya pukul setengah sembilan pagi, aku dan mama sudah sampai di Stasiun Pasar Senen Jakarta, dan benar saja, ketika kami keluar ternyata sudah ada seorang pria paruh baya yang memegang selembar kertas bertuliskan namaku. Beliau adalah supir yang dikirim Anya untuk menjemput kami berdua, yang belakangan aku ketahui bernama Pak Heri. Selain ramah, Pak Heri juga sangat tanggap membantuku dan mama memindahkan dua koper besar milikku dan travel bag milik mama.
Tak sampai satu jam kemudian aku dan mama sudah sampai di gedung apartment milik Anya. Apartment yang akan aku jadikan tempat tinggal selama menetap di Jakarta, namun aku langsung menyesali keputusan unutk menerima tawaran Anya saat aku tahu apartmen versiku dan apartmen versi Anya sangat jauh berbeda.
“Anya, lo gila, sumpah gila!!” pekikku saat Anya mengangkat panggilan telepon video dariku di seberang sana.
“Heh, kambing kampret!! pake ucap salam dulu kek, ini baru ngomong malah ngatain gue gila,” jawab Anya di ujung sana. Meskipun sudah berubah status menjadi seorang ibu dari seorang putri ternyata tak bisa begitu saja menghilangkan umpatan dan sumpah serapah yang sangat fasih keluar dari mulut seorang Revanya.
“Kemaren elo bilang apartmennya tipe biasa, tapi in—” aku kehilangan kata-kata saat kembali mengamati unit apartmen mewah—ralat, super duper mewah yang ia sewakan padaku. “Ini apartmen yang gila banget mewahnya, Anya. Harga yang gue bayar kemaren tuh nggak ada sepertiga sewanya kali,” lanjutku menggerutu saat berjalan ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan padatnya ibukota dari ketinggian lantai delapan belas.
Tak jauh berbeda dariku, sejak masuk unit, Mama langsung melongo. Dan sekarang beliau sedang mengitari seluruh ruangan mewah di unit ini. Dua kamar tidur berukuran besar, dua kamar mandi, dapur bersih, ruang makan, ruang tengah yang sangat elegan, bahkan ada kamar untuk asisten rumah tangga. Benar-benar unit apartmen yang diluar bayanganku semula.
“Oh, elo udah nyampe apartment? udah ketemu Hanif kan? yang nganterin elo ke unit.” Anya ternyata tak menanggapi kalimatku, malah menanyakan hal lain.
“Iya, iya … gue udah ketemu sama asisten pribadi laki lo tadi di lobby, udah diantar naik juga sampe unit yang kata lo, biasa banget ini. Astaga Anya … gue cancel aja deh ya nyewa di sini, harganya bikin rekening gue keder.”
Terdengar gelak tawa khas dari sahabatku itu. “Bisa aja lo kampret! nggak bisa pokoknya nggak bisa! Elo kan udah bayar, nggak bisa gitu aja refund dong!”
“Tapi, An, gue beneran nggak bisa tinggal di apartmen mewah kayak gini.”
“Heleeh, Meli, nggak usah lebay deh, pokoknya udah deal, elo tinggal di sana selama stay di Jakarta, atau … elo mau gue ngambek seumur hidup?” dari layar ponsel aku bisa membaca raut wajahnya yang berubah manyun saat mengibaskan telapak tangannya.
“Ckk, ratu drama,” keluhku karena rasanya akan sangat sulit memenangkan perdebatan dengan Anya.
“Hadeeh, berisik!! pokoknya gue nggak mau tau gimana caranya elo tetep tinggal di apartmen itu. Udah dulu ya, gue lagi riweh ini, lagi ikut Mas Seno ke pembukaan restoran punya temennya.”
Dari apa yang terlihat di layar video menampilkan suasana ramai di suatu tempat makan yang cukup luas. Pantas saja suara Anya terdengar tak begitu jelas karena banyak orang juga di sekitarnya.
“An, dicari Seno tuh di sebelah, Mika nangis katanya habis nyungsep. Dasar si Seno bapak kurang akhlak, anak cantik dibiarin nyungsep gitu aja!” suara pria yang tak begitu asing di telingaku terdengar. Sepertinya dari salah satu teman Anya, karena sosoknya hanya terlihat sebagian lantaran ada di samping Anya. Tapi suara itu benar-benar menggangguku, karena…
“Eh, Mika ya? thank you ya, Bang Hes.” Anya terdengar menimpali dan mengangguk cepat.
“Siapa An?”
“Eh, Mel, gue tutup dulu ya? di cari Mika nih,”
“Yang barusan siapa?” kejarku tak mau dihantui rasa penasaran.
“Oh itu tadi Bang Hesta, temennya Mas Seno, dia yang punya restoran ini. Udah dulu ya, nanti gue telpon balik, Bye, muah-muah, salam buat Tante Nisa,” pungkas Anya tergesa-gesa hingga tak memberiku kesempatan balik bertanya karena mendadak saja layar ponselku sudah berubah lantaran panggilan sudah terputus.
Hesta… Hesta…
Suara itu … jangan sampai Hesta yang dimaksud Anya barusan adalah Hesta yang aku kenal bertahun-tahun silam.
Arfino Hesta.
♥♥♥
4. Bukan Mama Biasa
Badanku rasanya mau remuk, pun demikian dengan tulang-tulangku yang terasa lunglai. Aku baru selesai merapikan apartment sekitar pukul tujuh malam, yang artinya aku berjibaku dengan barang-barang dan kamar baruku sekitar empat jam lamanya. Mulai dari menata buku-buku di rak yang ada di dalam kamar, menyusun baju-baju ke dalam lemari, merapikan koper kosong, memasang sprei, memasang humidifier dengan aroma favoritku, aah … pokoknya banyak yang aku kerjakan. Jadi pantas saja kalau sekarang perutku meronta karena lapar, tampang kumal, satu-satunya yang kupikirkan saat ini hanya tempat tidur dan bantal-bantal empuk yang melambai-lambai.
Mama sengaja tak kuijinkan ikut serta dalam kegiatan menata ulang tempat tinggal baruku ini. Beliau sudah pasti kelelahan selama perjalanan Surabaya Jakarta, jadi biarlah tugas ini itu aku saja yang melakukannya. Karena bosan hanya duduk diam, mama akhirnya memutuskan untuk belanja persediaan bahan makanan di supermarket yang ada di sebelah apartment. Mama bilang mau beli buah dan bahan makanan yang mudah dimasak untuk stok di kulkas, juga beberapa camilan untuk mengisi toples.
“Mel, udah selesai mandinya?” pekik suara mama mengagetkanku yang sedang menyikat gigi di wastafel kamar mandi. Aku sudah selesai mandi sejak beberapa menit yang lalu, namun masih betah berada di kamar mandi mewah apartment ini. Benar-benar hunian level sultan lah asset si Anya ini.
“Bentar lagi, Ma. Masih sikat gigi!” balasku ikut menaikkan volume suara. Tadinya kukira mama akan berlama-lama berbelanja di bawah, ternyata tak sampai satu jam beliau sudah kembali naik.
"Eh, tumben kok cepet, Ma? baru aja mau aku telpon, mau nitip-nitip," seruku begitu keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
"Mau nitip apa emangnya? mama cepet soalnya di bawah tadi ketemu sama Mas Hanif ini, dibantuin sekalian bawa belanjaannya. Makasih Ya, Mas."
Eh... kok ada orang lain?
Aku memang tak begitu memperhatikan keadaan saat keluar dari kamar karena aku berjalan ke arah ruang tengah. Sedangkan mama ada di area dapur dengan 'tamu' barunya, yang tak lain adalah Mas Hanif, orang kepercayaan Anya dan suaminya.
"Eh, Mas Hanif?" aku buru-buru menoleh, I dan mengangguk canggung pada pria jangkung berkulit sawo matang itu. Dasar mama, baru juga ketemu satu kali udah sok akrab aja. "Haduuh maaf ya jadi ngerepotin lagi, pasti mama tadi cerewet banget ya?"
Aku hafal bagaimana mama, begitu pula dengan kebiasaan belanjanya yang super lama karena sering membandingkan satu barang dengan barang lainnya. Hal yang tidak perlu sebenarnya, karena ujung-ujungnya akan dibeli juga.
"Hmmm, nggak kok, Mbak. Kebetulan tadi ketemu di bawah. Saya pas belanja juga."
Aku memang melihat plastik belanjaan lain yang ada di sisi meja makan. Ternyata memang bukan belanjaan mama, melainkan milik Mas Hanif.
"Mas Hanif tinggal di apartment ini juga?" tanyaku mencoba mengurangi canggung.
"Iya, Mbak, di—"
"Panggil Meli aja, nggak usah formal banget," potongku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.
"Oh oke," angguknya singkat. "Saya tinggal di di apartment ini juga, di lantai dua tepatnya."
Aku hanya mengangguk dan ber-o ria saat mendengar jawabannya. Tidak terlalu terkejut juga sebenarnya, karena sepengetahuanku suami Anya memiliki beberapa unit di gedung ini, jadi memang sangat mungkin sekali kalau orang-orang yang bekerja dengannya tinggal di sini juga. Apalagi jika dia adalah orang nomor satu yang menjadi kepercayaan seorang Senopati Rajata.
“Saya pamit dulu ya kalau begitu, mari Bu, duluan Mel,” pamit Hanif setelah keheningan beberapa saat.
"Looh, mau keburu mau ke mana sih? ini udah tante bikinin kopi. Kopi sachetan biasa tapi ya?" Suara mama kembali melengking. Satu detik kemudian sosoknya sudah kembali muncul dengan nampan kecil di kedua tangannya yang berisi secangkir kopi dan satu piring berisi potongan buah melon.
"Repot aja, Bu, eh ... Tante," balas Mas Hanif sambil mengangguk sungkan.
"Duh, repot apa sih? cuma kopi gini, sini … sini duduk lagi," ajak mama mencurigakan, apalagi saat beliau melirikku sekilas. Aku hafal aura-aura yang dipancarkan mama, apalagi kalau...
"Kalau Hanif tinggal di apartment ini juga, tante sambil nitip-nitip jagain Melisa boleh ya?"
Nah kaaan, apa kubilang...
"Ma," sergahku hingga tanpa sadar melotot. "Aku bukan anak PAUD, nggak usah dititip-titipin segala."
"Segede apapun kamu, mama tetep nganggep kamu itu anaknya mama yang harus dijagain dengan benar, Meli."
"Mama malu-maluin deh," decakku sebal.
"Malu-maluin apanya? ya enggak lah,"
“Itu tadi, ngapain nitip-nitipin segala?” cercaku mencoba lebih cerewet dari mama. Teman-temanku dulu sering memanggilku dengan sebutan ‘si cerewet berisik’, tapi rasanya panggilan itu lebih cocok disematkan untuk mama mengingat aku yang menuruni gen cerewet darinya.
“Ya nggak dong, itu mah biasa aja Meli, nggak malu-maluin sama sekali.”
"Hmmm, sa- saya akan inget pesan, Tante," sela Mas Hanif mencoba menengahi percekcokan antara aku dan mama.
Duh, mama beneran malu-maluin kan? belum kenal sehari sama Mas Hanif, udah sok kenal aja. Lihat aja tuh muka Mas Hanif sampai pucat setengah kikuk. Aku bisa membayangkan posisi Mas Hanif yang tentu saja tak enak hati menolak permintaan mama. Apalagi dia tahunya aku adalah sahabat dekat Anya, yang tak lain adalah bosnya.
Aku bersyukur karena tak lama kemudian ponselku mendadak berdering nyaring. Setidaknya hal tersebut bisa kujadikan alasan untuk menghindar sementara dari mama dan Mas Hanif. Setelah mengangguk pelan pada Mas Hanif, aku gegas ngacir ke dalam kamar. Ternyata Mbak Ajeng yang menelpon, dia salah satu editor senior juga di kantor Jakarta. Dia menghubungiku untuk sekedar mengingatkanku tentang job desk baru yang kini aku emban, juga tentang jadwal kerjaku yang akan dimulai dua hari mendatang.
Meninggalkan Mama dan Mas Hanif yang sayup-sayup masih terdengar masih mengobrol, aku sengaja berlama-lama di dalam kamar. Bahkan setelah mengakhiri panggilan dari Mbak Ajeng, aku tak langsung keluar kamar, malah asik menata buku-buku, notes, laptop juga beberapa perlengkapan kerjaku di meja kerja minimalis yang berhadapan langsung dengan jendela kamar.
“Kok lama banget, Mel?” Mama sudah melongokkan kepalanya ke kamar yang malam ini menjadi ruang pribadiku selama satu tahun ke depan.
“Baru kelar telponnya, Ma,” dustaku sambil mengangkat ponsel yang memang sudah mati sejak tadi.
“Ayo makan malam dulu, jangan langsung sibuk kerja. Mama dari tadi sendirian nungguin kamu,” titah perempuan paruh baya idolaku ini. Iya, mama memang menjadi sosok idolaku, di luar ranah seringnya kami adu pendapat atau lomba siapa yang paling berisik di rumah.
“Sendirian?” ulangku langsung di angguki mama. “Mas Hanif udah balik?”
“Udah barusan, dia nggak mau mama ajak makan malam bareng.”
Aku mendebas napas lega. “Ya iyalah nggak mau, Ma. Lha wong baru juga kenal tadi pagi, langsung mama recokin gitu. Risih pasti.”
“Masa sih? Hanif kelihatan nyantai-nyantai aja tuh ngobrol sama mama, kamu sih nggak tau, makanya ikutan nimbrung tadi!” Mama masuk kamar dan langsung duduk di kursi depan meja rias.
“Mas Hanif sungkan aja kali, makanya nggak nunjukin kalau risih. Lagian Mama kurang kerjaan banget deh, sok deket sama Mas Hanif gitu. Jangan lagi ya! sibuk dia tuh, jadi orang kepercayaannya Seno pasti kerjaannya nggak main-main.”
Mama mengerucutkan bibir mendengar ceramahku. Tapi aku mana peduli, karena aku yakin pemikiranku benar dalam hal ini. Mama sendiri yang tadi pagi menceramahiku agar tak merepotkan Anya atau siapapun selama aku merantau ke ibukota, eh, ndilalah malah mama sendiri yang sok ngerepotin Mas Hanif pake acara nitipin aku segala. Hadeeh, dasar emak-emak ya, labil!
“Kamu kapan mulai ngantor?” tanya mama begitu kami berdua duduk bersebelahan di ruang tengah sambil membawa piring berisi nasi padang lengkap dengan lauknya. Kami memang jarang makan di meja makan, jadi ruang keluarga yang selalu menjadi ruang favorit kami untuk makan sambil bercerita ngalor ngidul.
“Dua hari lagi sih, Ma. Sekarang masih santai, kan emang dikasih waktu lebih buat pindahan dulu.” aku mencomot kerupuk udang di depan mama karena yang sebelumnya sudah habis duluan.
“Nanti di kantor yang baru kamu harus lebih hati-hati loh ya!” pesan mama membuatku menaikkan alis tak mengerti.
“Ngapain? aku kerja ya kerja aja, Ma.”
“Ya mama cuma khawatir aja, kamu cinlok lagi kayak sama si Bayu banci yang waktu itu. Pokoknya mama nggak rela kalau kamu sampai tertipu dua kali.” Dari nada bicaranya saja aku sudah sangat paham kalau mama masih memendam dendam kesumat pada Bayu, mantan suami super bajingan yang sempat singgah dalam hidupku.
“Hadeh, Mama … nggak usah diingetin juga aku pasti hati-hati. Siapa juga yang mau masuk ke dalam jebakan buaya buntung.”
“Ya kali aja kamu belum kapok sama kisah yang lalu-lalu. Gagal move on dari pacar sebelumnya, malah dapet laki modelan kayak Bayu yang … haduuuuh, amit-amit jabang bayi!!” mama mengetuk-ngetuk kepalanya pelan dengan kepalan tangannya.
Aku memejamkan mata sejenak. Rasanya hatiku tersentil setiap kali mama menyindirku perihal bagaimana bodohnya aku yang dianggap sebagai korban ghosting dan gagal move on dari cinta pertama, lalu terjerat jebakan pernikahan oleh mantan suami yang aku jadikan pelarian seperti Bayu. Rentetan kejadian yang lagi-lagi menarikku ke dalam kenangan di masa lalu yang pernah ditorehkan oleh seorang Arfino Hesta, lelaki pertama yang sukses membuatku terkekang dalam sakitnya pengkhianatan.
“Mama ih, nggak perlu merembet bahas masa lalu lagi deh,”
“Biar nggak terulang lagi, Meli,” tegas mama dengan mama tenang.
“Nggak akan, Mama,” balasku tak mau kalah.
“Semoga saja, doa mama nggak pernah putus buat kamu. Biar segera dipertemukan sama jodoh terbaik dan bisa langgeng bikin kamu bahagia.”
“Amiiin,”
“Eh, kayaknya Hanif Hanif tadi baik loh, Mel.”
“Astaga, Mamaaa!!!”
♥♥♥
Eaaa, emang nama Hesta pasaran banget ya Mel, bikin hati ketar-ketir aja😆😆
Yukkk ditunggu komentarnya, biar aku makin semangat upload bab selanjutnya 💃💃
Eehh…Btw, bab 5 ada di wattpad yaa, kalau di sana aku up per 1 bab, sedangkan di Karyakarsa aku up per 2 bab. Tapi isinya sama kok, bebas mau baca di mana aja ;)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
