
“Ya Tuhan, gini banget hidup gue. Habis dikerjain pacar, sekarang dikerjain pagar!”
4~ Pagi yang Berisik
Tidur nyenyak Danesh terusik, padahal rasanya baru beberapa saat ia memejamkan karena kelelahan setelah penerbangan sore hari kemarin. Masih berat untuk membuka kedua mata, Danesh mencoba menggapai ponselnya di atas nakas. Menyipit sejenak, pria itu kembali menggerutu saat melihat jam di ponselnya masih menunjukkan pukul dua dini hari.
“Kucing berengsekk!!” umpat Danesh pada sepasang kucing berisik yang suaranya memekik di telinga. Entah kucing birahi milik siapa yang lepas hingga mengganggu kenyamanan tidur malamnya.
Berjalan pelan menuju jendela besar di kamarnya, pria itu mengintip dan mendapati Pak Wigu sedang menyiram sepasang kucing itu dengan seember air dingin. Pria paruh baya itu memang pekerja yang sudah lama menjaga rumah ini, jadi tak heran kalau ia selalu sigap meski ada gangguan tengah malam seperti ini.
“Kucing siapa sih, Pak?” sambil mengucek matanya yang masih mengantuk, Danesh akhirnya memilih keluar kamar dan memeriksa ke teras rumah. Toh, kalau pun ia memaksa tidur lagi, kepalanya terlanjur pening karena terbangun secara tiba-tiba.
“Yang jantan punya tetangga rumah sebelah itu, Mas. Kalau yang betina kayaknya kucing liar, baru kali ini lihat,” jawab Pak Wigu sambil menenteng ember kosong yang isinya sudah berhasil mengusir dua makhluk berbulu yang sebelumnya saling kejar.
“Biasanya nggak pernah ganggu gini kok, Mas. Gara-gara yang jantan lepas aja ini kayaknya, besok saya kasih tahu pemiliknya,” sambung Pak Wigu lagi hendak menutup pagar yang sedikit terbuka.
“Biarin kebuka gitu dulu aja, Pak. Biar kucingnya keluar dulu, kasihan kalau lompat ketinggian.” Danesh memijat pelipisnya pelan lantas duduk di undakan kecil dekat dengan garasi mobil.
“Oh, iya siap, Mas,” angguk Pak Wigu kembali berjalan ke sebelah garasi di mana kamarnya berada. “Mas Danesh balik tidur saja nggak apa-apa, biar saya nanti yang nutup pagar sekalian pergi ke masjid.”
Danesh menggeleng. “Udah hilang ngantuknya, Pak. Saya di sini aja dulu, cari angin,” respon Danesh tersenyum tipis saat ia menyandarkan punggung ke pilar utama yang menyangga teras rumah.
Pak Wigu mengangguk lantas meninggalkan Danesh seorang diri. Baru satu minggu, pria bernama Daneshwara itu menyewa rumah dua lantai yang dijaganya, wajar kalau interaksi keduanya masih belum terlalu dekat satu sama lain.
Cukup lama Danesh berdiam diri sambil menggulir ponsel yang sejak beberapa jam lalu ia abaikan. Membaca rentetan pesan dari sang kakak yang mencoba membujuknya agar tak terlalu keras hati dengan ibu mereka. Selain karena tuntutan pekerjaan, kepergian Danesh kali ini memang sengaja menghindari sang ibu yang menurutnya sudah bertindak keterlaluan. Bagaimana tidak keterlaluan kalau perempuan yang telah melahirkannya itu sudah melamar seorang gadis tanpa persetujuannya.
Kak Iin : Selesaikan proyekmu, setelah itu segera pulang. Jangan lama-lama menghindar dan mendiamkan mama, dosa!
Kak Iin : Memang caranya salah, tapi Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, kalaupun kamu menolak, kakak akan coba bicara sama mama, cari jalan keluar.
Kak Iin : Tapi kalau dipikir-pikir, nggak ada salahnya kamu coba pendekatan dulu ke Ning Zila, dia baik. Pendiam, penurut, pinter, jelas juga bibit bebet bobotnya, siapa tau kalian berjodoh—
Jemari Danesh urung mengetik balasan pada sang kakak karena telinganya kembali terusik dengan suara bising yang kali ini lebih mengganggu daripada suara kucing kawin beberapa menit lalu. Bukan suara yang berasal dari hewan berbulu itu lagi, melainkan suara berisik dari pagar besi yang didorong paksa oleh tetangga depan rumahnya.
“Astaga … ini ada apa sih? nggak tenang banget hidup gue!” omel Danesh lantas bangkit dari duduknya setelah memasukkan ponsel dalam saku celana.
Berjalan cepat melewati halaman, pria itu berhenti di ujung pagar untuk memeriksa apa yang terjadi di depan tempat tinggalnya. Mulut Danesh yang siap berteriak memaki mendadak tertutup ketika mendapati seorang perempuan muda sedang menendang-nendang pagar depan rumahnya sambil meneriakkan umpatan-umpatan kasar. Semua sumpah serapahnya tertelan begitu saja karena Danesh memilih diam dan mengamati perempuan itu diam-diam.
Beberapa menit berlalu, makian perempuan itu semakin nyaring ketika memarahi pagar rumahnya yang enggan terbuka. Danesh yang khawatir keributan itu akan mengundang amarah dari tetangga lain akhirnya memutuskan mendekat untuk membantu apapun yang kiranya bisa ia bantu untuk meredakan keributan tersebut.
“Lo sama bangsatnya kayak Barra dan Belinda ya ternyata!!” geram perempuan berambut cokelat gelap itu makin menjadi-jadi. “Kunci sial—”
“Heiii … itu kamu muter kuncinya kebalik.” Danesh mengusap-usap telinga untuk meredam gaung dari bunyi gesekan pagar besi yang ditendang-tendang.
“Ap—”
“Kamu mau bangunin orang satu kompleks?!” Danesh meninggikan suara berharap gadis bermata besar itu mendengarnya dengan jelas.
Melihat perempuan di hadapannya terdiam kaget, Danesh berinisiatif mengambil alih kunci dan membukakan pagar besi setinggi dua meter di depannya. Dan benar saja, hanya dalam hitungan detik, usaha kecilnya langsung membuahkan hasil. Tanpa perlu berteriak marah atau menghabiskan energi menendangi pagar tak berdosa itu.
Awalnya, Danesh pikir, si tetangga cantik namun pemarah di depannya ini pastilah sedang mabuk karena tindakannya yang tak tahu aturan. Namun begitu perempuan itu memperkenalkan diri dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan kecilnya, barulah Danesh sadar kalau sosok di depannya sama sekali tak terpengaruh alkohol atau hal serupa lainnya.
“Sherin, dan yaa … thank you atas bantuannya meski aku nggak minta.”
“You’re welcome. Saya Daneshwara.” Danesh melengkungkan senyum tipis begitu melepas jemari lentik nan halus yang baru saja menjabat telapak tangannya. “Kalau saya nggak bantuin, bisa jadi kamu digeruduk tetangga lain karena bikin ribut pagi-pagi buta.”
“Sorry,” lirih Sherin sambil berjalan mendekati pagar dan mendorongnya kuat-kuat.
Danesh hanya mengangguk pelan kemudian kembali berjalan menyeberang hendak pulang. Namun kepalanya kembali terusik tatkala gerutuan Sherin kembali terdengar, kali ini bukan hanya makian, tapi lengkap dengan isak pelan yang yang menandakan perempuan itu tengah berlinang air mata.
“Ya Tuhan, gini banget hidup gue. Habis dikerjain pacar, sekarang dikerjain pagar!” keluh Sherin menahan isak.
Memejam sesaat, Danesh akhirnya berbalik dan mengayunkan langkah mendekati Sherin yang kali ini kesulitan mendorong pagar sampai terbuka lebar agar bisa memasukkan mobilnya.
“Kalau nggak kuat dorong, jangan nangis. Mending minta bantuan aja,” ujar Danesh menyikut pelan lengan Sherin agar gadis itu bergeser. Mungkin Sherin lelah, karena itulah ia tak punya tenaga untuk membuka pagar rumahnya sendiri.
“Siapa yang nangis?” Sherin cepat-cepat mundur beberapa langkah dan mengusap jejak basah di wajahnya. Pipinya yang putih sontak berubah kemerahan karena sembab dan salah tingkah akibat tertangkap basah sedang menangis.
Danesh tersenyum lega ketika pagar sudah terbuka lebar. Dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana, pria itu sedikit geli melihat tingkah tetangga barunya ini. Entah kekacauan macam apa yang dialami Sherin, sampai-sampai ia kehilangan fokus dan malah menangis di depan orang asing seperti ini.
“Mana kunci mobilnya, sekalian aku bantu masukin mobil. Daripada kamu yang masukin malah ada kemungkinan nubruk ke mana-mana kalau sambil nangis,” ujar Danesh mengulurkan telapak tangan kanannya.
“Aku nggak nangis ya!” Sherin gegas mendongak membalas tatapan Danesh. Hal yang justru memperjelas jejak basah yang masih tersisa di sudut matanya.
Danesh mengangguk-anggukan kepala. “Ya ya ya … anggap saja itu bukan air mata. Mana kuncinya?”
Sambil mengerucutkan bibir, Sherin tetap menyerahkan kunci mobilnya pada si tetangga baru yang menurutnya sok tahu. Cukup kali ini saja ia menahan malu karena berkali-kali mendapat pertolongan dari tetangganya, lain kali ia akan memilih merepotkan Bik Nuning saja.
Sherin masih mematung sambil memegangi ujung pagar rumahnya sampai Danesh benar-benar membawa mobilnya masuk dan memarkirkannya dengan benar di dalam garasi yang terbuka. Pikiran perempuan itu memang masih bercabang kemana-mana. Tak hanya kacau karena nyaris terjebak tak bisa masuk rumah, benaknya juga masih berkeliaran memikirkan Barra dan Belinda yang jelas-jelas menghabiskan waktu berdua di dalam kamar hotel.
“Saranku … setelah ini lebih baik kamu kunci pagar, kunci pintu lalu istirahat banyak-banyak. Seberat apapun hari yang kamu alami, jangan sampai hilang kendali dan marah-marah seperti tadi.” Tahu-tahu Danesh sudah berdiri di depan Sherin sambil mengulurkan kunci mobil.
Sherin melongo sesaat, lalu menyipitkan mata mengamati Danesh yang mendadak bijak menasehatinya. Padahal ia lebih butuh pelampiasan emosi daripada petuah pagi hari dari tetangga antah berantah.
“Diiih, siapa yang marah-marah?!”
See? Bahkan Sherin mengatakan hal tersebut dengan nada tinggi dan terkesan nyolot dengan membelalakkan mata.
“Whatever. Saya mau lanjutkan tidur yang tadi berhasil kamu kacaukan.”
Danesh menggeleng heran, lalu melambai pelan pada si tetangga pemarah yang berhasil membuat paginya berisik dan … penuh kejutan.
♥♥♥
Sabar aja Mas Danesh, tunggu aja kejutan lain dari si mbak tetangga 😂😂
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
