Aruna dan Cintanya (1-3)

16
2
Deskripsi

Aruna, gadis belia yang baru saja merasakan meriahnya jatuh cinta. Gerian adalah pria yang membuat Aruna luluh dan jatuh hati jatuh sejatuhnya. Pria pujaan yang tanpa sengaja bertemu di perantauan, yang memberinya banyak kucuran cinta dan hantaman luka di waktu yang sama. Sayang, semesta tak begitu saja merestui mereka dengan jalan lurus yang mudah ditempa.

Banyak jurang perbedaan yang terpampang nyata di antara dua insan dimabuk asmara itu. Belum lagi sosok cantik dari masa lalu yang tak begitu...

1- Bukan Geri Choco

Padang sedang dalam cuaca terbaiknya pagi ini, langit sangat cerah disertai angin pelan yang begitu segar. Tapi entah kenapa begitu berbanding terbalik dengan suasana hati Aruna yang tampak terlena dengan lamunan kosongnya dari balik meja kerja.

“Haii Cantik, pagi-pagi kenapa udah pasang tampang  jutek aja sih?” goda Shanti yang baru saja datang dan langsung duduk di kursi depan meja kerja Aruna, sontak menyadarkan gadis itu dari lamunannya.

Opo’o? Kamu lagi PMS?”

“Bukan gitu, Uni, hmm ... aku kan udah sebulan lebih yah ditugasin di sini, tapi kenapa masih berasa pindah planet ya? roaming terus gitu,” lirih Aruna menopang dagunya dengan telapak tangan.

“Pindah planet gimana?”

“Yaa, aku belom banyak paham bahasa sini, berasa jadi bahan ledekan gitu deh, gara-gara akunya gagal paham obrolan temen-temen.” Aruna menunduk lesu sambil memutar-mutar ponselnya.

“Halah, nanti lama-lama lak terbiasa juga cah ayu, aku aja yang udah lima tahun di sini, masih sering gak connect kok, apalagi kamu. Sabar-sabar ya,” ucapnya sambil mengusap lengan atas Aruna naik turun.

“Eh iya, ini ada makan siang buat kamu, siapa tau kamu lagi kangen masakan rumah kan?” Shanty mengerlingkan mata setelah meletakkan dua kotak tupperware di atas meja kerja Aruna. 

“Aahhh so sweet, Nishan the best pokoknya!” Aruna yang langsung berbinar mengangkat kedua ibu jarinya ke udara.

Sudah hampir satu bulan gadis yang belum genap berusia delapan belas tahun itu dipindahtugaskan dari kantor pusat Jakarta ke kantor cabang di Padang, yang baginya adalah negeri antah berantah, karena bahasa daerah yang menurut Aruna sangat jauh berbeda dengan tempat asalnya.

Aruna yang gadis jawa tulen tentu butuh banyak waktu untuk mencerna bahasa keseharian yang digunakan disini, dikantornya yang sekarang pun hanya ada empat orang yang sama-sama berasal dari jawa dan sangat mengerti perasaan Aruna.

Shanty yang berasal dari Ponorogo, biasa ia panggil Nishan, singkatan dari uni Shanti, ada lagi Hakim dari Malang yang ternyata masih satu alumni di sekolah Aruna dulu, Moko dari Jombang dan terakhir dirinya sendiri, dari Malang.

“Na, udah sarapan?” sapa Saliem membuat Aruna yang awalnya fokus pada layar ponselnya spontan menoleh.

“Udah, Bang.”

“Yaah, padahal mau abang ajak sarapan bareng sama anak-anak FO lain. Mau?”

Sarapan bareng-bareng dan gratis? Siapa yang sanggup nolak sih..

Sedetik berselang Aruna langsung mengangguk mengiyakan ajakan tersebut. Kapan lagi bisa hemat duit gajian kaan, pikir gadis belia itu.

“Mau, Bang, yuk! ”

***

“Eh, Na, di kamar kamu udah ada kasur?” tanya Dina pada Aruna saat mereka sama-sama menikmati sarapan di salah satu resto yang tak jauh dari tempat kerja.

“Udah, kemaren anak ibuk kost yang gantengnya sebelas dua belas sama Siwon Suju itu dateng. Terus aku minta tolong bukain gudang buat ambil kasur. Eh ... tahunya malah dia ikut bantuin angkat-angkat,” kekeh Aruna meski masih sibuk mengunyah rendang.

”Bagus lah, kalo belum ada kasur mau kakak ajak cari-cari nanti begitu pulang kantor.”

“Makasih kak, tapi kamarku udah lengkap paripurna kok sekarang,” ucap Aruna bangga.

Sebagai pendatang yang kepolosannya tingkat dewa, Aruna setuju saja ketika seniornya di kantor, si kakak beradik Elma dan Okta, menawarinya tinggal di rumah kost yang tak jauh dari kantor mereka. Bangunan besar dengan dua lantai, enam kamar tidur di lantai atas semuanya disewakan, sedangkan lantai satu dibiarkan kosong, untuk sang pemilik yang sewaktu-waktu berkunjung.

Tapi satu yang mereka lupa, jika kamar kosong di seberang kamarnya ternyata tanpa kasur ya pemirsa. Jadilah si Aruna anak rantau itu tidur hanya beralaskan karpet bulu dan selimut tebal selama seminggu pertama. Beruntung, hari minggu lalu pemilik rumah datang dan Aruna dengan percaya diri memasang wajah udiknya, mereka sudah iba pada gadis itu dan semerta-merta langsung memindahkan spring bed empuk dan lemari besar dari gudang lantai satu untuk dipindahkan ke kamar Aruna di lantai dua.

By the way, udah betah kamu di sini?” usik Dina lagi.

“Lumayan, makanannya enak-enak sumpah, sambal ijonya apalagi,” cerocos Aruna dengan mulut lincah mengunyah ini dan itu.

“Syukurlah kalau begitu, enak kali tinggal di sini, masih seger, asri. Yaa... meski kadang panas juga kan?” lanjut Dina

“Iya sih, Kak.” Aruna kembali sibuk dengan potongan rendang di piringnya.

“Nanti kalo senggang, kita ajak kamu keliling Padang. Pasti makin betah, apalagi cowok-cowok disini ganteng-ganteng, ya siapa tau ada jodoh kamu di sini diak, iya kan Din,” timpal Saliem sambil melirik Dina.

“Naah betul tuh, siapa tau kayak Ni Shanty. Kerja di sini, lanjut dapet jodoh orang Padang asli. Nanti kalau kamu dapat pasangan orang sini, dijamin lupa pulang ke Jawa.” Dina terkekeh bersamaan dengan staff yang lain.

Hampir setiap hari terjadi, tiap sarapan atau jam makan siang, Aruna jadi bahan bulan bulanan mereka. Bahkan tak jarang mereka menggunakan sepenuhnya bahasa minang yang sama sekali tak bisa diserap otak tipis Aruna.

***

Assalamualaikum. El ... Elma, bukain pager, El!” suara berat seorang pria menggema di depan pagar rumah kost Aruna. Begitu pula dengan gebrakan kencang yang berasal dari pagar.

Aruna yang tengah berada di dapur lantai satu yang tak begitu jauh dari pagar bergegas keluar setelah mendengar sedikit kebisingan di depan.

“Kak Elma belum pulang, nggak sabaran banget sih gedorin pager sampe segitunya, berisik!” dengkus Aruna dengan wajah sebal, tak lupa ia menggosok-gosok telinga seolah memberi isyarat kebisingan yang baru saja terjadi.

“Oh... belum pulang?” Pria itu mengangguk sekilas.

“Belum, Abang siapa? nanti biar aku sampein aja pesen ke Kak Elma kalo udah pulang,” dengkus Aruna berkacak pinggang

“Lo yang siapa? anak baru ya? gue udah sering ke sini, Elma, Wita, Okta, sama Iyut semuanya geng gue.”

“Diih udah om-om juga, sok ABG banget main geng-geng segala, inget umur kali,” gerutu Aruna seraya mengerucutkan bibir.

“Songong banget sih anak kicik (*kecil), buruan bukain pager kenapa sih?”

Mau tak mau, akhirnya Aruna menuruti juga perintah pria yang baru pertama kali dilihatnya itu. Bisa-bisa kena bullyan lagi nanti jika kakak-kakak kostnya marah karena teman baik mereka ia halangi masuk.

“Na, ini namanya Gerian, panggil aja Gege. Ge, ini Aruna bisa dipanggil Nana, anak baru di kantor gue. Dari Jawa dia, makanya masih polos, kadang nggak sinkron juga otaknya kalo kita ajak ngomong, plus masih piyik pula, jangan coba-coba lo poles ya,” titah Okta panjang kali lebar saat mengenalkan keduanya.

Aruna hanya tersenyum kecut melirik Okta, lantas mengalihkan pandangan menuju lelaki yang dimaksud.

Geri.. Geri.. Geri siapa tadi ??

Geri Chocolatoss..!

 

2 - Galau

“Salam kenal ya, Bang.” Aruna menunduk sekilas dan mengulurkan tangan kanannya yang disambut uluran tangan juga oleh pria tinggi di hadapannya itu

“Salam kenal juga, gue boss dari kakak-kakak kost lo yang genit-genit ini,” tunjuk Gege bergantian pada Okta, Elma dan Iyut setelah menjabat tangannya singkat.

“Lo umur berapa sih? baru banget lulus sekolah? piyik amat,” selidik Gege.

“Delapan belas, iya baru lulus sekolah tahun ini.” Aruna menunduk, sedikit takut dengan tatapan setajam elang milik Gege.

“Ngapain udah kerja jauh-jauh ke sini?”

“Cari pengalaman, Bang, bosen sekolah terus.”

“Yakin?”

“Hmm..” Aruna mengangguk tanpa suara

“Nggak lanjut kuliah?”

“Rencananya tahun depan, sambil kerja gitu.”

“Rencana kuliah di mana?”

“Belum tahu.”

“Heh, Ge, lo ngapain juga interogasi Nana sebegitunya sih? Liat muka dia sampe ciut gitu.” Aruna melirik ke arah Elma yang membelanya sambil menyipitkan matanya.

“Dan mata lo tuh ya, tolong santai dikit?” imbuh Okta lantas terkekeh.

“Ada yang salah sama mata gue?” Gege balik bertanya.

“Mata lo melotot terus ke Nana, tau aja ada perawan bening.”

Ck, perawan bening?

Eh ... emang bening sih ni cewek baru, manisnya beda, bisa kali buat cuci mata. 

***

"Tau gak sih, Bang, kalau makanan terbaik buat cewek yang lagi galau adalah martabak telor." racau Aruna sambil memotong martabak di depannya menjadi potongan kecil.

"Emangnya galau kenapa?" Gege menimpali.

Sejak perkenalan di luar ekspektasi dua bulan lalu, mereka berdua sudah sedekat ini sekarang. Sering menghabiskan waktu bersama, seperti saat ini, mereka memutuskan makan malam berdua di warung yang tak jauh dari kost Aruna.

"Galau karena kangen orang rumah, ibuk terutama," jawab Aruna malas.

"Udah telpon?" Aruna hanya mengangguk pelan sambil mengaduk-aduk es kelapa muda di depannya.

"Terus? kenapa masih galau?"

"Ya kangen pengen ketemu langsung, tatap muka sambil peluk-peluk gitu." Aruna makin menunduk

"Cuti lebaran nanti kan bisa pulang sebentar?"

"Iya siih, tapi nanggung ah, gak nyampe dua minggu juga. Apalagi pas high season gitu pasti harga tiket naik berlipat."

“Abang bisa nyariin tiket pesawat yang murah. Ya ... kalau lo mau sih”

“Yakin?” Aruna mendongak mendadak antusias dengan jawaban seorang Gerian Fernanda

“Ya gitu deh, lo kayak gak tau Gege aja. Kawan abang banyak Diak.” ujar Gege seraya mengacak rambut Aruna yang mulai memanjang.

“Hmmm ... boleh deh, beneran cari yang murah ya, bisa kering tabunganku aku. Baru kerja berapa bulan juga.” Gege hanya mengangguk melanjutkan santapan malamnya.

“Mau pulang tanggal berapa sampe tanggal berapa lo kabari aja. Ntar abang cari tiket pergi pulang sekalian.”

“Siap.” Aruna mengangkat tangannya layaknya pose salute.

Dua hari berselang setelah perbincangan mereka berdua tentang cuti hari raya yang memang sebentar lagi. Gege sudah mendapatkan tiket pulang pergi pesanan Aruna.

“Nih tiketnya, boleh cicil sampe berapa kali juga terserah. Khusus buat lo aja. Murah kan?” ucap Gege bangga sambil menyerahkan dua lembar tiket Padang - Surabaya pada gadis manis didepannya.

“Waaah cepet banget sih, Bang.” Aruna berbinar saat membaca dua lembar tiket ditangannya

“Iyo lah, Gege gitu loh.”

“Abis ini aku transfer ya.”

“Nyantai aja, gua gak keburu.” Lagi-lagi Gege mengacak rambut lebat Aruna, kebiasaan baru sejak ia mulai dekat dengan gadis manis itu.

“Ge, sekarang lo rajin banget maen ke sini ya?” sapa Wita yang baru saja pulang dari rumah sakit.

“Mampir lah Wit, noh adiak lo taragak taruih,” (* adikmu kangen terus) jawab Gege santai.

“Ciiih ... alesan. Gimana Na? sudah dapet tiket?” tanya Wita mengalihkan pandangannya pada Aruna.

“Udah, Kak.” Aruna berbinar ketika melambai-lambaikan dua lembar tiketnya didepan wajah.

“Eh, by the way kalian udah makan? Ge? Na?” Wita bergantian menatap Gege dan Aruna

“Masih kenyang kak.” Aruna mengusap perutnya

“Alah Wit.” Gege menjawab malas sambil menyesap teh hangat yang Aruna suguhkan tadi.

“Yaudah gue ke atas ya. Jangan beduaan lama-lama, yang ketiga setan tauk. Ge, lo jangan main-main ya sama adek gue!” tegas wita mengacungkan telunjuk sebelum meninggalkan mereka.

Wita adalah perempuan mandiri yang tengah menyelesaikan kuliah kedokteran di Padang. Sambil bekerja di salah satu rumah sakit di sebelah kantor Aruna. Ia cantik, berkulit putih bersih, badannya tinggi semampai bak model, karena itu tak jarang teman-teman kost nya menjulukinya ‘artis nyasar’.

“Diak, lo udah ngabarin orang tua kalo cuti lebaran besok mau balik?”

“Belum. Biar sekalian kasih surprise gitu.”

“Nanti mau gue anterin ke bandara?”

“Masih lama kan, masih sebulanan lagi. Biasanya sih kantor ngasih fasilitas mobil gitu bang kalo ke bandara, hmmm...liat nanti aja deh ya?”

***

Geri Choco : Udah sampe mana?

Geri Choco : Udah dijemput?

Geri Choco : Kabarin kalo udah nyampe Diak!

Geri Choco : Diak.

Geri Choco : Diak, are you okay?

Geri Choco : Woooiii.. yang punya HP. Where are you? 

Sepuluh menit pertama, sepuluh menit kedua, setengah jam, satu jam dua jam dan....

Nana : Bang Gege, aku udah nyampe. Ini udah di mobil sama bapak, udah perjalanan ke rumah. Maaf baru balas, tadi lowbath. Makasih ya, Abang.

Gege tersenyum lega membaca balasan dari Aruna, ia tak sabar untuk segera menelpon gadis kecilnya itu.

Geri Choco : Gue telpon yah? masih jetlag?

Tak berniat membalas pesan Gege, Aruna malah menekan tombol hijau untuk lebih dulu menelpon pria yang menjadi manusia favoritnya dalam tiga bulan ke belakang.

“Padang-Surabaya gak akan bikin jetlag, Bang.” Aruna terkekeh dengan ponsel menempel di telingan kanannya, sesekali ia lirik Ayahnya yang masih fokus dengan setir mobilnya.

“Ehh, malah ditelpon duluan, taragak bana (*kangen banget)  sama abang hah?” tanya Gege menahan senyum.

“MasyaAllah Ge eR bener ya.”

Cuma pengen mastiin adek kecilnya anak-anak sudah sampai dengan selamat.

Aruna tersipu. Telapak tangannya menekan dada yang tiba-tiba berdesir tak tahu malu mendengar ucapan pria di seberang sana. Kalimat sederhana memang, tapi entahlah kenapa bisa membuatnya salah tingkah seperti sekarang. 

Alhamdulillah sampai dengan selamat. Salam buat kakak-kakak di sana yah, tadi aku udah kirim whatsapp kak Elma tapi belum dibaca”

“Oke siap, yaudah selamat pulang kampuang yo diak, salam buat bapak ibuk calon mertua yaa, bye Assalamualaikum.”

Belum sempat Aruna membalas salam, Gege memutus panggilannya secara sepihak dengan hati berdesir. Desiran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dengan Irina, kekasihnya... ahh bukan bukan kekasih, entah apa hubungan mereka. Yang jelas bukan sepasang kekasih menurut Gege.

Entahlah, dengan memikirkan nama Irina saja tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat. Entah kenapa, akhir-akhir ini nama Irina mulai menguap dari pikirannya, dan perlahan digantikan pesona Aruna. Gadis belia yang ceria dan menggemaskan. Apakah dia mulai berubah menjadi pria berengsek yang terjebak perasaan pada dua wanita berbeda? Gege menyugar kasar rambutnya, mencoba berpikir jernih dan mengenali perasaannya sendiri.

Sementara, di belahan bumi yang lain, Aruna mematung dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. 

Calon mertua?

Apa-apaan si Geri Choco ini, bisa membuat jantung Aruna melompat-lompat dari tempatnya hanya dalam beberapa detik saja. Memang selama dekat beberapa bulan ini Aruna menyadari ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh dihatinya. Namun ia terlalu takut mengakui hal tersebut, karena yang ia tangkap dari perhatian Gege selama ini hanyalah sebatas perhatian kakak pada adik kecilnya.

‘Bang, ba’a ko? diak alah taragak samo abang kini.’

(*Bang, gimana ini? Adek udah mulai kangen sama abang)

 

3- Pepes Patin

“Siapa?” tanya ayah Aruna dengan padangan masih fokus pada kemudinya.

“Temen di Padang, Pak, yang bantuin Nana dapet tiket pulang hari ini.” jawabnya masih dengan melengkungkan senyum.

“Temen kantor?”

“Bukan, temennya kakak-kakak di tempat kost. Sering ketemu jadi kenal juga sekarang.” jawab Nana menunduk mengulum senyum.

“Hmmm.... pasti cowok.” tebak ayahnya lagi.

“Kok tau?” Aruna menoleh seketika dan melihat senyum tipis pada wajah sang ayah.

“Lha kuwi (*itu), sampe bisa bikin kamu senyum-senyum gak jelas gitu.”

“Inggih to Pak? Emang kapan Nana senyum-senyum?”

“Lhaaa dari tadi bapak liatin kamu mainan ponsel sama senyam-senyum nduk, ya pasti lah temen yang kamu maksud itu cowok.” Pak Hilman menjeda kalimatnya, menoleh pada gadis kesayangan disampingnya

“Bapak gak ngelarang kok kamu berteman dengan siapapun, malah bapak seneng kalo anak bapak banyak temen. Asal tetep inget norma ya, apalagi kamu yang sekarang paling jauh dari pantauan kami.”

“Siap bapaaaakkku!” Nana mengalungkan tangannya pada pria paruh baya di sebelahnya “Nana kangen ibuk pak, bisa agak cepet nyetirnya pak, sekali-sekali ngebut gitu gapapa.” rengek Aruna

“Hushhh, pamali ngebut-ngebut pas magrib gini”

***

Geri Choco : Ba’a kaba diak? Masih lamo di Malang

Nana : Baik abang, tiga hari lagi balik Padang. Kenapa? pasti kangen kan ?

Geri Choco   : Iiisssh.... Ge eR nya astaga ! Tapi emang iya sih dikit aja tapi, hehehe...

Nana : Hahaha... I see. Saba dikit, aku masih ngumpulin angpau lebaran di sini buat jajan-jajan di Taplau nanti.

Geri Choco  : Dasar bocah, pikirannya angpau mulu. Kumpulin deh yang banyak, ntar gue yang nemenin ke Taplau.

Taplau adalah salah satu pantai indah di kota Padang, disebut Taplau singkatan dari Tapi Lauik, bahasa minang yang artinya tepi laut. Pantai ini sangat dekat dengan kantor dan juga tempat kost Aruna selama di Padang. Hanya lima belas menit perjalanan dengan motor, jadi tak jarang ia menghabiskan waktu disana untuk sekedar memanjakan mata sepulang dari kantor.

“Lagi ngapain sih? ceria banget kayaknya,” tanya Bu Dewi, ibu Aruna yang tiba-tiba sudah bersandar di pintu kamar Aruna.

“Ini loh Buk, di chat sama temen di Padang, mau diajak main,” jawab Aruna masih berguling-guling diatas kasurnya.

“Baik-baik temen kamu di sana?”

“Alhamdulillah baik semua, Nana jadi yang paling kecil di kantor. Di tempat kost juga paling kecil, jadi kesayangan mereka, enak banyak yang manjain,” jawab Aruna latas terkekeh.

“Ibuk seneng kalau kamu bisa betah di sana, tapi jangan lupa sama janji kamu loh yaa, begitu kontrak kerja abis langsung pulang ke Malang. Kuliah di sini.”

Aruna langsung mengubah posisi dengan duduk bersila di hadapan sang ibu.

“Kalo Nana kuliah di sana gimana?” tanyanya antusias.

“Lhaa, kuliah di sini saja, biar ngumpul semua. Ibuk aja sebenernya gak tega nglepas kamu kerja sampe luar pulau gini Na, Cuma kamu aja yang maksa sampe nangis kejer-kejer kan waktu itu?”

Aruna yang mendengar jawabannya ibunya langsung mengerucutkan bibir hendak protes.

“Na, anak ibuk itu perempuan semua. Arumi, kamu, Ailsa, Rania sama Rumaisha. Ibuk ya ndak tega laah, kalo kalian jauh-jauhan, ibuk pengennya kalian tetep dalam pantauan ibuk sama bapak. Kalaupun menikah dan ikut suami kayak mbakmu, ya gapapa asal masih deket sini aja. Gak jauh sampe nyebrang pulau.”

Kathah (*banyak) pesawat Buk jaman sekarang, lah kemaren itu malah Nana dapet rezeki tiket pesawat diskonan kan?” gerutu Aruna

“Halaah kelamaan nunggu diskonan, kalo kalian deket kan bisa pulang kapan aja, gak usah bingung nunggu diskonan.”

“Laaah terus misalnya dapet jodohnya orang jauh, beda pulau, beda negara, beda benua gimana ibuk?” Aruna mengalungkan manja kedua tangannya pada bahu sang ibu.

“Kamu, jangan-jangan..” tak melanjutkan kalimatnya, bu Dewi malah menatap mata putrinya penuh tanda tanya.

“Kamu punya pacar ya di Padang?” lanjutnya curiga. 

“Ndak Buk, ndaaak ... serius! Tadi kan Nana bilang, misalnya Buk, mi-sal-nya. Bukannya jodoh itu misteri, kita gak pernah tau buk. Lihat aja tuh mbak Mina depan rumah, malah dapet jodoh orang Turki yang gantengnya gak ketulungan kan. Apa ya nggak kurang jauh itu? Turki looh.” dengus Aruna

“Ngomongmu kayak udah nenek-nenek aja Na, sok bijak. Itu si Mina kan tetep tinggal di sini sama suaminya, gak ikut pindah ke Turki.”

“Berarti boleh ya buk?” desak Aruna.

“Apanya?” lirik bu Dewi mulai jengah.

“Dapet suami orang jauh asal tinggal deket sama Ibuk gitu kan maksudnya?” Aruna mengedipkan kelopak matanya berkali-kali mencoba merayu.

“Mikirmu kejauhan, baru juga lulus sekolah, wes mikir rabi (*menikah). Kuliah dulu yang bener, jangan keasyikan kerja terus,” jawab bu Dewi langsung berdiri dan beranjak keluar dari kamar Aruna

“Cuma nanya kanjeng mami. Nana ndak bermaksud keburu nikah kok, haduh ibuk piye (*gimana) sih?”

“Iiissh.... perawan berisik, buruan ke dapur sana, bantuin Ibuk masak buat sarapan.”

***

“Pak sarapan sudah siap, sini dulu.” 

Suara tak asing mulai menggema di meja makan keluarga, Ibuk. Wanita paruh baya yang akrab dipanggil bu Dewi ini memiliki mata lebar, seperti Aruna. Meski sedikit kerutan mulai menghias di ujung matanya, pesona kecantikannya sama sekali tak tergerus usia.

“Waah, pepes  patin sama sayur asem ya?” Ayah Aruna menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan antusias “Siapa yang masak?”

“Ibuk yang masak sayur asem sama sambel, Nana yang masak pepes patin,” jawab Aruna tak kalah sumringah.

“Waaah... pasti maknyus ini buk.” lanjut bapak terkekeh, segera mengisi piring nya dengan nasi dan lauk.

Aruna melirik sekilas pada kedua orang tuanya yang saling adu pandang. Gadis itu selalu tersenyum jika melihat rona wajah ibunya yang bersemu bahagia jika sang suami memuji hasil masakannya. Memang tak dipungkiri, Pak Hilman ayah Aruna terkenal dengan sifat tegas dan keras. Namun di hadapan sang istri beliau nampak mengayomi dan penuh kasih sayang. Demikian pula dengan Bu Dewi, yang pagi itu terlihat begitu bahagia kala menyendokkan sambal serta lauk kesukaan suaminya.

Aruna selalu menginginkan suami seperti itu, lelaki yang tak pernah bosan memakan masakannya. Sederhana bukan harapannya?

By the way Pak, itu pepes patin Nana lho yang masak, kok cuman ibuk yang dipuji-puji, dilirik-lirik. Nana gak dipuji?” protes Aruna dengan memajukan bibir bawahnya

“Ealah Na, baru bisa masak pepes patin aja udah nagih dipuji, kalahin dulu dong bakat masak ibukmu, baru bapak restui dapet suami orang Padang.”

“BAPAAAKK!!”

♥♥♥oo♥♥♥

Maap banyak typo, 😆😆

Ditunggu LIKE dan komentarnya yaa…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Aruna
Selanjutnya I Love You, Btw (EKSTRA PART 2 -END)
11
3
Akhirnya sampai juga di part terakhir Amar Jana kesayangan kita 😍 Happy reading semuanya 😘😘
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan