
"Menikahlah dengan Mas Adnan, Sa," ulang Dinda dengan pelan.
"Kenapa aku harus menikah dengan suami dari sahabatku sendiri? Aku gak mau Din," jelas Anisa menolak dengan secepat kilat saat permintaan tak masuk akal dari sahabatnya itu terlontar.
Adinda mengangkat wajah, ia tersenyum menatap mata Anisa yang tampak berkaca-kaca.
"Aku ikhlas...
"Tak ada satu pun wanita yang ikhlas membagi suaminya dengan orang lain-
"Tapi untuk kamu. aku ikhlas Anisa."
"Menikahlah dengan suamiku."
Permintaan yang terdengar cukup lirih membuat Anisa mengangkat wajahnya dengan cepat.
"Ya Allah. Apa maksud kamu, Din?"
Adinda menunduk dalam-dalam hingga tetesan pertama dari matanya meluruh. Jemari biar ia remas dengan kuat, bersamaan dengan perih yang berkumpul di hatinya.
"Menikahlah dengan Mas Adnan, Sa," ulang Adinda dengan pelan.
"Kenapa aku harus menikah dengan suami dari sahabatku sendiri? Aku gak mau Din!" jelas Anisa menolak dengan secepat kilat saat permintaan tak masuk akal dari sahabatnya itu terlontar.
Adinda mengangkat wajah, ia tersenyum menatap mata Anisa yang tampak berkaca-kaca.
"Aku ikhlas...
"Tak ada satu pun wanita yang ikhlas membagi suaminya dengan orang lain_
"Tapi untuk kamu. Aku ikhlas Anisa!"
°°°
Adinda meremat jemari kanannya membentuk tinju, sedangkan tangan kirinya digenggam erat oleh lelaki yang berstatus suaminya. Adnan Pratama Hamid.
Hari ini datang juga, hari saat Adinda disuruh menghadap seluruh keluarga Adnan dan juga keluarganya sendiri.
"Adinda," panggilan mendayu dari depan membuyarkan lamunan Adinda. Ibunda dan Ayah mertuanya tengah duduk di depan dirinya dan Adnan.
"Sudah lebih dari tiga tahun Nak, kamu belum juga hamil," ucapnya. "Kami juga menginginkan seorang cucu, semakin hari umur kami semakin bertambah."
Lagi, ia meremas kuat sofa yang Adinda duduki. Dinda wanita tak sempurna, itulah yang dikatakan orang-orang kepadanya, lantaran Dinda belum hamil setelah tiga tahun menikah.
"Dinda," kali ini Dinda mengenali suara itu. Iya, Bundanya sendiri mulai bersuara. "Bujuk suamimu untuk menikah lagi Nak," pintanya.
Ya Allah, hati Dinda begitu sakit, seakan disayat dengan sembilu tajam ketika mendengar permintaan dari sang Bunda.
"Maafin Bunda Nak. Tapi wanita yang tidak memiliki anak, tak bisa disebut wanita sempurna. Jika kamu tak bisa memilikinya, biarkan suamimu memiliki anak dari wanita lain."
Rani terdiam. "Jangan menjadi egois Nak. Jangan menyakiti hati suami dan keluargamu!" titahnya diiringi dengan penegasan.
Benarkah Dinda wanita yang egois ketika dirinya tak bisa memberikan keturunan?
Bagaimana bisa mereka membenci kekurangan yang Tuhan takdirkan untuk dirinya.
Adinda mengangkat wajah dengan pelan, menatap Bundanya penuh kepiluan.
"Tolong Dinda Bunda. Dinda mencintai Mas Adnan. Dinda belum siap di madu," andai ia bisa mengatakan kalimat itu, apa akan membuat ia terbebas?
Dinda mengangkat garis bibirnya lalu tersenyum cukup getir.
"Akan Dinda bujuk Mas Adnan untuk menikah lagi Bunda," jawabnya.
"Tapi sebelum itu. Boleh Dinda sholat? Dinda ingin meminta ampun kepada Allah."
Mereka semua saling memandang, menatap mata gadis yang tengah duduk di hadapannya. Sesaat, diam mengusik ruangan bernuansa biru muda itu.
Air bening dari sudut mata Dinda terjatuh, Dinda tak menginginkan ia menjatuhkannya sekarang, ia hanya ingin menangis terisak di hadapan Ya Rabb-Nya. Namun, hati wanita itu terasa amat sakit.
"Boleh," balas Bundanya sambil mengangguk.
Dinda menyeka air matanya pelan. Melepas genggaman Adnan lalu menatap kedua mertuanya dengan senyuman.
"Maaf. Ayah, Bunda Dinda izin masuk ke kamar dulu."
•••
Dinda mengangkat kedua belah tangannya, menengadah ia ke atas berharap semesta mendengar isakkannya.
"Maaf Ya Allah, Dinda menangis." lirihnya.
"Dinda memang tak sempurna, Dinda tak bisa memiliki anak dari Mas Adnan. Tapi Dinda punya perasaan Ya Allah, jika Dinda diminta untuk membujuk Mas Adnan menikah lagi, lalu siapa yang akan membujuk sakit hati Dinda," ujarnya.
"Ampuni Dinda Ya Allah, jika kata ikhlas ini hanya mampu Dinda terapkan di mulut bukan dari hati."
"Dinda gak ikhlas. Hati Dinda sakit!"
Ia menutupi wajahnya sendiri yang terus meneteskan air mata. Ujung mukenanya sudah basah dengan air bening itu.
Bersujud Dinda memohon ampun. Terisak ia di sana menumpahkan segala sesak yang mengurung hatinya.
"Ya Allah, bukannya Dinda terus meminta. Bukannya Dinda terus berdoa, lalu kenapa tak ada satupun dari permintaan Dinda yang engkau kabulkan Tuhan," Dinda semakin terisak.
"Din."
Adnan terduduk di samping istrinya, mengusap puncak kepala Dinda dengan lembut, ia juga mendengar cerita pilu Dinda yang diiringi dengan tangis tersedu.
Adnan menyentuh lembut tangan Dinda agar terlepas dari dekapan di wajahnya.
"Jangan!" ia menggeleng pelan. "Jangan pernah ikhlasin Mas bersama orang lain Din. Mas menyayangi kamu karena Allah. apapun kekurangan kamu itu dari Allah!" tekannya sambil menyeka air mata Dinda yang terus berjatuhan tanpa henti.
"Kita hadapi sama-sama ya? Tak masalah jika kita tak memiliki anak, kita bisa mengadopsi putri kecil nanti," lirihnya.
Adinda menggeleng sendu. "Gak, Dinda gak mau menyakiti kedua hati Bunda Mas. Jika permintaanya menyangkut tentang cucu. Dinda menyerah."
"Din_
Dinda menggenggam tangan Adnan dengan erat, menciuminya hingga beberapa kali, tanpa sadar air matanya menetes di sana.
"Izinkan Dinda mencarikan Mas Adnan istri," pintanya.
"Din_
"Dinda meminta Mas Adnan menikahi salah satu sahabat Dinda, Anisa," sambung Dinda getir.
"Dinda hanya ingin membalas rasa sakit dari sahabat Dinda yang telah mengambil Mas darinya. Tolong, menikahlah dengan Anisa, gadis yang pernah mengajarkan Dinda banyak tentang agama," ujar Dinda dengan intonasi memelan.
"Gak Din!"
"Mas juga mencintainyakan? Kalian sama-sama mencintai."
•••
"Saya terima nikah dan kawinnya Anisa Putri Keyrin binti Rahmat Mahesa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.
"Bagaimana para saksi, sah?"
"SAH."
Satu kata mampu meruntuhkan pertahanan Dinda, air matanya begitu deras mengalir tanpa bisa ia seka.
"Din. Yang ikhlas ya nak?"
"I-ikhlas Bunda. Dinda ikhlas," wanita itu berbohong. Mulutnya bisa mengatakan ikhlas, hatinya tidak.
Namun, Anisa menunduk dengan sangat pilu, air matanya menetes bukan karena haru. Tapi karena hatinya teramat perih.
Benar, lelaki yang ia nikahi saat ini lelaki yang Anisa doakan disetiap sujudnya. Namun, itu sebelum Adnan menikahi Dinda sahabatnya sendiri. Anisa, juga benar-benar telah ikhlas.
Tapi apa sekarang. Tuhan mengabulkan semua doanya disaat lelaki itu telah memiliki pendamping. Anisa menyakiti wanita yang tak lain sahabatnya sendiri.
Ia memalingkan wajah, menatap wanita yang duduk sedikit berjarak di belakang.
"Adinda. Maaf," gumam Anisa pelan.
•••
Anisa duduk di tepi ranjang dengan gaun yang masih menyelimuti keseluruhan tubuhnya, menatap lelaki yang baru saja masuk dan mencoba mendekat.
"Nisa," panggil Adnan sambil berjongkok tepat di bawah kakinya. Ia meraih kedua belah tangan Nisa lalu menggenggam erat.
"Maaf," lirih Adnan sambil menangis. Kening Adnan bertumpu di punggung tangan istrinya.
"Aku telah berhasil membuat hati Adinda hancur Sa. Aku telah menyakiti istri pertamaku yang hatinya seputih kapas."
"Ya Allah," pilu Adnan di sana. Ia tak bisa menahan air matanya. "Berdosa kah aku Sa, karena tak bisa menolak permohonan dia untuk menikahi kamu?" tambah Adnan.
"Bukan. Bukan salah kamu mas," Nisa mengusap puncak kepala Adnan dengan lembut, menggeleng ia dengan pelan.
"Lalu bagaimana jika aku masih mencintai kamu Anisa?"
Nisa tertegun, penuturan dengan intonasi rendah itu membuat Nisa terpaku.
"Aku lelaki jahat, mencintai wanita lain saat aku telah menjadi suami Dinda," ia mengangkat wajahnya, menatap wanita yang Adnan cintai itu dengan lekat.
"Bagaimana jika cintaku lebih besar untuk kamu, dibandingkan dengan Adinda. Istri pertamaku?"
•••
Aku telah mencuri lelaki yang kamu sebut di sepertiga malammu.
...
..
.
"Lelaki dengan rambut sedikit bergelombang itu. Kamu mengenalinya Din?"
Dinda tertegun mendengar pertanyaan gadis cantik yang tengah duduk bersamanya.
Memperhatikan Nisa yang terus mengaduk jus jeruknya dengan sangat pelan, mata gadis dengan pashmina maroon itu terlalu fokus ke belakang, melirik lelaki yang duduk di kursi paling ujung di sebelah jendela.
"Apa wanita boleh memperhatikan lelaki seperti itu Sa?" Nisa langsung terpaku, tatapan matanya terhenti lalu memandangi Dinda yang duduk di depannya.
"Astaghfirullah! Ya Allah. Maaf," lirihnya dengan sangat pelan. Ia juga menundukkan matanya lurus ke arah meja. Namun, Dinda langsung tersenyum lembut.
"Kenapa gak boleh?"
"Karena itu dosa Din, menatap lelaki apa lagi sampai memikirkannya, itu haram," jelas Nisa sambil menetralkan hatinya yang masih berpacu.
Dinda mengangguk mengerti, ia baru tahu tentang agama akhir-akhir ini. Sebelumnya Dinda tak pernah memakai hijab, sekarang setelah bersahabat cukup lama dengan Nisa. Ia terus mengasah keingintahuannya dan mencoba menggunakan hijab seperti Nisa.
"Apa kamu pernah mencintai seseorang Sa?" pertanyaan Dinda membuat Nisa tersenyum malu-malu.
"Tidak! Aku hanya menganggumi seseorang dalam diam."
"Apa maksud kamu? Apa lelaki itu tahu?" sambung Dinda.
"Tidak. Aku hanya bercerita dan meminta dia kepada Sang Pencipta-Nya!"
"Masya Allah? Itu artinya kamu selalu mendoakan dia?" semakin lama Dinda semakin kagum dengan Anisa, wanita yang terus memberinya pengertian tentang agama.
Nisa mengangguk dengan sangat cepat. "Aku meminta dia di dalam doaku Din, aku juga menyebut dia di sepertiga malamku," jawab Nisa.
"Lalu, apakah itu akan berhasil?"
•••
"Nisa. Maafkan aku,"
Gadis yang sedang mengajar disalah satu pesantren di Jakarta menatap Dinda dengan tatapan bingung. Ia segera menghentikan pelajarannya dan mengajak Dinda pergi agar lebih enak mengobrol.
Nisa menghentikan langkahnya di belakang pesantren tepat di kursi taman. Ia duduk di sana, sedangkan Dinda masih diam dalam tegaknya.
"Kenapa kamu meminta maaf Din? Ada apa?" tanya Nisa dengan sangat lembut.
"Tolong maafkan aku Nisa, aku keliru," lirihnya.
"Din."
"Aku meminta kepada Allah agar dia menjadi suamiku! Aku menyebutkan nama lelaki yang kamu kagumi Sa. Aku tak paham kenapa Allah mendengar semua yang kuucapkan!"
Napas Nisa memburu hebat kala ia mendengar ucapan dari Dinda, namun sebisa mungkin ia tepis, Nisa tak ingin berpikir lebih jauh.
"Kenapa Tuhan mengabulkan permohonanku daripada doa wanita sholeha seperti kamu Nisa?" air mata Dinda meluruh begitu saja.
"Apa maksud kamu Din?" Nisa mencoba bangkit dari duduknya, masih menelisik raut wajah cemas dari Dinda.
"Maafkan aku Nisa, aku mencuri lelaki yang selalu kamu sebut disepertiga malammu!"
"Mas Adnan, dijodohkan denganku Sa!"
"Ya Allah!" Anisa terduduk paksa di kursi kayu, air matanya menetes kala ia mendengar apa yang di ucapkan sahabatnya, Dinda.
"Nisa," Dinda menjatuhkan tubuhnya di bawah kaki Nisa, memegang tangan Nisa lalu menggeleng sangat pelan.
"Haruskah aku menolak_
"Gak!" Nisa memotong pembicaraan Dinda, ia juga menghapus air mata yang meluruh.
"Dia jodoh kamu Din. Kamu tolak pun, dia tetap akan kembali." Nisa memegang lembut bahu Dinda, mengusap-usapkan tangannya di sana.
"Aku ikhlas," ucap Nisa pelan.
"Apa itu ikhlas? Kenapa kamu harus ikhlas? Bukankah Allah telah jahat sama kamu, dia tak mengabulkan keinginan wanita baik seperti kamu Sa,"
Nisa menggeleng lalu memberikan senyuman. "Aku harus melepas seseorang yang kukagumi untuk bersanding dengan kamu Dinda! Ikhlas. Tidak ada rasa sakit di dalamnya!" lirih Nisa.
"Dan Allah tak pernah jahat Din, Allah sedang cemburu kepadaku. Karena aku terlalu menginginkan Mas Adnan, untuk itu Allah mengujiku dengan kegagalan agar aku kembali kepada-Nya."
Nisa menjatuhkan air matanya disela senyuman. Hatinya teramat pedih.
"Terima Mas Adnan Din. Terima dia menjadi suamimu!"
I K H L A S
...
Dinda tak lepas dari mukena yang membalut seluruh tubuhnya, tertidur ia di bawah sajadah sambil memeluk al-quran, mata sembab yang tercetak di sana sangat jelas wanita itu menangis semalaman.
Ia menatap jam yang tertempel di dinding. Jam enam pagi. Ia melepas mukena dan melipat sajadahnya, seperti biasa ia selalu memasak untuk suaminya setiap pagi.
Namun apa yang Dinda lihat, dapur yang sunyi itu sekarang sudah bertambah satu penghuninya.
"Nisa," panggil Dinda.
Nisa menghentikan aktivitasnya lalu memutar tubuh dengan cepat. "Din. Kamu sudah bangun?" Dinda hanya tersenyum, ia melangkah mendekati Nisa dan ikut mencuci sayuran.
"Din, aku aja," larang Nisa lalu mengambil sayuran yang sedang Dinda pegang. "Biar aku yang memasak untuk Mas Adnan."
"Sa, suami kamu itu, juga suamiku," ujar Dinda. "Biarkan aku memasak untuk Mas Adnan. Dan aku akan membiarkan kamu memasak untuk suamimu!" tambahnya.
"Maaf Din."
Dinda menghentikan kegiatannya, dia menatap Nisa dengan lekat. "Tuhan tidak pernah jahat Nisa, karena doa disepertiga malam kamu, sekarang sudah dikabulkan."
"Dan aku sudah ikhlas, tanpa ada rasa sakit didalamnya," ucap Dinda dengan sangat getir.
"Din. Baju kaos putih Mas di mana? Ikat pinggang yang baru Mas beli kamu tarok di mana?" teriakan jelas dari kamar sebelah terdengar sangat nyaring.
Dinda tersenyum kala suaminya bersikap seperti dulu. Namun di sisi lain, ia merasa perih ketika Adnan mencarinya di kamar dia bersama Nisa.
"Sa, maaf aku mencarikan ikat pinggang dulu untuk Mas Adnan," titahnya lalu pergi dari sana. Nisa hanya mengangguk dengan tatapan yang ter-arah ke pintu kamar mereka.
Setelah beberapa detik, Adnan keluar dari kamar itu sambil menggunakan handuk, refleks Nisa menutup matanya.
"Mas."
"Mas."
Dua suara yang didengar Adnan membuat lelaki itu bergeming. Ia lebih dulu menatap Nisa yang perlahan membuka matanya, mengabaikan Dinda yang berdiri sambil mengulurkan tangannya memberikan ikat pinggang yang Adnan cari.
"Ikat pinggang yang kamu cari Mas," ucap Dinda. Adnan tersenyum. "Dan kaos yang juga kamu cari. Ini ada di kamar kita Mas, bukan di kamar kamu sama Nisa," Adinda berujar lirih.
Tubuh Adnan membeku, jantungnya berdesir sangat hebat, berada ditengah-tengah dua istrinya Adnan seharusnya tahu ia harus bersikap se-adil mungkin.
"Din," wanita itu menghentikan langkahnya, menatap Adnan yang semakin mendekat ke sana, lelaki yang masih terlilit handuk itu menciumi puncak kepala Dinda beberapa kali.
"Terima kasih ya istri cantikku," ucapnya. Adnan berlalu dari samping Dinda, melangkah mengikis jarak dengan Nisa, melakukan hal yang sangat adil menurutnya. "Selamat memasak istri Mas!" ia mengecup kening Nisa cukup lama.
Dinda melengos, tak sanggup menatap apa yang terjadi di depan matanya.
Benarkah ini yang ia sebut ikhlas. Lalu kenapa hatinya seolah remuk.
I K H L A S
•••
Jika aku yang selama ini berada di sampingmu tak mengetahui apa yang kamu mau.
Bagaimana cara dia mengetahui segalanya.
•••
••
•
Dinda menatap wanita yang dulu ia panggil sahabat sekarang berganti menjadi madunya.
Duduk satu meja di samping sang suami.
"Mas, aku masakin udang buat kamu."
"Din," tangan Dinda yang terulur memberikan lauk ke piring Adnan ditolak cepat oleh Nisa. Wanita itu tampak pucat pasi.
"Kenapa Sa?" tangan Dinda kembali ia tarik.
"Mas Adnan gak bisa makan udang Din," titahnya. "Mas ikan aja ya, kesukaan kamu," Adnan tersenyum lalu menerima suapan Nisa ke arahnya.
Dinda menunduk. "Ya Allah." lirih Dinda dalam bisu, ia sama sekali tak tahu kalau suaminya tak bisa memakan udang.
"Mas gak pernah bilang sama Dinda. Kenapa?" tanya Dinda pilu, ia menahan sesak yang terus-menerus menyiksa hatinya.
"Mas gak enak nolak masakan kamu Din," balas Adnan sambil menatap mata Dinda yang tampak sangat tegar.
"Maaf. Dinda kalah dari istri sholeha kamu Mas," Dinda berbisik di dalam sana. Tak mengharapkan mereka mendengar, biarlah ia menyimpan satu rahasia yang hanya dia dan Tuhan-Nya lah yang tahu.
Dinda meremas jemarinya di bawah meja. Harus ikhlaskan? Dia selalu mengatakan itu di dalam doanya, lalu bagaimana caranya bisa benar-benar ikhlas kala detik ini saja ia telah tersisih.
Seperti terlilit dibagian tenggorokan Dinda hingga udara sulit untuk masuk, terlebih kala ia tak bisa menyuapi makanan ke mulut suaminya.
Bibir Dinda bergetar, ia tak mampu menahan dua bening yang tertumpuk di sana.
"Dinda mau ke kamar dulu Mas," Dinda bangkit dari duduknya, ia bahkan belum menyentuh makanan yang sebagian dimasak oleh Anisa.
"Din, kamu gak sarapan?" tanya Nisa menatap Dinda dengan bingung.
"Makan dulu Din! Nanti kamu sakit!"
Dinda menggeleng. "Nanti aja," ia melangkah, mengabaikan kedua insan yang tengah dimabuk cinta.
Nisa menatap penuh nanar punggung yang sekarang telah tertutup pintu kayu, ia juga melihat masakan Dinda yang ia hias dengan sangat cantik.
"Maaf kan Nisa Ya Allah. Senyum Adinda memudar, hati Adinda tersakiti karena Nisa," gumamnya.
"Sa," panggil Adnan lembut, ia mendekatkan tubuhnya menuju Nisa yang tampak terdiam.
Nisa memutar cepat kepalanya. "Kenapa Mas?"
"Masakan kamu enak," ucapnya. Nisa tersenyum penuh binar. Harapannya mendapat pujian dari suami yang ia kagumi sekarang telah terkabulkan.
"Mas," panggil Nisa. "Kenapa Mas gak bilang sama Dinda kalau Mas alergi udang?"
Adnan terpaku, ia menatap mata cantik istrinya dengan sangat lekat. "Mas gak bisa bilang sama Dinda Sa. Dia suka udang, Mas gak enak nolak," ujarnya.
"Jadi selama Mas makan udang yang dimasak Dinda?"
"Mas muntahkan kembali."
"Ya Allah," Nisa menutupi mulutnya yang menganga, kenapa tiba-tiba hatinya terasa sakit.
"Mas pergi dulu ya, takut telat ke kantor," Adnan berdiri dari duduknya diikuti oleh Nisa. Namun, Nisa mencekal lengan Adnan, dia bilang.
"Pamit sama istri pertama kamu Mas."
Adnan membisu, kakinya kelu, hanya tatapan yang ia pancarkan tepat ke pintu yang beberapa menit lalu ditutup rapat oleh Dinda.
"Bersikap adil Mas," Nisa meraih tangan Adnan lalu mengecupnya beberapa kali. "Aku mau membereskan piring kotor dulu," titahnya. Adnan mengangguk.
Kakinya mulai ia langkahkan. Hati Adnan tak siap menatap mata istri pertama yang mungkin saja sudah membengkak akibat menangis.
Tok tok...
"Assalamu'alaikum Din?" panggil Adnan dengan lirih.
Dinda menatap jendela yang sengaja ia buka, duduk di bawah bersandarkan pintu yang tadi diketuk oleh Adnan.
"Jangan masuk Mas," jawab Dinda yang terdengar begitu sendu.
"Kenapa sayang? Kenapa Mas gak boleh masuk?" Adnan tak mendapatkan jawaban, ia mulai memalingkan wajahnya ke belakang menatap Nisa yang sedang sibuk mencuci piring.
Bukan, wanita itu tengah meluruhkan air matanya di sana.
"Maaf..." Dinda mengusap dengan pelan air matanya. "Dinda gak tau, ternyata ikhlas itu rasanya sesakit ini."
"Din."
"Mas mau pamit? Dinda udah mengizinkan Mas untuk pergi," ucapnya.
"Dinda gak mau mencium punggung tangan Mas lagi?" tangan Adnan bertumpu kepada pintu kayu yang tertutup. Hatinya terasa diiris-iris sangking sakitnya.
"Nanti ya Mas, biarkan Dinda sembuh dulu."
Adnan menyerah, setetes air matanya terjatuh. Kenapa rumah tangganya yang semula baik-baik saja sekarang menjadi berkecamuk. Dinda yang selalu memberinya tawa indah setiap pagi, sekarang wanita itu menangis sendu di bawah keramik.
Nisa berlari kala Adnan hampir sampai di ambang pintu, membacakan doa agar suaminya baik-baik saja selama perjalanan.
Setelah pintu ia tutup kembali, Nisa memutar wajahnya ke sisi kiri, tepat di kamar Dinda.
"Din," Nisa memanggil Dinda yang terus saja diam. "Sarapan ya, mau aku bawain apa?" tanyanya.
"Gak usah Sa, aku gak lapar," Dinda bangkit dari duduknya, melangkah pelan hingga menuju jendela yang terbuka. Di sana, Dinda memperhatikan laju mobil Adnan yang semakin menjauh.
Ceklek..
"Maaf Dinda, aku lancang masuk ke kamar kamu," Dinda memutar tubuhnya malas, memberikan tatapan kosong yang sangat sulit diartikan oleh Anisa.
"Din," Nisa mendekat. "Makan ya, nanti kamu sakit," mohonnya.
"Nisa, jika aku tahu bahwa aku tak bisa sekuat kamu. Aku lebih baik memilih pergi menceraikan Mas Adnan," ucapnya.
"Astaghfirullah, istighfar Din!" Nisa memeluk tubuh Dinda dengan sangat erat. "Allah membenci perceraian Dinda, kamu gak boleh ngomong kayak gitu," Nisa mengusap punggung Dinda, menyalurkan kekuatan untuknya.
"Apa kamu tak merasa sakit Nisa? Apa kamu tak merasakan apa yang saat ini kurasakan?"
"Kamu wanita yang baik, apa karena itu Allah tak memberimu rasa sakit? Iya?" tanyanya.
"Siapa bilang aku tak sakit Dinda. Siapa bilang aku baik-baik saja!" Nisa tak ingin menjawabnya di depan Dinda. Ia hanya mampu mengucapkan di ruang paling dalam hatinya.
"Allah punya rencana yang lebih indah Din kenapa kita bertemu dan berbagi suami seperti ini," Nisa melepas pelukan Dinda, menyeka air mata yang masih meluruh di wajah wanita itu.
"Aku gak akan merebut kasih sayang Mas Adnan dari kamu. Tapi izinin aku ya Din, untuk berbakti kepada suamiku."
I K H L A S
•••
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
