Runaway Yan : 3. Muka Jutek Bersaudara

2
0
Deskripsi

Cerita ini bertema LGBTQ.

Bagi yang tidak suka dengan cerita percintaan sesama jenis, mohon tidak membaca cerita ini. Segalanya murni fiksi. Semoga bisa disikapi dengan bijaksana.

Kalian baca di sini ataupun di Wattpad (ricca_sophia)


Cover : ras_graphic (Instagram)

***

Part 3 : Muka Jutek Bersaudara


 

Sagara Damar menatap Zoya Nadia, adiknya, yang melahap nasi goreng ibarat tidak makan selama beberapa hari. Wajah boleh cantik, rambut boleh panjang tetapi tidak ada keanggunan terpancar ketika wanita itu makan bersamanya. Dia mendekatkan gelas berisi es jeruk ke arah wanita itu.


 

“Nggak usah cepet-cepet makannya.” Dia memperingatkan.


 

Zoya menghabiskan setengah gelas es jeruknya, “Gue udah muak diet, Kak.”


 

“Kan nggak ada yang nyuruh lo diet, Zo.” 


 

Zoya meletakkan sendok garpu, lalu memicingkan kedua matanya, “Mantan gue yang nyuruh.”


 

“Oh, si brengsek itu.” Saga memutar bola mata mengingat mantan pacar Zoya yang sudah merasakan tinju maut Saga sebagai balasan karena menyelingkuhi adiknya, “Udah, jangan pikirin orang kayak gitu lagi.”


 

Mereka hampir saja melupakan tujuan utama mereka bertemu saat makan siang. Seharusnya mereka membicarakan rencana pertunangan Tante Helena dan juga hasil penyelidikan Zoya tentang calon suami Tante Helena. Untungnya Saga mengembalikan topik pembicaraan mereka ke arah semula.


 

“Gimana perkembangan penyelidikan lo tentang calon suami Tante Helena?” Saga melipat tangan di depan dada, menunggu jawaban adiknya. Karena Saga tidak begitu ahli menjadi detektif gadungan, maka dia menyerahkan semuanya pada Zoya meskipun sebenarnya yang memiliki rasa penasaran tinggi adalah Saga.


 

“Gue banyak kerjaan, Kak. Belum sempat nyelidikin sama sekali. Gue cuma tau Om Rudi itu punya satu anak cowok. Udah gitu doang.”


 

Dia memajukan tubuhnya, semakin tertarik mendengar penjelasan Zoya, “Oh, jadi nanti Tante Helena bakal punya anak tiri dong?”


 

Setelah sendokan terakhir nasi gorengnya, Zoya mengangguk, “Ya begitulah, Kak.”


 

“Om Rudi orangnya gimana?”


 

“Ya mana gue tau. Gue kan sebatas kepo media sosialnya aja. Tapi kayaknya sih orangnya baik, Kak. Yang gue penasaran tuh sama calon anak tiri Tante Helena, sih. Beneran kita harus nyelidikin calon anak tiri Tante Helena, Kak.”


 

Sepertinya cerita Zoya semakin membuat Saga tertarik, “Hmm, kenapa emangnya? Calon anak tiri Tante Helena pelaku kriminal gitu?”


 

“Bukan sih.”


 

“Ya terus?” Saga semakin bingung dengan logika adiknya, “Kesimpulan dari mana?”


 

“Kalo dengar dari cerita Tante, tuh anak kayak nggak welcome gitu loh. Emangnya Tante Helena salah apa?”


 

Saga memicingkan mata, semakin penasaran dengan cerita Zoya. Memang bagi mereka berdua, Tante Helena sudah seperti ibu mereka yang mengurus mereka sejak kecil. Tiap kali beliau dekat dengan seseorang, mereka menaruh curiga. Dan kali ini yang dicurigai justru calon anak tiri tante mereka, bukan calon suami.


 

“Lo bener. Tante Helena kan ramah dan baik banget sama orang. Apa karena beliau calon ibu tiri makanya tuh anak nggak welcome?” Saga berusaha menebak sesuatu yang bahkan tidak dia ketahui. Zoya mengangguk-angguk.


 

"Bisa jadi sih, Kak. Gue cuma mau ngelindungin Tante Helena. Gue nggak pengen kejadian kayak dulu lagi. Tante tuh orang yang baik banget. Gue nggak rela Tante disakiti."


 

Saga mengulurkan tangan untuk membelai rambut Zoya. Dia memahami kekhawatiran adiknya tentang Tante Helena. Pernikahan beliau sebelumnya gagal karena mantan suaminya berselingkuh. Sejak saat itu, sikap protektif mereka kepada tantenya semakin menjadi-jadi.


 

"Semoga semuanya baik-baik aja, Zo."


 

Alih-alih mengamini, Zoya melanjutkan pembicaraan tentang Tante Helena, "Besok kita ketemu mereka, Kak. Kakak behave ya. Jangan resting bitch face."


 

"Nggak salah tuh? Lo yang biasanya resting bitch face." Saga menolak dibilang berwajah ketus. Padahal kenyataannya mereka berdua berwajah ketus tiap saat.


 

"Gue nggak bakal bitch face kok, Kak. Lagian besok ada Amel. Setidaknya gue ada teman gosip." Pandangan Zoya menuduh Saga sebagai pihak yang akan membuat suasana tidak enak dengan wajah ketus itu, "Pokoknya Kakak harus ramah dan jangan nyebelin, ya. Janji."


 

"Dih." Saga mendengus.

 

“Kak!” Zoya mencubit tangan kakaknya, “Kasihan Tante Helena kalo lo jutekin di hari pertunangannya.”


 

“Iya, iya, cerewet.”


 

***


 

Sejak kematian kedua orang tua mereka saat mereka masih kecil, Saga dan Zoya tidak bisa dipisahkan. Meskipun usia mereka terpaut dua tahun, namun banyak yang mengatakan mereka seperti anak kembar. Padahal dari segi wajah, tidak ada kemiripan. Saga mirip ibunya, sementara Zoya lebih mirip ayahnya. Memang keduanya memiliki satu kesamaan, tatapan yang mengintimidasi.


 

Kehidupan mereka berpindah-pindah dari keluarga om dan tante yang bersedia menampung mereka karena belas kasihan. Tapi tidak pernah ada yang bertahan mengasuh mereka lebih dari tiga sampai empat bulan karena ulah Saga dan Zoya yang selalu membuat masalah di sekolah. Mereka dianggap anak-anak haus kasih sayang dan perhatian.


 

Hingga mereka berada dalam asuhan Tante Helena yang memperlakukan mereka layaknya anak kandung. Beliau mengasuh mereka sampai keduanya lulus kuliah. Setelah memastikan Saga dan Zoya memiliki pekerjaan dan mampu menghidupi diri mereka, Tante Helena memutuskan untuk pindah kota dan memulai petualangan paruh baya-nya, begitu kata Tante Helena.


 

Saga sebenarnya tidak terkejut sewaktu mendapat kabar pertunangan Tante Helena. Tapi karena mereka berdua menyaksikan perselingkuhan mantan suami Tante Helena, sehingga tiap kali beliau memiliki hubungan khusus dengan seseorang, mereka akan melakukan cara apapun untuk memastikan pria itu tidak akan menyakiti Tante Helena.


 

Walaupun sikap mereka sangat berlebihan, tapi Saga menganggap itu adalah reaksi yang wajar bagi orang yang melihat Tante Helena diselingkuhi. Mereka biasanya membagi tugas dalam penyelidikan itu. Zoya yang menyelidiki, sedangkan Saga sendiri bersedia menjadi bodyguard Zoya dan Tante Helena bila diperlukan. Dia memang tidak begitu suka dengan hal-hal merepotkan seperti menyelidiki kekasih Tante Helena. Saga membiarkan Zoya saja yang menanganinya. Dia membantu seperlunya.


 

Saat mengemasi pakaian untuk acara pertunangan Tante Helena, pikiran Saga beralih dari Tante Helena ke dua kucing kesayangannya, Salem dan Salmon. Dia tidak pernah ditugaskan ke luar kota oleh kantornya jadi kedua kucing itu tidak pernah dia tinggalkan. Kini bukan tugas dari kantor melainkan acara keluarga dan dia tidak tega meninggalkan Salem dan Salmon dalam pengawasan dua temannya. Tapi dia tak punya pilihan lain.


 

Jevan, salah satu temannya yang tidak berpengalaman dengan hewan, menghampiri kamar Saga. Senyum lebarnya sungguh khas, menyiratkan seolah dia menginginkan sesuatu dari Saga.


 

"Gue tau lo pasti minta tolong titip Salem sama Salmon, kan?" tebak Jevan.


 

Saga berdecak kesal, lalu kembali melipat pakaian dan menjejalkannya ke dalam ransel, "Iya, Jev. Gue minta tolong jagain mereka. Udah gue tulis gimana cara bersihin pup mereka, terus makanannya berapa sendok."


 

"Lha biasanya gue tuang gitu aja ke mangkuk mereka."


 

Saga memicingkan mata, "Jadi lo yang nuang makanan kering nggak kira-kira? Sampe menggunung gitu?"


 

"Iyalah. Masa Krisna?"


 

Krisna, teman mereka yang satu lagi, lebih tidak paham tentang hewan peliharaan. Meminta tolong Krisna untuk mengurus hewan atau bayi adalah suatu kesalahan besar. Meskipun pria itu bertanggung jawab, tapi sifat cerobohnya sering kali membawa masalah.


 

"Gue jadi kangen Tristan. Sejak dia pindah, Salem dan Salmon berasa kayak anak gue doang. Padahal dia juga yang adopsi." keluh Saga. Itu hanya keluhan di bibir saja namun pada kenyataannya ketika Tristan meminta salah satu dari kucing itu untuk ikut pindah bersamanya, Saga tidak memperbolehkan.


 

Jevan tertawa keras, "Kan lo sendiri yang nolak waktu Tristan mau bawa pergi Salmon."


 

"Oh iya ya." Sifat pelupa Saga memang membuat Jevan sebal.


 

"Ya udah, pokoknya ada fee penitipan Salem Salmon loh."


 

"Sungguh teman yang perhitungan." Saga menggeleng, "Lo mau apa emangnya?"


 

Mendengar penawaran Saga, Jevan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Saga kemudian menatap langit-langit kamar sambil memikirkan daftar keinginannya.


 

"Waktu itu gue pengen banget makan di restoran hotel yang mahal itu loh, Ga. Ingat nggak? Yang waktu itu kita diundang sama Kaffa."


 

Walau ingat, Saga tidak mengaku, "Lupa. Yang mana ya? Kalo mahal kayaknya gue nggak ingat."


 

"Nggak asik lo." Jevan protes lalu mengucapkan keinginannya yang lain, "Kalo gitu bayarin gue staycation sama Krisna aja gimana?"


 

"Lo ngelunjaknya nggak main-main ya, Bos? Permintaan lo makin lama makin mahal aja."


 

Jevan menjulurkan lidah, "Tidak bisa ditawar, Bos. Tidak ada diskon. Lo mau kalo gue telantarin Salem Salmon selama lo pergi?"


 

Sungguh situasi yang penuh dilema. Saga tidak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan Jevan, "Oke. Pilih salah satu, restoran mahal atau staycation. Gue nggak sanggup bayar kalo dua-duanya."


 

"Okelah, staycation aja."


 

"Anjir," Saga memukul Jevan dengan guling, "Kenapa pilih yang mahal sih?"


 

Secepat kilat Jevan beranjak dari tempat tidur Saga dan berlari keluar kamar. Tak lupa mengingatkan, "Have fun, safe sex."


 

"Woi! Mesum! Ini tuh acara keluarga!"


 

Mendengar keributan dari arah kamar Saga, tiba-tiba Krisna muncul setelah selesai merokok di teras rumah, "Apa sih ngomongin mesum-mesum? Ikutan dong."


 

Saga mendengus. Biasanya tidak hanya Krisna yang semangat tiap kata mesum disebut, melainkan Tristan juga. Semenjak Tristan mengejar kekasihnya ke Swiss, rumah mereka menjadi sedikit lebih sepi.


 

Sedikit.


 

Karena cuap-cuap Jevan selalu mencerahkan suasana. Belum lagi saat Saga dan Krisna main game, tidak ada lagi kedamaian di dalam rumah.


 

"Ga, perginya agak lama nggak papa." ujar Krisna, "So this whole house is only for us." Dengan genit dia mengedipkan satu matanya pada Jevan, yang berpura-pura muntah karena jijik.


 

"Oke, cuma gue yang jomblo." Saga mengangkat kedua tangannya kemudian menutup pintu kamar. Dari luar kamar, sahut menyahut suara Jevan dan Krisna memanggilnya agar ikut mereka makan malam, "Nanti dulu. Gue belum beresin baju!"


 

***


 

Saga lupa bahwa acara pertunangan ini akan dihadiri keluarga besarnya yang terdiri dari om dan tante yang dulu sempat beberapa waktu mengasuhnya dan Zoya. Baginya, reuni seperti ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Dia akan bertemu dengan orang-orang yang dulu memandangnya sebelah mata, menganggapnya anak nakal yang suka berulah di sekolah. Bahkan orang-orang ini merasa berhak memberi nasihat dan komentar pedas tentang segala aspek kehidupannya.


 

Seandainya ini bukan acara pertunangan Tante Helena, dia pasti menolak datang.


 

Benar dugaan Saga. Beberapa sosok om dan tante yang sudah lama tak dijumpai berdiri tak jauh darinya di bandara. Zoya menyenggol lengannya seraya memberi kode untuk melihat ke arah kanan mereka.


 

"Barusan datang tuh. Om Pelit." bisik Zoya. Mereka memberikan julukan itu sebab selama tinggal bersama Om Agung, pria itu membatasi segala hal secara berlebihan. 


 

Begitu mengetahui keberadaan Saga dan Zoya, Om Agung melambaikan tangan dengan semangat lantas tidak tahu malu berteriak keras memanggil anggota keluarga lainnya untuk memberitahu kedatangan Saga dan Zoya.


 

"Itu ada Saga sama Zoya!" 


 

Saga mengenakan kacamata hitamnya meskipun hari sudah petang. Dia berpura-pura tidak mendengar namanya disebut lalu sedikit memalingkan wajah. Om Agung berjalan cepat ke arahnya dan Zoya. Seakan bertemu musuh bebuyutan, Zoya berlindung di balik tubuh besar Saga.


 

"Hei, kamu kok nggak sopan sih dipanggil malah diam aja?" Tepukan keras Om Agung di bahu Saga membuat tubuhnya hampir saja terjungkal. 


 

"Maaf, Om. Nggak dengar." Saga menunjukkan headset yang terpasang di telinganya meskipun tanpa ada lagu yang diputar. Cuma kamuflase.


 

Om Agung mengamit Saga dan Zoya di kiri kanannya, membawa mereka menuju anggota keluarga lainnya. Seandainya Saga memiliki kekuatan untuk menghilang, dia akan menggunakan kekuatan itu di saat seperti ini. Zoya juga kelihatan tidak nyaman saat bertemu om-om serta tante-tante yang dulu pernah mengasuh mereka untuk sementara. Saat Amel muncul, perhatian Zoya teralihkan. Mereka berdua langsung bercengkerama, mengabaikan Saga yang harus berbasa-basi dengan para tetua sendirian.


 

Nasibnya sedang buruk.


 

***


 

Sudah cukup lama dia tidak bertemu Tante Helena. Wanita itu masih secantik dan seanggun dulu. Hanya potongan rambutnya saja yang berubah. Ketika melihat sosok Saga dan Zoya di bandara, wanita itu memeluk kedua keponakannya erat. Rasanya berbeda saat bertatap muka secara langsung dan saat berbincang melalui video call. Tante Helena terlihat lebih bahagia, seperti kata Zoya ‘lebih glowing karena jatuh cinta’. Saga setuju dengan pendapat adiknya.


 

Karena hari sudah sangat larut, para tetua sudah terlalu lelah untuk makan malam di restoran dan berencana pesan antar saja. Tante Helena memang memisahkan tempat menginap antara para om dan tante dan anak-anak muda. Saga sangat menyukai ide tersebut karena dia tidak nyaman dengan omongan para om dan tante yang selalu menyudutkannya dan Zoya. Lebih baik dia beradaptasi dengan calon suami Tante Helena saja.


 

Om Rudi, calon suami Tante Helena, mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Saga berhenti sejenak di ruang keluarga untuk mengagumi tatanan rumah tersebut. Dia tidak begitu paham penataan rumah yang benar, tapi dia mengerti tentang estetika. Rumah Om Rudi sesuai seleranya. Seandainya itu adalah rumahnya sendiri, sekarang Saga pasti sudah merebahkan diri di sofa empuk berwarna abu-abu muda sambil menonton televisi. Berhubung dia baru mengenal Om Rudi, jadi dia tidak berani bersikap seenaknya.


 

“Anggap aja rumah sendiri ya.” Om Rudi mengajak mereka berkeliling rumah, menunjukkan dapur, kamar mandi serta kamar yang akan mereka tempati. Beliau juga memperkenalkan mereka pada asisten rumah tangganya.


 

Saga tidak langsung mengikuti Om Rudi, melainkan berhenti sejenak memandangi satu-satunya foto keluarga yang terletak di samping televisi. Foto Om Rudi, mendiang istrinya dan pemuda yang kira-kira berusia belasan tahun. Saga mengernyit. Dia tidak mengira calon anak tiri Tante Helena masih remaja.


 

“Jadi ini anak Om?” tanya Saga tanpa basa-basi.


 

Zoya sedikit memelototi Saga, berharap kakaknya tidak berulah. Amel ikut mengamati foto tersebut. Om Rudi mengangguk lalu tersenyum lebar.


 

“Iya. Itu mendiang istri Om dan itu anak Om, namanya Yanuar.”


 

“Masih SMP ya, Om?” lanjutnya, masih ingin tahu. Dia bisa merasakan tatapan penuh tanda tanya adiknya, tak kalah penasaran dengannya.


 

“Oh, ini foto lama kok. Sekarang umurnya dua puluh tiga tahun.”


 

Zoya menahan tawa karena dugaan Saga salah, “Seumuran sama saya, Om.” Ketika mengatakannya, Zoya sengaja menghadap ke arah Saga. Saga kesal.


 

Mendengar usia anak Om Rudi yang hampir sama dengan Amel, wanita itu ikut bersemangat untuk berkenalan, “Mana anak Om? Kok nggak muncul? Kenalin dong, Om.”


 

Saga mendengus pelan.


 

“Anak Om tinggal di kos. Dia lagi sibuk beresin barangnya karena hari Minggu mau pindah ke Jakarta. Besok pagi dia ke sini kok.”


 

Pandangan Zoya dan Saga saling beradu. Meskipun tanpa ada kata terucap, mereka bisa berkomunikasi dari tatapan mata. Amel yang tidak sadar dengan keadaan sekitar, terus bertanya tentang anak Om Rudi hingga pria itu menunjukkan foto anaknya di ponsel. Tidak hanya Amel yang penasaran, begitu pula Zoya dan Saga. Mereka berebutan melihat foto di ponsel Om Rudi.


 

“Ganteng ya, Zo.” Komentar Amel. Saga menduga Zoya akan memutar mata atau berkomentar sinis mengenai anak Om Rudi, ternyata tidak.


 

“Iya Mel, ganteng ya.” Zoya malah menyetujui pendapat Amel, membuat Saga menahan tawa. Secepat itu adiknya berpihak pada calon anak tiri Tante Helena, “Nggak usah ketawa, Kak. Gue cuma menghargai ketampanan seseorang.”


 

“Gombal.” potong Saga dan disahuti oleh tawa Om Rudi.


 

“Pasti seru kalo kalian ngumpul bareng, ya. Rame.” Om Rudi menepuk-nepuk bahu Saga, Zoya dan Amel, “Biasanya cuma ada Om sama Yan. Sepi gitu.”


 

Saga membuka mulut untuk menimpali bahwa dia tidak mau dianggap sebagai sumber ‘keramaian’, namun bergegas Zoya menginjak kakinya untuk memperingatkan. Dia mengurungkan niat untuk merespons dan hanya melipat tangan di dada, menunggu Amel dan Zoya selesai mengagumi foto anak Om Rudi.


 

“Pengkhianat.” bisik Saga pada adiknya ketika mereka bersama-sama mengikuti Om Rudi, “Pasti besok lo udah terpesona sama tuh anak.”


 

“Sst!” Zoya memelototinya, “Nggak mungkin lah.”


 

Dalam hati Saga hanya menunggu hingga Zoya termakan omongannya sendiri. 


 

***


 

Om Rudi dan Saga berhenti di depan pintu kamar dengan stiker Stop besar seolah mengusir siapapun yang ingin masuk ke dalam.


 

“Saga tidur di kamar Yan, ya.”


 

Saga terhenyak dengan kenyataan itu. Dia berpikir akan menginap di kamar tamu, rupanya tidak. Om Rudi membukakan pintu kamar itu dan mereka berdua terkejut dengan beberapa kardus berjajar di dekat tempat tidur.


 

“Astaga,” panik, Om Rudi menyingkirkan kardus-kardus itu ke sudut kamar, dekat jendela. Sebenarnya Saga bisa saja membiarkan Om Rudi membereskan kardus itu sendirian, namun dia teringat perkataan adiknya agar tidak bersikap menyebalkan. Terpaksa, Saga membantu Om Rudi memindahkan kardus-kardus tersebut.


 

“Makasih ya, Saga. Maaf, kamu jadi repot beresin kardus ini. Yan mau pindah jadi dia titip barang-barang yang nggak dia bawa.”


 

Dalam keadaan lelah dan kantuk yang tak tertahankan, Saga hanya bisa tersenyum kecut meskipun dia tidak mengatakan apa-apa tentang keadaan kamar itu. Pastinya Yan sudah tahu bahwa kamar itu akan ditempati olehnya dan Saga menduga pemuda itu sengaja meletakkan kardus dengan tidak beraturan agar dia harus menyingkirkannya sebelum tidur. Namun setelah Om Rudi berpamitan, rasa kantuk dan lelahnya menguar, digantikan dengan rasa ingin tahunya.


 

Dia mengamati koleksi buku-buku yang ada di lemari Yan, meraih beberapa novel dan membacanya sekilas. Di sudut ruangan, terdapat gitar yang diletakkan di atas meja. Dilihat dari debu halus yang hanya ada di atas meja, sementara gitar tersebut tidak berdebu sama sekali, sepertinya sang pemilik kamar baru meletakkan gitar itu di sana. Lantas beralih ke satu-satunya bingkai foto yang ada di kamar itu yang diisi dengan foto mendiang istri Om Rudi. Dia tidak menemukan satupun foto sang pemilik kamar. Bagi Saga hal itu bisa dimaklumi sebab dia juga tidak memajang foto dirinya di kamar. Yang dia pasang adalah foto Salem dan Salmon. Baginya, kedua kucing itu sangat berharga.


 

Rasa penasaran membawanya menuju meja belajar Yan yang tampak rapi. Padahal Saga berharap Yan adalah tipe orang yang suka menulis buku harian, yang setidaknya bisa dia baca sedikit. Tangan usilnya mengarah ke laci meja, sudah akan membuka laci itu ketika hati kecilnya berteriak menyuruhnya berhenti. Sebesar apapun keingintahuannya, dia tidak boleh bertindak tidak sopan.


 

Saga menghentikan gerakannya, tetapi berSaga bersikeras niatnya mulia karena ingin memastikan bahwa calon anak tiri Tante Helena bisa dipercaya.


 

Sayang sekali niat mulianya terhalang laci yang terkunci. Niat baiknya gagal. Lebih baik dia mandi lalu beristirahat agar besok dia tidak mengantuk di acara pertunangan Tante Helena.


 

***


 

Memang sudah menjadi kebiasaan Saga untuk bangun pagi, bahkan sebelum matahari mengintip, untuk berolahraga. Tidak ada bedanya meskipun dia sedang ada di tempat baru. Justru dia lebih bersemangat lari pagi sambil berkeliling di lokasi yang baru pertama kali didatanginya. Dia menghabiskan waktu satu jam mengitari kompleks perumahan Om Rudi dan memutuskan untuk kembali sebelum Zoya panik mencarinya. Terkadang adiknya bersikap berlebihan, meskipun dia sudah berpamitan melalui chat.


 

Siapa sangka sewaktu Saga membuka pagar dengan kunci yang dipinjami oleh asisten rumah tangga Om Rudi, seseorang menyentakkan bahunya dan membuatnya hampir jatuh seandainya dia tidak berpegangan pada pagar.


 

"Mas mau ngapain di rumah saya?" Suara yang membentaknya marah itu dibarengi dengan cengkeraman di kerah kaosnya.


 

Pemuda yang bertubuh lebih kecil darinya itu berdiri gagah dengan satu tangannya yang mengepal dan bersiap melayangkan tinjunya. Tatapan mereka beradu sebelum Saga sempat mendorong pria itu menjauh.


 

Ternyata itu anak Om Rudi.


 

"Oh, Yanuar ya?" Saga memastikan tidak salah menyebut nama. Dia melepaskan tangan Yan dari kerah kaosnya.


 

Pemuda itu terkesiap, tubuhnya perlahan menjauhi Saga, "Siapa ya? Kok tau nama saya?" gumamnya pelan, meskipun kedua matanya menatap Saga penuh selidik. Dari ujung rambut hingga ujung kaki.


 

"Saya Sagara, ponakan Tante Helena."


 

"Maaf, saya nggak tau. Saya pikir ada maling. Permisi, biar saya bukain pintu."


 

Dengan mudah, Saga mendorong pagar yang sudah dibuka sejak tadi. Kedua mata Yan membulat, menatapnya bingung. Ditunjukkannya kunci pagar yang dipinjamkan oleh asisten rumah tangga Yan.


 

"Saya pinjam kunci rumah kamu sama Bibi."


 

Yan mengangguk kemudian membuka pagar lebih lebar lantas menuntun sepeda motornya masuk ke dalam halaman rumah. Saga mengamati gerak-gerik pemuda itu yang memang tidak terlihat ramah sama sekali. Bahkan ketika berjalan masuk, Saga diabaikan begitu saja. Tidak ada yang namanya basa-basi atau sekedar memperkenalkan diri. Belum apa-apa, sikap Yan sudah membuat Saga kesal.


 

Ternyata pemuda itu menunggunya di ruang tamu, berdiri canggung sambil menunjukkan dua kantong plastik McDonald.


 

"Saya bawain sarapan. Saya nggak tau mau beli makanan apa sepagi ini." Dia tersenyum kecut. Sepertinya berbicara dengan orang baru sungguh menyiksa Yan. 


 

"Makasih, Yanuar."


 

"Panggil Yan aja." potongnya, "Sagara?"


 

"Saga. Saga aja." Saga mengulurkan tangan untuk membantunya membawa kantong makanan. Dari cara Yan membawa, dia khawatir kantong berisi minuman sebentar lagi tumpah ruah.


 

Benar saja. Sebelum Saga menerima kantong plastik berisi gelas-gelas minuman, kantong itu sudah terlebih dulu jatuh ke lantai.


 

"Aduh," Dengan gelagapan, Yan meraih kantong itu sebelum semua isinya tumpah, tapi terlambat. Untung saja masih ada kantong plastik sehingga cairan lemon tea malang itu masih setengahnya ada di dalam plastik. Sementara celana dan kaki mereka serta lantai ruang tamu dipenuhi tumpahan minuman itu.


 

Saga menghela napas panjang. Mengawali hari dengan kesialan itu bukan pertanda bagus.


 

"Saga, maaf ya. Saya nggak sengaja."


 

Asisten rumah tangga Om Rudi, beserta Om Rudi tentunya, bergegas menghampiri mereka setelah mendengar keributan itu. Mereka berdua tak kalah paniknya dengan Yan.


 

"Tolong ambilin pel dong. Tumpah semua nih." komando Om Rudi pada asisten rumah tangganya yang semakin gugup dan tiba-tiba lupa di mana letak kain pel.


 

"Pak, abis ini Yan beliin lagi ya. Maaf, Yan nggak sengaja." Wajah Yan memelas, minta dikasihani Om Rudi. 


 

"Iya, nggak papa, le. Gampang lah. Nanti delivery aja, ya." sahut Om Rudi seraya tersenyum, berusaha menenangkan Yan.


 

Di tengah keributan, Saga memantau kejadian itu seolah juri yang sedang menilai bagaimana Om Rudi dan anaknya bersikap di depannya. Kesan pertamanya bertemu calon anak tiri Tante Helena adalah kesan yang buruk.




 

-Bersambung-


AN :

Cerita ini dibuat gratis tapi dukungan teman-teman sangat berarti buat aku. Buat teman-teman yang baca dan komen, terimakasih. Buat teman-teman yang baca dan support, terimakasih super banyak!

-Ricca Sophia-



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Runaway Yan
Selanjutnya Runaway Yan : 4. Perang Dimulai
3
0
Cerita ini bertema LGBTQ.Bagi yang tidak suka dengan cerita percintaan sesama jenis, mohon tidak membaca cerita ini. Segalanya murni fiksi. Semoga bisa disikapi dengan bijaksana.Kalian baca di sini ataupun di Wattpad (ricca_sophia) Cover : ras_graphic (Instagram)***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan