
“Kamar lo? Buta lo, Tar? Liat, lo di hotel sekarang Tar!" balas Sindy dengan raut wajah penuh amarah. “Bisa-bisanya lo bohong, katanya lo ke rumah Fika.”
“Tara bangun!” teriak seorang gadis.
Gadis yang tengah tertidur itu sontak bangun dan langsung terduduk. Dia mengucek matanya dan berusaha mengumpulkan kesadarannya. Teriakan ini terasa familiar.
“Sindy? Lo ngapain di kamar gue?” tanya gadis bernama Tara. "Tumben dateng ke sini pagi-pagi."
“Kamar lo? Buta lo, Tar? Liat, lo di hotel sekarang Tar!" balas Sindy dengan raut wajah penuh amarah. “Bisa-bisanya lo bohong, katanya lo ke rumah Fika.”
Gadis itu terdiam sejenak, sembari mengerjab. Beberapa detik setelahnya Tara langsung terbelalak ketika melihat seisi ruangan yang terasa beda. Kenapa tiba-tiba di kamar hotel? Bukankah semalam dirinya bersama Sindy di club karena acara ulangtahun teman SMA-nya?
“Sin, kok gue bisa di sini? Bukannya semalem kita berdua lagi ngobrol, ya?" tanya Tara dengan raut wajah yang bingung. Sungguh, gadis itu tidak mengingat apapun tadi malam.
Sindy terduduk di sisi ranjang. “Tadi ada yang telpon gue, dia bilang kalau lo ada di sini? Padahal semalam lo bilang ke rumah Fika. Sebenarnya kenapa, sih, Tar?”
Tara menyugar rambutnya kasar, kemudian merapikan kemejanya dan menutup kembali beberapa kancing bajunya yang terbuka. Sejujurnya Tara sudah tidak bisa berpikir jernih sekarang. Apa dia tidur bersama seorang pria? Tapi, dia masih memakai pakaian lengkap. Bagian intinya juga tidak terasa apapun.
“Seenggaknya gue bukan korban pemerkosaan kan, Sin?" sahut Tara.
Bhak!
Lagian dia mendapatkan hadiah pukulan dari sepupunya itu. Sindy memang terkadang bisa jadi sangat galak, bahkan Neneknya pun kalah.
“Sin! Sakit sialan!” ringis Tara seraya mengusap lengannya. "Jahat banget!"
Bhak!
"Sindy, ih!"
“Mentang-mentang beda setahun, lo jadi songong ya, Tar! Inget gue kakak sepupu lo! Lo itu tanggungjawab gue, Tara," balas Sindy dengan kilatan mata yang terlihat begitu marah. "Lo bener-bener bikin gue khawatir tau nggak?!"
“Iya, maaf Kak Sindy," balas Tara dengan sedikit menunduk.
Tara memang sering sekali menguji kesabaran Sindy. Bukan sekali dua kali Tara ini membuat Sindy khawatir. Bahkan sejak sekolah dasar. Bisa-bisanya Tara menyelamatkan kucing sampai tertabrak motor dan masuk rumah sakit.
Setidaknya Sindy tidak terlalu khawatir karena Tara tidak diapa-apakan. Siapapun orang yang sudah memberi kamar pada Adik sepupunya itu. Sindy benar-benar harus berterimakasih.
Sindy menyugar rambutnya ke belakang. “Karna gue baik, gue nggak akan bilang ke Nenek, tapi inget jangan pernah lo begini lagi. Apapun itu lo harus izin, kalo nggak sempet ke Nenek, bisa ke gue."
Tara mengangguk kecil, lalu memeluk Sindy dari samping. “Baik banget Kakak sepupu gue ini."
“Inget, lo ada utang cerita sama gue, Tar."
Tara mengangguk kecil. Padahal dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi padanya semalam. Tahu-tahu sudah di dalam kamar hotel ini. Ya, lagipula tidak terlalu penting, sekarang yang penting adalah dirinya tidak apa-apa dan tidak terjadi apapun. Siapapun yang membantunya semalam, Tara benar-benar berterimakasih.
***
Ketika Tara hendak menyebrang menuju pintu masuk kantornya, high heels yang dia kenakan itu patah di bagian haknya. Terpaksa Tara berhenti tengah jalan dan sedikit merendahkan tubuhnya sembari membetulkan high heels-nya itu.
Tepat saat Tara hendak kembali berdiri, tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi mengarah padanya. Sontak Tara membulatkan matanya, rasanya dia ingin menyingkir dari sana, tapi tubuh terasa berat dan lututnya lemas.
Mobil itu pun langsung mengerem mendadak hingga terdengar suara decitan yang cukup nyaring. Mobil berwarna putih itu pun berhenti tepat di depan mata Tara. Sungguh, Tara benar-benar terkejut. Bahkan dirinya sampai tersungkur karena terlalu shock.
Seseorang keluar dari mobil itu dan menghampiri Tara. "Maaf, Mbaknya nggak apa-apa?" tanya pria paruh baya itu.
Tara kembali bangkit berdiri. "Saya nggak apa-apa, kok, Pak. Lain kali jalan yang benar, ya, Pak. Bapak sama penumpangnya nggak apa-apa, kan?"
Pria paruh baya sedikit mengangguk. "Nggak apa-apa, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf, Mbak."
Tara mengangguk kecil. "Iya, Pak."
Pria paruh baya itu langsung kembali masuk ke mobil.
"Tuan Zavian, saya minta maaf, karna kelalaian saya. Kita hampir celaka," ujar pria paruh baya itu menoleh ke belakang.
Seorang pria yang tengah terduduk nyaman di belakang itu hanya mengangguk kecil. Kalau dilihat-lihat gadis itu seperti seorang mahasiswa. Bukankah dia sudah katakan, kalau anak magang tidak usah datang sepagi ini? Benar-benar membuat Zavian sakit kepala.
"Nggak perlu," jawab Zavian singkat. Kemudian dia membuka pintu mobil dan sudah disambut oleh asisten pribadinya sekaligus teman SMA-nya.
Zavian mengernyit, ketika melihat gaya rambut Rian yang sedikit berbeda. "Lo potong rambut?" tanya pria itu sembari memperhatikan potongan rambut pria itu.
"Dikit, Zavi."
Zavian terkekeh kecil. Lalu melangkah mengikuti Rian dan berjalan di sebelahnya. "Jadwal hari ini padat banget nggak?" tanya Zavian sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Jujur aja gue masih belum biasa jadi CEO." Pria itu mendecak kecil. "Ternyata sesusah ini, sialan."
"Hari ini nggak terlalu padat. Besok yang padat," ujar Rian. Kemudian menekan tombol lift khusus bagi pejabat tinggi perusahaan. "Kenapa lo nanya-nanya gini? Lo mau kabur ke mana lagi? Ke luar negeri lagi?"
Begitulah pekerjaan harian pria yang sudah memasuki kepala tiga itu. Sudah pasti Ibu tirinya terus mencecar soal perjodohan bodoh itu. Entah, apa yang membuat wanita paruh baya itu terus memaksanya untuk menikah.
"Lo jangan gila, deh, Zav," lanjut Rian. Kalau Zavian tiba-tiba menghilang begini sudah pasti Rian yang akan kesusahan. Karena dia diberi amanah untuk menjaga Zavian sejak sekolah menengah atas dulu.
"Nggak, Rian. Takut banget gue kabur. Ada sesuatu yang harus gue tanya. Lo yang bawa cewe yang semalam itu kan?" tanya Zavian mendapatkan anggukan dari Rian. "Siapa namanya?"
"Kalo nggak salah namanya Tara," jawab Rian sembari mengikuti Zavian masuk ke dalam lift. "Lo mau apa emang? Jangan aneh-aneh, dia cewe baik-baik."
"Cuma karna dia pake panjang lo bilang dia baik? … Rian, lo jangan polos-polos banget," sahut Zavian.
"Gue tau, karna gue cukup kenal cewe itu, Zavi. Sekarang mendingan lo urusin Ghania. Gue rasa lo harus siap dipanggil Tuan Antonio."
"Sialan! Kenapa tuh cewe ada di sana?" Zavian terbelalak ketika melihat seorang gadis yang berada di depan ruangannya.
***
"Serius,Tar? Lagian lo kan nggak bisa minum, ngapain minum coba?" balas seorang gadis berambut pendek itu. "Kalo kata gue, lo seharusnya seneng, dong. Ya, seenggaknya lo nggak diapa-apain. Tara, ini tuh termasuk keberuntungan. Lo pasti tau kan, kalo udah masuk ke sana, ya udah pasti hilang mahkota lo."
Tara mengangguk kecil. Ada benar juga, siapapun orangnya dia harus berterima kasih karena pria itu termasuk baik. Mungkin kalau Tara bertemu lagi dengan pria itu, dia akan mentraktir makan atau minum kopi.
Tara yang sedang melamun, tiba-tiba dikagetkan oleh seorang pria yang berteriak cukup kencang. Pria itu mengatakan agar cepat untuk berdiri. Tara hanya terdiam dan langsung bangkit berdiri, saat mengetahui Tara yang terdiam, Mita langsung menarik sedikit jari tangan Tara.
"Lo ngapain bengong? Mikirin cowo semalam, ya?" goda Mita seraya mencolek pipi Tara. "Kalo takdir bakal ketemu, kok. Tenang aja, Tar."
"Apaan sih, Mit? Gue bukan pikirin tuh cowo. Gue lagi mikirin yang lain," balas Tara membuat gadis berambut pendek itu terkekeh geli. "Mit, bukannya dua hari lalu mereka baru dateng, ya? Kenapa dateng lagi, sih?"
Mita mengangkat bahunya. "Entah, mereka bikin gue deg-degan terus."
"Iya, kan? Mana mukanya serem-serem banget," bisik Tara bergedik ngeri.
Ketika pintu ruangan divisi itu terbuka, seluruh pasang mata tertuju pada seorang pria berkacamata. Pria itu melangkah dengan gagah memasuki ruangan divisi keuangan ini. Pria itu ditemani dengan asisten pribadinya.
"Kenapa muka kalian tegang begini?" tanya Zavian sedikit bercanda. Lalu sorot matanya terhenti pada gadis bertubuh pendek dengan rambut kepang dua yang terdiam menatapnya. "Kamu kenapa? Tutup mulut kamu itu!"
Tara menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan polos. "Saya, Pak?"
"Lalu siapa gadis berkepang selain kamu di sini?" balas pria itu.
Saat itu juga terdengar beberapa orang mulai menertawakannya. Sungguh memalukan. Padahal Tara hanya bertanya kenapa pria ini malah membalas seperti ini. Menyebalkan sekali.
"CEO sialan," umpat Tara. Lalu mendapatkan senggolan dari Mita. "Apaan?"
"Sabar, Tar. Dia atasan kita, selagi nggak ngurangin gaji, nggak apa-apa, Tar."
Yang benar saja? Wah, Tara benar-benar dibuat tidak mood. Padahal ini masih cukup pagi untuk kehilangan mood. Ternyata perkataan orang-orang tentang CEO barunya ini memang benar. Selain galak, pria ini juga suka menghina.
"Hari ini saya hanya ingin memeriksa pekerjaan divisi keuangan saja. Kepala divisi silakan melaporkan pada saya."
Seorang wanita paruh baya selaku kepala divisi itu maju menghadap CEO itu. "Baik, Pak Zavian. Selama beberapa hari terakhir ini, tidak ada masalah dan kami terus berupaya menyelesaikan pekerjaan dengan tepat dan cepat. Semua pekerjaan mereka akan saya periksa sebelum dikirim ke divisi lain. Jadi, saya yakin human error sangat minim terjadi," jelas Fina--Kepala Divisi Keuangan.
Zavian mengangguk kecil, sesekali dia melirik pada gadis berkepang dan bertubuh pendek bernama Tara itu. Tiba-tiba Zavian terpikirkan sesuatu akan kejadian semalam. Sepertinya gadis itu benar-benar mabuk, bahkan dia tidak mengingat wajahnya sama sekali.
"Kamu yang nunduk," panggil Zavian kembali mengarah pada Tara seraya membetulkan kacamatanya.
Mita menyenggol lengan Tara. "Iya, Pak Zavian."
"Maju ke sini."
Tara mengerjab sejenak. Apa dia melakukan kesalahan? Ada apa dengan pria itu? Gadis itu mencoba menenangkannya diri, sebelum melangkah maju.
"Iya, Pak Zavian," jawab Tara raut wajah malas.
Tara pun terpaksa melangkah maju. Gadis itu berdiri dengan jarak yang tidak begitu dekat dengan Zavian. Sungguh malas melihat wajah atasan barunya itu.
"Maju lagi."
"I-iya, Pak."
Zavian melipat kedua tangannya depan dada, lalu merendahkan tubuhnya. Pria itu mencondongkan sedikit wajahnya, lalu membetulkan kacamatanya. Dia ingin memastikan apa gadis ini adalah gadis mabuk semalam itu.
"Kamu tau, saya siapa kan sekarang?" tanya Zavian.
"Iya, Pak. Bapak itu pimpinan di sini."
"Apa jabatan saya?"
"CEO, Pak Zavian."
"Bagus, kamu belajar dengan baik. Jadi, kamu mau bayar dengan apa soal ciuman panas waktu itu, hm?"
"Hah?" Sungguh Tara tidak mengerti apa maksud pria ini. "Ciuman apa maksud Pak Zavian?" balas Tara berbisik.
Zavian kembali mendekati Tara. "Saya baru ingat, waktu itu kamu sangat mabuk, makanya kamu nggak ingat apapun. Apa kamu belum ingat sama sekali? Saya pria yang kamu ciuman waktu itu di club?"
"Hah? Apa?!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
