Tentang aku, kamu, dan makanan dimeja kita

3
0
Deskripsi

Halo! Ini adalah naskah artikel yang telah dimuat di buku 100 Gagasan Pemuda untuk Jakarta 2020. Formatnya berbeda dengan cerita saya lainnya dimana ini lebih merupakan ajakan aku dan kamu untuk sama-sama lebih peduli terhadap makanan di meja kita. Selamat menikmati!


Aku adalah pecinta makan yang tak bisa tidur bila perut lapar, sementara kamu adalah fanatik cemilan yang lemas ketika berhadapan dengan sebakul nasi. Berbicara tentang kita, sudah banyak waktu yang dihabiskan...

Hai! terima kasih membaca. Dukung aku untuk terus berkarya ya dengan cara memberi likes, comment, atau mungkin mau traktir aku teh melalui tip? hehe, terima kasih sekali lagi, semoga harinya menyenangkan!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya Cerita tiga kata
3
0
Suatu waktu saya menemukan sebuah artikel di The Jakarta Post tentang betapa sulitnya menulis. Kala itu saya teringat akan penyampaian materi di komunitas Aksara tentang metode tiga kata, yakni metode dimana kita meminta 3 kata random dari orang lain dan meraciknya menjadi sebuah cerita. Berikut adalah kumpulan cerita yang bersumber dari tiga kata acak dari sekitar saya. Untuk saat ini baru terdapat empat cerita dengan rencana awal menjadi delapan cerita. Jika kamu tertarik ikut serta, silahkan sapa dan berikan satu kata untuk saya di twitter: @deyja94. Catatan: karya ini akan di update secara berkala berdasarkan cerita yang tersedia, jika kamu telah mendukung karya ini, kamu akan terus mendapat update cerita terbaru. Seperti biasa, saya akan memberi contoh cerita terlebih dahulu. Cerita ini merupakan cerita tiga kata yang ternyata berlanjut jadi dua part yang tentunya ilhamnya dari tiga kata dari tiga orang berbeda juga, menarik bukan? Oke selamat menikmati ceritanya.    Penaklukan Genap sudah usiaku menginjak 22 tahun. Dua tahun sudah aku mengemban status berkepala dua dengan pekerjaan yang masih karut-marut. Sebagai anak pertama, aku harus cepat bisa berdiri sendiri dan membantu keluarga. Apalagi dengan status sebagai anak rantau yang membutuhkan banyak biaya, sementara waktu malam yang berisi kelas perkuliahan tidak bisa diganggu gugat. Memaksimalkan siang adalah suatu keharusan.Aku ingin mengejar matahari dan menaklukan kota, cukup do’akan semoga aku sehat disini. Begitu kata-kata angkuh yang keluar ketika berpamitan dengan kedua orang tuaku melalui surat yang kutinggalkan di meja. Namun ternyata disini pun tak begitu banyak pekerjaan yang tersisa. Masing-masing telah memegang peranannya. Begitu sempit ruang untuk pendatang seperti ku. Sementara aku masih sibuk berputar-putar mencari pekerjaan dengan sisa tabungan yang kian menipis, tawaran itu datang.Dengan iming-iming gaji yang menggiurkan serta status kelurahan tempat ku tinggal yang sudah terlanjur tercemar, seseorang menawariku menjadi kurir. Tak perlu muluk-muluk sebenarnya, bisa hidup untuk sebulan ke depan saja aku sudah senang. Tabungan ku sudah tertatih-tatih untuk mempertahankan kehidupan disini. Pun tempat ini ku pilih karena harganya yang begitu miring. Komplek maling mereka menyebutnya. Menjadikan seorang polisi sebagai kepala lurah pun tidak berpengaruh banyak, toh ia sudah sibuk dengan urusan kantornya sendiri. Begitu kata bandar yang menghampiriku.Hari-hari sebagai kurir pun mulai kulakoni. Siang hari yang begitu panas di kota ini harus ku susupi dengan kantung berisikan, entah lah, aku tidak ingin benar-benar tahu apa yang aku bawa. Setidaknya itu sedikit meringankan beban sekalipun aku tahu jika itu adalah barang yang semestinya tidak pernah ada dalam hidupku. Beratnya hanya sekitar satu Kg, kadang kurang kadang lebih, tapi tak pernah melebihi lima Kg. Pun selama masa orientasi aku hanya dikasih seukuran bungkus rokok. Katanya untuk asesmen kemampuanku dulu. Dalam seminggu terdapat 3-4 kali pengiriman, sisanya ku habiskan di co-working space untuk setidaknya berusaha mengembalikan kewarasanku, sekaligus belajar memasuki industri kreatif.Sejatinya aku suka gambar dan animasi. Ku beli semua peralatan tersebut dengan tabungan ku yang pertama. Uang hasil belasan tahun nguli dan ngangon kerbau di kampung. Begitu bangga aku dengan hasil jerih payah ini walau spesifikasi sekadarnya, tapi yang terpenting kan gunanya. Entah apa kata bapak ibuk ku tentang hal ini, dari dulu mereka tidak suka aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menggambar. Adapun bumbu masakan yang ku buat jadi tinta kerap membuat ibuku mengomel. Belum terpikir waktu itu untuk membuat hidroponik sebagai pengganti sesal ibu terhadap bumbu dapurnya, padahal hidup di kelilingi kebun dan sawah.Sedikit pertemuan ku dulu dengan para tengkulak di pasar mulai membuka mataku akan kehidupan yang lebih besar. Tentang bagaimana orang berkomunikasi dan bepergian, tentang bagaimana sebuah ide bisa berarti di tempat yang tepat, dan ilmu yang lebih luas dari cakrawala. Kota adalah jawaban untuk berkembang dan aku masih memegang hal tersebut hingga sekarang. Hanya masalah waktu dan sedikit keberuntungan. Aku pun mulai mencoba berkenalan dengan berbagai orang tanpa memandang siapa atau apa mereka. Toh aku sendiri tinggal di tempat yang sudah diasosiasikan negatif.  ***  Tugu muda, salah satu landmark kota yang terkenal. Disusupi oleh beraneka orang, mulai dari turis mancanegara, pelajar, hingga pengemis jalanan. Beberapa kali aku harus melewati tempat ini untuk mengantar kiriman. Di suatu waktu aku melihat beberapa orang berusia 20an tengah menggeruduk anak yang ku kenali sebagai tetangga ku. Aku pun tak bisa tinggal diam, namun tanpa ingin bertindak gegabah ku coba curi dengar terlebih dahulu apa yang mereka perbincangkan. Ini tampak seperti wawancara, dengan beberapa penghindaran dari anak tersebut aku masih dapat menangkap maksud baik kelompok itu. Mereka hendak melakukan sesuatu. Sesuatu yang dibutuhkan namun luput dari perhatian masyarakat pada umumnya. Aku yakin mereka bukan dari pemerintahan, entah bagaimana itu tidak terlihat seperti agen-agen dinsos yang lebih suka melakukan penjaringan dadakan.Awal mula tersebut yang membawa ketertarikanku untuk bergabung. Sedikit lagi dunia ku bertambah luas. Tidak hanya sibuk menggambar, kini aku punya aktivitas lain di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tentu saja mereka tidak mengetahui perkerjaanku, bisa habis dimaki, atau yang terparah mereka melaporkan dan mengungkap identitasku yang dijadikan syarat mengisi form keanggotaan. Entah bagaimana aku merasa harus mengisi dengan benar, sebagai awal untuk sesuatu yang baru, mungkin. Akupun menimba ilmu dari mereka. Komunitas ini tidak terlalu besar, namun bersumber dari berbagai latar belakang yang ku manfaatkan untuk menambah cakrawalaku. Aku pun berteman akrab dengan Arif, anak pertanian, yang dengan suka cita mendongengi ilmunya untuk aku terapkan suatu saat nanti dan Eka, anak grafis yang memacuku untuk meningkatkan keahlian dan berani berkompetisi di bidang desain grafis dan animasi. *** Langit kota tak selalu cerah. Kadang awan mendung yang begitu pekat bergelayut di antara gedung-gedung tinggi di Simpang Lima. Mengeluarkan kilat dan sambaran petir. Begitu juga dengan hidupku. Sudah ketiga kalinya aku dikejar-kejar polisi dalam dua bulan ini. Sepertinya modus operandi sindikat mulai terbaca mengingat dua kurir lainnya telah tertangkap. Aku semakin harus berhati-hati dan menghindari matahari sebisa mungkin. Membolos kelas dan menyusuri gang-gang gelap mulai aku lakukan. Ini adalah caraku untuk bertahan hidup. Setidaknya ada untungnya juga dua kurir lain tertangkap, honorku jadi bertambah dua kali lipat. Aku jadi bisa menabung lebih cepat dari yang seharusnya.Aku keluar dari organisasi, setidaknya itu yang aku pikir setelah dua bulan tidak menghadiri kegiatannya, semenjak kali pertama polisi mencari namaku. Aku tidak ingin melibatkan mereka, mereka telah memberiku begitu banyak yang tentu tidak dapat aku ganti budinya hingga kapanpun. Tugasku sebagai pengajar terpaksa aku tinggalkan. Aku tengah buron.Mau polisi ataupun sindikat, dua duanya kuhindari. Aku sudah tidak sanggup. Pernah suatu ketika tidak sengaja membuka paket. Aku salah mengira itu kiriman dari online shop, ternyata itu paket untuk disalurkan, betapa bodohnya. Aku pun melihat sendiri daun-daun kering yang kubawa. Entah sudah berapa orang ku buat lamban otaknya dengan daun-daun itu dan yang lebih menyakitkan, aku jadi teringat dengan bapak ibuk dirumah yang sedang asik menanam singkong.Di suatu malam selepas kelas, aku pulang. Tak kusangka Eka tengah menungguku di depan lorong. Aku memilih menghindar, masa lalu kini terlalu pahit untuk ku. Aku berpura-pura menjadi orang lain dan berjalan secepat mungkin guna menghindar. Tampaknya ia tidak tertipu dan memanggil namaku. Sontak aku langsung reflek berlari, menyusuri gang seperti dikejar polisi. Namun ternyata ia tidak sendiri, ada Arif yang mencegatku digerbang kampus. Seperti terpojok, entah bagaimana aku merasa begitu bersalah telah menipu kedua sahabatku ini, kaki ku tidak mau lagi berlari, mereka bukan polisi.Eka memulai percakapan setelah menenangkanku dan membawaku ke kamar indekosnya. Ternyata tidak begitu jauh dari indekos ku yang baru, cuma aku diam saja. Ia menanyakan kabarku bagaimana. Kujawab entah karena aku sendiri tidak betul-betul tahu kondisiku, hanya sekedar masih hidup ku rasa. Mereka pun bercerita jika mereka sedikit tahu kondisiku. Polisi pernah datang dan bertanya, namun mereka tak sudi membeberkan identitasku. Keanehan ku selama ini pun seakan terjawab. Namun keanehan tersebut tidak mengubah sudut pandang mereka terhadap ku, pun aku masih diterima di organisasi, anak-anak jalanan yang mengikuti kelasku kangen dengan ku katanya. Aku menangis tersedu-sedu sambil mendengarkan. Sambil menepuk bahu ku, Eka berbisik pelan. Katanya gambarku lolos seleksi dan sebaiknya aku bersiap untuk dikontrak. Aku menatapnya heran. Kapan aku ikut seleksi yang ada kontraknya? Katanya ia meminta maaf karena asal mengirim gambarku yang sempat di copy olehnya.Hidup seakan kembali berputar. Perlahan-lahan aku kembali menapaki kehidupan. Menghabiskan waktu dengan teman-teman dan mengajar di kelas serta menimba ilmu tatkala malam datang. Sumber penghasilanku mulai jelas. Aku dibayar atas hobiku, apa yang lebih membahagiakan dari itu, selain deadline yang mencekik tentunya, hehe. Namun sesekali kehidupan lama masih menghantui ku. Reflekku masih sama setiap melihat polisi, lari dan bersembunyi.Sore itu aku menyiapkan paket alat tulis untuk dibagikan ke anak-anak. Tidak banyak, namun cukup mengingat tinggal tujuh orang yang bertahan di kelasku. Aku sedikit bergegas karena hampir terlambat. Di tengah jalan aku mengenali dua polisi berseragam preman. kami berpapasan tepat di depan gang di samping gudang geladak kapal. Sontak aku berlari dengan memegang erat paket yang ku bawa. Mengingat rute aman menuju kelas sebelum anak-anak bubar karena terlalu lama menunggu, sembari menghalangi kedua pengejarku dengan apa saja yang ada di sekitar, entah itu tangga, bangku, atau kandang ayam. Lumayan aku berhasil membuat jarak dan meloncat masuk ke kelas. Deny si penanggung jawab kegiatan menepukiku yang seperti orang asma. Kami pun membagikan paket tersebut. Belum selesai paket dibuka, kedua polisi tadi masuk kelas dengan raut muka marah. Salah satunya mencengkram leherku sembari menampar. Aku terdiam membayangkan skenario terburuk, dipenjara. Suatu skenario lama yang masih menghantui. Polisi lainnya berkeliling dan menemukan paket yang kubawa. Ia terkejut melihat isinya berupa pensil dan penghapus. Ia menarik rekannya sembari memperlihatkan paket tersebut. Aku dilepas begitu saja hingga terjatuh. Pipiku sudah berubah warna jadi keunguan. Pun kemudian polisi tersebut meminta maaf dan menghilang. Aku masih syok. Anak-anak diminta pulang. Deny menghampiri ku, kembali menepuk bahuku sembari menelpon Ditta, sang ketua organisasi. Tanpa menghabiskan waktu lama mereka datang sembari membawa es. Aku masih terdiam, kali pertama aku tertangkap, namun aku selamat. Hari itu kegiatan berubah jadi sesi sharing, dengan aku yang seperti jadi narasumber. Anak-anak kelas sudah dibubarkan. Selain Ditta dan Deny, hanya Arif dan Eka yang hadir di ruangan tersebut. Mereka benar-benar mendukung arah langkah yang ingin ku gapai dan mempercayaiku untuk terus menapaki kehidupan yang baru tanpa beban dari masa lalu. Cukup bagiku membalas dengan bakti ku seperti yang selama ini aku lakukan untuk anak jalanan, begitu kata mereka yang ku iyakan dalam hati sambil berkata, seumur hidup aku akan berbakti kepada sekitar sebagai penyeimbang dosa yang telah kulakukan. Aku pun memutuskan pulang sebentar, ingin aku berbakti dan mengenalkan ilmu bercocok tanam baru kepada kedua orang tuaku sebagai langkah awal. Untuk kemudian sekali lagi, mengejar matahari. I could feel the streetI’m not scare of things that once had shiver my feetAnd lads would fought on things you’d laugh aboutMidnight Mosque Song – The Sigit.3 Juni 2018  tiga katakata semoga bersumber dari @devi_hardyantiekata aku bersumber dari @mayangmpykata matahari bersumber dari @hlazizz81     Update cerita:Menjadi bahagiaGadis Pecinta Es krimGelora makan anak kost.Penaklukan bagian 2.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan