Cinderella dan Mas Timun

0
0
Deskripsi

Ketika Cinderella tidak pernah memilih datang ke pesta dansa, ia malah bertemu dengan bidadari yang memberikannya biji timun. Keesokan paginya, timun sebesar peti mati pria dewasa tumbuh di halaman rumah.

“Cinderella, kau jaga rumah! Kami tidak akan pulang sampai setidaknya tengah malam. Jangan pernah coba-coba untuk kabur!”

Cinderella mengangguk singkat. Sebenarnya ia agak merasa konyol melihat ibu dan kedua adik tirinya nekat mendatangi pesta dansa kerajaan. Mereka jelas-jelas orang kaya baru yang tak memahami bagaimana dunia orang atas bekerja. Anggota keluarga kerajaan dan aristokrat hanya sedikit melakukan gimmick.

Pasangan pangeran tentu sudah ditentukan sejak awal. Entah siapa. Tentunya bukan sembarang orang dari kalangan kelas bawah. Dari mendiang ayahnya, ia tahu bahwa orang-orang atas nyaris tak tersentuh. Bahkan oleh ayahnya yang saudagar kaya dan masih memiliki hubungan darah dengan aristokrat. Saat masih hidup pun, ayahnya tak lebih dari bidak-bidak catur yang bisa dipermainkan dan diatur sedemikian rupa. Setelah ayahnya tak ada, ibu dan kakak-kakak tirinya bisa apa? Menghabiskan uang dan berutang ke mana-mana. 

Mereka tak lebih dari figuran cuma-cuma yang digunakan untuk meloloskan ambisi anggota kerajaan. Sejak melihat betapa antusiasnya sang ibu mengunjungi berbagai butik dan mendatangi salon-salon perawatan kecantikan, Cinderella banyak menahan tawa. Mengetahui semua daya upaya mereka hanya berakhir dengan kesia-siaan. Sisa-sisa tabungan ayahnya ludes, tak akan balik modal. Pangeran tak akan melirik salah satu dari kakak tirinya.

Tanpa sepengetahuan ibu dan kakak-kakak tirinya, Cinderella sebenarnya telah menyimpan baik-baik harta benda peninggalan sang ayah. Sekotak perhiasan milik mendiang ibunya memang sengaja diberikan ayahnya sebelum menikah. Diberikan padanya sebagai pegangan yang tidak boleh diketahui oleh ibu tiri. Ada pula beberapa keping logam mulia dan sertifikat kepemilikan tanah di daerah lain yang dialihnamakan dengan namanya. Alasan kenapa Cinderella tetap bertahan menjadi kacung bertahun-tahun semata-mata untuk menjaga rumah peninggalan keluarga yang telah turun temurun tersebut.

Jika ada momen di mana ia bisa menendang mereka bertiga, dengan senang hati ia lakukan. Tinggal menunggu waktu saja sampai utang-utang itu tak terbayarkan dan mereka didatangi rentenir. Tanpa sepengetahuan keluarga sambungnya pula, Cinderella telah membangun usaha kecil. Barang-barang sisa milik ayahnya di gudang selama menjadi saudagar tak pernah dilirik oleh ibu tiri. Mereka jelas tak tahu jika barang-barang tersebut masih cukup bernilai karena harus berlayar cukup jauh untuk mendapatkannya.

Setiap pergi ke pasar, ia akan menjual barang-barang tersebut dengan harga lebih miring dari saudagar lain. Karena memang hanya barang sisa dan tinggal sedikit saja. Hari ini pun, ia akan keluar lagi menjual barang-barang tersebut di pasar malam. Biar saja keluar malam. Toh, mereka tidak akan pulang setidaknya sampai larut malam. Barang-barang tersebut tersisa sedikit saja. Beberapa tahun ke belakang masih ada berkotak-kotak teh dari Negeri Bambu, kain-kain sutera dari negara-negara gurun, dan berbagai barang langka lain. Karena sudah sering dijual, akhirnya menipis juga.

Cinderella membutuhkan lebih banyak waktu memilah-milah barang. Terlalu asyik, tak sadar lengannya menyikut sebuah kotak yang dulunya berisikan kain-kain batik tulis. Kain yang cukup populer di pasar karena bahannya yang dingin dan coraknya yang cantik. Ayahnya pernah harus pergi berbulan-bulan untuk mendapatkan kain tersebut. Kotak tersebut terjatuh selagi Cinderella mengelus-elus sikunya yang sakit. Bunyi kelinting kecil terdengar bersamaan dengan jatuhnya kotak tersebut. Sebuah teko yang terlihat seperti teko kecil untuk menyeduh teh tiba-tiba saja menggelinding mengenai kakinya.

“Ah … sembrononya aku,” cicit Cinderella sambil memungut teko tersebut.

Kalau dilihat-lihat, teko ini cukup estetik. Kenapa dari dulu ia tidak melihat teko ini? Sepertinya memang hanya ada satu. Kalau barangnya punya nilai seni seperti ini, sepertinya akan lebih bagus kalau dijual ke kolektor alih-alih pasar malam. Kira-kira bagian dalamnya seperti apa?

Ia membuka teko, lalu terkejut ketika menyadari sesuatu yang bercahaya keluar seperti kembang api dari dalam sana. Sesuatu yang bercahaya itu berputar-putar di langit-langit gudang, lalu secara perlahan membentuk sosok wanita bertubuh ramping, dan berambut panjang. Cahaya tersebut perlahan padam hingga tersisalah seorang perempuan cantik melayang di udara seperti uhm … peri? Penyihir? Entahlah.

Perempuan tersebut tersenyum pada Cinderella. Bertubuh semampai, kulit eksotis yang indah, rambut agak bergelombang, dibalut pakaian yang cukup unik pula. Bagian atasnya hanya berupa kain yang digunakan untuk menutupi dada, ada kain keemasan melingkari bagian bawah dada sampai perut, lalu yang menutupi perut sampai kaki hanyalah kain batik. Ada kain transparan warna merah muda yang membuatnya terbang. Satu lagi, perempuan itu penuh dengan perhiasan emas. Ia mengenakan kalung, gelang di bagian lengan atas dan pergelangan tangan, yang melingkari pergelangan kaki pun ada. Oh … jangan sampai ibunya melihat ini, sudah habis diceramahi karena berpakaian cukup menggoda. 

“Terima kasih sudah membebaskanku, Cinderella. Aku berutang budi padamu,” ujar perempuan tersebut yang terbang rendang di atas kepala Cinderella.

“Kau mengenalku?” Cinderella menunjuk dirinya sendiri.

“Oh … aku mendengar semua yang terjadi di rumah ini sejak ayahmu membawaku ke sini. Secara tidak sengaja tentunya, ia tidak tahu kalau membawa bidadari yang ditangkap suaminya ke dalam teko.”

Cinderella menyadari jika bidadari tersebut memiliki urat-urat yang menyembul di dahinya ketika menyebut bagian suami.

“Memangnya … apa yang dilakukan suamimu?”

Bidadari tersebut terlihat dipenuhi aura berapi-api ketika berkata, “Dia gila! Dia menyembunyikan selendangku ini supaya aku tidak bisa kembali ke kayangan! Catat itu! Lalu ketika aku menemukan selendang ini, ia memakai bantuan siluman mengurungku ke dalam teko supaya aku tidak bisa kembali ke kayangan. Dan pria bodoh itu teledor secara tidak sengaja membuatku masuk ke dalam peti batik jualannya. Ha! Rasakan itu pria bodoh! Aku bebasssss!”

Cinderella mengangguk-angguk saja. Antusiasme tak terlihat di wajahnya.

“Omong-omong … karena kamu sudah membebaskanku, aku akan mengabulkan satu keinginanmu sebelum kembali ke kayangan. Katakan apa yang kau inginkan.”

“Aku se—”

“Kau mau pesta dansa? Oh … ibu tirimu melarangmu pergi. Dan kau tidak punya gaun serta sepatu yang cantik. Bagaimana juga caramu merias diri?”

“Nona Bidadari a—”

“Tapi … aku tidak tahu bagaimana meriasmu Cinderella. Busana di sini jauh berbeda dengan busana yang ada di kayangan dan negeri aku sempat tinggal. Tapi aku bisa belajar, kok.”

“Tolong dengar—”

“Kalau dipikir-pikir, bukankah sebaiknya kau melakukan perawatan wajah. Berlama-lama di dapur, loteng, beres-beres rumah sendirian kau jadi kelihatan—”

“TOLONG DENGARKAN AKU DULU, NONA BIDADARI!”

Cinderella bukan membentak. Ia hanya menyela dengan suara keras-keras. Ia menarik napas sebelum memulai bicara, “Aku tidak menginginkan pergi ke pesta itu. Tak ada gunanya. Daripada membuang-buang waktu berdansa di sana, aku akan lebih senang jika diberi uang yang banyak.”

Bidadari menatapnya setengah tidak percaya. “Kau agak … matre, ya.”

“Memang.” Cinderella tidak membantah.

Bidadari terbang mendekati Cinderella dan menepuk-nepuk pundaknya. “Kasihan Cinderella yang tidak mendapatkan cinta dari siapa pun. Kau sebenarnya membutuhkan sentuhan kasih sayang pria.”

“Sentuhan uang, emas, dan berlian lebih indah buatku. Sesuatu yang bisa membuat rumah ini beralih padaku. Uang yang banyak untuk mengambil alih rumah dan tanah ini.”

Bidadari menatap Cinderella sekali lagi. “Yakin tidak mau ke pesta dansa?”

“Seribu persen yakin.”

Bidadari menghela napas lesu. “Sebenarnya aku juga tidak bisa memberikanmu uang. Tapi aku punya biji dari kayangan. Biji ini memang tidak bisa memberikanmu uang. Tapi setidaknya bisa menghasilkan uang. Kau pernah dengar tentang tanaman yang tidak pernah mati dan selalu berbuah, ‘kan?”

“Iya … sepertinya penyihir di kerajaan ini sedang mengembangkan itu.”

Bidadari menggeleng-geleng. “Tidak perlu menunggu pengembangannya selesai. Karena aku sudah punya!”

Bidadari berputar-putar di udara lalu menunjukkan biji tersebut dengan semangat berapi-api.

“Biji Timun Ajaib!”

Cinderella mendecih. “Timun? Tidak laku di sini.”

Bidadari menggeleng-geleng. “Ini timun suri, rasanya segar dan manis. Ini akan jadi buah paling laku kalau musim panas. Simpanlah es di musim dingin. Keruk daging buahnya, beri gula, dan es. Dijamin laku keras. Dan … ada kejutan lainnya, hihi.”

Cinderella sebenarnya masih punya banyak pertanyaan, tapi bidadari tersebut sudah terlanjur menghilang. Kembali pada biji timun pemberian bidadari tersebut, memang terlihat berkilau keemasan. Ada dua biji timun, tapi salah satunya berukuran lebih besar. Cinderella mengedikkan bahu. Nasib baik dapat timun abadi. Ia akan memikirkan cara lain untuk mengolah timun itu nantinya. Setelah menanam biji timun di halaman belakang, Cinderella kembali masuk ke rumah. Mumpung ibu dan kakak-kakak tirinya tidak ada, ia akan bersantai dan tidur sejenak.

*** 

Keesokan paginya, Cinderella melongo ketika mendapati timun-timun di halaman belakang telah berbuah dengan lebat. Lebih melongo lagi ketika melihat salah satu timun berukuran seperti peti mati pria dewasa. Ini hanya dia yang melihat, ‘kan? Ibu dan kakak-kakak tirinya semalaman mabuk-mabukan. Patah hati tentunya. Benar saja, Pangeran sudah menambatkan hati pada putri dari kerajaan lain. Tidak balik modal, rugi pula! Sampai pagi ini pun mereka bertiga masih bergelimpangan di ruang tamu.

“Bidadari itu memberiku biji apa, sih?” Cinderella menggerutu. “Oh … jangan-jangan dia benar-benar memberikanku emas?”

Karena terdorong motivasi tersebut, Cinderella bergegas mengambil pisau ke dapur. Sejak pisau tersebut menyentuh badan buah timun yang besar, aroma segar dan manis menggelitik hidung. Oh, tak salah kata bidadari. Buah timun ini memang segar dan manis. Selain dijadikan minuman segar, sepertinya juga cocok dijadikan aroma parfum! Butuh waktu lama untuk membelah timun raksasa itu. Walaupun agak susah membelahnya, tetapi ia merasakan adanya harapan ketika mengangkat bagian atas timun titan tersebut. 

Senyum di wajah Cinderella menghilang ketika mendapati isi timun suri tersebut. Bukan emas, apalagi berlian. Isinya pria dewasa, telanjang! Tak memakai sehelai benang pun! Syok? Jelas. Ia sampai jatuh terduduk saking kagetnya.

“Sial! Apa-apaan bidadari itu. Apa yang sudah dia berikan padaku?!”

Cinderella merasa sangat bodoh! Sekarang apa yang harus ia lakukan dengan pria di dalam timun besar itu. Tunggu … pria itu tidak mati, ‘kan?

“Upik?”

Cinderella yang mendengar suara rendah pria tersebut langsung menjerit. Pria itu masih hidup! Tidak … atau ialah yang membangunkannya?

“Kau hidup?”

Pria itu menatap Cinderella, memiringkan kepalanya lalu berkata, “Aku hidup untukmu, Upik.”

“Cinderella.”

“Upik Cinderella.”

“Ya, terserah.”

Pria yang keluar dari timun suri itu memiliki tubuh tinggi dan cukup berotot di tempat-tempat yang tepat. Ehem. Kulitnya tidak terlalu putih, tetapi tidak gelap juga. Ada di tengah-tengah dan terlihat bercahaya. Anehnya, ia mirip timun suri. Rambut warna pirang cerah seperti kulit timun suri tersebut. Matanya sendiri hijau seperti daun timun. Alis dan bulu matanya lebat. Uh … iri sekali. Dan bibirnya juga berkilau dan berwarna seperti buah persik yang matang di pohon. Pria ini cantik dan tampan secara bersamaan. 

“Aku harus memberikanmu pakaian. Kau tidak mau di sini terus, ‘kan?”

Ia mengangguk-angguk lalu bersiap bangun sebelum disemprot Cinderella agar jangan keluar dulu. Perempuan itu berlari mengambil seprai yang tergantung tak jauh dari mereka. Segera setelah pria itu membungkus tubuhnya dengan seprai, mereka berdua masuk ke rumah berjinjit-jinjit agar tidak membangunkan tiga orang mabuk di ruang tamu.

Baju-baju lama ayahnya masih tersimpan dengan baik di lemari penyimpanan. Untungnya pas dengan pria itu.

“Upik, pakaian ini sangat bagus. Terima kasih.”

“Ya, sama-sama. Tapi, apa kau punya nama?”

“Upik yang memberiku nama.”

“Aduh, bertambah lagi satu bebanku. Aku benar-benar tidak tahu.”

“Nama apa pun aku suka.”

Cinderella hendak membuka mulut, tetapi keributan di ruang tamu tiba-tiba saja terjadi. Ia meminta agar pria itu tak keluar. Cinderella tiba di ruang tamu. Di sana muncul pria-pria berbadan besar. Salah satu di antara mereka pasti ketuanya.

“Cepat bayar utangmu, Nyonya! Jangan karena kau sudah bersenang-senang semalam, kau jadi melupakan kewajibanmu,” kata pria yang berpakaian necis. Pria itu pastilah ketuanya.

“Saya akan bayar lain kali, Tuan. Saya janji. Tapi tidak hari ini.” Ibu tirinya meronta-ronta di kaki rentenir tersebut. 

“Berapa kali kau ingkar janji?! Aku sudah bawa pengacara mendiang suamimu. Tidak ada lagi lain kali. Rumah ini akan kami sita!”

“Tidak! Tidak! Jangan lakukan itu! Di mana kami akan tinggal sehabis ini, Tuan?”

Kakak-kakak tirinya ikut-ikut menggelayut di kaki rentenir tersebut. Tentu saja pria itu marah. Sementara itu, pengacara mendiang ayahnya menggigil ketakutan. Pria paruh baya itu pastinya juga tak menyangka harus berurusan dengan rentenir. Cinderella merasa sudah saatnya ia harus keluar.

“Oh, itu Cinderella. D-dia ahli waris dari rumah ini,” ujar pengacara tersebut.

“Tapi yang menyerahkan sertifikat rumah ini adalah ibu tirinya. Tetap saja rumah ini harus disita, masa bodoh dengan aturan negara!” balas rentenir tersebut ketus.

Cinderella berusaha tetap tenang. Bagaimanapun juga, ia berhadapan dengan rentenir. Bukannya preman pasar yang biasa ia hadapi seorang diri.

“Berapa utang mereka?” tanya Cinderella tanpa basa-basi lagi. 

“Kau mana bisa membayar utang mereka? Bunga mereka bahkan sudah jadi buah sekarang!”

“Katakan saja.”

Nominal yang disebutkan pria tadi sedikit membuat Cinderella limbung. Bahkan uang yang ia kumpulkan selama ini tidak sebanyak itu. Lagipula, ini salah ibu tirinya? Seharusnya wanita itu yang bertanggung jawab bukan?

“Cinderella, tolong kami Cinderella.” Sekarang giliran ibu tirinya yang merengek-rengek di kakinya. Kedua kakak tirinya juga ikut-ikutan.

Cinderella menggelengkan kepala. “Saya tidak ada uang sebanyak itu, tapi saya bisa membayar sebagiannya. Mungkin tujuh puluh persennya. Bagaimana?”

Rentenir tersebut berpikir sejenak. “Ya … bisa-bisa. Mau bayar sekarang?”

Cinderella mengiakan. “Tapi saya butuh waktu untuk melunasinya. Jadi saya juga ingin menjaminkan sesuatu.”

“Apa yang ingin kau jaminkan?” tanya balik pria itu.

“Bisakah kalian menahan mereka bertiga sebagai jaminan?” Cinderella menunjuk ibu dan kakak-kakak tirinya. 

Jelas mata mereka berkilat marah, tetapi di posisi ini mereka tak bisa apa-apa selain diam.

“Deal. Bayar sekarang sementara kami semua menahan mereka. Setidaknya mereka bisa sedikit berguna di markas kami.” Pria itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman licik.

Cinderella kembali membawa tabungannya selama ini. Ia hanya menyisakan kotak perhiasan sang ibu yang penuh dengan kenangan berharga. Transaksi hari itu berakhir lancar. Cinderella mendapat tenggat waktu satu bulan lagi untuk melunasi sisanya. Sedikit bikin sakit kepala. Jadi … bagaimana ia akan melunasi sisa utang itu?

Rentenir sudah membawa ibu dan kakak-kakak tirinya pergi, hanya menyisakan pengacara ayahnya yang tampak melas sejak tadi.

“Ah … Cinderella, aku lupa memperkenalkan diri. Terakhir kali melihatmu sepuluh tahun yang lalu. Ketika ayahmu meninggal dulu. Kau masih ingat aku, ‘kan? Pengacara Hart?”

Cinderella menggeleng. “Saya sudah banyak lupa, Tuan.”

Pengacara Hart—sebagaimana pria itu memperkenalkan diri—lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerjanya.

“Sebenarnya masih ada cara supaya kamu melunasi semua utang ibu tirimu itu. Ayahmu masih punya beberapa aset yang belum ia cairkan. Semua aset ini ia miliki sebelum menikahi ibu tirimu. Jadi, kamu yang menjadi ahli warisnya. Ia ingin aset ini dicairkan ketika masa debutante-mu atau setidaknya saat kamu menikah,” terangnya.

Cinderella menghela napas. “Tapi saya tidak melakukan dua-duanya, Pengacara Hart. Saya tidak melakukan debutante sama sekali karena setelah Ayah meninggal, semua usaha perlahan bangkrut. Saya yang semula anak saudagar kaya menjadi pembantu di rumah sendiri. Mana ada laki-laki yang mau menikahi saya.”

“Aku mau, Upik.”

Suara itu mengejutkan Cinderella dan Pengacara Hart. Oh, sial. Cinderella sampai lupa dengan keberadaan pria yang keluar dari timun itu. 

“Oh, Tuhan. Baru kali ini aku melihat pria setampan itu. Dia siapa, Cinderella?” tanya Pengacara Hart kemudian.

“Itu … susah menjelaskannya, Pengacara Hart. Yang jelas, dia bukan orang jahat.”

Sebuah lampu imajiner menyala di atas kepala Pengacara Hart. “Bagaimana kalau kau menikah saja dengannya. Menikah akan membuat aset ayahmu cair dan kau bisa melunasi utang-utang ibu tirimu. Bahkan masih ada sisa untuk menuntut mereka ke penjara, lho.”

Alis Pengacara Hart turun naik secara komikal. Tampaknya ia tak hanya menginginkan Cinderella menikah, tetapi juga menjebloskan ibu dan kakak-kakak tirinya ke penjara. Cinderella melirik kembali pria timun itu. Ia pun kelihatan mengharapkan jawaban iya dari Cinderella. Setelah berpikir dan berperang dengan otaknya sendiri, akhirnya Cinderella memberikan jawaban.

“Baiklah, Pengacara Hart. Lakukan itu saja.”

Yang bersorak sorai adalah Pengacara Hart dan pria timun itu yang kini menggendongnya dengan mudah lalu dibawa berputar-putar di sekeliling ruang tamu.

“Mari kita menikah, Upik. Aku akan membuatmu bahagia. Aku janji,” kata pria timun itu.

“Tolong jangan terlalu antusias. Ini hanya demi aset ayahku cair, ya. Kita tidak sedekat itu untuk saling jatuh cinta. Dan lagi … aku bahkan tidak tahu namamu,” bisik Cinderella di telinga pria tersebut.

“Panggil saja Mas Timun.”

“Mas … Timun?”

Pria itu mengangguk-angguk.

“Oh, iya. Kalau kalian menikah hari ini, aku bisa langsung memasukkan berkas pernikahan ke kerajaan. Bulan ini jadi bulan bahagia karena pangeran akan menikah. Jadi … semua berkas pernikahan akan diselesaikan paling lama satu minggu. Bisa satu hari jadi kalau ada orang dalamnya, haha. Itu aku maksudnya,” kata Pengacara Hart kemudian. 

Mas Timun masih dengan antusiasnya yang sama. “Ayo kita menikah hari ini juga, Upik. Ayo antar kami menikah Paman Pengacara!”

Cinderella sekarang digendong seperti karung kentang di pundak Mas Timun. Wajahnya cemberut, bibirnya mengerucut. Bidadari benar-benar memberikannya solusi untuk mendapatkan rumah ini. Tapi tidak harus begini juga, ‘kan?

TAMAT

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan