
“Sah!”
Akhirnya Eza dan Mauren resmi menikah. Bagaimana keseruannya?
Mauren memasuki ruangan ijab qabul dengan didampingi Divia dan Finza. Dia terlihat sangat cantik dengan kebaya putih rancangan Finza. Meski begitu kecantikannya tidak membuat wajah Mauren menjadi cerah ceria. Wajah dokter muda nan cantik itu terlihat datar dan tidak suka. Sama saja dengan Eza.
Eza dan Mauren kini sudah duduk berdampingan sebagai suami istri. Baru saja mereka selesai menandatangani dokumen-dokumen yang Eza atau Mauren pun tidak sudi untuk membaca apa isinya. Setelah itu keduanya saling bertukar cincin. Dan ketika Eza mengacungkan tangannya di hadapan Mauren. Mauren benar-benar ingin mematahkan tangan itu sekarang juga.
Namun tatapan Papi benar-benar membuat Mauren tidak berkutik. Dengan amat sangat terpaksa Mauren menyalami Eza dan mencium punggung tangannya.
"Ja, cium dong keningnya Aren. Kalian kan udah sah jadi suami istri." Rio memberi perintah.
Eza dan Mauren menatap Rio dengan tidak percaya. Si Om—merangkap Papi mertua ini benar-benar?! Benar-benar melengkapi penderitaan Eza hari ini. Demi Planet Neptunus. Kenapa papinya harus mengatakan hal bodoh seperti itu?
Dengan cepat Eza mencium kening Mauren.
Semoga mimpi buruk ini segera berakhir!
Eza memejamkan mata rapat-rapat berharap doanya akan terkabul. Tapi, ketika dia membuka mata, ternyata ruangan serba silver ini tidak lenyap. Malah semakin membuatnya sebal. Apalagi saat acara sungkeman dengan para orang tua, Eza harus berhadapan dengan papanya yang menyeramkan.
"Maafin semua kesalahan Jaja, Pa." Eza mengedikkan bahu. Tak tahu lagi harus berkata apa.
Erro menatap Eza sinis. "Kamu harusnya ngomong itu sejak dulu!"
Echa menyenggol lengan Erro jengkel. "Papa sama Mama selalu memaafkan kamu sayang. Sebesar apapun kesalahan kamu. Selamanya kamu tetep Jaja kesayangan Mama."
Mendengar hal itu membuat Eza langsung beralih dan menghambur ke pelukan Echa. Kemudian diciumnya pipi Echa lama sekali. "Makasih, Ma. Cuma Mama yang paling ngerti Jaja di dunia ini."
Erro melirik Echa sinis. "Nah, ini yang bikin dia jadi manja dan kekanak-kanakan. Karena kamu terus-terusan membela dia. Seakan kesalahannya itu selalu bisa dimaafkan."
Eza terdiam menatap papanya ogah-ogahan. Sempat-sempatnya kedua orang tua itu bertengkar di saat seperti ini. Huh, tidak pernah berubah sama sekali sikap mereka.
Tiba giliran Mauren dan dia malah bingung harus berkata bagaimana. Apalagi sekarang dia berhadapan dengan Erro dan Echa. Oh, ini seperti mimpi buruk baginya. Sungguh dia tidak pernah bermimpi akan menjadi menantu dari orang tua si tengil. Sama sekali tidak ada di kamus hidupnya.
Pada akhirnya Mauren hanya bisa meraih tangan Erro dan mencium punggungnya. Lalu sambil menunduk dia berucap. "Maafin semua kesalahan Aren kalau ada yang kurang berkenan selama ini—Pa," ujarnya malu-malu.
Baru kali ini Mauren menyebut orang lain sebagai 'papa' selain papinya sendiri tentu saja. Rasanya tenggorokannya langsung sakit dan suaranya menghilang begitu saja. Menguap entah kemana.
Erro malah tersenyum tulus. Membuat Mauren tak enak hati. "Seharusnya Papa yang minta maaf sama kamu, Ren. Mungkin benar apa yang dikatakan papi kamu, Papa memang nggak becus mendidik Jaja. Sehingga dia tumbuh nggak tahu sopan santun seperti itu. Apalagi selama ini kamu sering jadi korban kenakalan dia dan—sekarang Papa sangat menyesal untuk semua itu. Maafkan Papa, Ren."
"Papa nggak perlu minta maaf. Aren juga bersalah." Mauren membatin dalam hati. Tentu saja yang harus meminta maaf dan bersujud di depannya itu si tengil. Bukan papanya. Dasar kadal busuk tidak tahu diri.
"Ren, tolong bantu Jaja, ya. Tolong bimbing dia jadi lebih baik lagi. Papa yakin kamu bisa."
Mauren melotot. Pada akhirnya hanya memasang senyum. Lalu setelahnya dia memeluk Echa. Mama mertuanya itu juga mengucapkan hal yang sama. Tapi ada tambahannya, sih. Mauren malas mendengarnya. Kurang lebih seperti ini.
"Ren, kamu beruntung loh bisa mendapatkan Jaja. Karena banyak sekali yang mau ada di posisi kamu sekarang. Dan Mama yakin kamu akan jadi istri paling bahagia nantinya."
What? Apa-apaan ini? Hanya mendengar saja sudah membuat Mauren mual.
Kemudian Mauren menunggu Eza yang masih berbicara dengan papinya. Dari sini saja dia bisa mendengar ceramahan rel kereta api dari Papi. Mauren tertawa dalam hati. Rasakan. Kadal busuk semacam Jaja Suhardja memang pantas mendapat siraman air panas dari Mario Fabrian.
"Kalau kamu berani sekali saja menyakiti Aren, kamu nggak akan pernah selamat." Rio mengepalkan tangan dan menunjukkan tinjunya pada Eza. Membuat Eza merinding seketika. "Kamu akan hancur berkeping-keping di tangan Papi. Kamu ngerti kan—Arnafenza?!" sinis Rio menggunakan gaya andalan Erro.
"Iy—Iya. Nge—Ngerti, Pi."
"Dan kalau sampai Papi dengar kamu masih berhubungan dengan mantan Puteri Indonesia itu, Papi akan—"
"Jaja udah putus sama dia, Pi. Sumpah, mulai detik ini cuma ada Aren."
"Bagus. Memang harusnya seperti itu." Rio tersenyum sinis. "Hidup itu berpasangan. Bukan berpoligami."
Sialan. Itu mimpinya sejak dulu. Berpoligami.
Oh, mimpi yang sekarang amat sangat jauh. Dan sulit digapai!
"Papi sudah cukup berceramahnya. Kalau papi ceramah terus, acara ini nggak bakal selesai." Riska menyerobot begitu saja. Eza langsung bernafas lega karena selamat dari amukan papi mertua. "Ja, kamu nggak usah dengarkan papi kamu satu ini. Kamu tahu sendiri kan? Sejak dulu dia suka mengada-ada. Anggap saja angin lalu apa yang dia bilang."
Yes!
Eza tertawa bahagia sambil mencium punggung tangan Riska. "Mami tenang aja. Jaja nggak pernah masukin perkataan Papi ke hati, kok. Jaja pasti anggap angin lalu. Hahaha..."
"Mami ini bagaimana, sih? Jangan ketipu sama kedoknya dia! Mami tahu sendirilah dia ini playboy kadal!" Rio tanpa sadar berseru. "Pokoknya kalau sampai kamu selingkuhi Aren, Papi akan—"
"Papi udahlah!" Mauren yang duduk di belakang Eza berseru dongkol. "Jangan bikin Aren malu, Pi!"
Rio menghembuskan nafas panjang. Pelan menarik Mauren mendekat dan memeluknya. "Kalau sampai Jaja berani menyakiti kamu, jangan segan-segan telpon Papi! Meskipun kamu besok pindah rumah dan nggak tinggal sama Papi, inget selalu sama Papi! Kamu masih hafal kan nomer Papi? Masih save di kontak hape kamu, kan? Telpon Papi kalau si brengsek itu berani macam-macam! Papi akan langsung hajar dia dengan tangan Papi sendiri! Tangannya Erro nggak mempan sama sekali!"
"Iyalah, Pi, masih. Di luar kepala aja Aren ingat nomor Papi dan Mami."
Mauren cemberut. Tanpa sadar menangis. Riska menepuk-nepuk lembut bahunya. Mauren bisa gila kalau hidup seperti ini. Oh, dia pasti akan merindukan suara ceramahan Papi di pagi hari. Nasehat-nasehat psikolog ala Mami. Dan yang pasti dia akan kangen kejahilan Moldy.
Hari ini benar-benar brengsek.
***
Malamnya acara resepsi pernikahan digelar di ballroom mewah Hotel Jakarta Regency. Ballroom tersebut telah disulap menjadi dekorasi istana dengan nuansa serba silver di dalamnya. Suasana benar-benar mewah dan meriah karena keluarga Eza dan Mauren menyiapkan segalanya yang terbaik.
Belum lagi kerabat mereka yang jumlahnya ribuan. Mengingat banyak sekali rekan-rekan mereka dari kalangan yang besar. Apalagi rekan-rekan kerja Rio yang merupakan dokter-dokter ternama. Sekaligus rekan Erro yang merupakan sesama fotografer kelas internasional. Tentunya pernikahan putri seorang Mario Fabrian dan Arnaferro Angkasa menjadi topik besar-besaran di kalangan mereka.
Ah, semua orang heboh disana-sini. Tapi Eza sama sekali tidak tertarik. Dia terus mengulum senyum palsu pada seluruh tamu undangan. Lebih lagi Mauren yang bahkan sejak ijab qabul tadi tidak tersenyum sama sekali. Tampak sekali bahwa dia sangat tidak bahagia.
"Aww... akhirnya kalian nikah juga. Aku seneng banget, deh." Alona nyengir lebar sambil memeluk Mauren erat-erat. Sementara yang dipeluk hanya memasang wajah datar.
"Thanks udah dateng kesini, Dokter Lona." Eza menyahut cepat. Tahu Mauren tidak akan merespon semua ucapan selamat yang ditujukan untuk mereka.
"Just call me Lona." Alona menjawab riang. "Oh... jangan lupa sering-sering ke rumah sakit. Nanti aku ajak kamu lihat hasil USG Mauren lagi. Okay ganteng?"
Eza tertawa. "Siap, cantik."
Alona terkikik dan mengerling pada Mauren. "Suami kamu ganteng banget sih, Ren. Jaga yang bener yah."
Mauren melirik jijik Alona. Diihh... Apa-apaan sih Alona ini? Kalau mau ambil saja. Mauren tidak membutuhkan suami ganteng semacam ini. Demi Planet Neptunus dia amat sangat tidak butuh. Dan dia akan dengan senang hati suami gantengnya diculik para alien dan diterbangkan ke luar angkasa.
"Well, hampir semua orang akhirnya ngaku kalau gue ganteng."
Mauren ingin muntah saking mualnya. Tapi hal itu urung dilakukan mengingat mereka masih dalam acara sakral yang melibatkan banyak orang. Sebagai gantinya dia hanya menoleh dan tersenyum sinis.
"Oh... kalau begitu selamat. Jadi, berapa persen yang belum ngaku tentang kegantengan kamu?"
Senyuman di wajah Eza langsung surut. Harga dirinya diinjak-injak lagi oleh istrinya sendiri. Ah, sudahlah lebih baik dia tutup mulut sampai acara ini selesai.
"Ren, happy wedding ya. Gue ikut seneng." Rino datang bersama sekumpulan rekan kerja ahli syaraf.
Secepat kilat Mauren mengalihkan pandangan pada Rino. Bibirnya bergumam seadanya bersamaan dengan tangannya yang menyambut Rino. Mereka masih terus bersalaman kalau Eza tidak segera berdeham dan menarik tangan Rino kuat-kuat.
"Thanks bro, selama ini udah jagain istri gue sampai dia ketemu jodohnya sekarang."
Morino memaksakan tawa. Dalam hati mengejek sikap sok kenal Eza yang terkesan pamer dan menyindir. "Oh, no problem. Im happy for that."
"Yes, you have to do." Eza tersenyum bangga sambil menyampirkan sebelah tangannya di pundak Mauren.
Mauren memasang wajah judes. "Lepasin tangan kamu!" bisiknya lirih.
"Ups... sorry my wifey." Lagi-lagi Eza tertawa—masih dengan nada menggodanya yang sama. Well, mengerjai Mauren selalu menjadi hobi favorite-nya. Dia sudah bersiap mengerjai Mauren lagi kalau suara seksi itu tak terdengar tiba-tiba.
"Oh... Jadi istri kamu cewek yang ada di club waktu itu?"
Eza tersentak kaget. Buru-buru maju untuk melindungi Mauren. "Please, Mon..."
Mona mengalihkan pandangan pada Mauren. Dia memandangi Mauren dari atas ke bawah dengan penuh penilaian. Lalu senyuman meremehkannya terukir. Dengan kencang dijabatnya tangan Mauren hingga merah keunguan tercetak dari sana. Mauren meringis kesakitan.
"Aku nggak akan diem aja, Za. Kamu lihat nanti."
Akh—Sialan! Eza mendesis dalam hati.
***
Darlin I will, be loving you
Till we're seventy
Baby my heart, could still fall as hard
At twenty three
Lantunan indah lagu Thingking Out Loud menemani malam resepsi pernikahan. Di atas panggung sana Mars tengah bernyanyi. Avriel dengan suaranya yang merdu sebagai vokalis. Lalu ada Moldy yang memainkan bass, Fisha dengan keyboard-nya, Zion denga gitar listriknya, dan Fien yang membunyikan drumm dengan ritme slow mengikuti rendahnya lagu.
Im thingking about how
People fall in love in mysterious ways
Eza terus bernyanyi mengikuti suara Avriel. Sesekali dia bertepuk tangan heboh mengagumi suara adik sepupunya itu. Dia asyik bernyanyi sampai tak sadar kalau Mauren sudah jengkel berdiri di sampingnya terus menerus.
"Ehem... pengantin baru kita lagi berduaan." Divia nyelonong sambil menoel bahu Mauren.
Mauren menoleh tanpa minat. Dia langsung mendengus begitu tahu Faza dan Divia sudah berdiri di sampingnya. Pasangan itu tampak serasi dengan baju kembaran berwarna silver sama dengan milik Mauren. Hanya saja pakaian mereka jauh lebih sederhana dibanding miliknya dan Eza yang super wow dengan gemerlap sana sini.
"Gue nggak nyangka. Ternyata di antara kita berenam yang nikah duluan malah kalian." Faza berdecak kagum. "Bener-bener di luar ekspektasi gue."
Eza yang merasa telinganya panas menoleh. "Well, gue harap lo nggak pernah lupa siapa biang kerok di belakang ini semua," katanya sambil lalu melanjutkan menyanyi ala Avriel.
Faza yang merasa tersindir langsung tertawa. "Justru lo harus berterima kasih sama gue. Kalau nggak ada ide konyol gue, lo sama Aren nggak bakal sedeket ini."
Eza pura-pura tak mendengar. Masih sibuk menirukan suara Avriel.
"Yes, gue sependapat." Azel muncul bersamaan dengan Finza. Dia tak henti memasang senyum miring ke arah Eza yang lagi-lagi sok asyik menyanyi. Sesekali tangannya bergerak meminum soda.
"Aku nggak sabar nunggu baby kecil kalian." Finza berseru heboh. "Semoga aja cewek."
"Bener, Cha. Feeling aku juga bilang cewek," ucap Divia riang.
"No!" Faza menyahut lantang. "It's a boy."
"Please, nggak usah pada sok tahu." Azel menyela tiba-tiba. Malas menanggapi kalau sikap kesoktahuan teman-temannya itu kumat.
Mauren menggeram dalam hati. Sok tahu sekali sih mereka ini. Lagipula dia sangat tidak suka obrolan ini. Apalagi tentang bayi-bayi yang terus diobrolkan Divia dan Finza. Serius Mauren bahkan tidak ingin membicarakan hal itu sekarang.
____tbc____
an: haloo teman2 jangan lupa kasih likes yaaa
Komen juga boleh banget
Dukungan kalian sangat berarti
Thank youuu
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
