Archenemy Romance - 2A

5
0
Deskripsi

Akhirnya setelah 5 tahun berlalu, Eza dan Mauren kembali bertemu!

Lantas apa yang terjadi selanjutnya?

Notes:

Buat pembaca baru pasti kadang bingung yah

FYI

Jadi, Champ itu circle sahabatan dari kecil gegara ortu mereka ada yg sahabatan dan saudaraan, eh, karna sering bareng akhirnya mereka gedenya sahabatan juga

champ ini anggotanya: Eza, Faza, Finza, Mauren, Azel, Divia

Eza-Finza kembar yaa

terus Faza, Eza-Finza, dan Azel ini sepupu ya gaes

Kalau Mauren Divia anak sahabat ortu mereka, jd gak ada hub saudara

Terus masalah panggilan, namanya udah deket dari orok pasti punya panggilan sayang, jadi jangan bingung yaa

Arnafenza= Eza (panggilan asli) / Jaja Suhardja (panggilan sayang)

Mauren= Aren

Dll

Segitu dulu dari aku

Happy Reading

_________________________

Part 2

Mauren merutuk kesal. Acara pamer Morino dan pembalasan teori cewek nggak laku yang dilayangkan padanya jadi rusak gara-gara si sok kegantengan sok nyibuk dan apalah itu yang jelas dia belagak penting. Seakan mereka manusia yang bersedia meluangkan waktu untuk menunggunya. Maaf sekali dia tidak sudi!

Jam kecil di atas nakas sudah menunjuk pukul tujuh malam. Artinya dia harus segera bersiap. Acara perayaan rumah sakit yang ke-56 akan segera dimulai. Semua relasi besar dan para dokter hebat akan ada disana. Oh, bukan hanya itu. Seluruh sahabatnya juga akan ada disana. Fabrian mengundang semuanya secara rata.

Mauren melengos malas. Ini sangat buruk. Dia harus kembali berpura-pura dan menggandeng Rino sebagai kekasihnya. Dan dia harus memamerkan kemesraan di hadapan sahabatnya agar mereka tidak curiga bahwa statusnya dan Rino hanya bohong!

Demi Planet Neptunus, dia amat-sangat-merasa bersalah pada Rino. Seenaknya saja dia menyeret laki-laki sebaik Rino ke dalam masalah hidupnya.

Mauren menggetok kepala saking frustasinya. Ini sama sekali bukan dirinya. Ah, menyebalkan sekali. Padahal lima tahun kemarin rasanya dia hidup sangat tenang. Tanpa gangguan, hinaan, dan ejekan dari Jaja Suhardja. Tapi kenapa sekarang rasanya malapetaka bisa datang kapan saja.

Ah, setidaknya masih beberapa hari lagi kan Eza kembali?

Hmm, baguslah! Semakin lama semakin baik bagi Mauren! Kalau perlu tidak usah kembali ke Indonesia juga tidak apa-apa! Lagipula Indonesia tidak butuh manusia sok-sokan. Indonesia butuh manusia berwawasan luas yang mampu menyelamatkan kesejahteraan banyak orang. Ehem... dokter contohnya!

"Ren, kamu dandan lama banget sih?"

Mauren terkesiap melihat Riska sudah berdiri dengan pink blouse yang melekat indah di tubuhnya. Secepat kilat Mauren bangkit sembari meraih party bag-nya.

"Mami, Papi, sama Moldy duluan aja. Nanti Aren nyusul sama Rino."

Riska mengangguk-angguk. "Oke, deh. Mami berangkat sekarang ya. Kamu juga buruan berangkat. Eyang bisa ngambek kalau kamu nggak datang."

Mauren mengangguk pasrah. Riska memberikan kiss-bye sebelum akhirnya menutup pintu kamar putrinya.

Aww, the big problem!

***

Acara besar-besaran ini dirayakan sebagai rasa terima kasih atas 56 tahun berharga yang telah diberikan Jakarta Medical pada masyarakat. Rumah sakit telah bekerja keras dengan sangat baik. Ini adalah bukti kejayaannya. Beberapa penyambutan dari dokter-dokter besar IDI tampak menyemarakkan acara.

Di ujung ruangan, Mauren hanya berputar-putar tak jelas menjajali semua makanan dengan Rino. Rino pun tampak cuek dan terus asyik mencoba aneka hidangan.

"Waow, Eyang lo amazing banget Ren. Relasinya besar-besaran."

Mauren mengangguk malas. Dia cukup tahu. Fabrian memang sangat senior di kalangan para dokter. Beliau pernah menjabat sebagai ketua IDI Jakarta pada lima tahun yang lalu. Belum lagi ditambah beberapa prestasi kancah internasional lainnya.

"Hmm... I think yeah."

Mauren bergumam tak jelas. Wajahnya masih tampak bosan. Baru ketika di ujung ruangan dia melihat Azel berjalan, senyumnya merekah. Dengan semangat Mauren melambaikan tangan ke arah Azel. Rino melakukan hal yang sama. Dia sudah cukup mengenal Azel selama di Amerika. Siapa lagi kalau bukan Mauren sendiri yang mengenalkan mereka.

"Ren, chat gue waktu di Amrik yang terakhir nggak lo bales." Azel menatap Mauren datar. Lalu kepalanya menoleh pada Rino. "Eh, hai, No. Akhirnya kita ketemu di Jakarta."

Rino tersenyum ramah. "Terakhir summer holiday ke berapa yah, Zel?"

"Emm... Lima? Oh... enam. Sama musim semi tahun lalu jadinya total tujuh?"

"Tambah hari ini. Total kita ketemu jadinya delapan kali selama lima tahun."

Azel tersenyum miring. "Lumayan banyak, sih."

Mauren yang merasa tersisih bergumam. "Aku malah sampe bosan ketemu Acel."

Dan obrolan di antara mereka berlanjut. Rino mengerti banyak tentang hubungan Mauren dan Azel. Mauren sering kali mengajaknya bertemu dengan Azel di setiap holiday summer kampus. Lewat liburan singkat itu Azel dan Rino saling mengenal satu sama lain. Yah, meski mereka tidak bertemu dengan intensitas yang lebih banyak. Tapi cukup membangun hubungan pertemanan sesama dokter di antara mereka.

"Itu Divi sama Fa." Azel menyela obrolan sambil menunjuk ke arah pintu.

Tepat disana sosok Divia dan Faza muncul. Mereka selalu datang bersama-sama. Kemana-mana berdua. Seperti lem. Tidak bisa dipisahkan. Hish! Diam-diam Mauren cemburu melihat mereka.

Bagaimana tidak? Seumur hidupnya dia tidak pernah punya hubungan istimewa dengan seorang laki-laki. Tidak pernah pacaran. Tidak pernah berkencan. Tidak pernah berduaan. Benar-benar menyedihkan. Di saat semua sahabatnya sibuk dengan pedekate dan tembak-menembak gebetan, dia asyik mengejar ambisinya untuk mengungguli Jaja Suhardja dan meraih peringkat tertinggi. Dia bahkan mengabaikan beberapa laki-laki yang mencoba mendekatinya waktu SMA dulu. Dia hanya berpikir cara untuk menggenggam dunia dan menampar muka si tengil—yang dengan tega membuatnya kehilangan cinta pertamanya, si ketua OSIS.

Sungguh, sekarang dia sangat menyesal!

"Well, gue rasa lo cemburu lihat kemesraan kita."

Mauren mengerjap berulang kali. Tunggu. Suara siapa itu tadi? Sepertinya dia sangat mengenal sumber suara songong itu. Dan... Oh—Sialan! Sejak kapan sih Divia dan Faza yang dipandanginya tadi menghilang? Lalu kenapa tiba-tiba ada sosok bak pangeran di depannya?

Tapi Tunggu!

Tunggu—

Mauren mengerjap lagi. Lebih cepat. Lagi dan lagi. Detik selanjutnya dia nyaris pingsan kalau saja tidak segera sadar siapa yang ada di hadapannya.

Oh my god!

Ini benar-benar kabar buruk! Ini sebuah bencana!

Manusia bak pangeran di depannya ini. Dia adalah—Arnafenza! Jaja Suhardja! Si bocah tengil! Si Manusia sok kegantengan! Si playboy cap lintah lapis kadal! Musuh bebuyutannya selama bertahun-tahun!

Mauren benar-benar merasa sangat bodoh sekarang.

Eza tersenyum lagi. Senyuman andalannya yang sangat tengil. Mauren tidak akan pernah lupa senyuman mengejek itu. Sudah lima tahun lebih dan dia masih ingat bagaimana menyebalkannya senyuman itu.

"Kenalin, ini cewek gue. Lo pasti tahu kan Monalisa Cathleya Siregar?" Eza berujar dengan wajah bangga. Kali ini sambil menggandeng mesra perempuan di sampingnya. "Please, jangan bilang lo nggak tahu? Lo di Amerika nggak krisis teknologi kan?"

Mauren setidaknya tahu sedikit tentang Monalisa Cathleya Siregar. Dia masuk jajaran wanita cantik di Indonesia. Bayangkan saja, dia pernah menyabet gelar Putri Indonesia. Wajahnya juga sering muncul di majalah AsianStarMagz, Blitz Asia, TeenHolic dan berbagai acara fashion show lainnya.

Sialan. Mereka berdua terlihat sangat cocok. Eza yang ekstra ganteng dengan tinggi menjulang dan mata rupawan. Dipadukan dengan kecantikan mahal Monalisa. Oh, mereka seperti sepasang sepatu kaca yang berkilauan.

"Hai, aku Mona. Monalisa." Sebelah tangan Mona terangkat ke udara. Kuku-kukunya tampak berkilau indah. Jarinya lentik sekali. Dan kulitnya putih mulus. Benar-benar sangat kecantikan yang high-class. Seriusan Mauren langsung ngiler melihatnya.

Mauren hanya bisa memaksakan senyum dan membalas uluran tangan Mona dengan gugup. Rino langsung meraih pundaknya dan mendekapnya erat.

"Kenalin juga, gue Morino. Calon suaminya Mauren."

"Oh jadi ini yang namanya Morino? Lumayan. Nggak jelek-jelek amat." Eza menatap Rino dengan pandangan menilai. Tepat saat itu seseorang datang tiba-tiba dan menyeret kerah jas milik Eza menimbulkan suara teriakan dari si pemilik.

Eza mendesis melihat Finza. "Sakit, Cha!"

"Kamu masih sama aja ya kayak dulu, Ja! Nggak ada capek-capeknya ngerjain Aren!" Finza berdecak.

Eza menatap kembarannya datar. "Lo juga nggak berubah. Masih aja hobi ngerecokin urusan gue."

Finza menggeleng. "Karena kamu selalu kelewatan, Jaja Suhardja!"

Eza melengos. Masih saja kembarannya menyebut dia dengan nama sewaktu kecil dulu. Nama-nama seperti Jaja Suhardja, bocah tengil, manusia sok kegantengan, playboy kadal, dan lain-lain sudah sangat biasa di telinga Eza. Tapi sekarang? Hell, jangan sebut dia bocah tengil lagi! Dia sekarang sudah berevolusi jadi laki-laki dewasa, tampan, dan mapan. Dan pastinya dalam urusan wanita dia akan pilih-pilih mana yang cocok dengannya. Kurang lebih perempuan-perempuan highclass semacam Mona ini. Bukan seperti jaman SMA yang hobi mempermainkan setiap cewek tak berdosa di sekolah.

Faza menggetok kepala Eza menggunakan kepalan tangan. "As always, lo tetaplah Jaja Suhardja anaknya Om Erro yang nggak ada mirip-miripnya ama Om Erro, yang tengil, sok kegantengan, dan playboy! Selamanya nggak bakal berubah, Ja!"

"Diem lo!" Eza pasang wajah ngambek. Tapi diam-diam di Itali, dia sering kangen ceramahan dan omelan Faza yang selalu mengatainya beda jauh dengan papanya. Dan yang paling dia rindukan adalah saat mengerjai Faza habis-habisan di sekolah.

Azel mendesah panjang sambil memasang headset birunya. "Please, jangan berantem disini. Udah gede, malu dilihat orang."

"Lo juga nggak berubah, Cel! Masih sok dewasa padahal paling kecil!" Faza mengomel lagi. Ceramahannya masih akan kambuh selama curut-curut penghuni setia cafe Champ De Mars milik mamanya ini masih ada disini. Selagi dia bisa, dia akan memanfaatkan moment ini.

Lima tahun tanpa mereka membuat hidup Faza sangatlah garing. Sekarang dia akan melakukannya setiap hari. Mengomeli Jaja dan mengatainya bukan anak Om Erro, mengganggu sok seriusnya Mauren dan Acel, lalu memarahi Finza yang tidak pernah becus mengajari kembarannya sopan santun, pokoknya dia akan jadi makhluk usil lagi seperti dulu. Dia kangen pada semua anggota genk The Champ.

Lalu malam mereka berlanjut penuh keseruan. Sama seperti dulu, pertengkaran Faza dan Eza terus mendominasi. Ditambah dengan omelan ala Finza dan Divia. Jangan lupa sesekali diselingi kata-kata pedas dari Azel. Bedanya hari ini Mauren lebih banyak diam. Padahal dulu biasanya dia akan memancing emosi Eza. Lalu mereka akan bertengkar seharian dan saling melontar kata-kata pedas yang jauh lebih pedas dari Azel.

Tapi itu duluuu! Dulu sekali waktu mereka masih abg labil!

Sekarang tidak. Mauren terlihat lebih dewasa. Sebisa mungkin tidak memancing Eza. Bahkan lebih menghindarinya dan memilih seakan menganggapnya tidak ada dalam setiap obrolan masa kecil mereka.

Diam-diam sudut mata Eza terus mengamati perubahannya.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Archenemy Romance - 2B
3
0
[Mohon maaf part ini aku privat karena ada sedikit adegan 18+]Jadi, apa dare-nya? Sebotol wine? Mauren berkata tegas. Tanpa rasa takut.Eza mengangkat sebelah alisnya. Oh, enggak. Ini lebih asyik. Gimana kalau french kiss sama gue?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan