
Malapetaka terjadi gara-gara pesta reuni dan truth or dare!
Bagi Maurenka Rosallia Fabrian, selamanya Arnafenza Dirga Zanuar adalah musuh terbesarnya sejak kecil. Tahun-tahun berlalu hingga mereka tumbuh dewasa. Mauren kembali dari Washington, dan Eza pulang dari Venice. Dua musuh abadi kembali bertemu. Pesta reuni yang dijadikan ajang untuk memainkan Truth Or Dare berujung kesialan bagi Eza dan Mauren.
Mauren hamil!
Ini gila. Sangat gila. Dan jauh di luar ekspektasinya.
_Mauren_
Aku benci saat seperti ini. Lebih baik nggak perlu dipanggil sekalian daripada harus bersanding dengan manusia menyebalkan yang sok kegantengan itu. Demi planet Neptunus aku nggak akan sudi.
Begitu namaku dipanggil, aku langsung berdiri tegak. Seperti biasa. Aku selalu memasang wajah penuh kemandirian dan tegas. Menurutnya, wajahku sok datar atau apalah terserah dia mau berkata apa. Tapi yang jelas aku nggak akan membiarkan dia tersenyum penuh kemenangan di atas podium nanti.
Sialnya yang kudapat pertama kali memang senyuman sinisnya. Menyebalkan sekali. Lagi-lagi hal ini terulang. Huh. Selama sebelas tahun berturut-turut aku selalu mendapat peringkat di bawahnya. Dan nasib sial masih datang hari ini. Bahkan dengan sangat telak.
"Well, selamat ya lo juara dua lagi. Lumayan lah. Nggak buruk-buruk amat, kecuali-" dia tersenyum lebar. "Kecuali fakta kalau masih ada satu orang lagi yang ada di atas lo. Ups!"
Aku tersenyum dingin. "Makasih. Tapi peringkat sama sekali nggak penting buat gue."
Dia mengangkat sebelah alisnya. "Oh ya? Bukannya lo udah kerja keras banting tulang demi dapet nilai UNAS tertinggi?"
Ugh... Sialan! Ya, dia tahu semuanya. Aku memang udah bertekad mengalahkannya bahkan sejak bertahun-tahun lalu. Aku belajar keras setiap hari demi nilai terbaik. Ikut try out sana-sini. Pulang malam gara-gara segudang les tambahan. Juga begadang tiap malam demi melahap buku Fisika dan Matematika yang aku sukai.
Tapi, apa yang kudapat? Peringkat dua? Again and again!
Salah seorang guru tampak menginterupsi kami. Beliau membagikan kami penghargaan satu per satu juga mengalungkan tanda kelulusan di leher kami. Aku hanya tersenyum tipis ketika salah seorang guru memaksaku untuk saling memberi selamat.
Sungguh ini sama sekali nggak pernah kuharapkan!
Aku menjabat tangannya dengan tegas. Dia tersenyum. Masih dengan senyuman yang sama. Penuh ejekan dan hinaan. Ugh! Aku benci banget sama dia! Dan untuk selamanya aku sangat-sangat membencinya!
Aku mengambil langkah cepat menuruni podium. Setelah acara dibubarkan, beberapa wali siswa berhamburan menemui anak-anak mereka. Dari jauh tampak Papi melambaikan tangan. Papi datang bersama Om Izzy, Om El, Om Fathur dan yang pasti Om Erro.
Om Erro? Yes. Siapa lagi kalau bukan papanya bocah tengil sok kegantengan itu. Dan Demi Planet Neptunus aku bersumpah kalau Om Erro yang ganteng banget dan berhati malaikat itu sangat nggak pantes punya anak tengil semacem Arnafenza.
Hell, dunia emang nggak adil! Katanya buah nggak jatuh jauh dari pohonnya. Lah kok ini jatuhnya jauh banget sih?!
"Sayang, sini dong foto bareng Papi."
Aku nggak begitu bersemangat ketika berjalan ke arah Papi. Apalagi sekarang dia ikut berjalan ke arah yang sama denganku. Dan sebelum aku berhasil merangsek ke arah Papi, dia menarik lenganku.
"Apaan sih lo? Mau ngehina gue nggak laku lagi?" teriakku marah.
"Lo nggak mau ngucapin salam perpisahan buat gue? Well, menurut gue, nggak ada salahnya kita maaf-maafan dulu sebelum pisah. Lima tahun lama banget loh. Nanti pasti lo kangen sama keunyuan dan keimutan gue."
Aku langsung pasang wajah mau muntah. Ini sudah menjadi aksi wajibku setiap kali dia mulai sok ngartis atau sok tebar pesona.
Sambil menyedekapkan tangan dan memasang wajah paling sinis, aku berkata. "Mending lo salam perpisahan aja tuh sama cewek-cewek lo. Sebelum mereka nangis gara-gara diputusin dan ditinggal pergi gitu aja!"
Dia tampak tak berkutik. Skak!
Aku tersenyum penuh kemenangan. Sambil membenarkan letak kacamataku aku beranjak begitu saja tanpa menghiraukan dia yang masih terdiam membeku di tempatnya berdiri.
***
_Eza_
Well, gue benci saat seperti ini. Saat di mana gue harus berdiri berdampingan sama si nenek sihir dan sok pasang wajah bahagia sambil nebar senyum sana-sini. Lalu senyum lagi ke arah kamera dan nunjukin piagam penghargaan gue. Dan gitu-gitu aja seterusnya seakan pamer gue paling pinter sendiri sejagad raya ini. Padahal ya kagak. Gue nggak sepinter itu, sih. Hehehe.
But, I hate most this moment.
Iya, gue benci. Sumpah benci banget.
Bukan sama acara wisuda ini, sih. Lebih tepatnya sama manusia di samping gue. Ups, sebenernya dia bukan manusia. Tapi, nenek sihir. Serem, kan? Udahlah, panggil aja dia nenek sihir. Gue juga nggak peduli panggilan dia apa-yang jelas nenek sihir itu panggilan yang sangat pas buat dia.
Well, kalau gue boleh jujur. Gue nggak pernah benci sama dia. Gue juga nggak sebel kok sama dia. Cuma ya gitu. Dia aja sih yang duluan benci sama gue. Sok-sokan nantangin gue, sok lebih unggul dari gue, sok lebih pinter dari gue, dan lain-lain. Jangan disebut semuanya, deh. Soalnya 'sok'nya dia banyak banget.
Tapi, seriuuus, gue nggak benci sama nenek sihir. Eh, maksud gue Aren. Ya kali di alam batin aja gue masih manggil dia nenek sihir. Jahat banget nggak, sih?
Oke, back to topic. Hell, gue nggak pernah benci sama dia kecuali dia yang mulai duluan benci sama gue. Yeah, gue ngaku, deh. Gue sadar gue emang kadang nyebelin, usil, nakal, dan yang begitulah sama dia. Sampe-sampe dia jengkel setengah mati sama gue. Hingga hari ini pun tatapannya masih pedes sama gue. Ya ampun! Padahal bentar lagi kita semua pisah! Udah nggak bakal ketemu lagi dalam jangka waktu deket karena kita kuliah di tempat yang berbeda, negara yang berbeda, dan jurusan yang berbeda. Tapi ya masiiih aja gue dibenci. Argh, kayaknya gue dibenci banget sama dia. Padahal gue nggak bermaksud begitu.
Gue cuma-apa, ya? Suka aja gitu bikin masalah sama dia. Entah kenapa sejak kecil itu udah jadi kebiasaan dan hal favorite gue buat nakalin dia. Semakin gue gede, semakin gue nggak bisa ngehilangin kebiasaan itu. Setiap hari ada aja kenakalan gue yang selalu bikin dia naik darah, emosi, jengkel, dan ngamuk.
Dan gue paling suka bagian ini. Pas dia marah-marah sampai ujung kepalanya bertanduk, dan hidungnya keluar asap, atau mulutnya berapi-api. Gue suka lihat dia yang udah kayak gitu. Apalagi pipi putihnya yang kalau udah marah pasti merona. Entah kenapa gue suka aja lihat wajahnya yang lagi ngamuk itu. Ehm, jadi keliatan manis aja.
What? Gue bilang apa barusan? Manis? Maksud gue bukan itu-Ah, lupakan!
Awalnya gue suka aja dulu lihat dia senyum malu-malu waktu kecil. Apalagi pas TK. Dia kan dulunya emang pemalu. Dan kalau ngomong sama mami-papinya suka bisik-bisik gitu. Gue sering penasaran apa yang dia omongin. Soalnya dia nggak banyak omong, nggak berisik, dan nggak cerewet kayak Incha sama Divi. Makanya gue suka banget ngusilin dia biar dia ngomong atau teriak. Apalagi kalau udah nangis-beuh, suka banget gue. Rasanya bangga kalau udah bikin si nenek sihir itu nangis-nangis. Karena gue seneng lihat dia nangis, ya gue usilin aja terus. Mulai dari ngerebut jatah makannnya, ngancurin mainannya, nyoret-nyoret gambarnya, sampe nyingkap rok mininya dulu yang gambar Minion. Hehehe.
"Ja, papa bangga sama kamu."
Suara serak-serak khas bokap mulai terdengar begitu gue melangkah menuruni podium. Gue menoleh dan menemukan bokap berjalan menghampiri gue. Senyumnya cerah banget hari ini. Dan kelihatan lebih tulus.
Well, dasar bokap ada maunya aja. Kalau gue lagi menang atau lagi juara gini baru deh bokap baik-baik sama gue. Biasanya udah dilindes aja gue, atau paling nggak disembur ceramahannya yang kelewat nyebelin dan nggak penting buat gue denger. Tapi sekarang, rasanya tiba-tiba pengen aja diceramahin sama dia. Soalnya gue yakin gue bakal kangen saat-saat kayak gini. Saat-saat dimana Arnaferro Angkasa bakal nyemburin apinya gara-gara kenakalan gue yang tiada tara.
Pa, sorry ya kalau selama ini Jaja nakal. Jaja sadar diri kalau selama ini Jaja nggak bisa jadi apa yang papa harapkan.
Gue pengen banget ngomong begitu, sih. Tapi nggak jadi. Nanti kepalanya bokap langsung gede. Males. Ujung-ujungnya gue diceramahin lagi kayak biasa. Gue udah cukup kenyang dikata-katain nenek sihir tadi. Nggak perlu ditambah ceramahan rel keretanya si bokap. Lalu akhirnya gue cuma cengar-cengir nggak jelas ke arah bokap sambil pasang wajah sok bahagia. Hehehe.
Pantes sih banyak yang bandingin gue sama si bokap. Iyalah, kita emang beda. Bokap gue ini katanya like angel. Lah gue? Like apaan? Kalau gue nanya ke Fa, Fa pasti langsung ketawa.
Lo kayak devil, nggak ada angel-angel-nya sama sekali. Jangan ngarep deh ada yang bilang hati lo angel.
Setelahnya dia bakal nambahin gini.
Intinya lo itu Jaja Suhardja anaknya Om Erro yang nggak ada mirip-miripnya ama Om Erro-yang tengil, playboy, sok ganteng, songong, dan blablabla.
Gue paling males dengerin Fa, kalau dia udah kumat ngeluarin kata-katanya yang itu. Sumpah, gue nggak mau denger.
"Wah, juara lagi si Jaja? Hebat."
Tiba-tiba si Om muncul dari kejauhan. Lagaknya udah kayak pengamat aja. Muka menginterogasi dan muka penuh selidik yang kelihatan serem dan biasanya dia munculkan saat gue udah bikin masalah sama anaknya. Yeah, Om Mario Fabrian yang terhormat. Of course. Siapa lagi kalau bukan papi kesayangan si nenek sihir?
Sebenernya si Om ini humoris. Tapi kok kadang nyebelin gitu ya sama gue?
Lalu setelah basa-basi sama bokap dan si Om, gue langsung ngacir. Di ruangan sisi pojok ada Acel, Fa, Divi, sama Incha yang lagi foto-foto bareng. Fa langsung lari-lari waktu lihat gue jalan ke arah dia. Sebelah tangannya nepuk-nepuk pundak gue.
"Ja, lo jadi minta maaf sama Aren?"
Gue mengerutkan kening. "Minta maaf kenapa?"
"What? Lo masih nanya minta maaf kenapa? Ya buat semua kejahatan lo selama ini lah. Eh, lo kira lo nggak punya dosa gitu sama Aren?! Jaja Suhardja yang tengil abis, please ya, gue mohon sama lo. Bentar lagi kita kuliah di tempat yang jauuuh banget. Kita nggak bakal tahu apa yang terjadi ke depannya. Dan kita juga nggak bakal ketemu dalam waktu deket. Gue bakal kangen lo dan lo kangen sama gue. Lo juga bakal kangen Champ dan pastinya lo kangen ngejahilin Aren."
Detik selanjutnya gue ngakak. Fa bilang apa? Gue kangen sama Aren? Hell, itu nggak ada di sejarah hidup gue.
"Lo ngomong apa, sih? Ya nggak mungkinlah gue kangen sama Aren. Kayak di Venice nanti nggak ada bule cantik aja."
Fa berdecak. "Dasar kadal. Gue nggak peduli sama bule-bule cantik yang bakal lo temuin di Venice nanti. Yang jelas hari ini lo harus ngemis maaf sama Aren. Setelah semua hal yang terjadi, gue ikut bersalah. Oke, gue ngaku gue juga salah perihal Adry. Tapi lo lebih salah lagi. Dan fine, gue udah minta maaf. Sekarang giliran lo."
"Tapi, Fa-"
Lalu suara sok dewasa si kecil juga muncul. Mengaum-ngaum dan menyakiti telinga gue. Rasanya berdenging dan gatel sekaligus.
"Fa bener. Waktu prom kemarin lo jahat banget, Ja. Mending lo segera minta maaf sama Aren." Acel menyedekapkan tangan dan memasang wajah serius ala Om El. "Dan bener banget, kita nggak bakal tahu apa yang terjadi ke depannya-"
Fa memotong dengan jahat. "Nah, nggak ada yang tahu apa yang terjadi besok. Bisa aja sebelum nyampe Venice pesawat lo nyangkut di awan terus nggak bisa turun. Atau di Venice nanti lo lagi naik sampan dan tiba-tiba sampan yang lo naikin tenggelem, atau-"
"Sialan! Maksud lo apa?" sembur gue jengkel. Dih, nih anak bilang begitu apa coba maksudnya? Mau doa'in gue yang enggak-enggak, ya? Kejam!
"Yah kan misalnya." Fa mencebik. "Misal, Ja. Lagian, lo mau emang punya dosa-dosa yang belum termaafkan selama lo kuliah nanti? Gue yakin lo nggak bakal tenang!"
"Argh!" Gue menggeram jengkel. "Oke, gue minta maaf. Sekarang mana dia?"
Dan sebelum Fa menjawab, gue bisa merasakan tubuh gue didorong-dorong ke dalam toilet cewek. Sialan. Untung toiletnya sepi. Kalau rame gue pasti udah ditampar. Eh, tapi asyik juga sih di sini. Siapa tahu gue bisa dapat pemandangan gratis.
Suara ceklekan pintu terdengar. Gue terkesiap dan menoleh. Saat itulah Aren muncul dari dalam. Raut wajahnya langsung berubah sinis begitu melihat gue. Mau nggak mau gue pasang wajah sok santai. Aksi biasa saat menghadapi dia.
"Well, rangking dua, gue mau ngomong bentar!"
Aren menyedekapkan tangan dengan wajah sombong. "Mau ngomong apa?!"
"Seperti yang gue bilang tadi, lima tahun waktu yang lama. Dan kita bakal jarang ketemu. Dan gue rasa-"
"Bisa nggak sih lo nggak muter-muter ngomongnya?! Langsung to the point aja! Gue nggak punya waktu banyak!"
Gue menggeram. Akhirnya berusaha menjelaskan. "Gue minta maaf soal surat itu. Sumpah, Ren, gue nggak maksud bocorin rahasia lo. Gue juga nggak tahu kalo sikap Adry bakal berubah setelah dia tahu lo cinta sama dia. Gue bener-bener-"
Sebelum gue selesei menjelaskan, muka gue ditampar. Sakit, men. Sakit banget. Jauh lebih sakit daripada cubitannya Incha. Lebih panas juga daripada kena cipratan minyak gorengnya mama. Bahkan jauh lebih ngena daripada sinisannya papa.
Rasanya berkali-kali lipat. Sakit.
"Alesan!" Aren mendesis. "Lo seneng, kan? Lo bahagia setelah berhasil bikin gue dipermalukan? Sebenernya selama ini gue punya salah apa, sih?! Gue nggak pernah jahatin lo! Tapi kenapa sejak dulu lo selalu bersikap kayak gini ke gue?"
Kemudian gue bisa melihat setitik genangan air mata turun di pipinya. Gue terkejut. Antara merasa bersalah dan menyesal karena lagi-lagi bikin dia nangis. Udah berkali-kali ini terjadi. Tapi, gue baru bener-bener melihat Aren nangis di depan gue dengan jarak sedekat ini.
Gue berusaha menjelaskan, tapi dia sudah berlari menerobos pintu.
***
___TBC___
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
