CTC (Bab 6) Daddy's Little Girl

77
1
Deskripsi

Kehidupan sebagai banker membuat Jia merasa hidupnya hampa. Sebuah keputusan nekat membuatnya berhenti bekerja dan membuka sebuah toko buku, The Book Tour. Selama tiga puluh tahun menjalani kehidupan yang diatur keluarganya membuat Jia muak, hingga akhirnya dia menemukan The Book Tour sebagai sebuah surga kecil di hidupnya.

Juga, sebuah pertemuan tidak sengaja dengan pria bermata biru di MRT, membuat hidupnya menjadi sebuah petualangan panjang penuh tantangan.

Ikuti petualangan Jia bersama Pria Bermata Biru dan The Book Tour.

"Lo yang benar aja mau ngejodohin gue sama Chris? Udah punya anak gitu. Lo mau gue ngerebut laki orang?" Aku langsung memberondong Mila dengan deretan pertanyaan, ketika dia—dengan alasan mengecek pesta—menarikku menjauh dari meja.

Dari tempat kami berada sekarang, aku bisa melirik ke kolam renang. Chris ada di sana, dengan anak kecil berkepang dua itu, siaga menemani bocah itu berenang.

"Gue enggak sebego itu." Mila menangkal tuduhanku. "Tadi mau gue kasih peringatan, tapi waktunya enggak ada."

Aku mengalihkan tatapan ke arah Mila. Mataku menyipit, memaksanya untuk memberi penjelasan.

Mengetahui ada anak kecil yang memanggil Chris dengan sebutan 'Papa' masih membuatku syok. Apalagi, baik Mila ataupun Donny tidak ada yang terkejut sepertiku.

"He's a single parent. He has custody of his daughter." Mila berkata datar. "Messy divorce actually."

"Udah ketok palu belum?"

Kali ini Mila yang menatapku dengan penuh kekesalan. "Cerainya udah lama, tiga tahunan ada kali." Mila bersedekap, memandangku dengan raut kesal yang sama sekali tidak ditutup-tutupi. "Kita udah temenan lama, kan, Gianna?"

Kalau Mila sudah menyebut nama lengkapku, itu artinya kekesalannya sudah sampai ke ubun-ubun. Walaupun biasanya Mila paling mudah disulut emosi, tapi saat berhadapan denganku, dia cukup sabar selama ini.

Perlahan, aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Gue enggak mungkin menjerumuskan lo. Karena gue tahu dia udah lama cerai dan anaknya baik, bahkan hidupnya super lurus enggak banyak maunya, persis kayak lo, gue ngerasa kalian cocok." Mila menekankan setiap patah katanya. "Soal Lala, anggap aja bonus."

Bukannya aku merasa besar kepala dengan membayangkan hubunganku nanti dengan Chris, karena masih dini untuk berpikir sejauh itu, tapi tetap saja aku merasa gamang ketika mengetahui statusnya yang sudah memiliki anak.

"Dicoba aja dulu." Mila mengerling. "Lagian, lo enggak sayang seganteng itu dicuekin?"

Aku mengikuti arah pandangan Mila. Di dekat kolam renang, Chris masih berada di sana. Tampak mengobrol hangat dengan Adrian. Dari gestur tubuhnya yang berdiri menghadap kolam renang, aku yakin dia mengawasi anaknya walaupun sibuk berbincang dengan Adrian.

Mila benar. Lagipula, aku tidak butuh Mila untuk diingatkan soal Chris.

"Jangan bilang lo pernah naksir dia," tembakku.

Tanpa disangka, Mila terbahak. Tawanya itu membuatku yakin akan tebakanku.

Sambil menahan tawanya, Mila berusaha menjawab. "Tadinya gue mau jadiin target selanjutnya, tapi batal. Ganteng, sih, tapi boring. Enggak tega gue ngajak dia jadi nakal. Lagian, di saat yang sama gue kenalan sama Adrian. Dibanding Adrian yang adventurous, Chris mah lewat."

Aku ikut tertawa bersama Mila. Walaupun belum terlalu mengenal Chris, dari ketenangan yang dipancarkannya, aku tahu kalau dia sangat bertolak belakang dengan Mila.

Mungkin, sahabatku ini benar. Chris lebih cocok denganku.

Namun, ketika mataku menangkap Chris yang menggendong putri kecilnya itu, aku kembali dilanda rasa gamang.

"Dicoba aja dulu. Jangan langsung bilang enggak." Mila menepuk pundakku dan meninggalkanku sendiri.

Aku bergeming. Dari tempatku, aku bisa melihat Chris dengan jelas. Wajahnya terlihat sangat bahagia ketika Lala menggelengkan kepalanya, membuat air berhamburan dan membasahi ayahnya. Walau tidak terdengar, aku bisa melihat tawa lepas Chris, begitu juga dengan Lala. Lalu, dengan santai dia menggendong Lala, tidak peduli tindakannya itu membuat pakaiannya jadi basah.

Aku bersandar ke meja, tanpa punya kekuatan untuk mengalihkan perhatian dari ayah dan anak itu. He looks so peaceful. Seumur hidup aku mencari tahu bagaimana rasanya bisa sedamai itu.

Tamu yang mulai beranjak pulang menyadarkanku kalau halaman belakang rumah Mila sudah sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja, dan pengurus catering mulai membereskan sisa makanan.

Aku beranjak dari tempatku dan mencari Mila. Dia sedang bersama Adrian melepas tamu-tamunya yang mulai berpamitan. Ketika melihatku, Mila tampak keberatan.

"Mau pulang banget?" rajuknya.

Aku mengangguk. "Ngantuk. Gue, kan, udah dari Subuh di sini."

Senyum lebar terkembang di wajah Mila. "Thanks, ya," serunya sambil memelukku.

"Pulang naik apa, Ji?" tanya Adrian.

"Pesan Grab mungkin. Mau tidur di jalan," sahutku.

"Bareng sopir gue aja, ya. Tunggu sebentar, biar gue panggil."

"Enggak usah," tolakku. Walaupun Adrian sudah lima tahun menikah dengan Mila, aku masih merasa canggung dengan kebaikannya kepadaku. Kalau Mila yang menawarkan, mungkin aku akan menerima. Namun, tidak halnya dengan Adrian.

Dari sudut mata, aku melihat Chris—yang masih menggendong Lala—bergerak ke arah kami. Sepertinya Mila juga melihat kehadirannya karena dia sudah berpaling dariku dan menyambut Chris.

"Gue balik, ya, Mil. Dri." Chris berpamitan. "Lala, ayo pamitan sama Tante Mila dan Om Adri."

Dengan suaranya yang melengking tinggi dan cadel itu, Lala berpamitan kepada Mila dan Adrian. For God’s sake, she's so cute. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa saking gemasnya.

Detik itu, Chris melihatku. "Kamu pulang naik apa, Ji?"

Sedikit gelagapan, aku berusaha menguasai diri sebelum menjawab pertanyaan enteng itu. "Grab, ini mau pesan."

"Bareng saya aja, ya."

He got me. Karena saat ini aku semakin gelagapan berkat ajakan yang tidak diduga itu.

Memang, ini bukan kali pertama aku semobil dengan Chris. Namun, selama ini hanya dalam waktu singkat. Aku tidak tahu apa bisa mengurai kebisuan di perjalanan jauh dari Pakubuwono ke Cipete. Ditambah, ada Lala di mobil. Aku tidak tahu cara berinteraksi dengan anak itu.

Namun, Mila rupanya tidak ingin mengabaikan kesempatan itu.

"Oh ya, rumah kalian, kan, searah." Mila menatapku dengan wajah jail. "Bareng Chris aja, Ji."

Aku hanya bisa tersenyum canggung menanggapi ide gila Mila.

"Jagain teman gue, ya. Awas lo, jangan diapa-apain."

Chris hanya tertawa menanggapi ucapan Mila.

Setelah Chris kembali berpamitan kepada Mila dan Adrian, dia mengajakku untuk pulang bersamanya. Aku pun mengekor di belakangnya, mengamati punggungnya yang tampak tegap dan sama sekali tidak keberatan meski menggendong putrinya.

Chris menempatkan Lala di jok belakang. Ada car seat di sana yang membuat Lala aman di perjalanan. Kali ini dia tidak menyetir mobil yang biasa dia pakai ketika aku pulang bersamanya beberapa hari lalu. Xenia di hadapanku terlihat begitu kalem kalau dibandingkan sosoknya yang tinggi besar itu.

"Yuk." Sekali lagi Chris mengajakku.

Sebelum membuka pintu mobil, aku menoleh ke arah rumah Mila. Dia masih berdiri di sana dan langsung mengacungkan kedua ibu jarinya ketika kami bersitatap. Aku hanya membalas dengan tawa kecil sebelum masuk ke dalam mobil Chris.

**

 

"Lala, sudah kenalan sama Tante Jia?"

Aku tersentak ketika mendengar suara Chris. Aku menoleh ke jok belakang dan mendapati Lala sibuk membuka bingkisan dari pesta Abel. Anak itu mengangkat wajah dan langsung tersenyum lebar begitu melihatku.

"Tante Jia, aku Lala," ujarnya.

"Hai Lala," sapaku. "Kamu dapat apa dari pesta Abel?"

Lala mengangkat buku bersampul Cinderella. Sebenarnya aku sudah tahu isi bingkisan tersebut, karena aku yang membeli buku cerita anak-anak yang akan menjadi bingkisan bagi teman-teman Abel. Namun, aku butuh small talk.

Selama ini, aku tidak punya pengalaman beramah tamah dengan anak kecil. Kecuali Abel, aku tidak pernah dekat dengan anak kecil manapun.

"Cinderella," seruku. "Lala tahu ceritanya?"

Anak itu mengangguk. "Papa pernah bacain ceritanya."

Aku melirik Chris yang tertawa tipis di balik kemudi. Dia menatapku dengan sudut mata tanpa menghapus senyum di wajahnya.

"Lala baru bisa tidur kalau dibacain cerita," jelasnya.

"I see," seruku. Aku kembali menoleh ke belakang. "Lala suka buku?"

Sekali lagi, anak itu mengangguk penuh semangat.

"Tante punya toko buku. Lala mau main ke tempat Tante?"

Lala melupakan buku Cinderella itu dan menatapku dengan mata membola. Dia terlihat begitu bersemangat. Walau dia tidak memiliki mata biru seperti ayahnya, aku yakin saat dewasa nanti dia akan memiliki tatapan teduh yang menyenangkan seperti ayahnya. Pipinya yang gembil membuatnya semakin menggemaskan ketika menatapku dengan mata membola seperti itu.

Rasanya ingin mengulurkan tangan dan mencubit pipi gembil itu, tapi aku tidak ingin Chris menurunkanku di tengah jalan karena berbuat kekerasan terhadap anaknya.

"Mau." Dia berseru lantang. "Boleh, Pa?"

Chris melirik Lala dari balik kaca spion. "Boleh. Nanti kita main-main ke tokonya Tante Jia ya," sahut Chris, yang disambut teriakan penuh kesenangan dari jok belakang.

"Tante ada buku Barbie?"

Aku mengangguk, sekaligus dalam hati membuat catatan untuk membeli stok buku Barbie. Saat ini, tidak ada buku anak-anak di sana. Namun, aku sudah telanjur membuat penawaran dengan Lala sehingga mau tidak mau harus menyetok buku anak-anak.

"Kapan tokomu buka?" tanya Chris.

"Sekitar minggu depan. Nanti aku kirim undangannya kalau sudah fix."

Chris mengangguk. "Can't wait."

"Dan untuk Lala, bebas mau pilih buku mana aja."

Sekali lagi, aku mendengar teriakan penuh semangat dari jok belakang.

"Lala bilang apa sama Tante Jia?" tegur Chris.

Dengan suara lantangnya, Jia mengucapkan terima kasih kepadaku.

Sambil menahan senyum, aku memandang ke luar jendela. Sepertinya, tidak sulit berinteraksi dengan anak kecil.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cut The Crap
Selanjutnya CTC (1) Bab 7: Million Dollar Questions
90
1
Kehidupan sebagai banker membuat Jia merasa hidupnya hampa. Sebuah keputusan nekat membuatnya berhenti bekerja dan membuka sebuah toko buku, The Book Tour. Selama tiga puluh tahun menjalani kehidupan yang diatur keluarganya membuat Jia muak, hingga akhirnya dia menemukan The Book Tour sebagai sebuah surga kecil di hidupnya.Juga, sebuah pertemuan tidak sengaja dengan pria bermata biru di MRT, membuat hidupnya menjadi sebuah petualangan panjang penuh tantangan.Ikuti petualangan Jia bersama Pria Bermata Biru dan The Book Tour.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan