[Behind The Scene] Prologue: Off Limit

422
22
Deskripsi

Hai, selamat datang di cerita baru yang sebenarnya enggak baru-baru banget. Jadi, buat yang ngikutin Autopilot Series, tentunya sudah enggak asing lagi dengan nama Andari dan baby Blue yang mencuri perhatian. Banyak banget yang minta dibikinin ceritanya Andari.

Jujurly, cerita ini sudah ada sejak 2019 tapi belum ketemu ‘rumah’ yang pas. Akhirnya, setelah menunda sekian lama, diputuskan untuk upload di sini aja. Tentunya, harus ada penyesuaian terutama di setting dan detail biar lebih kekinian.

Ceritanya...

You are a little slut.

Aku menatap bayangan di cermin dan memaki diriku sendiri. Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku kembali bekerja dan menganggap semuanya baik-baik saja. Tidak mungkin juga aku mengundurkan diri karena masih punya tagihan dan butuh uang untuk melanjutkan hidup.

You are a mess, Andari.

Aku memercikkan air ke wajah, berusaha menghapus semua ingatan akan kejadian semalam. Namun usahaku sia-sia saja. Aku masih bisa merasakan kehangatan tubuh Rangga saat berada di dekatku, napasnya yang memburu ketika mencumbuku dalam-dalam, juga sentuhannya yang membakar.

Ingin rasanya memejamkan mata lalu terbangun dan menyadari ini semua mimpi. Namun, aku tahu. Sekuat apa pun aku berusaha denial, aku tidak akan bisa menganggap kejadian semalam adalah mimpi.

Lagipula, aku begitu menikmatinya. Aku tidak ingin terjebak dalam mimpi karena peristiwa semalam terlalu indah untuk dimaknai sebatas mimpi.

Sialan. Tidak seharusnya aku melemparkan diri kepada Rangga karena hasilnya malah membuatku bingung seperti sekarang.

Suara ketukan di pintu mengagetkanku. Buru-buru aku mematikan air di keran wastafel dan menatap pintu dengan tatapan horor.

"Dari, kamu masih di dalam?"

Sumpah demi Christopher Nolan dan Wes Anderson, sebaiknya aku tersedot ke dalam blackhole ketimbang membuka pintu kamar mandi ini dan berhadapan dengan Rangga.

**
 

12 Hours Before

Siapa yang tidak mengenal Rangga Madana Mahameru. Seorang sutradara kawakan yang sudah lama malang melintang di dunia perfilman. Sudah tidak terhitung berapa banyak penghargaan yang didapatnya. Gelar Sutradara Terbaik versi FFI selalu jatuh ke tangannya setiap kali melahirkan karya. Berbagai festival film nasional dan internasional berhasil ditaklukkannya, membuat namanya dielu-elukan orang setanah air karena dianggap sebagai sutradara yang sukses mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Banyak yang bilang saat ini perfilman Indonesia hanya diisi dengan cerita cinta ringan ala sinetron, atau cerita komedi garing, dan paling banyak mendominasi isi bioskop yaitu film horor mesum yang kadar ngerinya patut dipertanyakan. Rangga berhasil membantah semua pendapat itu. Beberapa kritikus film menjulukinya modern version of Garin Nugroho.

Kali pertama aku bertemu Rangga lima tahun lalu, ketika aku mengambil keputusan nekat dalam hidup. Saat aku merasa hidupku tidak ada maknanya, hanya sebatas robot korporat yang menjalani hari-hari demi gaji bulanan yang langsung habis untuk membayar tagihan.

I was fed up.

Jadi, kuputuskan untuk berhenti bekerja dan mengejar mimpi terpendamku. Menjadi seorang penulis skenario.

Tidak mudah menjadi freelancer yang pemasukannya tak tentu, terlebih selama ini aku cukup terbantu dengan gaji rutin bulanan. Aku berhenti menyewa apartemen dan pindah ke indekos kecil demi menghemat tabungan. Aku berhenti mengunjungi tempat-tempat nongkrong yang menghabiskan ratusan ribu hanya dalam semalam karena bagiku, uang sekecil apa pun sangat bermakna.

Titik balik dalam hidupku terjadi ketika mengikuti workshop yang diadakan Rangga. Dia terpincut dengan naskah yang kutulis. Aku berhasil memenangkan lomba di akhir workshop dan skenarioku diangkat jadi film pendek yang dibuat oleh Rangga. Film pendek itu menemani promo film Sekapur Rasa, sehingga namaku ikut terangkat.

Sejak saat itu, Rangga mengikutsertakan aku dalam setiap produksi filmnya.

Tentu saja aku senang, karena pengorbananku terbayar. Namun, aku tidak menyangka kalau aku harus membayar mahal hal ini.

Hatiku, yang terpincut kepada Rangga.

Masalahnya, bagi Rangga aku itu off limit.

Dia memang tidak pernah menjalin hubungan serius dalam waktu lama dengan seorang perempuan. Aku cukup maklum dengan kebiasaannya berganti pasangan. Artis ternama hingga kru cabutan untuk produksi film pernah jatuh ke pelukannya.

"Kamu itu orang terbaik dalam timku, jadi aku tidak mungkin mengecewakanmu." Rangga pernah berkata seperti itu, ketika aku sedang mabuk berat dan menciumnya. Namun, Rangga menolakku. "Aku tidak mau hubungan kita jadi enggak nyaman kalau melewati batas," tegasnya.

Beruntung saat itu aku terlalu mabuk sehingga punya alasan untuk mempertahankan harga diri.

Namun, aku masih menyimpan perasaan itu dalam hati.

Hingga detik ini, ketika aku berdiri di hadapan Rangga dalam keadaan basah kuyup akibat diguyur hujan.

"Kamu bisa menelepon, nanti aku jemput." Rangga menyodorkan handuk kepadaku dan kupakai untuk mengeringkan rambut. "Aku sudah mengirim pesan untuk menunda meeting."

"Aku terlanjur udah di jalan waktu membaca pesanmu," sahutku sambil menggigil.

"Kamu ganti baju, pakai bajuku saja. Daripada sakit." Dia mendorongku ke kamarnya. "I need you 100% fit for this project."

Aku terkekeh, tapi langsung diam saat menyadari aku berada di kamar Rangga. Berdua saja dengannya.

Rangga memiliki kantor yang berada di paviliun di samping rumahnya. Dia lebih suka bekerja di sana, termasuk meeting pra-produksi. Jadi, aku terbiasa datang ke sana meski hanya sesekali saja menginjakkan kaki di rumahnya. Baru kali inilah aku berada di kamarnya.

Aku memandang berkeliling. Kamar itu sangat kontras dengan Rangga yang aku kenal. Kamar itu terasa kosong, hanya ada tempat tidur besar, sebuah sofa, lemari yang tertanam ke dalam dinding, dan rak buku. Dia sepertinya menjauhkan film dan hal lain berbau pekerjaan dari kamar ini.

Ada berapa banyak perempuan yang pernah diajaknya ke sini?

"Nih, mudah-mudahan muat."

Aku menerima selembar kaus dan celana training dari Rangga. Lama aku menatapnya, sementara Rangga malah menatapku dengan wajah enggak sabaran.

"Kenapa diam?"

"Kamu mau aku ganti baju di depanmu?"

Pertanyaanku membuat Rangga terkesiap. Dia memalingkan muka, tapi aku telanjur menangkap raut tersipu di wajahnya. Aku bahkan bisa melihat Rangga kesulitan menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Aku tunggu di luar," katanya akhirnya.

Sepeninggal Rangga, aku membuka pakaianku yang basah. Rasanya sangat tidak nyaman, terasa lengket di kulit. Ingin rasanya untuk mandi, tapi aku tahu itu mustahil.

Guyuran hujan merembes hingga ke pakaian dalam. Beruntung aku selalu membawa celana dalam cadangan dalam tas, tapi terpaksa melepaskan bra yang basah. Kaus yang diberikan Rangga cukup besar, menutup hingga ke paha sehingga aku hanya memakai kaus itu saja.

Ketika menatap bayangan di cermin, sulit untuk menahan diri agar tidak tersenyum. Rasanya saat ini statusku naik sebagai pasangan Rangga.

Buru-buru aku menggeleng untuk mengusir pemikiran ngawur tersebut.

Rangga menungguku di ruang tengah, dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Dia menyerahkan kopi itu kepadaku. Selama beberapa saat, dia menahan cangkir itu dan matanya meneliti tubuhku.

Hanya sedetik, tapi aku bisa melihat raut lain di wajah Rangga.

Pipiku menghangat ketika menyadari, untuk pertama kalinya, Rangga menatapku dengan intens. Tatapan yang selama ini kudambakan tapi tidak pernah kudapatkan. Tatapan yang membuat jantungku berdetak hebat.

Aku mendudukkan tubuh di sofa dan menyesap kopi.

"Kamu bisa menginap di sini malam ini. Masih hujan," ujar Rangga tanpa mengalihkan perhatian dari layar televisi.

Aku menatap layar televisi dan berusaha menebak judul film yang ditontonnya.

"After the Wedding?" ujarku.

Rangga mengangguk. "Aku butuh riset film-film seperti ini untuk proyek kita."

"This one is my favorite. The story itself is so beautiful and well-written. Besides, Mads Mikkelsen is so damn hot." Aku tergelak. "I'm still wondering why this movie didn't win against The Lives of Others."

Rangga menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. "The Lives of Others juga enggak kalah bagus. Ceritanya lebih kaya, dengan adanya unsur politik dan sosial yang lebih kentara. No wonder mereka menang."

"I know, tapi menurutku, After the Wedding jauh lebih superior."

"Agree to disagree." Rangga melirikku dan tersenyum tipis. "After all these years, you still remember the story."

Aku mengangguk. "Itulah kehebatan film. Otakku sampai penuh dengan ingatan soal film apa aja yang aku tonton. Semakin banyak menonton film bagus, otakku semakin sesak. Juga membuatku terpacu untuk menghasilkan karya yang memberikan efek sama kepada orang lain."

"Aku sudah membaca revisi terakhir dari naskah yang kamu tulis. You are a genius." Rangga memiringkan tubuhnya hingga menghadap ke arahku. "Aku memang enggak ada di saat kamu memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi penulis skenario, tapi sampai sekarang aku masih bersyukur kamu mengambil keputusan itu. Tidak mudah memang, tapi itu yang terbaik. Sayang, bakat alami seperti kamu disia-siakan."

Kali ini aku yang tersipu. Dia sering memujiku, terang-terangan melontarkan pujian, tapi sampai detik ini aku masih belum bisa menerima pujiannya dengan santai.

Hanya segelintir orang yang mendapat pujian dari Rangga Madana Mahameru.

"Have I told you that you're pretty?"

Pertanyaan Rangga memakuku. Aku memberanikan diri menatapnya, tapi langsung salah tingkah ketika mendapati dia menatapku dengan sangat intens.

Perlahan aku menggeleng.

"Where have I been?" tanyanya lagi.

Sekali lagi, aku menggeleng. "I don't know. Mungkin karena selama ini kamu enggak pernah benar-benar memerhatikanku."

Rangga memicingkan matanya dan menatapku serius.

"Menurutmu, aku off limit."

Rangga tergelak, membuat tubuhnya terguncang.

"Tapi, aku enggak mau lagi dianggap off limit."

Begitu saja, kalimat itu meluncur dari bibirku. Pengakuan yang selama ini kupendam jauh-jauh. Tidak butuh bantuan alkohol untuk mengakuinya, meski aku tahu, pengakuan ini sama saja dengan menggali kuburanku sendiri. Aku harus menanggung malu kalau Rangga menolak, sebab tak ada alkohol yang bisa menjadi kambing hitam.

Rangga mengulurkan tangan dan meraih cangkir kopi dari tanganku, lalu meletakkannya di meja. Dia menggeser tubuh, mempersempit jarak di antara kami. Tangannya menyentuh lenganku, mengusapnya dengan lembut sementara tatapannya tidak pernah beralih dariku.

"I want you." Aku berbisik.

Rangga memejamkan matanya. Wajahnya menegang, dan aku bisa menangkap gejolak di sana. Dia berusaha keras melawan keinginan tersebut, dan di saat ini, aku tidak ingin dia melawan keinginan itu.

"Andari... Don't ask me to do something that we will regret later," desahnya.

"I won't regret it."

Rangga membuka mata dan menghujamku dengan tatapannya. Aku masih bisa merasakan perjuangannya melawan keinginan itu.

Persetan dengan semua ini.

Entah karena bisikan setan atau memang aku yang sudah sangat putus asa menghadapi penolakannya selama ini, sehingga nekat membuka kaus yang kupakai. Aku duduk bertelanjang dada di hadapannya.

Rangga menurunkan pandangannya. Dia terkesiap ketika melihatku, tapi kembali menggelengkan kepalanya.

"I want you," ujarnya lagi.

Tatapan Rangga kembali beralih ke wajahku. Dia menghela napas panjang dan detik selanjutnya, dia menarikku hingga berada tepat di atas pangkuannya. Tanpa memberikanku ruang untuk mengelak, dia mengunci bibirku dalam ciumannya.

"Tonight, I dug my own grave," bisiknya dan mengangkat tubuhku.

Dia kembali menciumku ketika dia dengan entengnya membopong tubuhku menuju kamarnya.

**


 

Aku menghela napas panjang sebelum membuka pintu kamar mandi.

"Thank God," ujar Rangga. Aku bisa melihat raut lega di wajahnya. "Are you okay?"

Aku mengangguk. Aku baik-baik saja, tapi aku bingung harus bersikap seperti apa.

"Aku membuatkanmu sarapan."

Rangga menggandeng tanganku dan mengajakku keluar. Ketika melintasi kamarnya, aku tidak bisa menahan pipi yang bersemu merah ketika melihat tempat tidurnya. Di sana, aku menyerahkan diriku kepadanya. Di sana, dia menyatukan dirinya dan diriku.

Sebelum melangkah keluar, aku menyempatkan diri melirik tempat tidur itu. Aku akan selalu mengenangnya, sebagai salah satu malam paling indah yang pernah kurasakan.

Rangga mendudukkanku di meja makan sebelum menyibukkan diri dengan membuat sarapan. Dia meletakkan piring berisi omelet dan kentang rebus ke hadapanku, lalu kembali menyibukkan diri menyeduh kopi. Dia memiliki coffee maker lengkap di rumahnya, mengingat dirinya tidak bisa hidup tanpa kopi, tapi Rangga seperti sengaja berlama-lama seolah ingin mengulur waktu.

Seharusnya sejak awal aku menghormati jarak yang tercipta di antara kami. Dengan begitu, tidak perlu ada momen canggung seperti ini. Aku bisa bekerja dengan tenang.

"Here's your coffee," ujar Rangga dan meletakkan secangkir kopi di hadapanku. Aromanya yang kuat memenuhi penciumanku. Ketika menyeduhnya, aku pun bangun sepenuhnya.

"Andari, soal semalam..."

Aku menatap Rangga dari balik cangkir yang kuminum. This is it. Dia akan menyuarakan penyesalan.

Atau mungkin dia akan mendepakku dari proyek ini.

Tidak, aku tidak bisa mempertaruhkan kehidupanku.

Perlahan, aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Bisa enggak kita bersikap sama kayak biasa?"

Rangga menghela napas panjang. "Dari, aku..."

"We're fine. Kita baik-baik saja. Kita masih bisa bekerjasama, kan?"

"Tentu saja. Kamu yang terbaik yang pernah kumiliki."

"Jadi, tolong. Anggap aku seperti itu." Aku berusaha tenang meski sebenarnya aku malah menyakiti diriku sendiri. "Anggap saja hubungan kita tetap sama sebelum kejadian semalam."

"Kamu menyesal?"

Aku menggeleng. "Apa pun yang terjadi, itu enggak akan mengubah hubungan profesional kita, kan?"

Rangga mengangguk.

"Bagiku, itu cukup."

Namun, Rangga sepertinya berpikir sebaliknya. "I don't think so."

"Kenapa kamu enggak bersikap biasa, seperti setiap kali kamu menghabiskan waktu dengan perempuan-perempuanmu?"

Tubuh Rangga menegang ketika mendengar ucapanku. "Because you're not one of them."

Aku terdiam. Jika aku bukan salah satu dari perempuan-perempuannya, lalu apa arti aku di hidupnya?

"Tapi, mungkin kamu benar. Kita baik-baik saja, dan kita bisa bersikap seperti biasa.”

Aku memaksakan diri untuk mengangguk meski dalam hati, aku ingin meneriakkan makian untuknya, dan juga mengutuk kebodohanku sendiri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [Behind the Scene] Scene 1 - 4
309
8
Welcome to Behind the Scene.Yuk, ikuti perjalanan Andari dalam menemukan her one true love dan memahami arti keluarga yang sebenarnya.Kamu bisa membeli cerita ini dalam bentuk paket seharga Rp50.000 (kalau sudah beli paket, tinggal duduk manis menunggu ceritanya. Jadi enggak perlu ribet transaksi) atau beli satuan di harga Rp7.500.Update: Senin & Jumat, 19.00 WIB.EnjoyRR
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan