CONNECTED BAB 3-4

0
0
Deskripsi

Update juga di Wattpad.

Selamat membaca!

3. Ketemu Calon

 

Hari Minggu akhirnya tiba, Galuh setia menemani adiknya yang akan bertemu dengan calon suaminya, yang tidak lain adalah sesama cicitnya Abi Rizal yang sudah tenang di alam sana.

Galuh menjemput adiknya di sebuah kost putri daerah Pasar Minggu. Alya memang ngekost dekat kantornya, supaya hemat waktu, langkah, dan tenaga. Eh, ongkos juga sih sebenarnya. Sebab Alya adalah perempuan yang suka belanja, dia lebih suka tinggal di kost bersih khusus putri daripada sewa apartemen mahal dan jaraknya jauh, supaya dia bisa menyisakan banyak uang untuk membeli beberapa barang yang diinginkannya.

Meski mau bertemu dengan calon suami, yang belum tentu dia sukai, Alya tetap berdandan seperti gadis mau kencan. Baju, tas, dan sepatunya bermerek semua. Tapi, make up-nya tidak terlalu menonjol karena dia punya alasan, mau terlihat biasa saja.

“Senyum dong, Dek.” Bujuk Galuh sekali lagi pada Alya, sejak turun dari mobil Alya masih memasang tampang kesalnya.

“Senyum? Apa harus?” balas Alya ketus.

“Wajib.” Galuh menunggu adiknya di lobi resto. “Senyummu adalah ibadah. Dia bakal jadi suami kamu nanti, kamu wajib senyum depan dia … ya, tapi nanti sih.”

“Ih, nggak konsisten ngomongnya.” Cibir Alya kemudian, dia sudah berdiri menyebelahi kakaknya dan melirik ke dalam resto, masih sepi-sepi saja. “Nggak usah sok-sokan ceramah segala, nggak cocok. Mas itu cocoknya jadi dosen aja sudah, sekolah yang bener di Surabaya. Kalau sudah selesai langsung lamar Mbak Rena, keburu dia disamber orang!”

Galuh hanya menyengir kecil, adiknya cerewet.

“Meja mana?” Alya menatap sekeliling, ada separang kekasih sedang menikmati makan siang bersama dan dua orang duduk di meja masing-masing, seorang diri.

“Yang ujung itu, kayaknya dia Arda.” Tunjuk Galuh di meja nomor 19.

Aura dingin mendadak merambati jiwa Alya, dia ingin ke toilet dulu untuk membuat dirinya lebih tenang dan rileks. “Mas, ehm, aku ke belakang dulu ya? Sebentar.” Pamitnya dan langsung pergi begitu saja.

Galuh tahu adiknya tidak akan kabur, meski menolak mentah-mentah perjodohan ini, Alya tidak akan pergi begitu saja. Galuh berjalan ke meja nomor 19 sambil menatap punggung lelaki yang berpakaian kasual.

“Arda?” panggil Galuh ketika langkahnya tinggal semeter lagi, dan benar saja lelaki itu menoleh. “Oh, hai. Sudah lama?” Galuh sudah berdiri di samping Arda.

Arda segera berdiri dan menyambut kedatangan temannya, mereka berangkulan sejenak. “Belum, gue juga baru duduk.” Arda menoleh ke kanan-kiri dan tidak tampak wajah Alya di sini. “Duduk, Gal.” Ajaknya sopan.

Thanks,” Galuh duduk di depan temannya.

Sebelum ini mereka sempat bertemu di kantor Galuh, ngopi bareng di sana. Sebuah pertemuan singkat sebelum ada rencana perjodohan, mereka bertukar kabar dan cerita setelah sekian tahun tidak bertemu lagi. Komunikasi keduanya terus berjalan setelah hari itu; student exchange. Mereka bahkan mengambil foto bersama ketika masih di Jerman, foto itu Galuh simpan di album pribadinya sehingga Alya tidak pernah lagi melihat wajah saudara jauhnya yang bernama Arda.

“Alya lagi ke toilet, tadi buru-buru.” Pungkas Galuh ketika melihat Arda agak bingung.

Arda mengangguk dan menyuruh Galuh memesan minuman dulu. Galuh menyebutkan minuman yang dia inginkan pada pramusaji yang sudah menunggu. Ia pun berkata pada Arda, “Alya pesan nanti aja.”

Menunggu adiknya di toilet, Galuh pun berniat mengatakan hal penting kepada Arda. “Yang sabar ya sama adek gue, dia masih goyang emosinya dan labil. Tapi, dia itu perasa banget sebenarnya.”

Arda mengernyitkan kening, belum menangkap maksud Galuh. “Perasa yang…”

“Ehm, kepikiran. Orangnya apa-apa selalu dipikirin. Kayak yang overthinking gitu.”

“Oh, I see.”

Galuh mengulum senyum saat teringat obrolannya dengan Alya semalam. “Ehm, lo pernah nonjok teman waktu sekolah nggak?”

No.” Arda menggeleng. Why?”

“Enggak sih, mau make sure aja kalau lo aman.” Jelas Galuh diiringi sebuah cengiran aneh.

“KDRT maksudnya?”

Galuh mengangguk tanpa ragu, dan mereka tertawa bersama. “Adek gue semaleman nanyain soal lo dan gimana kalau lo ini dan itu, pusing gue jawabnya,” paparnya.

Arda tambah nyengir mendengarnya. “Keluarga kita sudah kenal lama, kita juga bukan orang lain karena masih sodara juga, kan? Sama-sama buyutnya Abi Rizal, almarhum. So, gue yang harusnya takut karena nikahin sodara sendiri. Gue takut nggak bisa buat adik lo bahagia dan kalau dia kabur dari rumah … gimana, Bro?”

“Hahaha, nggak lah. Masa dia kabur, memang mau lo apain?”

Arda menyengir kuda. Iya juga, batinnya.

Galuh membenarkan posisi duduknya dan berusaha tidak terlihat seperti ingin menginterogasi. “Lo nggak buru-buru, kan?” tanyanya pelan.

“Maksudnya? Buru-buru nikah gitu? Enggak lah, gue ikut keputusan keluarga dan adik lo aja. Gue santai kok.” Balas Galuh apa adanya, dia memang tidak menolak perjodohan ini karena dia yakin ibunya tidak salah pilih. Ibunya sudah bertemu dengan Alya di Semarang satu pekan lalu. Dia juga sudah tahu Alya meski waktu itu usia Alya masih lima tahunan. Tapi, dia tahu bagaimana gadis itu belajar merangkak, berdiri, berjalan, ngomongin banyak hal dan mulai bandel karena lari ke sana kemari. 

Galuh menggeleng, bukan itu yang dia maksud. “Bukan, maksud gue … ehm,” Galuh kebingungan mencari kata-kata yang tepat dan terlihat tidak enak.

“Oh, yang itu. Hubungan suami istri maksud lo?” todong Arda sambil menahan senyumnya.

Yup. Sori,” Galuh menyengir sungkan. “Seperti yang sudah lo dengar dari nyokap lo, Alya nggak sama siapa-siapa sejak lulus SMA. Jadi, perjodohan ini pun bikin dia kaget dan uring-uringan, Da.”

“Nggak apa-apa, santai.” Sahut Arda tenang. “Gue bahas sama adik lo nanti. Gue nggak akan bikin dia nggak betah pokoknya.”

“Dia sebenarnya gampang adaptasi, cuma … agak cuek aja kalau sama orang baru.”

“Dan gue belum tahu apakah Alya mau lanjutin ini atau enggak. Gue belum dengar keputusan dia langsung, Ibu baru dengar omongan dari orangtua kalian aja kemarin.”

Galuh mengangguk lemah, dia juga belum tahu bagaimana nanti ke depannya. Semalam dia hanya mengajak Alya bertemu dengan calonnya dulu.

“Kalau ini nggak lanjut, gue santai. Lo nggak usah nggak enak sama gue, Gal. Paling nyokap gue sih yang pusing nyariin calon buat anaknya yang sudah kepala tiga.” Terang Arda dengan senyuman minimalisnya.

“Makasih, Bro. Lo sudah mau ngertiin adik gue dan keluarga gue juga…”

“Santai. Kita memang sudah tahu ini sejak awal, kan? Dan bukan keluarga lo aja yang minta perjodohan ini dilanjutkan, tapi juga nyokap gue sudah ngebet pengin punya mantu dari kerabat sendiri.” Arda tertawa garing.

“Tapi, adik gue masih belum sedewasa lo dan gue, Bro.” Galuh mulai cemas memikirkan sifat adiknya yang masih meledak-ledak, seperti semalam. “Sabar-sabar ya, lo.”

Arda mengangguk tenang.

Arda menatap ke belakang punggung temannya. “Eh, tuh dia datang,” ucapnya.

Terlihat Alya berjalan dengan langkah ajeg dan pasti, dia sudah bisa menguasai diri. Alya sudah di dekat meja mereka, gadis itu menarik napas panjang.

“Lama banget sih, Dek, antre apa di toiletnya?” protes sang kakak.

“Lagi dibersihin, Mas. Yang buka cuma satu!” balas Alya seraya menarik kursi di sebelah kakaknya. Dia sudah duduk dan seketika menatap sosok di depannya. Dia sempat tak percaya dengan pandangannya, merasa syok, apa ini tidak salah? Ini bukan mimpi di siang bolong, kan?

Alya buru-buru menendang kaki kakaknya di kolong meja dan terdengar sebuah pekikan.

“Aaawww!!” teriak Galuh tanpa bisa menahan diri, heels adiknya mengenai tumitnya yang terekspos.


 

 

4. Tidak Ada Kubu

 

“Lho, Mas Arda, kan yang … ada di…” Alya mengerjapkan matanya berkali-kali, lelaki di depannya masih sama, tidak berubah sama sekali dan tetap ada bewoknya.

Sumpah demi apapun. Alya tidak percaya dengan apa yang dia lihat kali ini. Tentu saja dia mengenal Arda yang ini meskipun tidak begitu tertarik dengan dunia pergosipan di kantor. Zoya sering menyebut-nyebut nama Arda-Arda, BA yang pernah bekerja di kanor ITA di Bandung. Masih muda, ganteng, tinggi, dan masa depannya cerah secerah senyumnya yang banyak memikat kaum hawa di kantor. Tapi, Alya hanya pernah berpapasan beberapa kali ketika akan memasuki ruang meeting dengan Damar, seorang project manager yang membawahi mereka semua.

“Mas!” Alya menahan pekikan ketika melihat wajah sang kakak yang masih meringis kesakitan. “Kenapa nggak bilang kalau Danu-Danu itu yang ini, yang kerja di kantor aku juga!” dengan gemas ia mencubit lengan kakaknya dan Galuh segera menghentikan aksi penyiksaan itu. Tubuh Galuh bisa memar dimana-mana karena ulah adiknya.

Melihat pelototan sengit Alya pada Galuh membuat Arda mendadak hening, tadinya dia mau menjelaskan keadaan yang sebenarnya, tapi Alya terlalu bar-bar. Perasaan dulu dia masih manis, imut, gemesin, kenapa sekarang jadi … wow! Keren. Pikirnya dengan ekspresi sulit dijelaskan.

“Gini, Mas jelasin dulu.” Galuh menahan tangan kanan adiknya.

Alya malah menendang kaki kakaknya lagi dan Galuh kembali mengaduh.

“Ini salah aku, Alya. Bukan Galuh!” akhirnya kalimat itu terdengar dari mulut Arda. Dia menarik napas sekali lagi, Alya menatapnya tajam. “Sori. Aku nggak bilang sejak awal, soalnya aku pikir kita nggak bakal dijodohin. Tadinya aku mau nge-test kamu, apakah kamu masih ingat sama aku. Gitu. Iya, itu.” Jelas Arda lancar, tatapan Alya membuatnya sedikit terintimidasi.

Namun dengan cepat keadaan berbalik, Arda mamasang tampang tegas seperti saat di kantor, dan itu berhasil membuat Alya menurunkan emosinya, mulai sedikit terkontrol. Alya tidak mengatakan apa-apa sampai pramusaji datang dan meletakkan pesanan.

“Pesan apa, Dek?” tanya Galuh ketika pramusaji lain datang membawakan nasi goreng untuknya dan Arda.

“Oh, aku?” Alya buru-buru menatap kakaknya, sejak tadi dia bingung dengan pikirannya sendiri. Masih syok melihat rekan kerjanya di sini. “Ehm, jus kiwi aja,” putusnya kemudian.

“Mau dessert?” tawar kakaknya.

“Atau makan sekalian?” ujar Arda sambil menatap Alya yang mendadak terlihat kikuk.

“Kalian aja, aku enggak.” Balas Alya pada keduanya.

“Diet dia, Da.” Galuh mulai mengaduk nasi goreng panas di depannya.

Arda menatap tubuh ramping di sebelah Galuh, menggeleng ringan. “Kayaknya dia nggak butuh diet deh.”

“Cewek memang aneh, Da.” Ujar Galuh sebelum menjejalkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya.

“Ih, Mas Galuh ngomongin aku di sini, aku dengar tauk!” bentak Alya tanpa peduli pada sosok di depannya. “Lagian kalian sok tahu, siapa juga yang diet!” bantahnya kesal. “Ya sudah, aku nambah dessert aja, terserah.”

Galuh memesankan jus kiwi dan black forest cherry untuk adik kesayangannya.

Sembari menunggu pesanannya datang, Alya menatap nyalang sosok di depannya. Melihat dagu Arda yang ditumbuhi bewok, sepertinya bekas dicukur dua harian lalu, sekilas terlihat sangar namun juga seksi. Di luar kantor Arda terlihat santai dengan kaos Polo berkerah dan jeans gelapnya, sebuah jam tangan melingkar di tangan kiri yang juga ditumbuhi bulu-bulu halus dan lebat.

Apakah semua bagian tubuhnya ditumbuhi bulu selebat itu? Pikiran Alya mulai melantur. Ia begidik membayangkan hal konyol itu. Kenapa otaknya mulai tidak beres, ini pasti karena dia keseringan dijejali cerita kotor oleh Zoya, temannya di tim analyst.

Arda sedang mengunyah makanannya sambil mendengarkan ocehan Galuh tentang beasiswa dari kantornya, Galuh akan pindah bulan depan dan dia senang karena sudah mendapat semua fasilitas yang dia butuhkan di Surabaya nanti, termasuk transportasi dari perusahaan. Dia diberi waktu dua tahun dan akan kembali ke Jakarta setelah itu.

“Lo katanya juga mau coba S2, Da, di sini?” tanya Galuh.

Arda mengangkat wajahnya dan tak sengaja malah menatap Alya yang juga sedang mengulitinya habis-habisan. Arda terlihat datar dan biasa saja, tidak terkejut sama sekali dengan tatapan penilaian itu. Sementara Alya tampaknya kikuk lagi dan pura-pura memainkan ponsel di meja, jari-jari lentiknya mengulir layar dan matanya terlihat tak fokus.

“Iya, nanti. Lagi dipikirin, mau merit dulu atau sekolah lagi.” Balas Arda santai.

Jawaban itu membuat wajah Alya terangkat dari layar, “Mas … Arda nggak nolak perjodohan ini? Ini tahun berapa sih?” tukasnya sedikit menahan kesal.

Arda meletakkan sendok dan garpunya di piring, pandangannya fokus pada sang calon yang sudah dia setujui. “Enggak. Kamu mau batalin? Boleh sih...”

Alya menoleh ke samping, memandang Galuh yang masih asyik menyuap nasi.

“Kamu bilang sama Mama-Papa, Dek. Jangan sama aku.” Ujar Galuh tak mau ikut campur, padahal dia sendiri mendukung keputusan ibunya ini. Keputusan yang menurutnya bagus. Sebab, setelah mendengar perjodohan ini dia lebih tenang meninggalkan adiknya di Jakarta, ada Arda yang bisa menjaga Alya nantinya.

Alya menarik napas dalam-dalam, membuangnya ke samping, mengusap kepala yang benar-benar penat. Saat itu pesananya sampai, dia segera menghabiskan setengah jus kiwinya yang dingin dan segar, memakan dessert yang manis dan menatap Arda lagi. Cowok itu terlihat santai menyuap makanan sambil mengawasinya.

Alya menjauhkan dessert dari sisinya, dia jadi tak nafsu makan. “Aku punya calon!” katanya tanpa diduga.

Galuh menghentikan kunyahannya dan menatap adiknya lekat. Begitu juga dengan Arda, tapi cowok itu tetap tenang, dia akan menerima apapun yang terjadi. Dia tidak kebelet menikah, dia tidak ingin buru-buru, hanya saja ibunya yang mendorongnya terus agar segera bertemu dengan sang calon di luar kantor.

“Siapa?” tanya Galuh kemudian. Dia yakin sekali adiknya tidak punya cowok misterius yang disembunyikan di kolong ranjang, adiknya juga tidak terlibat cinta lokasi di tempatnya bekerja.

“Ada,” balas Alya seraya mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, tanda dia sedang bingung.

Galuh mendesis sebelum menyebut nama seseorang. “Slamet maksud kamu? Dosa tahu nikahin dia, Dek.”

“Mas…” rengek Alya kemudian, dia menyandarkan punggung ke kursi dan tampak lesu. “Ini nggak lucu.”

Galuh geleng-geleng dan melanjutkan makannya lagi.

Arda mengusap mulutnya dengan tisu, ia sudah selesai makan. “Aku nggak maksa Alya. Kalau Alya nggak mau ya sudah, Alya sendiri yang ngomong sama para orangtua ya?”

“Kok gitu?”

“Karena aku setuju-setuju aja.”

Alya duduk tegak dan memukul meja sekali. “Mas Arda, kita ini satu kantor!”

“Kita juga masih kerabat, sudah sama-sama kenal, terus?” balas Arda lembut.

Alya geleng-geleng tak percaya. Dia nyaris gila. Dia mengusap keningnya yang mendadak berkeringat karena perang di batinnya.

Galuh menepuk punggung adiknya setelah menghabiskan segelas es jeruk. “Intinya, Mama putusin ini karena tahu kalian bakal cocok, kalian sama-sama sudah gede. Mama juga nggak maksa nikah secepatnya, adaptasi saja dulu sama Arda. Iya, kan, Da?”

Arda mengangguk.

Alya meneguk jusnya tanpa sedotan lagi, langsung dari bibir gelasnya. Setengah menit kemudian dia meletakkan gelas kosong ke meja dan menatap Arda tajam. “Aku butuh waktu.”

“Untuk?”

“Mastiin kalau ini bukan mimpi.”

Arda spontan menyengir, lucu juga Alya ini.

Galuh mengangguk setuju. “Jangan bahas soal cinta. Kamu nggak pernah jatuh cinta soalnya. Alasan kamu nolak nikah pasti karena nggak mau dan nggak siap aja, kan? Semua orang juga nggak siap untuk itu, nggak ada yang siap, Dek.”

Alya menatap kakaknya dengan tampang memohon. “Paling enggak kan biar aku cari sendiri calonnya.”

“Cari di mana? Mama cuma kasih waktu tenggat dua bulan lho? Nyari sama Zoya di kelab malam? Mau kamu dapat yang banyak tatonya, preman, atau tukang mabuk?” cecar Galuh yang paham bahwa adiknya tidak akan mendapatkan apa-apa selama dua bulan mencari. Adiknya lebih suka berbelanja ketimbang bergaul dengan banyak cowok.

“Zoya anak analyst?” Arda ikut bertanya.

“Iya, Da. Kenal, kan?”

“Tahu,” Arda pun mengangguk. Dia tahu Zoya karena sudah pernah bekerja dengan gadis itu, dan dia belum pernah bekerja dengan Alya, sebab Alya selalu ditarik oleh senior PM yang lebih lama bekerja di ITA.

Alya kembali lesu di kursinya, menarik napas dalam-dalam demi menguatkan diri. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Tunggu!” tembaknya sambil duduk tegak. “Aku mau memastikan sesuatu…”

“Soal KDRT?” Arda mengingat pertanyaan Galuh sebelumnya, dia pun menyengir.

Alya mengangguk pelan dan menatap Arda penuh selidik.

“Kamu bisa laporin aku ke polisi kalau itu sampai terjadi. Atau, mau bikin surat perjanjian pra nikah?” tawar Arda dengan senyuman mematikan yang penuh kemenangan. Dia benar-benar yakin bahwa Alya tidak akan lari dari perjodohan ini, sebab tidak ada yang setuju dengan penolakannya.
 

 

MAKASIH YA SUDAH MAMPIR

JANGAN LUPA LOVE AND KOMEN!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CONNECTED [BAB 5 6 7]
0
0
Kisah kasih pasangan yang dipaksa menikah oleh orang tuanya.Apakah mereka bisa bertahan dalam hubungan yang tidak harmonis?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan