
Deskripsi
“Denger ibu gak hah??”
“Heh anak gak tau diuntung.”
“Ini kenapa nilainya turun!?”
“Kenapa gak beres-beres rumah? Jawab!”
“Tau waktu gak hah, dibilang jam main cuma 2 jam.”
“Anak gak tau diri.”
Ibu maaf, tapi aku takut. Semua yang kau katakan itu selalu terulang. Caramu memainkan sapu, gesper, alat masak, atau benda lainnya masih lekat dalam semua ingatanku. Aku selalu takut untuk mandi atau melakukan hal dikamar mandi karena kau...
Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Social Life
Selanjutnya
A Chance
0
0
“Inaraaaaaa….. Lu mau nyoba bunuh diri hah!”“Ck, apasih.”“Pakai masker gas lu, gila!” Asha berlari dan melempar masker gas yang digenggamnya kepadaku. Aku mengabaikannya, tapi dia tetap memaksaku dengan memakaikannya kepadaku dengan brutal. Dia terlihat kesal dan aku tidak peduli dengan itu. Sejujurnya, aku pun merasa sesak tanpa masker gas ini. Tapi, aku hanya membiarkannya. Hal ini juga salah manusia kan yang membuat bumi jadi seperti ini. Mereka benar-benar egois! Aku? Tidak merasa seperti itu.“Raaa, lu kenapa sih? Nyari mati hah?”“Gak papa ah. Kepo lu!”“Ya, lu aneh-aneh aja, padahal ini udara tercemar banget. Sempet-sempetnya keluar gak pake masker gas.”“Ini salah kita juga kan Sha. Manusia egois banget kan hahahaha.”“Udahlah Ra, gak ada yang perlu disalahin lagi. Udah kayak gini juga.” Benar apa yang dikatakan Asha. Ini sudah terjadi, mau gimana lagi. Udara tercemar, Air juga. Tidak ada tempat yang benar-benar bersih dan asri. Di luar sini, kalian akan melihat pemandangan yang menyerupai gurun pada siang hari. Suhu setiap harinya pun tidak main-main panasnya. Jika hujan turun, dataran pasti akan terendam. Wilayah yang terkena salju akan mendapatkan kapasitas salju yang super besar. Perubahan iklim yang benar-benar tidak bisa diketahui. Masa musim didunia pun tidak bisa diperkirakan lagi. Semuanya tak ada yang baik lagi di lingkungan yang kami tempati itu. Asha hanya diam melihat genangan besar air yang berwarna kuning didepan kami. Namun, tiba-tiba dia mulai menangis. Aku terkejut dan sebisa mungkin menenangkannya dengan banyak kata yang aku punya. Aku bingung. Tidak biasanya dia begini. Tidak biasanya dia menangis didepan orang lain seperti ini. Ada apa dengannya. Hingga Asha mulai berhenti.“Sha, kenapa?”“Gue Cuma sedih.”“Hah?”“Iya ini, laut besar kan ya Ra. Tapi, sejauh mata gue ngeliat ini yang ada cuma warna kuning kecoklatan. Gak ada kehidupan didalam air seluas ini.”“Iya gue ngerti.”“Lu harus ngerti karena lu dan keluarga harus bisa bertanggung jawab!”“Sha, maaf.” Dia hanya diam kembali. Ya, aku dan keluargaku harus bertanggung jawab. Keluarga Farren dan aku Inara Farren harus menanggung ini. Tapi, kami? Kami tidak melakukan apa-apa. Kami tidak pernah mengakui kami salah. Ralat, kecuali diriku. Aku sadar keluargaku salah. Salah besar. Benar-benar tidak memiliki hati nurani. Bisa kalian bayangkan? Mereka orang-orang cerdas yang memberikan ide gila dalam mentranformasikan peradaban dengan teknologi. Dunia? Seluruh dunia menerima hal ini, mereka bilang ini adalah ide brilian yang keluarga kami punya. Mereka melakukan itu tanpa memikirkan dampak apa yang mereka dapatkan setelahnya. Es-es dikutub mulai mencair, itu hal yang pertama kali membuat kami terkejut. Pemanasan global membuat wilayah kutub tak lagi berbentuk es. Percayalah, saat ini kami benar-benar tidak memiliki wilayah yang sejuk dan asri sama sekali. Kasus selanjutnya adalah perubahan iklim yang tidak pernah terduga, dimana disatu negara pernah mengalami suhu panas dan dingin disatu hari yang sama. Dan hal itu juga yang mengubah perubahan-perubahan musim didunia. Air tidak lagi jernih, lumpur dalam bumi sedikit demi sedikit mulai memaksa keluar dari dalam bumi, tidak ada warna hijau yang diberikan tumbuhan. Semua digantikan dengan bangunan dan alat-alat canggih. Setelah 30 tahun, rampung sudah segala transformasi pada bumi ini, dan alat bernapas kami digantikan dengan makser gas ini karena udara benar-benar tercemar. Banyak pemberontakan dimana-mana dan dilawan kembali oleh pihak berwajib hingga meninggalkan banyak korban jiwa. Suara mereka tidak terima, hanya suara keluargaku lah yang diterima. Saat itu, aku bergabung dalam pasukan pembela bumi. Memaksa keluargaku untuk menghentikan pemikiran gilanya. Tapi apa yang aku dapat? Aku dicoret dan dibuang dari silsilah keluarga. Mereka menganggapku biang kerok, tapi apa peduliku. Sudah kubilang aku tidak egois seperti mereka. “Shaa” Panggilku“Hmm”“Maaf ya”“Lu gak salah Raa. Udahlah gue juga lagi sensitif banget hari ini.” Ucapnya dengan senyum“Gue ngerasa gue juga salah jadinya Sha.”“Udahlah ah. Gue mau tiduran disini bentar menikmati warna kuning-kuning coklat didepan gw, hahaha.”“Ada-ada aja lu. Hahaha”“Eh!” Asha bergerak mengambil sesuatu yang dia tidak sengaja sentuh tadi. Aku penasaran karena dia tiba-tiba diam, tak berkata sama sekali. Aku mengguncang tubuhnya berkali-kali, namun dia tidak menanggapi. Aku mengguncangnya dan sesekali meneriakinya. Tapi tiba-tiba, tubuh Asha mulai bergetar menandakan bahwa dia menangis. Lagi? Ada apa sebenarnya dengan Asha hari ini? Dia mulai berhenti, dan menatapku.“Raaa….” Panggilnya lirih dengan senyuman“Hmm?”“Ini benih pohon kan?” Gw terkejut dan langsung memeluk Asha“We have a chance Sha, we have.” Ucapku dengan haru
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan