Alun-alun

0
0
Terkunci
Deskripsi

Tegal, 4 April

“Pak, izin ke alun-alun bentar yaaa!!”

“Jangan sendirian! Ditemenin mas Agung nih.”

“Ya allah kan deket pak, gak sampe lima menit. Lurus, belok kanan, nyampe deh.”

“Disananya bahaya mba.”

“Ada Hp paaaakkk. Okey okeey?!”

“Iya yaudah.”

“Yeyyyy, mas Agung pinjam motor!!”

            Tak butuh waktu lama, aku dan motor kesayangan mas Agung itu pun langsung meninggalkan rumah. Tentu mas Agung sekarang kesal karena acara malam mingguannya...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Paket
37 konten
Akses 30 hari
100
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Kategori
Social Life
Selanjutnya Bilal
0
0
Aku seorang pendosaAku tak pantas disisi-NyaAku kotorAku menjijikkanAku orang yang tak tau maluAkuuuuu….“BILAAL!”“Hah!!??”            Aku tak pantas hidupkan? Penuh dengan dosa, tak sanggup berbuat baik, kejahatan adalah makanan sehari-hariku. Aku tak bisa tanpa mencuri atau mengambil barang orang lain secara paksa. Setiap malam, gubuk pinggiran jalan adalah tempatku. Menghabiskan setiap malamku dengan musik kencang yang bisa menghancurkan gendang telingamu. Meminum “orang tua” yang selalu mereka tawarkan. Ayolah, aku tak bisa menolak ini. Hidupku nomaden, tak ada tempat tinggal tetap. Oh ada! Tepat 2 tahun lalu sebelum aku ditendang dari rumah karena aku mencuri uang tabungan ibuku. Padahal aku ini anaknya, iyakan?“Lal! Lu gak mau ini?” Tanya temanku dengan menyodorkan sebatang rokok.“Gak ah, gak mood gua.”“Heleeh tumbenan.”            Sungguh, sudah sebulan ini aku malas. Malas merokok, minum minuman itu, mencuri, atau mem-begal. Aku juga malas berpindah tempat setiap malamnya, alhasil aku dan banyak teman se-perkumpulan menurutiku. Mereka bilang aku ada diposisi labil dan malas sekarang. Sebenarnya tidak. Aku lebih banyak diam, memikirkan apa yang tidak biasa aku pikirkan. Dan hal ini selalu mengganggu pikiranku. Aku pendosa. Kata-kata itu selalu muncul tanpa perintah dariku. Membuatku merasa bersalah dan meng-iyakan hal itu.             Bilal namaku. Hanya itu, tak ada embel-embel lain. Aku masih ingat saat kecil dimana ibu sangat mengidamkan Bilal, sahabat nabi yang menjadi muadzin dengan suara merdunya kala itu. Ibu bilang, aku harus seperti Bilal asli itu. Memiliki perangai yang baik. Tampan luar dan dalam. Tapi, sepertinya aku tidak menjadi apa yang dia mau. Lihat? Aku barang satu pun tidak benar-benar seperti Bilal yang diceritakan oleh ibuku. Aku sangat berbeda. Fakta yang membuatku semakin merasa bersalah pada diriku dan orang-orang yang memiliki harapan baik padaku disamping pikiranku yang selalu menyebutku “sang pendosa”.“Mau kemana Lal?”“Keluar sebentar, jangan kunci yaa.”“Yoii.”            Hawa dingin menamani jalan-jalan malamku. Cukup bagus untuk mendinginkan kepalaku sejenak. Memikirkan semua itu benar-benar membuatku resah. Kau tau resah yang kumaksud? Benar-benar tidak enak dihati. Seperti ingin menangis karena ada sesuatu yang sesak dalam perasaanku. Ah sudahlah, aku ini laki-laki. Akhirnya, jalan-jalanku terhenti disebuah warkop kecil disamping jalanan. Hanya aku dan kakek-kakek yang tidak tau siapa sedang menyereput kopi hitamnya. Aku memesan kopi susu hari ini. Benar-benar tidak berminat untuk minum minuman lainnya.            Beberapa menit menunggu, kopi susuku pun tersaji panas didepanku. Pemilik warkop melenggang pergi untuk mengambil gula dirumahnya. Hanya kami berdua. Duh, aneh sekali. Seperti sedang kencan dengan kakek tua. Tunggu! Kakek itu melihatku, intens! Bagaimana ini? Aku semakin tidak enak. Dia melihatku bagai aku adalah seorang tersangka. Oh jangan bilang kakek itu pernah menjadi mangsa curianku. Tuhan, tolong!“Bilal.” Panggil kakek itu lemah.“H-hah?! Kok tau nama saya kek?”“Hahahaha, santai saja. Lihat gelangmu itu, namanya sangat jelas.”Ah, bodohnya. Gelang pemberian ibu ternyata. Sempat-sempatnya berpikiran negatif dengan kakek ini.“Berat yaa harus menanggung nama sahabat nabi itu. Sama denganku, aku Umar dan orang tuaku dulu ingin menjadikanku Umar yang sesungguhnya hahaha. Bagaimana denganmu nak?”“Ah ya begitu lah.” Jawabku singkat“Tapi, kau tau? Itu adalah kesempatan kita. Menjadi orang yang luar biasa seperti sahabat nabi. Aku akan merasa sangat bersalah jika aku tidak benar-benar menjaga nama itu. Benarkan?”“Benar kek.” Sungguh, saat ini aku ingin menangis. Aku merasa sangat bersalah.“Bagaimana kabar orang tuamu? Semoga baik ya.”“Saya harap kek.”“Eh? Kau kenapa? Ada yang ingin diceritakan? Tak apa.” Sahut kakek dengan Umar itu.            Dia paham akan kegelisahanku. Mimik dan air mukaku yang berubah. Dia mengerti. Sungguh, aku tidak kuat. Kutarik nafas dan hebuskan itu dalam-dalam dan mulai bercerita. Bagaimana kelakuanku, bagaimana aku diusir, aku yang hidup luntang-lantung selama 2 tahun ini, hingga saat ini aku yang merasakan penyesalan. Apakah pendosa sepertiku berhak mendapat kesempatan? Apakah aku pantas?“Bilal.” Aku memandang kakek tersebut dengan wajah yang kacau.“Semua orang berhak mendapat kesempatan. Jangan lupakan Allah yang selalu mencintai hambanya.”“Tapi kek, saya gak pernah sholat, mencuri adalah kegiatan saya sehari-hari, saya minum-minum, berkata tak baik, sampai saya benar-benar melukai hati ibu saya dan berakhir diusir. Saya gak pantas kek.”“Kau sudah mencoba memantaskan diri?”“Hah?” Aku tersadar dengan kata-kata kakek itu.“Cobalah dulu, perbaiki semua hal yang menurutmu salah, sempurnakan perbuatan baikmu, buktikan kepada keluargamu. Semua orang berhak, Bilal.”“Saya berhak?”“Sangat. Sangat pantas. Jika mau memulai, biar kakek bantu. Kakek pemilik masjid itu, datanglah kesana sesukamu, jadikan itu menjadi tempat favoritmu mulai sekarang. mengerti?” Ucapnya denga jari yang menunjuk masjid yang cukup megah diseberang jalan.            Aku mengangguk. Aku senang. Perasaanku lega. 2 tahun ini aku tersesat, tak tau arah, dan terus melawan arus. Hingga perasaan menyesal mulai menghantuiku dan menuntunku bertemu kakek yang bernama Umar ini. Aku menyesal. Sungguh menyesal. Dan sekarang, aku percaya bahwa aku pantas. Pantas mendapatkan kesempatan untuk merubah diriku kembali. Aku yang seorang pendosa ini berhak atas itu.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan