
Mungkin Tuhan bukan tak terlihat—kitalah yang terlalu datar untuk menangkap-Nya. Mungkin √2 itu bukan irasional—logikamulah yang belum naik level. Tulisan ini tak menjelaskan segalanya, tapi bisa merobek batas pikirmu. Berani baca?
Di dunia yang aku tempati, bilangan irasional menjadi batas antara ketahuan dan ketidaktahuan. Ia tak pernah habis, tak pernah selesai, dan tak bisa diungkap seluruhnya. Seperti bayangan dari sesuatu yang sempurna, tapi terdistorsi saat melewati tabir dimensi.
Aku mulai berpikir: bagaimana jika bilangan irasional hanyalah bilangan rasional yang belum selesai kita lihat? Bukan karena mereka tak selesai, tapi karena kitalah yang belum utuh dalam dimensi.
Seperti aku, jika menjadi makhluk dua dimensi, aku hanya bisa melihat gerakan kiri-kanan, atas-bawah. Tapi jika sesuatu datang dari dimensi ketiga, geraknya akan tampak aneh, tak bisa kuprediksi. Pola-pola yang seolah tak logis, karena aku tak punya cukup ruang untuk memahaminya.
Begitulah aku melihat Tuhan. Ia bukan sekadar ahli matematika, tapi pemilik keseluruhan ruang dan waktu, bahkan yang belum kita kenali sebagai “dimensi”. Jika aku menyebut √2 sebagai bilangan irasional, mungkin di mata Tuhan, itu hanya bilangan pecahan sederhana—hanya saja aku tak punya mata untuk melihat bentuk pecahannya.
Kita bilang Tuhan tidak bisa dibuktikan dengan logika. Tapi bisa jadi, logika kitalah yang hanya bekerja di dimensi terbatas, sedang Tuhan adalah sistem utuh tempat semua bilangan kembali rasional, semua gerakan kembali punya pola.
Ketidaksempurnaan kita adalah proyeksi dari kesempurnaan yang dilihat dari sisi miring. Bukan karena sempurna itu tak ada, tapi karena kita melihatnya dari sudut yang belum selesai.
I. Dimensi dan Proyeksi Tuhan
Kita hidup dalam batas. Batas ruang, batas waktu, dan batas nalar. Kita menyebutnya hukum alam, tapi barangkali itu hanya batas pemahaman kita terhadap keteraturan dari dimensi yang lebih tinggi. Seperti makhluk dua dimensi yang tak bisa memahami bola tiga dimensi yang menembus dunianya, kita juga tak bisa memahami sepenuhnya “tangan” Tuhan dalam hidup.
Tuhan, jika Ia ada di luar dimensi, tak terikat oleh waktu yang kita pahami, juga tak terjebak dalam ruang yang kita ukur. Gerakannya bisa tampak acak bagi kita, seperti keajaiban, seperti absurditas. Tapi bagi-Nya, semua sudah teratur dalam koordinat absolut yang kita belum mengerti.
⸻
II. Bilangan sebagai Bahasa Tuhan
Matematika bukan sekadar alat hitung. Ia adalah struktur yang menjelaskan keteraturan semesta. Dari gerakan planet hingga getaran atom, semuanya tunduk pada bilangan.
Bilangan rasional—yang selesai, yang bulat, yang bisa dibagi tepat—adalah bahasa kita.
Tapi bilangan irasional—yang tak selesai, yang terus-menerus, yang tak bisa dipetakan habis—adalah bahasa Tuhan.
Mungkin, bilangan irasional itu hanyalah bilangan rasional yang belum selesai kita baca. Karena kita tak mampu membaca dari dimensi Tuhan.
Seperti √2, π, atau e. Mereka tak bisa habis di dunia kita. Tapi siapa tahu, di tempat yang lebih tinggi, semua itu hanya “1 dari 3 dari 5”—pola sederhana yang tak tampak dalam persepsi kita.
⸻
III. Irasionalitas sebagai Ilusi Perspektif
Kita menyebut sesuatu “tidak masuk akal” ketika ia tak cocok dengan hukum yang kita pahami. Tapi apakah itu benar-benar irasional, atau hanya tidak terlihat utuh?
Irasionalitas bukan kesalahan realitas. Ia adalah bayangan dari sesuatu yang utuh, ketika kita hanya bisa melihat sepotong.
Seperti cahaya yang tampak putih, padahal dipecah jadi pelangi.
Seperti hidup yang tampak acak, padahal menyimpan pola jika kita mundur cukup jauh.
Tuhan tidak irasional. Ia hanya terlalu rasional hingga logika kita memantulkan kebingungan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
