
Which to ask forgiveness for;
For what I am or what I am not?
Which should I regret;
What I became or what I didn’t?
Which to ask forgiveness for;
For what I am or what I am not?
Which should I regret;
What I became or what I didn’t?
***
Aku sekarat.
Terbaring di dasar jurang gelap tanpa bisa merasakan apa pun selain nyeri, itu satu-satunya yang terlintas dalam pikiran Réve. Mata biru kehijauannya menatap langit malam yang makin lama makin memburam. Senyap, hening, tidak ada jeritan. Sepertinya, para pengejarnya tidak bisa menyusulnya sampai ke ceruk lembah.
Mati seperti ini lebih baik, pikirnya. Setidaknya rasanya lebih damai ketimbang berada dalam cengkeraman mereka dan cuma bisa berteriak ketakutan ketika mereka membenamkan taring di leherku.
Maka, Revé memutuskan memejamkan mata. Kebas mengambil alih kepalanya. Pelan-pelan menumpulkan sakit. Gadis itu sudah nyaris benar-benar tidak sadarkan diri hingga lamat-lamat, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dingin yang ganjil turun memberati udara. Réve mengernyit, tapi tidak kuasa membuka mata. Sekujur tubuhnya seolah-olah lumpuh.
“Gadis malang.” Sosok asing bercita kelam itu berjongkok di dekat Réve.
Dari tangan dan kaki yang tergeletak secara tidak wajar, dia langsung tau kalau Réve mengalami patah tulang parah. Darah menggenang di bawah tubuhnya, membasahi hampir seluruh pakaiannya—secarik kain kusam yang kini berwarna merah gelap. Ada rekahan luka di pelipisnya, lecet dan lebam menghiasi tulang pipinya. Kondisinya benar-benar menyedihkan. Dia hanya tinggal selangkah lagi menuju kematian.
Namun sosok itu memutuskan, dia enggan menyerahkan Réve terhadap maut yang sudah menanti. Jari-jari pucatnya yang panjang terjulur, menyentuh dada Réve, tepat di titik di mana detak jantungnya yang lemah bisa dirasakan.
Selama sejenak, cahaya menyelubungi setiap jengkal kulit gadis itu. Lalu, darah yang sudah mengalir tertarik kembali ke dalam tubuhnya bagai pasir-pasir besi yang ditarik magnet. Cahaya itu turut mengatupkan kembali luka-luka yang menganga, memperbaiki tulang-tulang yang patah dan memulihkan lebam yang sudah menggelap. Dalam sekejap, Réve bersih dari luka. Kemudian perlahan, matanya terbuka.
Réve mengerjap, menatap sosok itu takut-takut. “Anda… siapa?”
“Seseorang yang memutuskan dirinya tidak lagi bernama.” Sosok itu menjawab dari balik tudung kelam yang menaungi wajahnya.
Réve tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya ada dua bibir tipis berwarna merah cerah yang terlihat, serta rahang tajam berbungkus kulit pucat. Warnanya mirip cahaya rembulan, membuatnya lebih mirip mayat daripada orang hidup.
“Kamu sudah baik-baik saja.” Sosok itu berujar. “Mereka tidak akan mengejarmu sampai ke lembah ini. Mereka tidak bisa merasakan energimu di sini.”
“Mereka—”
“Mereka yang menyerang desamu dan menewaskan seluruh keluargamu.”
Réve tercekat, dibuat gemetar manakala kengerian itu kembali memeluknya. Sosok itu benar. Desanya baru saja diserang oleh sekelompok orang berjubah hitam. Wajah mereka memesona pada awalnya, begitu indah, membuat orang-orang mengira mereka titisan malaikat. Tapi kemudian, mereka berubah jadi makhluk-makhluk haus darah. Mata mereka menghitam seluruhnya. Taring mereka memanjang. Dan mereka mulai membantai orang-orang. Réve pasti sudah tewas di tangan mereka jika saja ayahnya tidak mengorbankan diri, membiarkan dirinya diserang demi memberi kesempatan Réve berlari pergi.
“Jangan cemas, Nak. Mereka sudah pergi. Mereka sudah menjauh dari sini.” Sosok itu berujar, lantas menyambung. “Sayangnya, tidak ada lagi yang berharga untukmu tertinggal di desa itu. Semua yang ada di desa malam ini sudah tewas.”
Réve mereguk saliva. Duka membanjirinya. “Kalau begitu… kenapa anda menyelamatkan saya? Kenapa anda tidak membiarkan saya mati seperti yang lainnya? Saya sudah nyaris mati—”
“Mati itu mudah. Tetapi, apa kamu rela mati di lembah sepi sementara orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian keluargamu masih bebas dan hidup dengan baik di luar sana?”
Réve membisu, lidahnya terlalu kaku untuk menjawab.
“Tidakkah kamu ingin membalas dendam?”
“Saya—” kata-kata Réve tersendat. “—tentu saya ingin, seandainya saja saya bisa.”
“Seandainya kamu bisa?”
“Mereka makhluk-makhluk aneh. Mereka jelas bukan manusia. Mata mereka begitu hitam, tapi kulit mereka sangat pucat. Dan taring mereka bisa memanjang. Saya tidak tau mereka makhluk apa, tapi saya tidak cukup kuat untuk melawan mereka. Mereka—” Réve menggigit bibir bawahnya sejenak. “—saya juga tidak tau mereka siapa.”
“Tapi kamu berhasil mendapatkan sesuatu yang bisa saja jadi petunjuk tentang siapa mereka sebenarnya, kan?”
“Maksud anda?”
“Di tangan kananmu.”
Di tengah kebingungannya, Réve membuka tangan kanannya yang terkepal. Ada sesuatu tergenggam di sana, sesuatu yang pasti tak sengaja direnggutnya dari salah satu penyerangnya saat dia mencoba meloloskan diri. Benda itu adalah seuntai kalung berliontinkan sebuah simbol asing yang tak dia kenal.
“Simbol itu adalah petunjuk. Jika kamu bertanya pada orang yang tepat, kamu pasti bisa menemukan siapa yang patut disalahkan atas pembantaian di desamu malam ini.”
Réve tercenung, memandangi liontin di tangannya beberapa lama. Di bawah sorot cahaya bulan, simbol berwarna keemasan itu tampak berkilau. Kemungkinan besar, logamnya memang emas sungguhan. Bukan material yang murah, yang berarti, para penyerangnya jelas bukan berasal dari kalangan sembarangan.
“Saya mungkin akan tau, tapi bukan berarti saya mampu.”
“Bagaimana jika aku memberimu kekuatan untuk membalas dendam?”
“Kekuatan?”
“Kamu sendiri yang mengatakan, mereka bukan manusia. Bagaimana jika kubilang aku bisa mengubahmu jadi bukan manusia? Jadi sesuatu yang cukup kuat untuk mengejar dan membalas dendammu pada mereka.”
“Sesuatu… yang bukan manusia?” Réve agak gentar, tapi penawaran sosok itu terasa menggoda. Terutama, jika dia mengingat kembali gejolak keputus-asaan yang membayangi wajah ayahnya, kengerian di paras ibunya serta teriakan ketakutan adik-adiknya.
“Pernah dengar sesuatu tentang makhluk bayangan?”
Réve menggeleng. “Tidak.”
“Penyerangmu adalah makhluk bayangan, dan mereka terhubung pada pemilik simbol yang sedang kamu pegang.” Sosok itu tersenyum miring. “Aku bisa mengubahmu jadi seperti mereka. Aku akan memberikan kekuatanku padamu supaya kamu bisa melawan mereka.”
“Tapi saya tidak ingin jadi seperti mereka—”
“Kenapa?”
Ada kebencian merayapi suara Réve ketika dia menjawab tegas. “Sebab mereka adalah monster.”
“Monster hanya bisa dikalahkan oleh sesama monster, Sayang.”
Réve terdiam.
“Tapi baiklah, jika kamu tidak menghendakinya, aku tidak akan memaksa. Kalau begitu, semoga selamat dan semoga beruntung.”
Sosok bertudung gelap itu bermaksud bangkit, namun Réve tangkas menahan lengannya.
“Tidak, maaf kalau saya menyinggung anda.” Réve segera berujar. “Jika saya bersedia… akankah anda benar-benar melakukannya? Bisakah anda membuat saya jadi sekuat mereka?”
“Tentu bisa, dengan satu syarat sederhana.”
“Syarat apa?”
“Jiwamu akan terikat padaku selamanya… sampai kamu memilih menyerah pada hidup.”
“Maksud anda?”
“Setelah kamu selesai membalaskan dendammu dan menghukum orang-orang yang bersalah atas kematian keluargamu, kamu bebas memilih. Kamu bisa meneruskan hidup dan aku akan senantiasa bersamamu, atau kamu bisa memilih mati dan menyudahi segalanya. Aku tidak akan mengusikmu dalam kematian. Perjanjian kita selesai jika kamu memilih menyerah pada hidupmu.”
“Hanya itu?”
Sosok bertudung kelam itu menyeringai. “Hanya itu.”
***
Coming in July 2023
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
