
“Ada tamu yang sedang menuju ke sini.”
“Tamu?”
“Tamu yang kutunggu.” Basil menyeringai, menebar hawa gelap yang mendirikan bulu kuduk. “Dan sebagai tuan rumah yang baik, aku ingin memberinya jalan masuk yang mudah.”
Di minggu pertama tanpa teman-temannya, hari-hari Risa berlalu selambat siput.
Tidak ada aktivitas yang dirasa cukup menarik untuk dilakukan sendirian. Fakta yang lumayan mengejutkan buat Risa, karena sebelum dia menginjakkan kaki di akademi, dia sudah sangat akrab sama yang namanya kesepian. Hampir sepanjang umurnya, dia tidak pernah punya teman. Tapi cuma dalam beberapa bulan, hidupnya berubah drastis. Risa sudah lupa bagaimana dia menjalani hari seorang diri sebelum dia bertemu teman-temannya di akademi.
Kurang kerjaan bikin Risa jadi sering mampir ke kantin akademi. Meski kegiatan akademi lagi libur, kantin tetap menghidangkan makanan hangat dan kudapan enak untuk para siswa yang tidak pulang ke rumah. Risa bisa menikmatinya sepuas hati. Selain itu, dia juga jadi makin rajin bertandang ke perpustakaan. Beberapa kali, Risa jadi satu-satunya siswa yang berkunjung ke sana, membuat aula luas perpustakaan serasa miliknya pribadi.
Di luar ngemil di kantin atau baca buku di perpustakaan, sepanjang minggu, Risa mengisi waktunya berlatih dengan Alka. Latihan dengan Alka berlangsung intens, dan setiap hari. Latihan dengan Luka beberapa kali, tapi tidak sesering frekuensi latihan dengan Alka.
Pada minggu pertama, sesi-sesi latihan Alka masih fokus menguatkan fisik Risa. Makanya tidak heran kalau di akhir latihan, Risa selalu kembali ke kamar asrama bersama nyeri di sekujur tubuh, setengah lusin memar—kalau dia lagi beruntung, dan telapak tangan penuh lecet memerah hasil menggebuk batu minimal seribu kali. Awalnya, Risa menganggap Alka kelewat sadis karena menggemblengnya bagai menggembleng lulusan sekolah militer yang baru masuk barak. Tapi di penghujung minggu, Risa mengerti kalau dia memang membutuhkan latihan keras seperti yang Alka berikan.
Memasuki minggu kedua, telapak tangannya sudah menebal, membentuk lapisan kasar yang bikin genggaman tangannya ke gagang pedang jauh lebih mantap. Menggebuk batu minimal seribu kali atau berlari mengelilingi akademi dalam tiga puluh putaran tidak lagi membuat tangan atau kakinya pegal dan sakit. Lengannya yang semula lembut dan lunak saat disentuh mulai mengeras.
Sedangkan latihannya dengan Luka…
Di minggu kedua, mereka masih belum berbaikan. Seringnya, Luka hanya bicara seperlunya di setiap sesi. Lelaki itu tidak berusaha menjelaskan lebih jauh tentang hubungannya dengan Reverie atau berusaha meminta maaf. Risa masih terlalu kesal dan gengsi untuk membuka diskusi duluan. Dia juga enggan mengakui kalau dia cemburu sama seseorang yang sudah lama sekali mati.
Akan lebih mudah terus-terusan memasang fasad dingin seakan tidak peduli, andaikan Risa tidak merindukan Luka.
Dia merindukan sentuhan lelaki itu ketika menggandeng tangannya. Pelukan Luka yang sebelumnya selalu menunggunya saat dia terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Kecupan halus di dahi, ujung hidung atau pipinya. Ciuman-ciumannya.
Namun ego memaksa Risa tetap mengunci mulutnya rapat-rapat dan fokus berlatih. Begitu sesi latihan mereka selesai, Risa biasa langsung berlalu pergi tanpa bilang apa-apa. Dan Luka membiarkannya.
Hari ini, Risa punya dua sesi latihan sekaligus dalam jadwalnya. Mulai siang hingga menjelang sore, dia akan berlatih bersama Luka. Dilanjut sesi latihan bersama Alka mulai sore sampai selesai—Alka tidak memberikan batas waktu secara spesifik, jadi Risa rasa, cepat atau lambatnya latihan selesai tergantung pada kemampuannya menyerap apa yang akan Alka ajarkan hari ini.
Dikarenakan tidak punya kegiatan menarik untuk dilakukan paginya, Risa memutuskan singgah ke perpustakaan.
Dia sering ke sana untuk membaca. Mulanya, dia memilih buku secara acak—biasanya karena sampulnya yang indah atau dirasa menarik. Tetapi setelah menemukan sebaris rak penuh buku-buku tentang Panca Aryaka, Legenda Serpentine serta pembahasan tentang Perang Dua Saudara yang terjadi lima abad lampau, rasa penasarannya akan tema yang lebih spesifik sontak terpantik.
Risa tengah duduk menghadapi meja perpustakaan, sibuk membaca buku tebal tentang perang terakhir ketika terdengar denting yang memecah kesunyian.
Refleks, Risa menoleh ke sumber suara.
Rupanya, bunyi tersebut berasal dari serenceng kunci berhias gantungan kristal yang baru saja jatuh ke lantai. Nauli Mahisa tengah membungkuk untuk memungutnya. Gadis berambut panjang itu lalu menoleh ke Risa.
“Maaf karena sudah mengganggu waktu membacamu.”
“Oh, nggak apa-apa. Santai aja.” Risa membalas canggung. “Gue—aku nggak tahu kalau ternyata kamu masih di sini—hn—masih di akademi, maksudku. Bukan berarti nggak boleh, tapi yah—”
Risa mesti jujur, kalau dari sekian banyak sosok yang ditemuinya selama dia berada di Dunia Bayangan, selain Luka, Nauli adalah yang paling mengintimidasi… dalam cara yang berbeda. Dia tidak terkesan bengis nan kaku seperti Luka. Sebaliknya, Nauli jauh kata tersebut. setiap kali melihat Nauli, Risa serasa melihat ke aliran air jernih. Sejuk, murni, bening dan mampu menyembuhkan. Menenangkan. Biasanya, Risa bicara senyamannya pada semua orang. Tapi dengan Nauli, Risa merasa tolol kalau bicara secara tidak sopan.
Dari Alka, Risa tahu kalau bukan karena Nauli, besar kemungkinan dia sudah tewas dengan paru-paru penuh darah. Nauli bukan hanya merawatnya sampai pulih. Gadis itu menyelamatkan nyawanya.
“Alka memintaku tetap di sini.” Nauli menjawab tenang dalam suara sehalus beludru. “Situasinya sedang… susah ditebak. Berada di sini menempatkanku dalam perlindungannya, sekalian jaga-jaga kalau kemampuanku mungkin dibutuhkan lagi.”
“Eh—berarti sekarang kamu bertugas di bagian medis?” Risa menerka.
Nauli tertawa kecil. “Tidak. Aku tidak bertugas di Divisi Medis.”
“Oh… jadi cuma jaga-jaga aja ya? Tapi nggak gabung secara resmi ke bagian medis…” Risa manggut-manggut.
Nauli hanya menatapnya sembari tersenyum penuh arti. “Aku baru tahu kalau kamu suka membaca.
“Lagi gabut aja.” Risa mengangkat bahu, lalu cepat-cepat memperjelas kalau-kalau Nauli tidak tahu arti gabut. “—maksudku, aku nggak ada kerjaan selain latihan. Teman-temanku pada pulang ke rumah masing-masing. Aku sih kepengennya pulang juga, tapi nggak dikasih izin. Di sini nggak ada internet dan handphone. Jadi kalau bosan, pilihanku cuma ke sini, atau ke kantin.”
“Keberatan kalau aku duduk di dekatmu?”
“Eh?” Risa mengerjap. “Hng—nggak apa-apa sih.”
Nauli tersenyum lembut, lantas menghampiri Risa dan menarik salah satu kursi. “Lagi baca apa?” tanyanya seraya melirik ke buku tebal yang terbuka di depan Risa.
“Di sini sih tulisannya buku sejarah. Tapi waktu baca, aku kayak lagi baca dongeng. Cerita rakyat. Sejenis itu.” Risa mengangkat bahu. “It feels unreal.”
“Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Pertama, karena orang-orang yang terlibat di sini—” Risa menghela napas. “Alka… Adya… Raga…” Risa mereguk saliva. “—Benji. Semuanya nama-nama yang familiar. Nama orang-orang yang pernah berdiri di depanku dan aku ajak ngomong. Kayak… aku susah percaya kalau aku pernah ngomong sama mereka yang udah hidup… segitu lama. Dan mereka ngelewatin kejadian-kejadian yang selama ini kukira cuma bisa dilihat di adegan film-film perang atau film-film tentang sejarah zaman dulu.”
Nauli tertawa kecil. “Ah ya, aku paham.”
“Aku juga nemuin nama kamu di sini.”
“Oh ya?”
Risa mengangguk. “Di sini… dituliskan kalau kamu… sahabatnya Nevna.”
“Ah ya, Nevna Idrial.” Ada secercah rindu yang meletup di mata Nauli sewaktu dia menyebut nama Nevna. “Gadis yang menyenangkan. Membara seperti api. Amat berani. Sayangnya, tulisan-tulisan yang ada mereduksinya jadi sebatas gadis cantik pemicu perang saudara. Dia selalu lebih dari itu. Dia orang tercerdas sekaligus teman terbaik yang pernah kupunya.”
Risa menatap Nauli penuh simpati.
“Saat pertama kali bertemu denganmu, jujur saja, kamu mengingatkanku padanya.”
“Oh ya?”
“Bukan karena kalian mirip secara fisik. Satu-satunya yang sama dari kalian hanya rambut yang hitam.” Nauli tertawa kecil. “Tapi keberanianmu mengingatkanku pada keberaniannya.”
“Aku nggak—” Risa agak malu. “—kurasa aku nggak seberani itu.”
“Kamu menempatkan dirimu di antara belati Benji Agnimara dan Luka Diwangka. Tidak semua orang cukup bernyali melakukannya.”
“Itu refleks—karena aku—”
“—mencintai Luka? Aku tahu. Nevna juga begitu.” Nauli berkata. “Tapi apa yang ditulis di buku itu tidak akurat. Kisah-kisah yang ditulis tentang kami setelah perang seluruhnya adalah interpretasi orang luar yang bersumpah setia pada trah Diwangka. Kami terlalu sibuk bergulat dengan mimpi buruk dan trauma pasca perang. Tidak pernah terpikir bagi kami untuk mencatatkan apa yang sebenarnya terjadi ke dalam lembar-lembar sejarah.” Nauli lanjut menjelaskan. “Kisah tentang Panca Aryaka dan perang itu baru mulai dikumpulkan dan ditulis hampir lima dekade setelah perang berakhir. Dilakukan atas perintah Lucien Diwangka, mendiang kakek Luka. Sepanjang lima dekade setelah perang, kisah tentang Panca Aryaka dan Perang Dua Saudara beredar dari mulut ke mulut dan ditambahi banyak bumbu-bumbu.”
Risa menyimak tanpa menyela.
“Kecuali singa mampu menulis, setiap kisah akan selalu mengagungkan pemburu.” Nauli berkata muram. “Pemenang sesungguhnya dari perang terakhir adalah trah Diwangka. Alka menolak naik tahta. Keputusan yang kupahami. Kehilangan Adya dan Nevna sekaligus menghancurkannya. Kekosongan pemerintahan menyebabkan pergolakan yang mengacaukan situasi. Di tengah kekacauan itu, Lucien Diwangka muncul bagai juru selamat. Dia tangkas menyambar peluang dan membereskan kekacauan. Situasi kembali stabil. Dan tentu saja, semua yang ditulis di buku-buku itu adalah sisi sejarah yang sengaja didistorsi demi keuntungan trah Diwangka selaku penguasa yang baru. Sejarah menjadi alat untuk mengukuhkan dominasi dan wewenang mereka.”
“Kalau gitu…” Risa menutup bukunya. “Cerita yang sebenarnya… kayak apa?”
“Sungguh-sungguh ingin tahu?”
Risa mengangguk.
“Kenapa?”
Karena gue kepengen kenal sisi Basil yang itu. Kalau gue tahu kehidupan Basil yang sebelumnya kayak gimana… mungkin… gue bisa mengerti kenapa dia melakukan apa yang dia lakukan. Mungkin… gue bisa menebak apa yang sebenarnya dia mau dan apa tujuan yang mau dia capai.
“Cuma pengen tahu aja.”
“Bukan karena kamu masih susah menerima fakta bahwa Benji Agnimara yang kamu anggap sebagai temanmu ternyata menginginkanmu mati?”
Tembakan yang menghantam tepat di jantung.
Risa mereguk saliva. “Nggak juga. Just in case kamu belum tahu, Alka lagi ngajarin aku okulis. Dia lumayan menyenangkan dan seru diajak ngobrol kalau kita nggak lagi latihan. Aku cuma pengen kenal dia lebih jauh. Tapi nanya langsung kayaknya kurang sopan. Aku nggak tahu mana topik yang oke buat diomongin, dan mana topik yang terlalu sensitif.”
“Hm, begitu ya?” Nauli memiringkan wajah. “Perangnya sendiri sederhana. Dimulai ketika Aelodra Wiranata tewas oleh sebuah penyergapan yang dilakukan para shloka.”
Shloka. Para pemburu bayangan.
Desir dingin seketika menuruni punggung Risa. Tanpa permisi, kenangan tentang malam di mana Nedia tewas mendatangi benaknya. Risa kembali mendengar suara tulang yang dipatahkan dan jerit kesakitan Basil di telinganya.
“Aelodra Wiranata adalah ibu Adya dan Alka. Para shloka menyergapnya karena dia masuk ke wilayah kekuasaan mereka, tepat di perbatasan antara Tanah Senja dan teritori bangsa kita. Kehadiran manusia yang terlibat di antara mereka membuat para shloka lebih beringas dari biasanya.”
“Manusia?”
“Anak kecil yang baru berumur delapan tahun. Dia adalah salah satu penumpang sebuah kapal yang karam di Samudra Hindia. Anak kecil dari Dunia Terang, yang entah bagaimana berhasil menembus portal dan terdampar di dunia kita. Dari semua tempat, dia tersesat di perbatasan dengan Tanah Senja. Dari semua orang, Aelodra Wiranata yang berada di sana. Tidakkah mencurigakan?”
Nauli meneruskan kisahnya.
“Anak itu linglung, kelaparan dan dehidrasi, serta penuh kutu dan luka di mana-mana. Aelodra yang penuh belas kasih tidak tega membiarkannya begitu saja. Dia nekat melintasi perbatasan untuk membawa anak itu ke dalam perlindungannya. Tentu saja, Windu Mainaki langsung tahu ketika ada serpent yang melanggar batas wilayah. Para shloka tercipta untuk melindungi manusia dari makhluk-makhluk seperti kita. Jelas, mereka menganggap Aelodra ancaman. Mereka menyerangnya tanpa ampun. Aelodra tewas.”
Risa memucat. “Terus… anak itu… gimana?”
“Berhasil melewati garis batas menuju teritori para serpent. Beberapa askar Liwa menangkapnya. Dia sempat diinterogasi. Aku yang merawatnya sampai pulih dan memulangkannya ke Dunia Terang setelah sebelumnya menghapus ingatannya tentang dunia kita. Dan itu baru permulaan.” Nauli menerawang. “Shiloh Wiranata yang berkuasa di masa itu amat patah hati karena ditinggal pasangannya. Duka mendorongnya turun tahta. Sesuai tradisi, anak sulungnya, Adya yang menggantikannya. Tetapi sudah jadi rahasia umum kalau dewan penasehat dan para tetua lebih menyukai Alka daripada Adya. Alka lebih ramah, lebih pandai bergaul dan lebih terkenal di kalangan bangsawan.”
“Mereka mulai menanamkan keraguan di antara dua bersaudara. Situasinya jadi makin runyam sewaktu Adya jatuh cinta pada Nevna. Seperti domino, Nevna tidak membalas perasaannya dan justru jatuh cinta pada Alka. Penolakan Nevna susah diterima, jadi Adya mencoba memaksanya. Dan ketika itulah, Alka ikut campur. Alka menyayangi mereka berdua, menyayangi Nevna dan Adya sama besarnya. Keduanya adalah orang-orang terdekat Alka. Orang-orang yang dikenalnya sejak lahir, dan mereka tidak pernah terpisahkan.”
Muram di mata Nauli makin pekat.
“Perang dimulai. Mudah sekali. Sebagian dari kami mendukung Adya. Sebagian lagi berpihak ke Alka dan Nevna. Dewan penasehat dan para tetua mendukung Adya di awal, tapi di penghujung akhir perang, mereka berbalik memihak Alka. Salah satu anggota dewan penasehat mencoba membunuh Adya, tapi Nevna melindunginya. Bagaimana pun juga, Adya tetap teman baik yang Nevna sayangi.”
Risa membisu, tapi dia bisa membayangkan seperti apa tragedi yang terjadi.
“Keberanian Nevna membunuhnya.” Nauli mengenang. “Kematiannya membuat Adya murka. Dia berusaha menghancurkan semua yang ada di dekatnya tanpa pandang bulu. Dia tidak bisa berhenti. Dia tidak ingin berhenti. Alka terpaksa menikamnya dengan pedang untuk menghentikannya.”
“Tapi, kalau gitu, kenapa Adya—”
“Itu misteri yang harus kamu tanyakan ke Benji Agnimara, karena baik aku maupun Alka juga tidak mengerti bagaimana Adya bisa muncul lagi.” Nauli tersenyum tipis. “Perang Dua Saudara berlangsung selama dua setengah tahun. Perang panjang yang menewaskan dan merenggut banyak yang berharga dari kami.”
“Ceritanya beda dari yang ditulis di sini.” Risa mengetuk permukaan keras sampul buku di depannya. “Kenapa kalian nggak coba meluruskan? Ngasih tahu orang-orang cerita yang sebenarnya.”
“Buat apa?” Nauli balik bertanya. “Kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Kami terlalu sibuk melawan mimpi buruk kami sendiri. Kami tidak punya waktu memikirkan reputasi. Kejadiannya sudah berlalu. Tidak ada yang berubah. Begitu trah Diwangka berkuasa, kami memutuskan menarik diri. Perang merenggut segalanya. Tidak ada pemenang. Yang ada hanya orang-orang yang terluka dan disiksa kehilangan.”
Risa tidak menyahut.
Sejenak kemudian, Nauli beranjak, beralasan dia baru ingat ada urusan yang mesti dia tuntaskan. Risa membiarkan gadis itu pergi, terus beranjak dan mengembalikan sisa bukunya ke rak. Dia beralih mengambil buku tipis bersampul kelabu yang ternyata berisikan paragraf-paragraf pendek mirip puisi.
Risa membaca hingga dia berhenti di suatu halaman berisikan dua baris kata-kata milik seorang filsuf bernama Pindar;
War is sweet to those who have no experience of it. But the experienced man trembles exceedingly in his heart at its approach.
***
Menjelang pukul sebelas siang, Risa sudah berada di lapangan belakang akademi untuk memulai sesi latihannya bersama Luka.
Mereka sudah meninggalkan fase latihan yang berhubungan dengan energi dan Arx. Kini, Luka lebih banyak membahas teknik-teknik dasar dalam pertarungan fisik. Biasanya dimulai dengan gambaran teoritis yang dilanjut sparring untuk memastikan Risa memahami teknik-teknik dasar yang baru diajarkan.
“Memahami teori membantu seorang petarung menyusun strategi, tapi ketangkasan, stamina dan kecepatan hanya bisa dibentuk dari pertarungan.”
Demikian yang Luka katakan. Makanya, Risa tidak heran ketika sesampainya di sana, Luka sudah menunggunya bersama dua bilah pedang. Pedang sungguhan bermata tajam, bukan pedang kayu yang sering digunakan Alka untuk melatih genggaman tangannya.
“Kamu kelihatan pucat.” Luka berkomentar saat Risa sudah cukup dekat. “Ingat apa yang kubilang soal pentingnya istirahat yang cukup?”
“Semalam gue mimpi buruk.” Risa membalas singkat.
Dia tidak berbohong. Sepanjang siang hingga petang kemarin, dia menghabiskan waktunya menggebuk batu memakai pedang kayu sebanyak 1.500 kali. Diteruskan memanjat tebing di dekat danau setidaknya dua jam penuh. Mestinya dia bisa tidur nyenyak saking lelahnya. Tapi mimpi buruk yang mendatanginya membuat tidurnya tidak lelap. Sosok bertudung hitam itu kembali muncul.
Dalam mimpinya, sosok itu mengejeknya.
“Gadis bodoh! Kamu tolol kalau kamu marah pada pemuda itu karena Reverie.”
Risa balik bertanya. “Sebenarnya kamu siapa?”
Jawab yang terlontar penuh misteri. “Kamu akan tahu siapa aku. Sebentar lagi. Bersabarlah.”
Lalu, Risa terbangun di atas tempat tidurnya dalam kondisi menggigil dan bermandikan peluh.
“Mimpi apa?” Luka bertanya, membuat Risa mengerjap.
“Nggak minat bahas.”
“Trisha—”
“Bisa nggak, kita langsung mulai aja latihannya?”
Luka menarik napas dalam-dalam. Kentara sekali, dia berusaha menyabarkan diri. Diulurkannya salah satu pedang yang masih terbungkus sarungnya ke Risa.
“Kita akan berlatih menggunakan senjata hari ini. Teknik pertarungan tangan kosongmu sudah cukup bagus. Waktunya belajar menggunakan senjata dengan benar. Bertarung menggunakan tangan kosong harus selalu jadi pilihan terakhir, hanya dipakai saat kamu tidak punya senjata. Senjata membantumu menciptakan serangan fatal dengan tenaga yang lebih kecil dibanding tangan kosong. Bisa dimengerti?”
Risa mengangguk.
“Ada sepuluh dasar teknik pedang yang harus kamu kuasai. Kita akan mulai dari yang pertama.” Luka memantapkan genggamannya ke gagang pedang. Tangannya bergerak tangkas menebaskan pedangnya ke udara.
Risa terkesiap sejenak.
Dia sudah pernah melihat Luka menggunakan busur dan anak panah, serta menyaksikannya bertarung melawan Basil dengan tangan kosong. Tapi caranya mengayunkan pedang barusan terlihat amat indah. Serupa koreografi sarat estetika namun mematikan.
“Teknik yang baru kutunjukkan adalah tebasan. Tebasan bisa dilakukan secara vertikal maupun horizontal. Targetnya biasanya adalah kepala, lengan atau kaki lawan. Pedangmu harus bergerak seperti ini—” Luka mengayunkan pedangnya sekali lagi. “Sekarang, coba lakukan.”
Risa meniru gerakan yang sebelumnya Luka demonstrasikan.
“Sekali lagi.”
Penuh kepatuhan, Risa mengulang gerakannya.
Luka mendekat, lantas menempatkan dirinya di belakang Risa. Dia meluruskan kedua tangan Risa dan mengoreksi posturnya. “—dari bawah sini ke—” Tangannya berpindah ke atas tangan Risa yang yang menggenggam gagang pedang. “—kiri atau kanan. Seperti ini. Gunakan tenagamu. Gerakan yang tajam dan presisi. Segera setelah kamu menebas, langsung tarik tanganmu dan kembali ke posisi semula—” Luka menarik tangan Risa. “—seperti ini.”
Luka sangat dekat. Wangi petrikor yang selalu menyertainya membungkus Risa bagai mantel hangat. Risa jadi susah berkonsentrasi. Segalanya terasa makin sulit manakala Luka membungkuk di dekat telinganya, berbisik dalam suara berat yang membuat Risa menelan saliva.
“Bisa dipahami?”
Frekuensi detak jantung Risa meningkat pesat.
“Trisha,” Luka memanggil lembut dalam suara tegas. “Aku bicara padamu.”
“—bisa.”
“Kalau begitu, lakukan.”
Risa mengeratkan genggamannya di gagang pedang. Dia kembali mengayunkan pedangnya—lebih bertenaga dan sarat presisi dibanding sebelumnya.
“Begitu lebih baik.” Luka mengangguk seraya melangkah menjauh. Risa kecewa, mendadak merasa hampa. “Teknik selanjutnya adalah tusukan. Teknik ini digunakan untuk menikam dada atau wajah lawan. Tusukan termasuk teknik paling dasar dalam adu pedang dan sering dipakai untuk menyerang lawan dari kejauhan. Sumber tenaga serangan ini adalah momentum dan kekuatan otot kaki saat mendorong pedang ke arah lawan. Begini—” Luka mengambil langkah mundur menggunakan kaki kirinya. “—dan dorong pedangmu ke depan. Dampak tusukan akan makin fatal jika kamu mengalirkan energi magis dari Arx ke sepanjang bilah pedangmu. Bisa dimengerti?”
Risa mengangguk.
“Jawab yang benar.”
Risa hampir memutar bola matanya. “Bisa dimengerti.”
“Lakukan.”
Risa melakukan beberapa kali gerakan menusuk sampai Luka lagi-lagi menghampirinya. Laki-laki itu kembali memperbaiki posturnya, serta membimbingnya menusukkan mata pedang menembus udara kosong. Risa pusing. Dia tidak bisa fokus pada apa pun selain sentuhan Luka di bahunya, tangan, lengan.
Dia ingin berbalik dan memeluk Luka.
Bagian menyebalkannya, Luka tampak seolah-olah tahu efek macam apa yang sentuhannya timbulkan pada Risa. Dia terus melakukannya di teknik-teknik selanjutnya. Ujung-ujungnya, akumulasi rasa kesal dan mumet membuat Risa meledak juga.
“Lo sengaja ya?!”
Luka mengangkat alis. “Sengaja apanya?”
“Sengaja banyak megang-megang gue!”
“Aku menyentuhmu untuk mengoreksi caramu memegang pedang, atau postur tubuhmu. Postur yang tepat sangat penting, karena akan sangat berpengaruh terhadap daya rusak serangan yang kamu lepaskan. Meleset sedikit, kamu bisa gagal membidik jantung. Dan dalam pertarungan sungguhan, kegagalan bisa berarti maut.”
“Lo jelas sengaja—”
“Memangnya kenapa?” Luka memiringkan wajah. “Kamu tidak suka kalau kita terlalu dekat?”
“Cara lo megang gue bikin gue nggak nyaman!”
“Aku menyentuhmu secara professional.”
“Lo bikin gue nggak fokus!”
“Kalau begitu, salahmu karena tidak bisa professional.” Luka menyahut arogan, yang mengingatkan Risa pada bagaimana laki-laki itu bicara padanya di pertemuan resmi mereka yang pertama.
“Bukannya kebalik?! Lo yang nggak professional di sini!”
“Aku sepenuhnya professional. Kamu bisa panggil siapa pun ke sini untuk mengawasi jalannya latihan kita, kalau diperlukan. Biar mereka yang menilai siapa di antara kita yang tidak professional.”
Risa berjuang keras menahan diri untuk tidak mempraktekkan gerakan menusuk yang tadi Luka ajarkan detik itu juga. “Terserahlah! Gue nggak tertarik buang-buang energi dan berdebat sama lo! Sekarang, lanjutin aja latihannya!”
“Masih ada enam teknik lagi. Semuanya akan melibatkan lebih banyak sentuhan. Kalau kamu tidak bisa professional, kurasa sulit melanjutkan latihannya.
Muka Risa memerah. “Gue professional—”
“Atau kita bisa berhenti latihan sebentar dan membicarakan apa yang perlu dibicarakan.”
“Kayak apa misalnya?” Risa menyipitkan mata.
“Misalnya… soal rasa cemburumu yang tidak masuk akal.”
“Gue nggak cemburu!”
Luka balas mencemooh. “Oh ya, jelas sekali kamu tidak cemburu.”
Ejekan Luka membuat Risa naik pitam. Emosinya melesat naik sedemikian cepat. Tanpa pikir panjang, Risa melempar pedangnya ke rumput. Kedua tangannya terkepal sangat kuat sampai-sampai buku-buku jarinya memutih.
“Lo mau berantem?!” bentaknya keras.
“Well? At least fighting sounds a lot better than silent treatment.” Luka ikut-ikutan melempar pedangnya ke rumput.
Risa mengatur napasnya. Dia tidak ingin kehilangan kendali. Jika dia menyerang Luka secara membabi-buta, dia pasti kalah. Luka selalu unggul darinya soal kekuatan fisik. Lelaki itu minimal dua puluh senti lebih tinggi. Otot-ototnya terbentuk sempurna. Namun kalau Risa kalah, harga dirinya akan hancur terinjak. Risa tidak akan membiarkan itu terjadi.
Lagian, waktu duel kita yang pertama, gue berhasil menang kan?! Gue pasti bisa menang lagi kali ini!
Akan tetapi, berbeda dari duel mereka yang pertama, kali ini Luka menyerang lebih dulu. Tinju dan tendangannya melayang, berkekuatan penuh. Risa berkelit gesit. Sekuens pertarungan yang sama terus berulang selama bermenit-menit. Luka menyerang, Risa menghindar. Dia sengaja membiarkan Luka menyerang sesuka hati, berharap frustrasi akan membuat Luka lengah. Dan ketika Luka lengah, barulah Risa bakal balik menyerang.
Sayangnya, Luka bisa membaca strategi Risa dengan mudah.
Di suatu momen, laki-laki itu melepas makian pendek nan lirih, kemudian menerjang Risa dan menjatuhkannya ke tanah berumput. Risa tersentak kesakitan ketika siku Luka menghantam rusuknya. Udara seakan-akan dipaksa keluar dari paru-parunya. Nyeri menyebar, tetapi Risa tidak punya waktu merintih. Mengabaikan rasa sakit, Risa menggeliat, menggerakkan pinggulnya. Dia sempat mencoba mengunci kakinya di sekeliling pinggang Luka, namun perbedaan ukuran tubuh mereka tidak memberi Risa keuntungan sama sekali.
Luka memakai bobot tubuhnya untuk menahan pinggul Risa supaya tidak bisa bergerak. Tangan kanannya bergeser naik, menahan tangan kiri Risa di tanah. Tangan kirinya menekuk siku kanan Risa ke dalam, membuat gadis itu sepenuhnya terjebak.
“Get off of me.” Risa mendesis marah pada Luka yang kini berada di atasnya, sempurna menindihnya.
Luka tersenyum miring, lalu meminimalisir jarak di antara wajah mereka. Ujung hidungnya dan ujung hidung Risa hampir bersentuhan. “Do you yield?”
Pertanyaan itu menyulut amarah Risa. Enggan langsung menyerah, Risa mencoba mendorong, menendang Luka agar menyingkir darinya. Tidak berhasil. Dada Luka malah menekan makin kuat ke dadanya.
Luka menggeser bibirnya ke dekat telinga Risa, berbisik dalam suara yang membuat bulu kuduk Risa meremang. “Yield first, Trisha.”
“Fuck you!” Risa berseru, berang pada Luka dan ada dirinya sendiri. “Oke! Gue kalah! Sekarang menyingkir!”
Luka malah ganti memandangnya dalam-dalam.
“Apa?!” Risa melotot. “Menyingkir! Badan lo berat! Gue hampir nggak bisa napas—”
Segera, Luka melepaskan genggamannya dari tangan Risa. Risa cepat-cepat beranjak. Pergelangan tangan kirinya sakit. Ada cap merah bekas jari Luka di sana.
Risa melotot kesal. “Apa?! Ngelihatin gue sampai segitunya!”
Luka mengerjap. “Tidak apa-apa.”
“Freak.”
Luka berdeham. “Karena kamu kalah, aku berasumsi latihannya tetap dilanjutkan. Dan aku bebas menyentuhmu sesuka hatiku—dan secara professional.”
“Terserahlah.”
Sepanjang sisa latihan, Risa merutuki dirinya sendiri karena tubuhnya tidak kunjung berhenti mengingatkannya akan betapa dia merindukan peluk-cium dari Luka.
***
“Muka lo merah.”
Komentar Alka menyambutnya segera setelah Risa menginjakkan kaki di atrium akademi.
Atrium akademi berbentuk lingkaran, berada di jantung kompleks bangunan akademi sebagai titik temu delapan koridor utama. Atrium dinaungi atap yang disokong pilar-pilar tinggi penuh ukiran. Sebagian besar adalah rajahan simbol yang tidak Risa ketahui maknanya. Bentuknya semi terbuka.
Di hari-hari biasa, atrium nyaris selalu dipadati para siswa yang mengobrol atau membaca buku seraya menunggu kelas mereka dimulai. Tapi di waktu liburan seperti sekarang, atrium kosong-melompong. Hampir tidak pernah dilalui orang. Sebagian kecil siswa yang tidak pulang di waktu liburan lebih suka menghabiskan waktu luang mereka di kantin, atau sekalian saja jalan-jalan ke Desa Arati.
Risa tidak menjawab, jadi Alka berujar lagi. “Lo kelihatan marah.”
“Gue habis latihan sama Luka.”
“Oh. Masih berantem?”
“Nggak berantem.” Risa berkilah. “Cuma lagi malas ngomong aja.”
“Kata Lara, lo marah sama Luka karena cemburu.”
“Nggak cemburu!”
Alka menyipitkan mata. “Baguslah kalau nggak cemburu. Berarti Lara salah. Cuma ya, kalau ternyata beneran kalau cemburu, jangan terlalu dipikirin. Laki-laki memang punya kecenderungan mendua. Apalagi kalau dia cakep.”
“Berarti lo juga termasuk?” Risa balik bertanya, mukanya masam.
“Jadi lo menganggap gue cakep?”
“Semua orang yang punya mata juga tahu kalau itu fakta.” Risa mendengus. “Bisa kita berhenti bahas urusan pribadi gue dan langsung ke intinya? Kita di sini buat latihan, kan?”
“If you say so.” Alka mengambil dua tongkat kayu yang disandarkan di salah satu pilar. Tongkat itu berdiameter sekitar lima sentimeter—yang menurut Risa, mirip tongkat pramuka. Kedua ujungnya sama-sama tumpul.
Berarti, kemungkinan cedera yang bakal gue dapat setelah latihan ini selesai nggak akan jauh-jauh dari memar. Kalau lagi hoki. Kalau lagi apes… seenggaknya tulang yang retak.
Sebisa mungkin, Risa akan berusaha menghindari mematahkan tulangnya. Tubuhnya cepat pulih, tapi tetap saja menyakitkan.
“Hari ini, kita akan belajar dasar-dasar okulis.”
“Oh?” Risa mengerjap. “Akhirnya.”
“Jangan senang dulu. Baru dasar.”
“Nggak apa-apa. Seenggaknya lebih seru daripada mukul batu pakai pedang kayu.” Risa mencibir.
Alka berdecak, lantas memulai penjelasannya. “Seperti yang sudah lo tahu, okulis adalah kemampuan magis istimewa yang berhubungan dengan penglihatan. Cuma anggota keluarga Panca Aryaka yang punya kemampuan ini. Okulis nggak bisa dipindahkan atau ditransfer. Hanya bisa didapat berdasar keturunan, lewat pertalian darah.”
“Berarti kalau nanti lo punya anak, anak-anak lo bakal punya okulis juga?”
“Kemungkinan besar iya, meski nggak selalu.”
“Maksudnya?”
“Misalnya, gue punya tiga anak. Dua dari tiga bisa aja punya. Salah satu bisa aja nggak punya. Gen yang membawa kemampuan okulis tergolong gen dominan, tapi bukan berarti peluang pewarisannya selalu seratus persen.”
“Kasihan banget tuh satu anak yang nggak dapat. Bakal dikira anak pungut nggak?”
“Itu udah beda kasus dan nggak berhubungan sama apa yang mau kita pelajari hari ini.” Alka menjentikkan jarinya. “Fokus ke bagian yang penting!”
Risa memberengut. “Bercanda dikit masa nggak boleh?”
“Nggak.” Alka melanjutkan paparannya. “Saat diaktifkan, okulis bisa membuat serangan penggunanya lebih letal. Tapi umumnya, orang-orang menakuti pengguna okulis karena mereka bisa menyusup masuk ke Arx makhluk bayangan lain tanpa permisi. Arx susah ditembus dari luar, tapi sangat gampang dihancurkan dari dalam. Arx adalah tumit Akhilles kita. Kelemahan sekaligus kekuatan terbesar yang kita punya.”
“Selain itu, okulis bisa ngapain lagi?”
“Kemampuan ini bisa berfungsi sebagai amplifier. Penguat dari kemampuan magis lo. Anggaplah, tanpa okulis, pukulan lo mentok-mentok cuma bisa mematahkan satu-dua tulang rusuk lawan lo. Tapi kalau lo memukul dalam kondisi okulis aktif, pukulan itu bukan hanya akan mematahkan tulang rusuk. Pukulan itu bisa meremukkan lawan lo. Menewaskannya seketika.”
“Masa iya?”
“Perhatikan baik-baik.”
Alka mendekati boneka sasaran tinju dari kayu yang berada di dekat pilar. Dia menariknya ke hadapan Risa. Lalu, lelaki itu mengambil sikap siap menyerang. Tangannya terkepal, mendarat keras di bagian dada boneka. Retakan memanjang langsung muncul di tempat yang baru saja Alka tonjok.
“Tanpa okulis. Cukup jelas?”
Risa mengangguk.
Alka kembali mempersiapkan tinjunya. Kali ini, matanya yang biasa cokelat memendarkan warna biru cerah. Warnanya amat pucat, sampai hampir abu-abu. Kepalan tangan Alka mendarat agak di bawah titik yang dia hantam sebelumnya. Sesaat, yang ada cuma hening. Tiada retakan yang muncul. Tak ada bekas yang tertinggal.
Kemudian, dalam hitungan detik, derak keras memecah kesenyapan. Boneka kayu tersebut bukan hanya retak. Boneka itu remuk, luruh dalam bentuk bongkahan-bongkahan dan pasir kayu ke lantai atrium. Risa tercekat, menatap nanar ke bongkahan-bongkahan yang berkelotak jatuh di dekat kakinya. Perutnya tiba-tiba mual. Dia bisa membayangkan apa jadinya kalau boneka itu terbuat dari daging dan darah.
“Dengan okulis.”
“Mengerikan.”
“They don’t fear us for nothing.”
Risa mengalihkan pandangannya ke Alka. Mata lelaki itu sudah kembali ke warna cokelat gelap.
“Okulis dipercaya dianugerahkan langsung oleh Serpentine kepada Basri Agnimara, kepala keluarga Agnimara yang pertama. Setelah itu, Basri memecah kekuatan okulis menjadi lima. Setiap pecahannya dibagikan pada empat pemimpin keluarga-keluarga Panca Aryaka yang lain, lewat sebuah ritual khusus. Dengan kata lain, yang baru lo lihat cuma seperlima dari kekuatan sejati yang mestinya dipunya okulis.”
“Kenapa dia ngebagi kemampuan itu ke pemimpin keluarga-keluarga lainnya?” Risa jadi penasaran.
“Untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Menyimpan kekuatan yang sangat besar untuk diri sendiri bukan hanya menimbulkan iri dan dengki, tapi juga kecurigaan. Dan napsu untuk menjatuhkan. Demi perdamaian, Basri Agnimara memutuskan berbagi.” Alka menyambung. “Mau tahu kenapa pemilik okulis bisa menyusup ke Arx makhluk bayangan lain tanpa izin?”
“Kenapa?”
“Arx adalah pusat energi kita. Untuk mengalirkan energinya keluar, setiap Arx punya pintu dan saluran yang disembunyikan pemiliknya, baik secara sadar maupun nggak sadar. Pintu Arx disegel menggunakan energi paling murni pemiliknya. Segel energi tersebut juga berfungsi kayak semacam kunci yang membuat pintu Arx tersembunyi. Kunci yang menghalangi tamu nggak diundang supaya mereka nggak bisa masuk.”
“Dan segel tersebut nggak ngefek ke orang-orang yang punya okulis?” Risa menebak.
“Pintar.” Alka tersenyum, membuat desir kebanggaan pelan-pelan merayapi dada Risa. Rasanya menyenangkan dipuji seperti itu. “Okulis adalah kemampuan visual yang bikin kita bisa melihat apa yang nggak bisa dilihat oleh dua mata kita yang biasa. Termasuk pintu Arx yang disembunyikan memakai segel energi. Karena kita bisa menemukan pintu itu, kita bisa masuk ke Arx makhluk bayangan lain secara leluasa.”
“Oh… oke…” Risa manggut-manggut.
“Sampai di sini, konsep dasarnya bisa dimengerti?”
“Bisa.”
“Kalau gitu, kita bakal lanjut. Sekarang, waktunya sparring—” Alka memungut tongkat dari lantai, memberikan salah satunya ke Risa. “Gue dengar, hari ini Luka ngajarin lo teknik-teknik dasar pedang. Makanya, untuk sparring kali ini, gue prefer kita pakai tongkat kayu.”
Risa mengambil alih tongkat dari tangan Alka. Tongkat itu berat. “Tongkatnya berat banget?!”
“Sekalian untuk menguji fisik lo.”
“Tsk.” Risa berdecak, agak bete. “Langsung mulai sekarang?”
“Belum.”
Alka merogoh saku celananya, mengeluarkan dua helai kain hitam panjang. Dia menggunakan sehelai kain untuk menutup matanya.
“Pakai penutup mata?”
“Untuk melatih okulis lo, dua mata lainnya harus di-non aktifkan sementara.” Alka mengikat simpul di belakang kepalanya, terus lanjut meluruskan sehelai kain yang tersisa. “Pejamkan mata lo.”
“Emangnya lo bisa—”
“Mata gue yang biasa lagi nggak berfungsi, tapi okulis gue sudah aktif. Gue bisa melihat lo sejelas ketika mata gue nggak ditutup. Sekarang, silakan mingkem dulu. Sekaget-kagetnya lo, anak gadis mestinya nggak mangap lebih dari sepuluh detik.”
Spontan, Risa menutup mulut.
Dia menelan saliva manakala pandangannya dibutakan oleh sehelai kain hitam. Alka memastikan simpul di belakang kepalanya cukup kuat agar tidak mudah lepas.
“Bisa kita mulai sekarang?”
“Bisa.”
Alka menyerang lebih dulu. Pukulan-pukulannya penuh energi dan sarat presisi. Dibanding sparring, apa yang terjadi lebih mirip pembantaian. Risa tidak berdaya, hanya bisa meraba-raba buta dalam gelap sementara Alka menghajar lututnya, bagian samping torsonya, pundaknya. Berkali-kali. Gerakan Alka sangat tangkas. Lelaki itu menciptakan kelebat angin yang berembus samar di tengkuk Risa sebelum bahunya lagi-lagi dihajar ujung tumpul tongkat kayu. Risa mendesis kesakitan, mulai kesal. Gerakannya yang mulanya cukup hati-hati mulai membabi-buta.
“Emosi berlebih nggak akan bikin lo memenangkan pertarungan.” Risa menoleh ke kiri dan ke kanan, kesulitan menebak dari mana arah datangnya suara Alka. “Kendalikan emosi lo. Tetap tenang, baru menyerang.”
“Gimana gue bisa menyerang?! Gue bahkan nggak bisa lihat apa-apa!”
“Fokus dan gunakan okulis lo. Kalau lo bisa mengaktifkan okulis lo secara sadar, bukannya karena kepepet, lo tetap bisa melihat.”
“Gimana caranya?!”
“Lo tahu gimana caranya. Fokus.”
“Gue—argh!” Risa berseru kesakitan sewaktu Alka mendaratkan pukulan di lengannya, kemudian di perutnya. Dia tak akan kaget jika sekujur tubuhnya diselimuti memar ungu-membiru waktu latihan ini selesai nanti. Denyut sakit menjalar di sekujur tubuhnya. “Bisa santai sedikit nggak?!”
“Menurut lo, kalau lo berteriak kayak gitu ke lawan lo dalam pertarungan beneran, dia bakal berbaik hati dan mendengarkan permintaan lo?”
“Nggak.”
“Bagus. Sekarang, fokus. Kalau lo nggak bisa melawan, seenggaknya cobalah melindungi diri sendiri supaya nggak kena gebuk. Lo kelihatan menyedihkan.”
Jika pujian Alka mampu melambungkan Risa sampai ke awang-awang, maka kritiknya membuat Risa serasa dibenamkan dalam-dalam ke kerak Bumi.
Risa menggeram, mengayunkan tongkatnya ke sembarang arah. Tongkat itu beradu dengan udara kosong, ditarik gravitasi ke lantai atrium. Tarikan ujung tongkat yang berat membuat Risa kehilangan keseimbangan. Dia terhuyung, lantas tersungkur jatuh ke lantai keras yang dingin. Nyeri menghantam dagunya, membuat gelap di pandangannya sempat memutih sejenak. Diiringi desah kesakitan, Risa menyentuh dagunya. Dagunya terasa lunak dan perih di bawah sentuhannya. Ada basah mencumbu ujung-ujung jarinya. Dari bau karat yang menyebar, Risa tahu itu darah.
“Bangun. Mulai dari awal lagi.” Alka mengetuk lantai pakai ujung tongkatnya.
Risa merenggut penutup matanya dengan kasar. “Apanya yang mulai lagi?! Siapa yang bisa jamin kalau lo nggak curang dan ngelepas penutup mata lo setelah gue pakai penutup—”
Kata-kata Risa menggantung di udara pasca penutup matanya terlepas sempurna. Alka berdiri di depannya, tengah memiringkan wajah sembari melipat tangan di dada. Penutup matanya masih terpasang apik tanpa cela.
“Membuka penutup mata sebelum sparring selesai itu curang.” Alka berujar.
“Apa—gimana bisa lo—”
“Okulis. Gue sudah bilang kan?” Alka berdecak. “Pasang lagi penutup matanya!”
“Tapi gue nggak bisa! Gue udah coba fokus kayak yang lo bilang, dan yang gue lihat tetap cuma gelap!”
“Lo nggak fokus. Dan lo marah. Meski nggak sejelek rasa takut, marah tetap perasaan negatif yang bisa mempengaruhi penilaian lo terhadap lawan lo, juga terhadap situasi yang lagi lo dihadapi. Singkirkan kemarahan itu.” Alka berkata sambil menghampiri Risa. “Luka pernah ngajarin lo bikin perisai energi sebelumnya, kan?”
Risa mengangguk.
“Sama kayak saat lo bikin perisai energi, lo juga harus fokus ketika mau mengaktifkan okulis. Pejamkan mata. Tarik napas dalam-dalam. Tetap tenang. Seperti ketika lo bermeditasi. Fokus. Serahkan semuanya pada kekuatan pikiran lo. Pasang lagi penutup matanya.”
Risa menurut, kembali menutup matanya menggunakan kain hitam. Setelah itu, dia menarik napas dalam-dalam. Alka memelesat mundur tanpa suara, menciptakan jarak sejauh setidaknya lima meter di antara mereka.
“Terus bernapas.” Alka menginstruksikan.
Risa merasa konyol, tapi dia tetap melakukannya. Dia melanjutkan mengatur napas. Menghalau murka. Lambat laun, tubuhnya yang tadinya tegang mulai relaks.
Lalu, dia merasakannya.
Ada suara detak jantung. Miliknya sendiri. Risa menghela napas dalam-dalam sekali lagi. Ada suara detak jantung lain. Milik Alka. Satu helaan napas berikutnya. Ada denyut di mana-mana. Denyut dari makhluk-makhluk kecil yang hidup di tanah. Denyut dari batang, ranting dan daun pepohonan yang tumbuh di sekitar atrium. Semuanya dalam frekuensi yang berbeda-beda, namun tetap selaras.
Kemudian, dia melihatnya.
Gelap digusur oleh cahaya. Dia melihat dunia di sekelilingnya. Tidak dalam bentuk normal seperti yang biasa dilihatnya, melainkan dalam bentuk jaring-jaring hitam berlatar belakang warna putih. Makhluk hidup di dekatnya hadir dalam wujud siluet gelap.
Risa melihat ke depan. Alka muncul dalam siluet kelam yang berdiri bermeter-meter di depannya. Ada sesuatu berwarna merah yang berdenyut di dadanya. Jantungnya. Serta garis-garis pembuluh darah. Inti kehidupan. Titik rawan yang mudah ditemukan, sebab merah tampak di antara pekat jelaga.
Selain itu, Risa juga melihat titik cahaya di bagian tengah dada Alka. Pintu menuju Arx. Tempat yang bisa leluasa Risa masuki.
“Gimana?” Alka bertanya.
Risa tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia melangkah maju. Matanya ditutup, tapi dia tidak buta. Dia bisa melihat segalanya. Dia tahu Alka diam-diam mereguk saliva. Namun laki-laki itu tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Dia membiarkan Risa mendekat. Risa baru berhenti saat sudah benar-benar berada di hadapannya.
“Apa lo bisa melihatnya?”
Risa menunjuk dada Alka, tepat di mana jantungnya berada. Telunjuknya mengambang di udara, tak sampai menyentuh. “Jantung lo… di sini kan? Gue melihatnya.”
“Gue nggak tahu. Kenapa nggak coba lo pastiin aja?”
Risa menyentuh dada Alka, merasakan detak jantung di bawah telapak tangannya. “Begini?”
Alka menghela napas. Perasaannya meletup secara ganjil. Setelah berabad-abad, baru kali ini Alka merasa tidak sendirian.
Alka mengulurkan tangannya yang tidak memegang tongkat kayu, pelan-pelan menarik lepas simpul kain penutup mata Risa. Penutup matanya terlepas, jatuh ke lantai. Namun mata Risa masih terpejam rapat.
“Lo sudah boleh buka mata.” Alka berucap sehabis membuka penutup matanya sendiri.
Risa membuka mata, dan pandangan mereka beradu.
Terus, Alka tersenyum lebar. “Kerja bagus.”
Risa mengerjap beberapa kali. Wajahnya memanas. Bukan karena marah, melainkan karena Alka baru saja memujinya.
“… makasih.” Risa melengos seraya diam-diam tersipu.
“Latihan hari ini sudah cukup.”
“Cuma begitu doang?”
“Lo sudah paham dasarnya. Selain itu—” Alka memandang dua jari tangan kanan Risa yang bengkok secara tidak wajar. Risa belum menyadarinya, tapi saat jatuh tersungkur tadi, gadis itu mematahkan dua jarinya. “—lo sudah cukup banyak terluka.”
“Gue nggak—”
“Jangan membantah kalau lo belum lihat badan lo sendiri di cermin.” Alka memotong. “Lo terkena banyak pukulan tadi.”
“Salah siapa coba?”
“Salah lo sendiri, karena gagal menangkis dan menghindari serangan.” Alka membalas. “Siniin tangan lo.”
“Hm?”
“Yang kanan.”
Risa bertanya curiga. “Mau ngapain?”
“Jari tengah sama jari manis tangan kanan lo bengkok. Lo nggak sengaja mematahkannya waktu jatuh tadi.”
“What—damn?!” Risa menatap ngeri ke jari-jarinya sendiri. Nyeri seketika menyebar, berpusat pada dua jarinya yang bengkok dan merah padam.
“Jari-jari itu perlu diluruskan sebelum sembuh total. Kecuali lo nggak keberatan hidup dengan jari-jari bengkok selama sisa umur lo.”
“Tapi sakit—”
“Dan bakal lebih sakit lagi waktu gue meluruskannya.”
“Bisa nggak, minta tolong Nauli—”
“Nggak.” Alka berdecak tidak sabar. “Sini!”
“Pelan-pelan ya?”
“Iya. Buruan.”
Ragu-ragu, Risa membiarkan Alka meraih tangan kanannya.
“Tahan sedikit.”
“Tahan giman—ARGHHHH!!” Risa menjerit kesakitan, menyamarkan suara krak yang sempat terdengar ketika jarinya yang bengkok diluruskan. Saking sakitnya, pandangan Risa sempat memutih. Nyeri hebat menyebar, membuat matanya berair seketika. “Itu tuh sakit!”
“Sudah gue bilang, kan? Bakal sakit, terutama waktu gue ngelurusin jari-jari lo.”
Risa merengut.
“Selanjutnya, luka di dagu lo.” Alka membawa Risa menuju bangku pualam yang tersebar di tepi atrium. Mereka duduk bersebelahan. Lalu, Alka mengeluarkan sebuah tabung kecil berwarna putih berisi salep racikan Nauli. “Bakteri nggak bisa menginfeksi kita, jadi lo nggak perlu khawatir soal steril atau nggak sterilnya tangan gue. Sebentar—” Alka menggerakkan jemarinya untuk menarik bulir-bulir air dari udara di sekeliling mereka, mengumpulkannya hingga membentuk gumpalan yang cukup besar. Digunakannya gumpalan air tersebut untuk membasuh sisa darah di dagu Risa. Setelahnya, dia mengoleskan salep di sana.
“Kenapa?” Risa tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Kenapa apanya?”
“Kenapa lo baik banget sama gue?”
Alka justru balik bertanya. “Lo maunya gue jahat sama lo?”
“Nggak gitu.” Risa mendengus. “Tapi Luka aja nggak pernah sampai segininya—”
“Harus berapa kali gue bilang?” Alka menyambar cepat. “Gue bukan Luka.”
“Oke, lo bukan Luka. Tapi jangan bilang kalau lo begini gara-gara…”
“Gara-gara apa?” Alka ganti mengoleskan salep ke memar di lengan Risa.
“Lo nggak diam-diam naksir gue, kan?”
Alka sontak menatap Risa. “Hn?”
“Tolong jangan naksir sama gue.” Risa buru-buru meneruskan. “Gue cuma suka sama Luka! Meski dia suka nyebelin, kaku dan suka agak freak, gue tetap maunya sama dia doang dan—”
Alka tertawa kecil. “Gue peduli sama lo. Tapi untuk suka dalam konteks yang kayak gitu… jelas nggak sama sekali. Lo nggak perlu khawatir.”
Wajah Risa memanas, memerah saga. “Oh. Oke. Sori, sempat ge-er. Gue kira lo suka—oke. Gue malu. Pura-pura aja gue nggak pernah ngomong gitu. Tolong lupain.”
“Kalau lupain, gue nggak janji. Tapi kalau pura-pura lo nggak pernah ngomong gitu, bisa gue kondisikan.” Alka terkekeh sembari menutup tabung wadah salepnya. “Sudah selesai. Lecetnya akan hilang setelah sehari. Darah yang keluar cukup banyak, tapi lukanya nggak dalam. Untuk memar-memarnya, nanti bakal membaik. Meski gue yakin, lo bakal lumayan kesakitan malam ini.”
“Sejak memulai latihan sama lo, gue nggak pernah tidur tanpa badan sakit. Jadi, tenang aja. Udah terbiasa.” Risa memandang Alka, dan fokusnya langsung tertuju ke sehelai benang hitam yang berada di samping sudut mata kanan lelaki itu.
Pasti benang dari kain penutup mata yang tadi.
Tanpa pikir panjang, tangan Risa terulur mengambil benang tersebut.
Alka terhenyak, serasa baru ditabrak déjà vu. Memori-memori membanjiri benaknya bagai air bah dari bendungan yang jebol. Kenangan tentang Adya. Ingatan yang melibatkan Nevna. Keduanya pernah jadi pusat dunia Alka. Dua sosok yang sudah direnggut darinya.
Risa nyengir salah tingkah seraya menunjukkan benang yang baru diambilnya. “Ada… hng… benang… hehe. Sori. Kayaknya lo kaget banget.”
Senyumnya.
“Nggak apa-apa.”
Senyumnya adalah senyum yang ingin kulindungi.
Alka berdeham. “Soal niat lo main ke Graha Dalimunte… apa lo masih kepengen ke sana?”
“Masih dong!”
“Kalau gitu, gue akan coba ngomong ke Luka. Karena—hm—hari ini lo berlatih dengan baik. Lo termasuk siswa yang cepat belajar dan pintar. Lo cepat memahami konsep dasar.” Mendadak, Alka jadi gugup. Kata-katanya serasa keluar tak beraturan. “Kalau lo nggak dikasih izin pulang ke Dunia Terang, gue rasa nggak ada salahnya ngasih lo kesempatan refreshing di tempat teman-teman dekat lo. After all, Kazan juga termasuk kota yang aman dan nggak gampang diserang.”
Risa melotot kaget. “Beneran?!”
“Beneran.”
“Horeeeee!” Risa berteriak senang. “Ya ampun, makasih banget ya!! Huhu… makasih banyak!!”
Risa amat gembira. Saking girangnya, kedua tangan gadis itu sempat terangkat. Dia tampak seakan-akan ingin memeluk Alka. Alka mengerjap kaget, hanya bisa menyentuh belakang lehernya dengan ekspresi canggung. Risa yang sadar akan apa yang hampir dilakukan kontan dibikin salah tingkah. Cepat-cepat, dia menurunkan kedua tangannya.
“Hng… makasih ya!! Makasih banyak!!”
“Santai aja. Tapi gue ingatkan ya, gue cuma mencoba ngomong. Keputusan akhirnya terserah Luka. Dia bisa aja nggak kasih izin atau—”
“Nggak apa-apa. Yang penting lo udah berusaha.” Risa tersenyum lebar. “Gitu aja gue udah senang kok. Jadi sekali lagi, makasih banyak.”
Senyumnya, Adya, adalah senyum yang akan kulindungi. Dari siapa pun.
Alka mengangguk, kemudian balik tersenyum.
Termasuk dari kamu.
***
Meyakinkan Luka agar mengizinkan Risa mengunjungi Kazan bukan perkara mudah.
Alka sempat mendebatnya sengit, hingga Lara yang kebetulan melewati ruangan tempat mereka bicara ikut campur. Dia bersyukur Lara mendukungnya, sebab kalau tidak, mustahil Luka akan mengalah.
“Hanya tiga hari.” Luka menegaskan pada akhirnya. “Tidak lebih.”
“Hanya tiga hari.” Alka setuju.
“Berhenti merengut, Luka.” Lara berkata. “Masih bagus dia tidak memaksa pulang ke Dunia Terang. Lagipula, Kazan termasuk tempat yang aman. Kota itu dikelilingi laut dan barisan pegunungan. Dia akan baik-baik saja di sana.”
“Tapi Kazan terlalu dekat dengan—”
“Estat Agnimara?” Lara tangkas menyambar sebelum Luka menuntaskan ucapannya. “Kazan dan Puri Agnimara terhalang barisan gunung. Menurutmu, dia mampu menerobos medan seterjal itu sendirian? Dawan dan Sikka Dalimunte tidak lemah. Mereka akan menjaganya baik-baik, terutama jika mereka tahu seberapa penting dia untukmu.”
Luka mengembuskan napas frustrasi. “Masalahnya, aku tidak bisa mengikutinya ke sana—”
“Andaikan kamu bisa, pikirmu dia bakal mengizinkanmu mengikutinya?”
“Dia perlu dijaga—”
“Keluarga Dalimunte bisa menjaganya. Bagaimana pun juga, mereka pembentuk phoenix terkuat setelah Keluarga Lazuardi. Selain itu, ada setidaknya satu peleton pasukan Raudra yang sedang mengepung Sigra. Benji Agnimara tidak akan berani macam-macam. Toh sampai sekarang, dia juga lebih banyak diam di purinya kan?”
“Firasatku mengatakan, itu hanya tenang sebelum badai.”
“Kapan pun dia ingin mengirimkan badainya, kita akan siap.” Lara berujar dalam nada dingin dan mata minim emosi. Luka mengernyit. Dia belum pernah melihat Lara bicara sedatar itu sebelumnya.
Perdebatan mereka berhenti di sana.
Kendati ragu, Luka tetap membiarkan Risa meninggalkan akademi menuju Kazan.
Kazan merupakan sebuah kota yang berada di ujung Utara teritori bangsa serpent. Di sebelah Utara, kota itu berbatasan langsung dengan Samudra Arnawa. Di sepanjang sisi Barat, Selatan dan Timur, Kazan dikelilingi barisan gunung yang dikenal sebagai Pegunungan Kazan. Letak geografisnya membuat Kazan tidak mudah diserang dari luar.
Siapa pun yang ingin mengunjung Kazan harus melewati jalur pegunungan yang dijaga ketat. Alternatif lainnya adalah melalui Pelabuhan Kazan di bagian Utara. Kazan memiliki portal tersendiri yang terhubung dengan dunia manusia, tapi portal tersebut hanya bisa diakses atas izin Dawan Dalimunte—kepala keluarga Dalimunte saat ini, sekaligus ayah Dante dan Davi.
Perjalanan dari akademi menuju Kazan cukup panjang jika ditempuh lewat jalan biasa. Jadi, Alka yang bertugas mengantar Risa ke sana memutuskan menggunakan portal. Mereka lebih dulu pergi ke Dunia Terang memakai portal yang ada di akademi. Setelah itu, menggunakan portal terdekat yang bisa mereka temukan di Dunia Terang, keduanya meneruskan perjalanan menuju Kazan. Dengan demikian, perjalanan yang harus ditempuh jadi lebih singkat.
“Nah, gue cuma ngantar sampai sini. Selamat menikmati liburan lo. Tolong banget, jangan bikin kekacauan selama lo ada di sini.” Alka berkata ke Risa sesampainya mereka di depan pintu gerbang kota.
Risa mengerjap. “Lo nggak ikut?”
“Gue nggak bisa lama-lama ninggalin akademi. Ada beberapa kerjaan yang harus gue selesaikan.” Alka sengaja tidak menjelaskan lebih jauh tentang kerjaan yang dimaksud. “Selain itu, gue nggak punya alasan berada di sini. Berbeda sama lo yang datang atas undangan teman-teman lo. Gue nggak punya kepentingan apa-apa.”
“Bilang aja lo di sini untuk nemenin gue.”
“Kayaknya, seseorang yang sudah berumur 18 tahun nggak butuh yang namanya pengasuh.”
Risa memberengut. “Lo bukan pengasuh dan gue bukan bayi yang harus diasuh!”
“Tepat.” Alka terkekeh. “By the way, gue bakal sampaikan salam lo ke Luka.”
Risa menyipitkan matanya. “Kenapa tiba-tiba bahas Luka?”
“Karena lo sengaja nggak pamit sama dia sebelum kita ninggalin akademi pagi ini.”
“Bukan sengaja! Salahnya sendiri nggak ada di mana-mana—”
“Dia udah nyari lo ke mana-mana. Dia bahkan sampai mendatangi kamar asrama lo. Tapi waktu dia datang, lo cepat-cepat ngumpet di dalam lemari baju karena nggak mau ketemu dia. Benar apa benar?”
“Apa—gimana bisa—”
“Gimana gue bisa tahu?” Alka menyeringai. “Luka yang bilang. Sia-sia aja coba sembunyi dari dia. Dia bisa merasakan energi lo. Dia tahu lo ngumpet. Tapi dia pura-pura nggak tahu, karena dia ngerti lo masih marah dan nggak mau ketemu dia.”
Risa disergap rasa bersalah. “Gue nggak bermaksud—”
“Cemburu itu wajar. Saat lo mencintai seseorang, lo pasti pengen jadi yang terbaik di matanya. Pengen jadi satu-satunya. Tapi cemburu yang berlarut-larut itu nggak bagus.” Alka berkata penuh kearifan. “Sejujurnya, gue cukup kaget karena ternyata Luka bisa bersabar menghadapi lo. Melihat dari karakternya, gue kira dia bakal meledak setelah tiga hari.”
“Gue—” Risa tersendat. “Setelah pulang dari sini, gue bakal coba ajak dia baikan.”
“Mm-hm.”
“Tapi jangan kasih tahu dia. Tentang niat gue ngajak dia baikan.”
“Nggak akan. Apalagi, gue cukup menikmati ngelihat dia mumet dan uring-uringan karena lo diemin.” Alka nyengir. Matanya melirik sepintas ke beberapa petugas penjaga pos perbatasan yang berdiri di belakang mereka. “Sekali lagi, selamat liburan.”
“Alka—makasih banyak.” Risa berdeham. “Karena udah ngomong ke Luka. Karena udah ngantar gue ke sini.”
Alka mengangguk. Dia tetap berdiri di tempatnya sementara Risa berbalik, melangkah mengikuti dua petugas penjaga pos perbatasan menuju gerbang besar yang terbuat dari batu gunung. Terdapat segel berbentuk phoenix terpahat di sana. Salah satu petugas menjentikkan jari, menyemburkan api yang mengisi segel tersebut. Kemudian, gerbangnya bergemuruh, perlahan menggeser membuka. Di balik gerbang, Dante dan Davi yang sudah menunggu melambai riang pada Risa.
“Trisha!” Dante berseru, sedangkan Davi menarik Risa ke dalam pelukan hangat.
“Akhirnya kamu sampai juga!”
“Hai!”
“Mana koper merah muda busuk kesayanganmu itu?” Davi bertanya jail.
“Gue cuma tiga hari di sini, jadi lebih masuk akal bawa ransel daripada koper.” Risa menjawab.
“Sayang sekali, padahal aku merindukan benda butut itu!”
“Jangan ngeledek. Koper itu cuma satu-satunya di dunia ini, tahu!”
“Tahu kok.” Dante tergelak. “Yuk, kita langsung jalan!”
Risa mengikuti Dante dan Davi menuju kereta kuda tertutup yang sudah disiapkan. Saisnya seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah menawan. Lelaki itu tersenyum ramah padanya. Davi memperkenalkannya sebagai Arman, salah satu abdi yang sudah berbakti pada Keluarga Dalimunte selama empat dekade. Setelah itu, Dante membantu Risa naik ke kereta.
Meski tertutup, kereta kuda yang mereka tumpangi memiliki jendela-jendela yang membuat Risa bisa leluasa melihat ke luar. Kereta mulai berjalan. Awalnya, di sekeliling mereka tidak ada apa-apa selain dinding-dinding batu yang tidak menarik. Tapi setelah mereka memasuki kota, Risa dibuat ternganga kagum.
Kazan adalah kota berselimutkan kabut. Tidak terlalu tebal hingga mengurangi jarak pandang, tapi cukup untuk memberikan kesan magis tersendiri. Risa serasa tengah mengunjungi sepotong tempat yang hanya bisa dia temukan dalam dongeng. Jalanan Kazan tertata rapi, terlapisi aspal halus berwarna gelap. Di tepi jalan-jalan aspal tersebut, terdapat jalan setapak untuk pejalan kaki yang dibuat dari batu-batu cokelat muda yang dipadatkan. Pepohonan tumbuh di sisi jalan, semuanya berwarna merah muda dan menguarkan cahaya redup. Risa yakin, ketika malam tiba, pepohonan itu akan terlihat seperti lampu cantik yang berpendar dalam gelap.
“Jangan takjub dulu, Riri.” Davi menyela jail, secara otomatis membuyarkan lamunan Risa. “Yang kamu lihat masih bukan apa-apa.”
“Jangan nge-judge gue.” Risa mendelik ke Davi yang kini tergelak. “Bagian kota paling bagus dan rapi yang pernah gue lihat cuma sekitaran Sudirman. Tapi bahkan dibandingkan sama Sudirman, tempat ini terlalu…”
“Terlalu apa?” Dante bertanya geli.
“Rapi. Tertata. Magis. Indah.”
“Kamu suka?”
“Suka banget!”
“Kalau gitu, bisa kubilang, kamu bakal benar-benar menikmati waktumu di tempat kami.” Dante tersenyum.
***
Dante tidak berdusta.
Graha Dalimunte adalah kompleks yang terdiri dari setidaknya lima bangunan besar yang dominan terbuat dari pualam putih. Bagian tengah kompleks bangunan tersebut sengaja dibiarkan tetap jadi ruang terbuka yang difungsikan sebagai taman berhias bunga warna-warni serta air mancur marmer berbentuk phoenix. Warna pualamnya serasi dengan warna putih yang mendominasi seisi graha.
Risa agak kaget, karena dia kira, layaknya api, Graha Dalimunte akan didominasi warna merah menyala.
“Ibuku nggak suka warna merah.” Davi menjelaskan sebelum Risa bertanya. “Dan Ayah sepenuhnya menyerahkan urusan rumah tangga ke Ibu.”
“Oh…” Risa mengangguk paham. “Eh ya, orang tua kalian di mana?”
“Sedang ada urusan di Anais. Mereka nggak akan balik ke Kazan sampai minggu depan. Dadakan sih. Mereka baru berangkat tadi pagi.”
“Anais?”
“Kota lain di seberang sungai dekat akademi.” Dante memberitahu.
“Oh ya?” Risa mengerjap. “Gue baru tahu kalau ada sungai di dekat akademi. Selain kanal-kanal di Desa Arati, maksud gue.”
“Itu karena kamu nggak pernah ke mana-mana.” Davi mencibir. “Ngomong-ngomong, kamu udah lapar belum? Awai udah nyiapin banyak makanan. Aku yang request, khusus untuk kamu.”
“Awai siapa?”
“Kepala pengurus rumah tangga kami. Dia senang banget waktu kubilang ada temanku dari akademi yang mau main ke sini! Kamu pasti suka masakannya. Selalu enak!” Dante mengacungkan jempol.
“Lebih enak dari masakan di kantin akademi?”
“Jauh!”
“Wuih, masa?!”
“Buktiin aja sendiri!” Davi berseru. “Jadi gimana? Mau langsung makan sekarang?”
“Kalau boleh sih—”
“Omong kosong, jelas boleh!” Davi menggiring Risa melintasi ruangan-ruangan luas rumahnya.
Dekorasi bagian dalam bangunan di kompleks Graha Dalimunte tergolong semarak. Ada banyak hiasan dinding, lukisan, patung-patung serta rak pajangan yang ditata secara harmonis. Sebagian besar menggambarkan phoenix, jilatan lidah api dan pegunungan dengan puncak dihiasi lava jingga.
Dante dan Davi membawa Risa ke sebuah ruang makan yang dilengkapi meja marmer putih super luas di tengahnya. Beragam hidangan sudah tersaji, mulai dari lobster merah menggoda yang masih menguarkan asap tipis, beragam tumisan, butir-butir bakso dalam kuah kental, semangkuk besar telur puyuh yang belum dikupas, mie goreng yang merebakkan bau sedap nan menggugah selera, dan entah apa lagi—saking banyaknya, Risa tidak bisa mendeskripsikan semuanya.
“Ini—kita bertiga doang yang bakal makan?”
“Harusnya berempat, kalau aja Persie nggak telanjur punya kesibukan lain dan bisa ikut main ke sini.” Davi menukas.
“Maksud gue—makanan sebanyak ini…”
“Aku nggak tahu apa yang benar-benar kamu suka dan apa yang nggak kamu suka selain yoghurt.” Dante terdengar agak malu-malu. “Jadi aku minta Awai menyiapkan sebanyak mungkin hidangan biar kamu bisa milih.”
“Tapi kalau sebanyak ini jatuhnya mubazir nggak sih?”
“Oh, nggak. Tenang aja. Kami punya banyak peliharaan di belakang graha. Kalau makanannya nggak habis, kita bisa kasih ke mereka. Walau yah… cuma sebagian kecil sih dari mereka yang suka makanan manusia.”
“Hewan peliharaan apa?”
Dante meringis. “Percayalah, Risa, kamu nggak akan kepengen tahu.”
“Oh… oke…” Risa langsung paham.
Mereka bertiga duduk, kemudian mulai makan.
***
Hari pertama Risa di Kazan diisi dengan bersenang-senang.
Sepanjang hari, aktivitas mereka bertiga tidak jauh-jauh dari makan atau berkeliling kompleks Graha Dalimunte yang luas. Risa menyimpulkan kalau Dante dan Davi hanya bersikap rendah hati waktu mereka bilang tempat tinggal mereka tidak semegah Kastel Raudra. Dari segi interior dan dekorasi, Kastel Raudra memang lebih tegas dan mencolok karena didominasi warna merah, emas serta hitam di mana-mana. Tapi Graha Dalimunte tidak kalah mewah, dalam cara yang lebih halus dan tidak kentara.
Sejak awal mengenal Dante dan Davi, mengetahui kisah mereka yang sempat ditolak akademi di tahun sebelumnya juga nominal gila-gilaan yang bersedia dikeluarkan Dawan dan Sikka Dalimunte agar anak kembar mereka bisa dapat master tahun ini, Risa sudah menerka kalau Dante dan Davi berasal dari keluarga super kaya nan terhormat.
Tapi dia tidak menyangka mereka setajir ini. Koleksi pakaian dan pernak-pernik di kamar mereka bahkan lebih bervariasi dan menarik dibanding yang pernah Risa lihat di kamar pribadi Luka—yah, kamar pribadi yang di akademi sih. Dia belum pernah menginjakkan kaki di kamar pribadi Luka yang berada di Kastel Raudra. Walau kalau melihat dari karakter Luka, paling banter kamarnya cuma diisi lukisan dan deretan rak buku.
“Kalian kayak pangeran.”
“Gantengnya?” Davi menaik-turunkan alisnya sambil nyengir tengil. “Baru sadar?”
“Tsk.”
“Makanya, fokusnya jangan ke Luka melulu!” Davi lanjut meledek. “Aku tahu dia kelihatan keren dan matang. Itu karena reputasinya yang nggak bisa dianggap sepele. Tapi wajar kalau pengalamannya segudang. Dia berpuluh-puluh tahun lebih tua dari kita semua. Kalau Dante dan aku sudah seumur dia, kami pasti jauh lebih mempesona!”
“Bukan gantengnya.” Risa menyergah. “Tajirnya.”
“Sudah kuduga. Kamu memang cewek matre.”
“Masalah?”
“Masalah nggak tuh, Nte?” Davi malah melempar tanya ke saudara kembarnya.
“Kok nanya aku?!” Dante melotot, salah tingkah campur panik.
“Bercanda.” Davi bersiul genit. “Anyway, kamu masih mau duduk dan melototin air mancur di sini atau lihat kolam renang kebanggaan kami?”
“Oiya! Di mana kolam renangnya?!”
“Ada di bawah tanah.”
“Loh?”
“Sumber air kolam renangnya berasal dari mata air panas Pegunungan Kazan.” Dante menjelaskan. “Ayahku pikir, bakal lebih bagus kalau mata air panasnya dibangun di bawah tanah. Mirip kayak yang ada di Kastel Raudra.”
“Kastel Raudra punya kolam air panas bawah tanah?!”
“Loh, kamu nggak tahu?” Dante memiringkan wajah. “Kukira kamu tahu, karena itu tempat pertama yang kamu datangi sebelum ke akademi.”
Risa menggeleng. Selama berada di Kastel Raudra, dia cuma bertemu beberapa orang penting, menghadiri acara pemakaman Nedia dan menantang Luka berkelahi agar Basil bisa dapat master tahun ini. Dia tidak sempat berkeliling.
Mereka pun pergi ke kolam air panas bawah tanah yang dimaksud. Tempat itu tidak seperti apa yang sempat terbayang dalam pikiran Risa. Mereka mesti meniti deretan anak tangga menuju bawah tanah, tapi tempatnya jauh dari kata gelap. Dinding-dindingnya terbuat dari pualam warna cokelat muda. Terdapat tiga kolam super luas yang dipisahkan oleh partisi kaca patri panjang nan tinggi. Partisi-partisi kaca patri tersebut memuat lukisan yang menggambarkan sosok phoenix dalam berbagai momen; ada yang tengah menyemburkan api, ada yang sebatas merentangkan sayap dan ada yang sedang terbang menjauh, menyisakan jejak percikan mirip kembang api di atas latar belakang sekelam malam.
Risa suka tempat itu. Temperatur airnya pas—cukup hangat dan nyaman di kulitnya, tapi tidak sampai panas membakar. Mereka berlama-lama menghabiskan waktu di air sampai jari-jari Risa keriput.
Usai berenang, ketiganya berganti pakaian, lanjut menikmati kudapan yang sudah disiapkan Awai—yang mana sangat beragam, mulai dari stroberi manis bersalut cokelat, bola-bola keju goreng, aneka permen, sosis panggang hingga biskuit bertabur kismis.
Sore baru menjelang manakala mereka bertiga bersantai di kamar tidur tamu yang diperuntukkan bagi Risa. Davi duduk bersila di atas kasur. Risa berbaring beralaskan pahanya. Sedangkan Dante berada di ujung tempat tidur, tengah sibuk memasang seprai ke bantal baru setelah bantal Risa yang sebelumnya basah akibat ketumpahan air minum Davi.
“Pasti seru kalau ada Persie di sini…”
“Setuju.” Davi sepakat.
“Dia ada urusan apa sih?”
“Kursus bahasa Latin. Tutornya udah dibayar penuh di awal, di-booking untuk dua minggu. Persie nggak mungkin bolos tiga hari cuma buat ke sini. Orang tuanya nggak bakal ngizinin.”
“Orang tuanya strict banget ya?”
“Soal pendidikan, iya.” Dante meletakkan bantal berbungkus seprai di dekat kepala ranjang. “Makanya, Persie serius banget kalau belajar.”
“Padahal dia sudah pintar banget.”
“Keluarga Wagiswari termasuk keluarga bangsawan yang biasa saja. Mereka nggak terlalu kaya, dan nggak seberapa dekat dengan kekuasaan. Wajar kalau orang tua Persie jadi lebih tegas dalam beberapa urusan.” Dante mengangkat bahu.
“Poor Persie.”
“Jangan murung gitu, Riri.” Davi nyengir. “Aku sudah bilang ke Persie kok, kalau-kalau dia sudah muak sama tuntutan keluarganya, tinggal bilang saja ke aku.”
“Biar apa bilang ke lo?”
“Biar aku bisa mengubahnya jadi Persimmon Dalimunte.”
“Yakin tuh kamu bakal direstui Ayah dan Ibu?”
“Kalau nggak direstui, ya gampang! Kita tinggal kawin lari!” Davi ngakak.
“Sinting.” Risa memutar bola matanya. “Oh ya, agenda untuk malam nanti apa?”
“Belum ada rencana khusus sih.”
“Aku kepikiran mau nunjukkin kamu Dermaga Kazan. Selama di Dunia Bayangan, kamu belum pernah lihat laut sungguhan, kan? Tapi kita dilarang ke dermaga setelah hari gelap. Jadi mungkin baru bisa besok pagi.” Dante mengedikkan bahu. “Kamu pengennya kita ngapain malam ini?”
“Sebentar.” Davi teringat akan sesuatu. “Nte, kamu ingat nggak sih soal cerita yang berhubungan sama Danau Tundra dan Bulan Mati?”
Dante langsung cemas. “Davi, jangan aneh-aneh—”
Risa gesit menanggapi. “Cerita apa?”
“Davi—”
“Cerita!” Risa menuntut.
Kendati Dante terlihat kontra, Davi tetap nekat memulai ceritanya. “Ada semacam… kisah… apa ya… orang-orang di dunia kamu kayaknya menyebutnya… urband legend? Semacam itulah. Jadi, menurut kisah itu, di Danau Tundra yang nggak terlalu jauh dari sini, ada siren cantik yang sudah hidup di sana selama berabad-abad. Konon katanya, dia sengaja kabur dari Laguna Siren karena jatuh cinta sama serpent yang berasal dari Kota Sigra.”
“Terus?!”
“Sayangnya, sebelum mereka menikah, laki-laki yang dia cintai meninggal karena diracun. Mayatnya dikremasi, terus abunya disebar di Danau Tundra. Siren itu patah hati. Habis itu dia bersumpah, dia nggak akan pernah meninggalkan Danau Tundra supaya dia bisa selalu bersama laki-laki yang dia cintai.”
Risa mengerjap.
“Kekasih siren itu meninggal di malam Bulan Mati. Beberapa lama dari sana, dipercaya kalau setiap malam Bulan Mati, siren itu selalu menampakkan diri. Kalau kita mujur dan ketemu dia, kita bisa nanyain apa aja ke dia, dan dia bakal jawab semua pertanyaan kita.”
“Apa aja?”
“Apa aja, nggak peduli pertanyaan itu berhubungan sama masa lalu, masa sekarang, atau bahkan masa depan.”
Tidak bisa dipungkiri, Risa sangat tertarik akan kebenaran cerita tentang siren tersebut.
“Sekarang lagi malam Bulan Mati.” Davi memberitahu.
“Wah, masa?!”
“Iya.”
“Kebetulan banget! Gimana kalau malam ini kita ke sana—ke—apa tadi namanya?”
“Danau Tundra.”
Risa mengangguk. “Iya, ke Danau Tundra! Tadi lo bilang, danaunya nggak terlalu jauh dari sini, kan? Daripada kita bosan di kamar aja—”
Dante memotong tanpa permisi. “Lokasinya memang nggak terlalu jauh dari sini. Tapi untuk bisa sampai ke sana, kita mesti melewati barisan Pegunungan Kazan. Belum lagi risiko ketahuan sama para penjaga.”
“Kan ada terowongan bawah tanah yang kita temuin setahun lalu, Ntte!”
Dante mengerjap. Kecemasannya makin nyata. “Davi, jangan—”
“Ada terowongan bawah tanah?!” Risa justru kian bersemangat.
“Ada. Aku sama Dante nggak sengaja nemuin terowongan itu tahun kemarin. Waktu pertama kita nemuin, pintu terowongan udah dipenuhi tumbuhan liar, jadi hampir nggak kelihatan. Tapi sejauh yang kuingat, tanamannya udah disingkirin kok!” Davi lanjut menjelaskan, mengabaikan kekhawatiran di mata saudara kembarnya. “Kalau kita melesat dalam kecepatan lari serpent, cuma butuh waktu setengah jam untuk sampai di tepi Danau Tundra lewat terowongan itu.”
“Davi! Risa! Kalian nggak serius kan?!”
“Lo tertarik ke sana nggak?” Risa berlagak seakan-akan dia tidak mendengar seruan Dante.
Davi menyeringai, bikin wajah Dante makin pias. “Menurut kamu?”
“Tertarik.”
“Nggak salah lagi, kamu memang betulan teman sejati!”
“Aduh, kurasa itu bukan ide yang bagus! Terlebih, pasukan dari Raudra lagi mengepung Sigra dan—”
“Mereka berkemah di sisi lain danau, Dante! Beda lokasi sama sisi danau yang berdekatan sama ujung terowongan!”
“Nah tuh!”
“Guys, tolong ya—”
Kata-kata Dante belum sempat terselesaikan ketika Risa dan Davi kompak menembaknya dengan tanya. “Nggak usah bawel! Jadi ikut apa nggak?!”
Dante sadar dia tidak punya pilihan lain.
***
“Kecepatanmu meningkat pesat.”
Davi berkata demikian setibanya mereka di ujung terowongan yang bermuara ke tepi Danau Tundra.
Risa mengangkat bahu. “Gue juga baru sadar.”
“Kamu pasti sering latihan.” Dante melirik telapak tangan Risa.
Ketika menyelinap keluar dari Graha Dalimunte, mereka sempat bergandengan tanpa sadar. Dante dibuat terkesiap karena tangan Risa terasa berbeda. Telapaknya lebih kasar. Genggamannya lebih kuat dan mantap. Setelah memperhatikan Risa lebih jelas, Dante baru sadar kalau gadis itu sudah menambah massa otot di lengan, bahu dan kakinya. Tidak kentara, namun cukup signifikan.
“Kekuatan fisik biasanya sejajar dengan stamina. Sekarang, kamu sudah bisa berlari seperti serpent sungguhan.”
“Bagus deh! Kalau gitu kan seenggaknya gue nggak perlu khawatir bakal ketinggalan kalau lagi lari sama kalian!”
“Latihan sama Alka keras banget ya?” Dante bertanya, wajahnya sarat simpati.
“Banget.”
“Oh ya?” Davi mengangkat alis. “Kayak apa tuh?”
“Sori, rahasia perusahaan. Khusus untuk yang okulis-okulis aja.”
“Sombong.” Davi mencibir.
“Memang.”
Dante mengembuskan napas, lalu pelan-pelan menarik senyum tipis.
Ketegangannya mulai menguap. Menyelinap keluar dari Graha Dalimunte dan melintasi terowongan bawah tanah menuju Danau Tundra bukan perkara sulit. Tapi tetap saja, rasanya tidak benar. Kedua orang tuanya sedang tidak berada di Kazan. Mereka pergi di pagi hari, beberapa jam sebelum Risa datang karena urusan mendadak di Anais. Jika Luka tahu Dawan Dalimunte dan Sikka Dalimunte tengah absen dari Kazan, kemungkinan besar Luka tidak akan mengizinkan Risa berangkat meninggalkan akademi.
Akan tetapi, setelah melintasi terowongan dan tiba di tepi Danau Tundra tanpa terkena masalah, Dante mulai merasa kecemasannya tidak beralasan. Dia yakin, mereka akan kembali lagi ke Graha Dalimunte sebelum kepergian mereka diketahui Awai. Semuanya akan baik-baik saja.
Berhenti khawatir, Dante. Semuanya akan baik-baik saja.
Dante mencoba memvalidasi harapannya sendiri.
Langit malam lebih gelap dari biasanya, karena bulan hadir dalam wujud sebatas lingkaran hitam di langit sekelam jelaga. Tapi bintang-bintang masih berserakan di angkasa bagai bubuk glitter yang ditaburkan sembarangan.
Davi memimpin jalan menuju tepi Danau Tundra. Permukaan airnya yang biasa biru di siang hari kini sehitam tinta, disepuh oleh ketiadaan surya.
“Mana?” Risa bertanya seraya melihat ke sekeliling. “Sirennya nggak kelihatan.”
“Mungkin kita perlu menunggu sebentar.” Davi berspekulasi. “Seperti yang kubilang, cuma mereka yang beruntung yang bisa bertemu siren itu.”
“Berarti kita nggak beruntung?”
“Belum tentu. Coba kita tunggu dulu.” Davi berdalih. “Pasti bakal lebih gampang kalau Persie ada di sini. Dia kan bisa mengendalikan air. Siapa tahu aja, dia bisa manggil sirennya keluar.”
“Gue juga bisa mengendalikan air.” Risa membalas.
“Aku tahu, tapi kamu nggak sejago Persie. Boro-boro mengendalikan air atau memanggil siren, berjalan di atas air aja kamu belum lancar.”
“Dih, menghina banget!”
“Tapi yang kubilang barusan itu benar kan?”
Risa manyun, benci mengakui kalau dia tidak punya alasan yang cukup bagus yang bisa digunakan membantah ejekan Davi.
Mereka memutuskan menunggu di tepi danau, kompak duduk bersila beralaskan tanah berumput.
“Cahaya yang di kejauhan itu—” Risa menunjuk ke satu arah. “—itu apa?”
“Yang di tengah danau? Itu Kota Sigra.” Dante berujar.
“Dan yang di belakangnya?”
“Hng…” Dante seketika ragu.
Davi yang lekas menjawab. “Estat Agnimara.”
“Hm?”
“Estat Agnimara. Cahaya itu berasal dari kompleks bangunan Puri Agnimara.”
“Puri Agnimara—” Risa menelan saliva. “—maksudnya—”
“Iya, Risa. Dan jangan paksa aku menyebut namanya. Jangankan menyebut, mikirin nama orang itu aja sudah membuatku muak.” Suara Davi tajam dan penuh kebencian.
Risa menerawang, menatap pada titik cahaya redup nun jauh di ujung Barat danau. Pada kompleks bangunan Puri Agnimara. Tidak ada di antara mereka yang bicara. Kabut ketegangan turun, menebalkan tensi yang dicipta sunyi.
Lamat-lamat, Risa menelan saliva.
Basil ada di sana.
***
Selepas makan malam membosankan yang masih setia diwarnai perdebatan sepele antara Dany dan Chyndar, Basil memberitahu empat rekannya kalau dia sedang tidak ingin diganggu.
Setelah itu, dia naik ke kamarnya. Sengaja, diciptakannya barrier untuk mencegah siapa pun masuk. Dia sedang ingin sendirian.
Sesampainya di kamar, Basil melangkah menuju balkon. Dia berdiam diri sebentar di dekat pagar balkon, memandang ke cakrawala gelap di kejauhan, lalu ke titik cahaya Sigra di tengah Danau Tundra, serta perkemahan satu peleton pasukan Raudra yang berdiri tidak jauh dari dermaga menuju pintu masuk kota.
Sudah nyaris sebulan berlalu sejak dia meninggalkan akademi. Lebih dari dua minggu sejak terkahir kali dia melihat Lara.
Rasanya konyol, tapi jauh di dasar hatinya, Basil harus mengakui kalau diam-diam, dia merindukan Lara. Juga Risa. Juga Dante dan Davi. Juga Persie.
Tolol sekali. Bisa-bisanya kamu merindukan orang-orang yang membencimu.
Masih berdiri di dekat pagar balkon, Basil membawa gelas berisi red wine di tangan ke bibirnya. Disesapnya isi gelas perlahan. Paduan rasa asam, pahit dan manis meleleh seketika di lidahnya.
Lalu mendadak, gerakan tangannya terhenti seiring embus angin yang menerpa wajahnya.
Dia ada di sini.
Basil terhenyak.
Risa ada di sini.
Berdasar logika, kecil kemungkinan Risa yang seharusnya tengah berada di akademi mendadak muncul di dekat Puri Agnimara. Luka tidak akan mengizinkannya terjadi. Namun, Basil tahu instingnya tidak pernah berbohong. Dia bisa merasakan kehadiran Risa. Gadis itu sangat dekat.
Tapi kenapa? Dan bagaimana bisa?
Sisa wine dalam gelas Basil tidak lagi menarik. Laki-laki itu berbalik, melangkah menjauhi balkon. Hanya dengan sekali jentikan jari, dia meruntuhkan barrier energi yang mengelilingi kamarnya. Dia berhasil menemukan Adya di ujung tangga, sedang menatap salah satu lukisan di dinding sambil memegang gelas wine di tangan kanan.
“Angkat semua barrier perlindungan.” Basil berujar tanpa basa-basi.
“Apa?” Adya menoleh. “Apa yang baru kamu katakan?”
Basil mengulang, suaranya lebih tegas dari sebelumnya. “Angkat semua barrier dan kuasa magis yang melindungi estat ini. Semuanya. Tanpa terkecuali.”
“Itu tindakan yang beresiko.” Adya bimbang. “Satu peleton pasukan Raudra sedang berkemah tidak jauh dari dermaga menuju Sigra. Kalau mereka sampai menyerbu ke sini—”
“Mereka tidak akan tahu dan mereka tidak akan menyerbu. Setidaknya malam ini.” Basil berkata penuh penekanan. “Lakukan saja apa yang kukatakan, Adya. Angkat semua barrier perlindungan. Ini bukan permintaan. Ini perintah.”
Adya menelan ludah. “Baiklah. Tapi boleh aku tahu apa alasannya?”
“Ada tamu yang sedang menuju ke sini.”
“Tamu?”
“Tamu yang kutunggu.” Basil menyeringai, menebar hawa gelap yang mendirikan bulu kuduk. “Dan sebagai tuan rumah yang baik, aku ingin memberinya jalan masuk yang mudah.”
***
Mereka bertiga menghabiskan dua jam penuh menunggu di tepi danau. Malangnya, siren yang dinanti tetap tidak muncul.
Dante yang sudah kehilangan kesabaran jadi orang pertama yang beranjak. “Kayaknya udah waktunya kita pulang. Udah dua jam lewat dan nggak ada tanda-tanda siren yang kamu bilang itu bakal muncul.”
“Bisa jadi, dia nongol sebentar lagi—”
“Davi.” Dante memotong tegas. “Kita sudah menghilang dari rumah terlalu lama. Kalau sampai ketahuan, kita bertiga bakal kena masalah. Luka pasti marah kalau tahu kita ngajak Risa ke sini. Tanpa penjaga, tanpa perlindungan yang cukup. Kamu mau kita kena amuk Luka?”
Davi mengembuskan napas, tampak kecewa, tapi dia sadar kata-kata Dante masuk akal. “Oke, kalau gitu kita pulang.”
“Loh, beneran pulang nih?!” Risa terperanjat tidak percaya.
“Sudah dua jam lebih. Kita pulang.” Dante memutuskan. “Semoga Awai belum sadar kita bertiga menghilang dari graha.”
Davi bangkit, melangkah gontai mengikuti Dante menuju terowongan bawah tanah yang akan membawa mereka kembali ke jantung Kazan. Tapi batin Risa menolak. Dia sudah berdiri, namun kakinya serasa dipaku ke tanah.
Kalau gue balik ke Graha Dalimunte bareng mereka sekarang, gue nggak akan dapat kesempatan kayak gini lagi. Gue nggak akan punya kesempatan ketemu Basil, dan nanya apa yang sebenarnya dia mau. Dia teman gue. Dia orang yang bersedia nyerahin dirinya ke para shloka supaya mereka mau lepasin gue dan biarin gue pulang dengan selamat. Gue yakin, mereka semua cuma salah paham.
Risa mengepalkan tangan, menguatkan tekad.
Baiklah, dia akan mencoba. Dia hanya punya satu kali kesempatan. Jika taktiknya gagal, dia bakal berujung diseret paksa oleh Dante dan Davi kembali ke Graha Dalimunte.
“Risa?” Dante memanggil. “Ayo! Nggak perlu buang-buang waktu! Siren itu nggak akan muncul!”
“Eh—iya—” Tergesa-gesa, Risa menyusul Dante dan Davi.
Sepanjang jalan menuju terowongan, ketiganya membisu. Dante tidak bicara. Begitu pula Davi. Namun diam-diam, Risa menghitung dalam hati seraya memperhatikan tiap langkah yang teman-temannya ambil. Dia sengaja memastikan mereka terpaut jarak setidaknya tujuh langkah. Dante dan Davi di depan, sedangkan Risa di belakang.
Ketika Dante dan Davi sudah masuk terowongan, Risa menelan saliva, segera menjentikkan jarinya. Dia membentuk barrier energi yang menutup pintu masuk terowongan. Sontak saja, Dante dan Davi berbalik, menatap kaget bercampur tidak percaya ke arahnya yang masih berada di luar terowongan.
“Risa?!” Dante berseru panik. “Apa yang baru kamu lakukan?!”
“Maaf—tapi gue sudah sedekat ini. Gue perlu mengonfirmasi sesuatu. Gue nggak bisa percaya sampai gue mendengar semuanya langsung dari dia.”
Davi yang paham siapa dia Risa maksud tersentak bagai baru menginjak papan penuh duri. “Trisha! Harus berapa kali gue bilang kalau dia bukan lagi teman kita?! Dia benar-benar menginginkan lo mati—Trisha. Trisha. Tolong jangan tolol.”
“Singkirkan barrier energinya!” Dante makin kalut. “Trisha. Kumohon.”
“Maaf… maaf banget. Kalian boleh marah sepuasnya setelah ini—tapi untuk kali ini—” Risa melangkah mundur, tidak sanggup menatap mata Dante dan Davi lebih lama. Dia merasa bersalah karena sudah membohongi teman-temannya, karena sudah mengkhianati kepercayaan mereka. Namun dia benar-benar harus mendengar segalanya langsung dari Basil sendiri. Cuma dengan begitu, dia bisa percaya.
“Maaf.” Risa berbisik sekali lagi sebelum berbalik dan berlari ke dalam pekatnya malam.
***
Basil bisa merasakannya.
Risa sudah semakin dekat. Gadis itu berlari menembus malam dalam kecepatan yang sukar dinalar manusia. Kecepatan makhluk bayangan.
Dia banyak berlatih.
Basil berpaling ke Adya dan Dany yang berdiri di belakangnya.
“Aktifkan lagi barrier pelindung di sekitar estat ini. Dia sudah melewati garis batas.”
Adya mengangguk, segera melangkah pergi untuk memastikan barrier pelindung dan rapalan magis yang menghalangi orang luar masuk ke estat Agnimara tanpa izin kembali diaktifkan. Tinggal Dany yang masih berdiri di dekat Basil.
“Gadis itu tolol. Atau bodoh. Mungkin keduanya.” Dany berdecak diikuti senyum geli. “Tapi memang bagusnya begitu. Jadi kita bisa menangkapnya dengan mudah. Setelah dia berhasil ditangkap, apa rencanamu?”
“Ada beberapa cerita yang ingin kubagi dengannya. Yah, sebelum itu, yang pertama kali perlu kulakukan adalah menyambutnya.” Basil tersenyum tipis. “Aku akan membiarkannya memilih ruangan mana pun yang dia suka. Bagaimana pun juga, dia adalah tamu yang sudah ditunggu-tunggu.”
“Haruskah aku menyiapkan wine?”
“Dia tidak terlalu suka wine.” Basil menjawab, suaranya lembut. “Tapi kalau kita punya persediaan yoghurt, sajikan saja.”
“Tidak ada yoghurt yang tersisa. Jalang Tedjaratri itu sudah menghabiskannya.”
“Sungguh disayangkan, kalau begitu.” Basil berkata. “Ah ya, berhenti menyebutnya jalang, Daenyra. Aku tahu, kalian susah akur. Tapi setidaknya tunjukkanlah rasa hormat pada satu sama lain. Bagaimana pun juga, kalian berdua sama-sama gadis bangsawan.”
“Katakan itu padanya. Dia yang duluan menyebutku perempuan sundal.”
“Ya, ya. Aku akan mencoba mengingatkannya besok. Sekarang, lebih baik kembali ke kamarmu. Acara penyambutan tamu ini sepenuhnya urusanku.”
“Terserah kamu saja.”
Dany bergegas pergi, meninggalkan Basil seorang diri.
Sepeninggal Dany, Basil memejamkan matanya. Dalam kegelapan, dia bisa merasakan kehadiran Risa. Saat dia mengaktifkan okulisnya, dia mendengar suara detak jantung gadis itu, mampu membedakannya dari detak jantung empat orang lainnya yang juga berada di Puri Agnimara.
Buat apa kamu ke sini, Trisha?
Basil cukup mengenal Risa untuk dapat menebak kalau suatu hari nanti, Risa akan mendatanginya. Namun, dia tidak menyangka Risa akan datang selekas ini. Menjelang tengah malam pula. Sebagian hati kecilnya ingin menyuruh Risa pergi, ingin meminta gadis itu berlari sejauh-jauhnya, ingin menyuruhnya bersembunyi agar Basil tidak bisa menemukannya.
Sudahi omong kosongmu, Agnimara. Ada lingkaran yang harus kamu putus. Siklus yang harus kamu akhiri. Siapa yang peduli kalau dia temanmu—dan bahwa kamu menyayanginya?
Basil membuka matanya yang kini memendarkan warna biru cerah. Hanya sesaat. Dalam sekedipan mata, warna biru cerah di irisnya memudar, tergantikan oleh warna kelabu terang seperti biasanya.
Sejenak kemudian, Basil berjalan ke ruang kerja yang berada di lantai satu puri keluarganya. Dia baru masuk dan duduk di kursi ketika pintu ruang kerja itu diketuk.
“Masuk.”
Pintu dikuak, disusul kemunculan Windu. “Ada penyusup.”
“Aku sudah tahu. Aku sengaja mengizinkannya masuk.”
“Dia sempat menguping, dan Adya bilang padaku kalau kamu sedang berada di ruang kerja lantai satu.” Windu berkata. “Kamu sengaja ingin menemuinya di sini?”
Basil mengangguk. “Pergilah, Windu. Dia sudah dekat.”
Windu tidak menjawab, tapi dia berbalik dan melangkah keluar. Begitu pintu ruang kerjanya ditutup dari luar, Basil menyandarkan punggungnya ke kursi.
Malam menyambung perjalanannya menuju menuju titik nadir. Ketiadaan bulan di angkasa membuat suasana makin mencekam. Taburan bintang yang berserakan saja tak cukup untuk menghalau kelam malam yang mengancam.
Basil menatap langit-langit ruangan. Mata kelabunya tengah tertuju pada lukisan penghias langit-langit bertemakan Perjamuan Terakhir sewaktu terdengar suara ketukan di pintu. Dari tamu yang ditunggunya.
“Masuk.”
Basil pura-pura kaget melihat Risa berdiri di depannya, terselubungi oleh jubah longgar dan tudung kelam yang menutupi kepala—jubah yang Basil tebak pasti Risa temukan di ruangan yang sama di mana Risa menemukan pedang keluarga Agnimara yang terhunus di tangan kanannya. Pedang itu pernah jadi milik ayah Basil. Basil sengaja membiarkan pedang tersebut tersemat ke dinding bagai hiasan. Wangi stroberi merebak, diikuti tudung kepala yang ditarik hingga terbuka, menampilkan wajah familiar yang sangat dia kenal.
Dia merindukan Risa.
Dan dia benci pada lega meletup dalam hatinya melihat Risa baik-baik saja setelah peristiwa di akademi hari itu—setelah dia menusuk Risa tepat di dada.
“Well—”
Risa menyerbu ke arahnya dalam sekelebat mata. Dia secepat serpent sejati. Dalam hitungan detik, gadis itu sudah berlutut di atas meja kerja Basil. Bilah tajam pedangnya yang dingin mencumbu kulit leher Basil.
“Mengesankan.” Basil berlagak memuji. “Gimana bisa lo masuk ke sini tanpa ketahuan?”
“Dengan kemampuan yang gue punya, harusnya lo nggak kaget kan?”
Basil melirik jari telunjuk Risa yang dihiasi cincin stroberi pemberiannya.
Gadis tolol.
“Luka tahu lo ada di sini?”
Risa tidak menjawab.
“Oh, bodohnya gue nanya begitu. Jelas, dia nggak tahu. Dia nggak akan ngebiarin lo berjalan mendatangi bahaya.”
“Mereka semua bilang begitu.”
“Bilang apa?”
“Bilang kalau lo berbahaya buat gue. Tapi gue nggak percaya, sampai gue mendengar kebenarannya dari mulut lo sendiri.” Risa menatap tajam. “Tatap gue tepat di mata dan bilang ke gue kalau semua yang mereka omongin itu nggak benar. Lo teman gue. Lo nggak mungkin—”
Bisakah kamu berhenti berani, Trisha? Sekali saja.
Basil memandang lekat mata Risa dengan iris kelabunya. “Mereka nggak berbohong. Semua yang mereka bilang itu benar.”
Risa memandang nanar, tangannya mulai gemetar.
“Gue memang menginginkan kematian lo.”
Sebaris kalimat Basil yang terakhir meluncur bagai pukulan mematikan. Risa tercekat kaget. Fokusnya buyar seketika, tergantikan oleh rasa terpukul. Basil cekatan mengambil kesempatan. Laki-laki itu memukul tangan Risa yang memegang pedang, membuat pedangnya terlempar ke ujung lain ruangan. Risa mencoba berkelit, namun Basil jauh lebih cepat darinya. Dia meraih lengan Risa, menekuknya ke belakang dan memitingnya hingga Risa tidak bisa bergerak.
“Satu fakta yang lo nggak tahu, Trisha, keluar dari sini jauh lebih susah daripada menerobos masuk.”
to be continued.
***
a/n:
gue sempat mau upload petanya, tapi gagal mulu, jadi mungkin gue upload di igstory aja ya wkwkwk
chapter terpanjang sejauh ini (it's like 12k words but oh did i have fun writing it lol <3)
yak mulai dari sini, huru-hara akan dimulai wkwkwkwkwkwk
mari berdoa untuk kewarasan Luka di chapter selanjutnya wkwkwk
sampai ketemu di chapter-chapter berikutnya. makasih banyak buat yang udah like, comment, baca dan berteori! means a lot <3
ciao
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
