
Setelah pertemuannya dengan Dante yang ternyata masih hidup, Risa mendapatkan kunjungan dari Denzel yang ingin memastikan keadaannya selama berada di Kastel Raudra sekaligus membawakannya pedang yang pernah jadi milik Alka. Sementara itu, Basil menemui siren di Danau Tundra untuk meminta sesuatu yang bisa membantunya menghadapi perang yang akan datang.
Adya tengah menuju aula utama Puri Agnimara ketika dia melihat Nauli di lorong.
Sama seperti penghuni puri yang lain, gadis itu mengenakan setelan hitam pertanda duka. Rambutnya yang kerap tergerai kini digulung rapi ke dalam sebuah konde longgar. Cuping telinga dan lehernya polos tanpa perhiasan. Dia sedang menghadapi meja altar, sibuk merapikan bubuk dupa di dalam wadah porselen sebelum menyulut ujung bubuk yang tertumpuk rapi mengikuti pola rumit cetakan dengan api kecil di ujung sebatang korek.
Sejenak, keraguan membuat langkah Adya melambat.
Haruskah aku menyapanya?
“Aku masih membencimu. Jangan ajak aku bicara.” Nauli bersuara seakan-akan dia mampu membaca pikiran Adya.
“Kita sedang dalam masa berkabung. Masa yang bahkan dihormati oleh orang-orang yang berperang dengan melakukan gencatan senjata. Tidak bisakah untuk kali ini saja kamu berhenti menganggapku musuhmu?”
“Kamu akan selalu jadi musuhku, Adya.” Nauli menyahut dingin. “Sejak kamu memaksa Nevna menikah denganmu dan mendeklarasikan perang terhadap adikmu sendiri, kamu sudah jadi musuhku. Kematian Alka tidak akan mengubah itu.”
“Nauli—”
“Bukankah kamu lagi ditunggu orang-orang yang sudah berada di aula utama? Pergi temui mereka sana! Biarkan aku berkabung dengan tenang!”
Seruan sinis Nauli membuat Adya membuang napas perlahan. Laki-laki itu pun lekas melanjutkan langkahnya ke aula utama. Seperti yang dikatakan Nauli, orang-orang sudah berkumpul. Selain Dany, Chyndar dan Windu, beberapa orang kepercayaan Basil serta seorang imam yang mewakili Orakel juga berada di sana. Mereka semua mengenakan busana serba hitam tanpa perhiasan.
“Dalam hitungan hari, masa berkabung akan berakhir.” Windu mulai bicara sesaat setelah Adya duduk di kursi kosong yang memang disediakan untuknya. “Suka atau tidak, perang sudah di depan mata. Luka Diwangka tidak akan menyerahkan gadis itu pada kita selama dia masih bernyawa. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.”
Basil berdeham. “Aku tahu. Begitu masa berkabung selesai, aku akan menyurati beberapa wilayah untuk memastikan dukungan mereka dalam perang yang akan datang. Kita harus menuntaskan apa yang sudah kita mulai. Trisha tidak akan berhenti sampai seluruh bangsa kita habis. Itu tujuan utama dari eksistensinya.”
“Bagaimana dengan para Faen?” Dany menyela, lalu melirik sepintas ke Chyndar. “Tetangga kita yang satu itu adalah bangsa yang licik. Bukan tidak mungkin mereka mengambil kesempatan menyerang kita saat kita sibuk melawan serdadu Keluarga Diwangka dan pendukungnya di Timur.”
“Tidak perlu khawatir soal itu. Mereka tidak akan menyerang kita.”
“Tahu dari mana?”
“Kami sudah menyurati mereka sebelumnya.” Imam yang mewakili Orakel angkat bicara. “Bangsa mereka berbeda dengan bangsamu, tapi bagaimana pun juga, kalian sama-sama Makhluk Bayangan. Mereka menghormati Sharaprastha dan Orakel. Mereka juga tahu keberadaan gadis itu mengancam keberlangsungan dunia kita. Mereka bersumpah tidak akan menyerang teritori kalian selagi kalian berperang dengan Keluarga Diwangka.”
“Baguslah kalau begitu.”
“Bagaimana dengan Distrik Yurga?” Chyndar ganti bertanya. “Aku tahu, sebelumnya mereka sudah setuju tunduk ke pihak kita, tapi mereka bukan tipe orang-orang terhormat yang bisa dipercaya. Bisa saja—”
“Begitu masa berkabung berakhir, Windu akan menemui mereka lagi.” Basil memutuskan seraya beralih menatap Windu. “Beri mereka jaminan keamanan dalam perang yang akan datang. Katakan kalau Distrik Yurga tidak akan disentuh oleh siapa pun selama mereka tidak mengkhianati kita. Suplai mereka dengan sumber daya yang cukup supaya mereka tidak punya alasan menjarah dan mengacau selama perang. Pastikan para berandal itu terkendali dan tak menyulitkan kita nantinya.”
“Aku mengerti.”
Diskusi mereka terhenti tiba-tiba oleh bunyi ketukan di pintu ruangan yang sengaja dibiarkan terbuka. Spontan, semua yang duduk mengelilingi meja menoleh serentak ke arah asal suara. Nauli berada di sana, berdiri sembari memandang lurus pada Basil.
“Aku harus pergi.”
“Pergi?”
“Kamu memintaku datang untuk merawat seseorang. Orang itu tidak lagi berada di sini. Dia sudah kembali ke keluarganya. Aku tak dibutuhkan di sini.”
“Bukankah kamu yang membiarkannya pergi—”
Nauli memotong kata-kata sengit Dany. “Aku ini penyembuh, bukan sipir penjara.”
“Kita tidak bisa membiarkannya pergi.” Dany berkata ke Basil. “Dia bisa saja berpihak pada mereka—”
“Aku memang memihaknya.” Nauli menukas, membuat Dany makin dongkol. “Apa yang terjadi pada Alka, apa yang sudah kalian lakukan terhadap gadis itu membuatku mengambil keputusan ini. Aku memihaknya. Sampai akhir, aku mempercayai Alka. Dan di perang yang akan datang, aku bersumpah aku akan menyelesaikan apa yang tak mampu Alka selesaikan.” Tatapan Nauli bergeser ke Adya. “Dan aku akan membunuhmu.”
Lantas, Nauli berbalik pergi.
“Hentikan dia, Benji!” Dany mendesis. “Dia akan sangat merepotkan kita dengan keberpihakannya ke kubu lawan—”
“Biarkan saja.” Adya buka suara sebelum Basil sempat berkata-kata. Sendu mewarnai sorot matanya.
“Apa?”
“Biarkan dia pergi kalau dia ingin pergi.”
“Dia berjanji dia bakal membunuhmu!”
Dan aku tahu Nauli Mahisa selalu menepati janjinya. Adya berbisik dalam hati.
“Tidak akan terjadi kalau aku membunuhnya lebih dulu, kan?”
***
Tadinya, Luka kira dia bakal cemburu.
Namun ternyata tidak. Alih-alih cemburu, dia justru lega ketika melihat Risa menaruh rantai perak berliontinkan phoenix di tangannya ke atas telapak tangan Dante. Muram yang beberapa hari terakhir menggelayuti wajah gadis itu lenyap, terganti oleh senyum cerah yang bikin hati Luka terasa ringan.
Tentu saja. Siapa yang tak akan senang ketika tahu kalau sahabat yang dia kira sudah mati ternyata masih hidup?
Mesti Luka akui, waktu bertemu Dante di Puri Agnimara, dia pun sangat terkejut. Dari Nauli, akhirnya Luka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dante tidak tewas dalam serangan di Pantai Raudra. Phoenix menolak membiarkan apinya membunuh pemuda itu. Salah satu keistimewaannya, kata Nauli. Dante bisa dibunuh menggunakan apa saja selain api sebab Phoenix memilihnya, dan memutuskan untuk melindunginya.
Meski begitu, cedera yang Dante alami cukup parah. Sekujur tubuhnya sempat berselimutkan luka bakar. Seluruh rambutnya hangus. Dia sempat botak sebelum rambutnya tumbuh kembali.
“Penduduk sekitar Pantai Raudra yang masih setia pada Keluarga Agnimara menemukannya, lalu mengirim pesan ke Benji. Dia sudah di sini waktu Benji meminta Adya menjemputku dari akademi. Benji ingin aku merawatnya, menyembuhkannya.”
Sukar dipercaya, tapi begitulah adanya.
Luka tidak terlalu peduli pada nasib Dante, namun dia mengerti Dante adalah sahabat yang sangat Risa sayangi. Dia juga tak bisa mengambil risiko kalau-kalau Basil menjadikan Dante sebagai senjata untuk melemahkan Risa. Makanya, di hari dia mengkhianati Lorien, dia sengaja mengirimkan beberapa perwira terbaiknya untuk membebaskan Dante dari estat Agnimara.
“Cemburu?”
Luka masih memperhatikan Risa yang duduk berdampingan dengan Dante dari jauh ketika Lara yang tiba-tiba mengambil tempat di sebelahnya sekonyong-konyong bersuara.
Salah satu alis Luka terangkat. “Cemburu?”
“Mereka kelihatannya sangat dekat.”
“Mereka bersahabat baik.” Luka kembali menatap lurus ke depan.
“Risa menyayanginya.”
“Tentu saja. Kalau tidak, Risa tidak akan berduka sedemikian hebat dan mengakhiri hidup Milena Triloka dengan tangannya sendiri.”
“Apa itu mengganggumu?”
“Tidak.” Luka menjawab tanpa pikir panjang. “Risa menyayangiku dan menyayangi Dante dalam cara yang berbeda. Lagipula, setelah semua yang dia alami, Risa pantas mendapatkan momen ini. Ke depannya, situasinya akan berat untuknya. Cepat atau lambat, perang akan terjadi. Aku tidak melihat ada jalan lain untuk mengakhiri konflik ini. Perang tak akan mudah. Tak pernah mudah.” Luka menoleh ke Lara. “Dan bukan hanya untuknya, situasinya juga akan berat untukmu.”
“Aku tidak—”
“Akankah kamu mampu membunuhnya jika diperlukan, Lara?”
Lara terdiam, langsung tahu siapa dia yang dimaksud Luka.
“Akankah kamu sanggup mengakhiri hidupnya dengan tanganmu sendiri?”
“Seperti yang kamu katakan, itu tidak akan mudah.” Lara menjawab, sekuat tenaga berusaha agar dirinya terdengar meyakinkan. “Tapi sumpahku tetap berlaku. Aku akan berada di pihakmu sampai akhir. Perangmu akan selalu jadi perangku. Musuhmu akan selalu jadi musuhku. Andaikan aku benar-benar harus membunuhnya dengan tanganku sendiri untukmu, aku akan melakukannya.”
Luka menatap Lara dalam-dalam beberapa lama. Lalu, dia mengambil beberapa langkah maju. Lara dibikin bingung ketika tahu-tahu, Luka memeluknya.
“Luka—apa yang kamu—”
“Saudariku yang malang.” Luka berbisik sambil mengelus rambut Lara. “Apa yang lebih menyakitkan daripada berdiri di sisi yang berlawanan dengan orang yang kamu cintai?”
Lara tidak punya argumen untuk membantah kata-kata Luka.
Maka, dia membiarkan Luka mendekapnya sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
***
Alka mengajarinya dengan baik.
Itu yang terlintas di kepala Luka waktu menonton Risa berlatih seorang diri.
Tentu saja, dari awal dia sudah tahu kalau Risa bukan siswa biasa. Gadis itu punya bakat besar jadi petarung handal. Bahkan Luka percaya kalau Risa sudah lebih dari mampu mengalahkannya. Akan tetapi, murid yang berbakat bukan apa-apa tanpa guru yang hebat. Alka telah membuktikan bahwa dia adalah mentor yang jauh lebih baik dari Luka.
Gaya bertarung Risa sudah berkembang pesat. Sabetan dan tusukannya sarat presisi. Kuda-kudanya kuat. Serangannya penuh tenaga namun tetap akurat.
Luka memutuskan menghampiri Risa. Langkah-langkahnya tenang dan nyaris tanpa suara. Dia tiba di dekat Risa bertepatan dengan Risa yang berbalik. Pedang di tangan gadis itu terhunus ke depan. Ujung tajamnya berhenti hanya beberapa sentimeter di depan sternum Luka.
Risa memiringkan wajah. “Jangan mendadak ngedekatin orang yang lagi latihan. Salah-salah, gue bisa aja nggak sengaja nusuk lo.”
“Tapi kamu tidak sampai benar-benar menusukku, kan?” Luka tersenyum miring. “Dan kamu jelas bisa merasakan kehadiranku.”
“Ada apa sama lo hari ini?” Risa menarik tangannya, kembali menyarungkan pedangnya.
“Apanya yang ada apa?”
“Waktu gue sama Dante, lo diam aja. Cuma ngelihatin dari jauh. Sekarang pun begitu. Kayak secret admirer aja.”
“Alasannya sederhana. Waktu kamu lagi bersama bocah Dalimunte itu, aku sengaja menjauh supaya kamu bisa bebas kangen-kangenan sama temanmu. Sekarang, aku melihatmu dari jauh karena aku tidak ingin mengganggu latihanmu. Tadinya.”
“Tadinya?”
“Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita berlatih bersama, kan?”
“Mm-hm.”
“Mau coba berlatih bersama?”
Risa langsung ragu. “Nggak apa-apa?”
“Kamu kelihatan ragu. Kenapa?”
“Nggak apa-apa sih…”
“Kamu takut bakal melukaiku?”
Perlahan, Risa mengangguk. “Bukan karena gue memandang lo lemah—after all, lo pernah bikin gue babak-belur sampai berdarah-darah di sini—”
“Astaga, masih dibahas terus…”
“Loh, faktanya begitu kan?”
“Hanya karena itu fakta, bukan berarti aku suka kamu menyinggungnya setiap kali ada kesempatan. Aku juga kan sudah minta maaf soal yang waktu itu. Bukan niatku menghajarmu sampai tidak sadarkan diri—”
“Gue nggak yakin lo mikir begitu waktu lo menghantamkan lutut lo ke muka gue.”
“Kalau kamu boleh membahas itu, berarti aku boleh membahas soal kamu dan Arai—”
“Oke, next topic pleaseeeeee!” Risa buru-buru berseru sebelum Luka betulan menyinggung ciumannya dan Arai di Nanggala tempo hari. “Maksudnya tuh kayak apa ya… kadang-kadang gue masih suka lepas kontrol dan—”
Luka tertawa kecil. “Aku tahu, Tink. Terus terang saja, kemajuanmu membuatku kagum. Kobaran api yang kamu ciptakan di Nanggala adalah kobaran api paling masif yang pernah kulihat. Gaya bertarungmu yang sekarang jauh lebih presisi. Bidikanmu jauh lebih akurat. Kamu sudah jauh lebih kuat. Tapi aku bukan seseorang yang gampang dikalahkan. Bahkan olehmu.”
Risa mengangkat bahu. “Oke.”
Luka memanggil salah satu penjaga mendekat. Dengan patuh, penjaga itu bergerak sigap menghampiri mereka.
“Boleh kupinjam pedangmu? Sebentar saja.”
Penjaga tersebut melepas pedang bersarung yang melekat di pinggangnya, menyerahkannya penuh rasa hormat. “Silakan, Tuanku.”
Luka menerima pedang tersebut, lalu beralih lagi ke Risa. “Bisa kita mulai sekarang?”
“Bring it on.”
Keduanya berdiri berhadapan. Jarak bermeter-meter memisahkan mereka. Mereka saling memberi hormat satu sama lain sebelum akhirnya kompak menyerang maju dengan tangan menghunus pedang. Bunyi denting logam yang beradu sengit seketika memenuhi udara.
Risa jauh lebih agresif dalam pertarungan mereka kali ini. Gadis itu menyerang tanpa ragu. Walau pandai berkelit dalam adu pedang satu lawan satu, Luka sempat agak kewalahan menghindari tusukan dan tebasan pedang Risa yang datang bertubi-tubi. Gerakan gadis itu sangat cepat. Tubuhnya yang mungil memberinya keuntungan ekstra ketika mengelak dari serangan balasan Luka. Kelincahannya meningkat berkali-kali lipat.
Pertarungan mereka berlangsung tanpa jeda hampir dua puluh menit lamanya. Napas Risa mulai terengah-engah. Ada peluh membulir di dahi Luka. Tapi tak satu pun dari mereka yang berniat menyerah. Keduanya sama-sama bertarung seakan-akan pertarungan itu adalah pertarungan sungguhan. Langit yang sebelumnya cukup cerah perlahan meredup karena mendung yang berarak makin tebal. Meski demikian, tidak terlihat tanda-tanda keduanya akan segera menyudahi pertarungan mereka.
Di babak selanjutnya, arah pertarungan berubah. Luka yang semula menerapkan taktik defensif mulai menyerang. Pedangnya menebas berkali-kali ke arah Risa. Dengan cekatan, Risa merunduk untuk menghindar. Dia juga kerap menggunakan pedangnya buat menahan serbuan pedang Luka. Pada suatu momen, bilah tajam pedang mereka saling membentur keras. Denting nyaring memecah suasana diikuti suara sambaran petir yang menimbulkan kilat cahaya di antara mega.
Kemudian, hujan turun tiba-tiba.
Di bawah guyuran hujan, Luka dan Risa saling memandang. Dada mereka naik-turun dengan cepat seiring napas yang memburu. Alih-alih menghentikan pertarungan dan mencari tempat berteduh, Risa justru menguatkan genggaman tangannya ke gagang pedang. Luka memiringkan wajah, lantas melakukan tindakan yang sama.
Mereka kembali saling menyerang.
Memanasnya pertarungan membuat sejumlah pegawai kastel yang awalnya cuma lewat sampai berhenti dan menonton Risa dan Luka dari bagian koridor yang ternaungi kanopi. Mereka ternganga dengan mata menatap takjub. Wajar saja. Tidak setiap hari mereka diberi kesempatan menyaksikan pertarungan yang anggun tapi mematikan seperti yang tengah Risa dan Luka lakukan.
Keduanya mulai lagi.
Risa menyabetkan pedangnya ke sebelah kanan pundak Luka. Luka balik menghindar, menggeser posisinya ke kiri sehingga pedang Risa hanya berhasil melibas udara kosong. Tak menyerah, Risa ganti menyabetkan pedangnya ke sebelah kiri Luka. Luka berhasil menangkis serangannya. Pedang mereka membentur dalam posisi menyilang. Hanya dalam sepersekian detik, mereka kompak menarik pedang masing-masing di waktu yang bersamaan, lalu kembali menghunusnya ke depan. Ujung pedang Risa berhenti hanya beberapa sentimeter di depan perut Luka, sedangkan bilah tajam pedang Luka melintang di depan leher Risa.
Terdengar suara tepuk tangan dari para pegawai kastel yang berkerumun di lorong—mereka pasti bertepuk tangan cukup keras karena bunyinya mampu mengalahkan bunyi derai hujan yang masih turun dengan derasnya.
“Seri?” Luka mengangkat salah satu alis.
“Seri, sampai pertarungan kita yang berikutnya.”
“Setuju.”
***
“Lara punya banyak ikat rambut! Kenapa kamu tidak minta padanya dan malah memakai karet gelang yang tidak diciptakan untuk mengikat rambut?!” Luka bertanya seraya menahan rasa frustrasi setelah setidaknya sepuluh menit berlalu dan dia masih belum berhasil melepaskan karet gelang yang terlilit kusut di rambut lembab Risa.
Berbulan-bulan silam, tindakan impulsif Risa yang memaksa membabat rambutnya sendiri memakai sebilah pisau membuat Lara mesti mengambil langkah ekstrem memangkasnya jadi sangat pendek. Kini, rambut Risa sudah mulai memanjang. Makanya, Risa selalu mengikatnya dalam satu kunciran kecil tiap dia berlatih.
“Nggak kepikiran! Lagian, gue nemunya itu!”
“Rambutmu lengket ke karetnya! Dan kamu tidak mengikatnya dengan benar! Caramu mengikat membentuk simpul mati—”
“Yaudah, kalau susah dilepas, gunting aja rambutnya—”
“Kalau rambutmu jadi pitak bagaimana?”
“Biarin aja! Botak pun gue nggak masalah—”
“Oke, kalau begitu akan kubotaki saja sekalian kepalamu—”
“YA JANGAN DIBOTAKKIN JUGA DONG!”
“Tadi katamu botak pun kamu tidak masalah—”
“Kalau benar-benar terpaksa!” Risa berseru sewot. “Bukan karena dibotakkin secara sengaja!” Tangan Risa mulai meraba ke belakang untuk menyentuh kuncir rambutnya yang kusut. Gara-gara karet gelangnya susah dibuka, Risa sempat menariknya secara kasar dan sembarangan. Tindakannya memperburuk situasi. Simpul karet gelangnya jadi makin susah diurai.
“Jangan sentuh!” Luka menepuk pelan punggung tangan Risa. “Sentuhanmu memperburuk simpul matinya!”
“Kok malah lo yang galak sih—aw!” Risa refleks berseru saat Luka tidak sengaja menarik rambutnya terlalu keras.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Luka cepat-cepat berucap. “Tolong diam. Kalau terlalu banyak bergerak, nanti rambutmu makin tertarik.”
“Oke—ini udah diem!”
“Tunggu sebentar—” Luka sadar dia perlu gunting untuk memutus karet gelang tersebut. Namun dia terlalu malas untuk mencari benda tersebut dari laci terdekat. Jadilah, Luka merunduk sedikit dan memutus karet gelang yang kusut dengan giginya. “—tunggu. Tinggal lepaskan yang ini dan—sudah. Karet gelangnya sudah terlepas.”
“Thanks. Gue keramas duluan ya kalau gitu?”
“Silakan.”
Risa lekas menuju kamar mandi. Dia berada di dalam sana cukup lama untuk membasuh seluruh sisa hujan dan pasir basah dari tubuhnya. Ketika keluar lagi, dia sudah mengenakan jubah bathrobe warna putih yang telah Luka siapkan buatnya. Rambutnya yang masih lembab dililit handuk berwarna senada. Luka sedang duduk di kursi saat Risa keluar dari kamar mandi. Dia sudah berganti baju ke setelan kering berwarna abu-abu gelap.
“Loh, udah mandi?!”
“Sudah.”
“Di mana?!”
“Di kamar sebelah juga ada kamar mandi.”
“Cepat banget?!”
“Kamu yang terlalu lama di kamar mandi.” Luka beranjak dari kursi. “Sini, biar kubantu keringkan rambutmu.”
Risa menurut saja. Dibiarkannya Luka menggosok lembut rambut dan kepalanya menggunakan handuk. Tak bisa dipungkiri, dimanja seperti itu terasa menyenangkan. Terlebih kalau Luka yang melakukannya. Setelah semua yang mereka alami, pasca perpisahan panjang yang didasari kesalahpahaman selama berbulan-bulan, kini bahkan lewat sentuhan sepele pun Risa bisa merasakan sebesar apa Luka menyayanginya.
Tadinya, Luka benar-benar cuma berniat membantu mengeringkan rambut Risa. Risa punya kebiasaan buruk membiarkan rambut basahnya meneteskan air ke mana-mana setelah mandi. Gadis itu bukan tipe orang yang betah berlama-lama membungkus kepalanya dengan handuk. Tapi mendapati bagaimana handuk di kepala Risa menutupi sebagian wajahnya hingga hanya bibir dan rahangnya yang terlihat tak pelak membuat Luka salah fokus.
Tatapannya tertuju ke bibir Risa lebih lama lima detik dari yang semestinya.
“Kenapa, Lu?”
Lu? Luka terkesiap. Apa itu panggilan—apa itu panggilan sayangnya untukku?
Jantung Luka sekonyong-konyong berpacu lebih cepat.
“Lu?” Risa mengulangi panggilannya. Kali ini, tangannya terulur menyingkirkan handuk dari kepalanya. Matanya menatap penuh rasa ingin tahu ke Luka. Sebaliknya, Luka malah buang muka. Pipinya merona. Telinganya memerah. “Kenapa lo malah—tunggu—lo lagi salting ya?! Ya ampun, lucu banget kalau saltingnya modelan gini!”
Bahkan hanya sebatas membantah pun Luka tidak sanggup.
Risa terkekeh jail. Dia melangkah maju sehingga jarak di antara mereka benar-benar sempit. Sembari memegang bagian depan atasan abu-abu Luka, Risa berjinjit. Dia bermaksud mencium Luka di bibir, namun perbedaan tinggi badan mereka membuat kecupannya justru mendarat di dagu Luka.
“Kamu ini benar-benar—”
“Apa?” Risa menyambar. “Bukannya lo juga kepengen nyium gue?”
“Sejak kapan kamu pandai baca pikiran orang?”
“Gue nggak bisa baca pikiran orang, tapi gue cukup mengenal orang yang gue cintai.”
Orang yang dia cintai.
… aku?
Luka menghela napas, perlahan merunduk. Dia mencium Risa. Bukan di bibir, melainkan di kening.
Setelahnya, dia membimbing Risa menuju tempat tidur. Kedua tangannya menekan bahu Risa lembut, membuat Risa terduduk di tepi ranjang sambil menengadah. Sinar bingung memancar dari kedua mata gadis itu.
Luka setengah berlutut di depannya. Laki-laki itu merogoh saku kemejanya, mengeluarkan seuntai kalung berliontinkan simbolnya. Kalung yang Risa tarik lepas secara paksa sampai putus berbulan-bulan silam. Kalung yang Risa tinggalkan di lantai batu kelabu penjara bawah tanah akademi yang dingin. Kalung yang sudah Luka perbaiki, yang selalu Luka bawa ke mana-mana karena benda itu tak pernah gagal mengingatkannya akan rindunya pada Risa.
Luka membuka telapak tangan Risa dan meletakkan seuntai kalung tersebut di sana.
“Bisa kukembalikan ini padamu?”
Risa mengerjap. “Tapi ini kan emang punya lo. Maksud gue, ini simbol lo dan—”
“Selamanya, simbol ini akan selalu jadi milikmu.” Luka berkata. “Sama sepertiku. Selamanya, aku akan selalu jadi milikmu.”
Risa tercekat seketika. Matanya menatap lurus tak percaya ke Luka. “Luka—”
“Selama eksistensiku, aku tidak pernah berlutut pada siapa pun. Tidak pada ayahku. Tidak pada sang Raja. Tapi sekarang, aku berlutut di depanmu. Berlutut padamu.” Luka meneruskan, ekspresi wajahnya sarat kesungguhan. “Semua yang kupunya, namaku, posisiku, hartaku, kehormatanku, hidupku, adalah punyamu. Jiwa dan ragaku. Seluruhnya. Musuhmu adalah musuhku. Keinginanmu adalah keinginanku. Aku akan berada di sampingmu. Menjagamu. Mendampingimu. Sampai akhir.”
Sesaat, Risa tidak kuasa berkata-kata.
“Maukah kamu menerimaku, Trisha?” Luka bertanya penuh harap. “Bisakah kamu mengizinkanku jadi milikmu?”
Risa menggigit bibir bawahnya. Matanya berkaca-kaca. Dia mengangguk berkali-kali. Tangannya terulur menyentuh pipi Luka, mengusapnya lembut.
Wajah terindah yang pernah dia lihat. Dada paling kokoh yang pernah dia jadikan sandaran. Tatapan paling tulus yang bisa diberikan seseorang padanya. Semuanya ada pada Luka.
Risa bangkit dan membawa Luka ikut berdiri bersamanya.
Lantas tanpa kata, dia menyandarkan kepalanya ke dada Luka.
Dan tanpa berbicara, Luka pun balik memeluknya.
Momen itu akan jadi momen yang sempurna andaikan Risa tidak mendengar tawa nyaring seseorang yang berasal jauh dari bagian terdalam benaknya; kita lihat, Gadis Manis. Kita lihat, sampai kapan kamu bisa mempercayai kata-katanya.
Risa terkesiap sebab dia mengenali suara itu.
Itu suara milik sosok bertudung hitam yang beberapa kali muncul dalam mimpi-mimpinya.
“Ada apa?” Luka bertanya saat dia merasakan tubuh Risa menegang dalam pelukannya.
Risa menelan saliva. “Nggak, nggak apa-apa. Cuma agak capek aja.”
“Kalau begitu, beristirahatlah.” Luka melepaskan dekapannya, lalu dibimbingnya Risa menuju tempat tidur.
Risa menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. “Lo nggak ikut tiduran juga?”
“Tidak, tapi aku tak keberatan menemanimu di sini selagi kamu tidur.” Luka tersenyum.
Risa balas memandangnya, merutuk dalam hati waktu seruan suara misterius itu kembali terngiang di telinganya.
Kita lihat, sampai kapan kamu bisa mempercayai kata-katanya.
Aku bisa percaya sama Luka. Risa menyergah dalam hati. Luka melindungiku di Orakel. Luka menggenggamkan pisau ke tanganku di Nanggala. Luka mengkhianati ayahnya sendiri untukku. Dia juga ngebebasin Dante dari Puri Agnimara karena dia tahu seberapa penting Dante buatku. Aku nggak perlu meragukan kesetiaannya.
“Lagi memikirkan sesuatu?”
Risa mengangguk. “Lagi mikirin pertanyaan mana yang bagusnya gue tanyain duluan ke lo.”
“Soal Dante?”
“Itu salah satunya.”
“Bukankah Dante sudah menceritakannya padamu?” Luka menjawab. “Dia tidak benar-benar terbunuh di Pantai Raudra. Lalu, orang-orang setempat yang masih setia pada Keluarga Arnawarma menemukannya. Mereka memberitahu Basil. Perwira-perwira kepercayaan Basil menjemputnya, membawanya ke estat Agnimara. Di malam kamu meninggalkan akademi bersama Alka, Adya menjemput Nauli untuk membantu Dante pulih. Sisa ceritanya kamu sudah tahu.”
“Kenapa lo ngebebasin Dante dari tempat Basil?”
“Dia sahabatmu.”
Risa mengembuskan napas perlahan. Tiba-tiba saja, dia disergap malu sekaligus rasa bersalah. “Maaf…”
“Maaf?”
“Karena udah salah paham selama berbulan-bulan—”
“Aku sudah memaafkanmu kok. Tidak perlu terus-terusan meminta maaf.”
“Minta maaf doang kayaknya nggak akan pernah cukup. Gue salah ngartiin tindakan lo. Gue membius lo pakai racun di penjara bawah tanah akademi. Gue menghajar lo di Orakel. Kalau gue ada di posisi lo—”
“Percayalah, apa yang kamu lakukan di penjara bawah tanah atau di akademi bukan bagian terberat dari perpisahan kita sepanjang beberapa bulan terakhir.” Luka memotong. “Setidaknya, di penjara bawah tanah akademi dan di Orakel, aku masih bisa melihatmu.”
Risa terdiam, membiarkan Luka melanjutkan bicara.
“Berbulan-bulan tidak melihatmu rasanya seperti di neraka, Tink.” Tatapan mata Luka yang masih tertuju ke Risa melembut. “Bertanya-tanya di mana kamu berada, bagaimana keadaanmu, membayangkanmu menangis karena mengira aku mengkhianatimu sangat menyiksa. Aku tidak pernah berhenti merindukanmu. Sungguh.”
“Maaf ya…”
Luka menangkup sebelah wajah Risa dengan telapak tangannya. “Beristirahatlah. Aku akan menemanimu sampai kamu bangun.”
Satu kecup halus yang lantas Luka daratkan di dahi Risa membuat Risa menutup matanya, membiarkan kegelapan alam mimpi menelannya.
***
“Lagi mempersiapkan diri jadi jenderal?”
Tanya Denzel sontak membuat Risa mengangkat wajah dari lembaran buku tebal tentang strategi militer yang tengah dia baca. Risa hampir mengomel karena Denzel sudah mengagetkannya, tapi dia malah terkesiap saat melihat goresan dalam yang memanjang di pelipis hingga pipi Denzel. Meski sudah mulai mengering, menilai seberapa dalamnya goresan itu, Risa tebak Denzel butuh waktu setidaknya tiga hingga empat hari sampai lukanya benar-benar sembuh.
“Kenapa sama pipi lo?!”
“Aku terkesan. Kamu khawatir padaku?”
“Kalau ditanya tuh jawab yang benar, bukannya malah balik nanya!”
“Cuma tergores sedikit. Bukan apa-apa.” Denzel meraih kursi di depan Risa, lalu duduk. “Astaga, buku itu adalah salah satu buku paling membosankan yang pernah kubaca! Kamu benar-benar membacanya?”
“Menurut lo?”
“Sudah sampai halaman berapa?”
Risa mengecek halaman bukunya. “Halaman 89.”
“Kamu betulan berniat jadi jenderal ya?”
“Nggak juga. Malah, semakin banyak halaman yang gue baca, gue semakin yakin kalau perang itu tolol.”
Denzel mesem-mesem. “Dan alasannya?”
“Ada lima strategi militer dasar yang sering dipakai dalam perang. Pemusnahan. Pelemahan. Pembasmian. Pengancaman. Pemberontakan.”
“Mm-hm.”
“Tapi di bab ini—” Risa menunjuk lembaran bukunya yang masih terbuka. “Tercantum daftar kejahatan perang yang dianggap melanggar hukum perang.”
Denzel tertawa kecil. “Seperti misalnya?”
“Pembunuhan. Penyiksaan. Penghancuran properti. Penyanderaan. Maksud gue—pembunuhan massal masuk dalam pemusnahan kan? Penyiksaan bisa dianggap pelemahan dan pengancaman. Terus mana bisa orang-orang berperang tanpa menghancurkan? Aneh banget!”
“Lupakan saja soal hukum perang.” Denzel menutup buku yang mulanya terbuka. “Aku pernah bertarung dalam dua perang sebelumnya. Kuberitahu ya, semua adil dalam perang dan cinta. Lakukan apa pun untuk bertahan hidup. Itu aturan yang paling penting.”
“Jangan tutup bukunya! Gue belum selesai baca!”
“Bukankah tadi kamu sendiri yang bilang kalau perang itu tolol?”
“Iya, tapi gue tetap mau baca bukunya sampai selesai! Lagian, gue juga gabut. Luka lagi pergi. Katanya ada urusan. Dan beberapa bulan terakhir, gue lebih banyak latihan fisik daripada baca buku. Rasanya otak gue kopong banget.”
“Bukannya otakmu memang sudah kopong dari dulu?”
Risa menyipitkan mata. “Lo ke sini cuma mau ngajak gue berantem ya?”
“Aku ke sini karena aku kangen kamu, Riri.” Denzel tertawa kecil. “Novel bilang, aku nggak perlu cemas karena Luka pasti mengurusmu dengan baik. Tapi aku tetap harus memastikan, aku harus melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Terus terang saja, setelah berbulan-bulan di Nanggala, kamu sudah seperti adik perempuan bagiku.” Mata Denzel memandang hati-hati pada setelan hitam yang Risa kenakan. Setelan yang senada dengan pakaiannya sendiri. “Terutama setelah—setelah semua yang sudah terjadi…”
Risa berdeham. “Lo sama Novel stay di mana?”
“Di sebuah penginapan di Desa Arati. Kami juga bersama Arai.” Denzel mengangkat bahu. “Luka menolak menerima Arai di sini. Aku sih nggak keberatan membiarkan bocah itu ngalor-ngidul sendirian di luar Kastel Raudra, tapi Novel bilang itu nggak setia kawan namanya. Makanya, kami menginap bertiga di luar kastel.”
“Yah, Luka emang agak sensi sama Arai—”
“Gara-gara kalian pernah ciuman ya?”
Risa melotot. “Dari mana lo tahu?!”
“Aku nggak tahu siapa yang memulai, tapi rumornya begitu. Katanya, Arai adalah laki-laki cadanganmu selama kamu bermusuhan dengan Luka. Banyak bisik-bisik yang bilang kalian terlibat cinta segitiga.”
“Konyol banget!” Risa memutar bola matanya. “Nggak ada yang namanya cinta segitiga!”
“Tapi kamu betulan mencium Arai? Maksudku… ciuman yang benar-benar ciuman? Bukan yang sebatas menempel?”
“Denzel—”
“Sungguh?!”
“Sebut nama Arai sekali lagi, dan gue jamin buku ini bakal mendarat di kepala lo—”
“Arai, Arai, Arai, Arai, Arai—argh!” Denzel memekik kesakitan ketika Risa menghantamkan buku ke kepalanya. “Kamu benar-benar memukulku?!”
“Gue sudah kasih peringatan sebelumnya, kan?” Risa berdecak.
“Dasar cewek biadab—oke, ampun! Ampun! Aku bilang ampun, Riri! Taruh lagi bukunya! Riri! Jangan salah ya, asal kamu tahu saja, serpent juga bisa gegar otak kalau terus-terusan dipukul di kepala—Riri!”
Risa membanting buku di tangannya ke meja. “Lo udah lihat keadaan gue pakai mata-kepala lo sendiri. Lo udah tahu kalau gue baik-baik aja. Kalau nggak ada keperluan lain lagi, mending lo tinggalin gue sendiri daripada bikin gue bete!”
Denzel nyengir. “Masih ada satu keperluan lagi.”
“Apa?”
Denzel menarik lepas pedang bersarung yang melekat di punggungnya. Diletakkannya pedang itu ke meja. “Kuserahkan ini padamu.”
“Ini apa?”
“Pedang.”
Risa menahan jengkel. “Gue tahu ini pedang, Denzel. Gue punya mata. Maksudnya, buat apa?”
“Ini punya Alka.”
Seketika, jawaban sederhana Denzel membungkam Risa.
“Dia mendapatkan pedang ini sebagai hadiah dari Adya di hari ulang tahunnya yang ke-18 tahun. Jelas sudah lama sekali. Alka memakai pedang ini dalam pertarungan-pertarungannya di perang-perang terdahulu. Setelah perang berakhir, dia menyimpannya di Istana Liwa. Pedang ini terlalu besar, terlalu panjang untuk kamu yang lebih pendek dari Alka, tapi kupikir, di antara kita semua, kamu yang paling berhak menyimpannya.”
Risa menatap pedang itu sejenak. Susah payah, dia menelan ludah. Lalu, napas panjangnya terhela. Pedang itu sangat cantik. Gagangnya berhiaskan kumpulan batu-batu merah delima yang membentuk simbol Keluarga Wiranata. Risa menggenggam gagang pedang itu, mencari jejak-jejak Alka yang tertinggal, satu-satunya koneksi yang menghubungkan mereka selain abu dalam vial yang selalu Risa bawa ke mana-mana.
Risa menarik pedang tersebut keluar dari sarungnya. Bilah tajamnya berkilau ditimpa cahaya dari jendela perpustakaan yang dibiarkan terbuka. Senjata itu menebar pesona yang mematikan. Deretan aksara dalam bentuk yang tak familiar untuk Risa terajah di atasnya menambah kesan antik yang menguatkan wibawa. Perlahan, Risa menyusurkan telunjuknya ke jajaran aksara tersebut; पराक्रमो विजयते.
“Ini apa?”
“Parakramo vijayate.” Denzel menatap tulisan itu. “Sebuah kata dalam bahasa Sanskerta. Ditulis memakai aksara Dewanagari.”
“Artinya?”
“Valour triumphs. Keberanian akan menang.”
Tiba-tiba saja, Risa ingin menangis. “Thanks.”
Denzel mengangguk. “Sama-sama.”
Hening sebentar.
“Begitu masa berkabung selesai, keadaannya akan makin sulit, terutama buatmu.” Denzel memulai hati-hati. “Aku tahu apa yang bisa dilakukan Benji Agnimara. Dia nggak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau. Dia bukan lawan yang gampang.”
“Gue tahu.” Risa kembali memasukkan pedang ke sarungnya. “Tapi gue juga nggak akan kalah dengan mudah. Gue pun nggak akan berhenti sampai gue mendapatkan apa yang gue mau. Gue nggak akan berhenti sampai dia tewas di tangan gue.”
“Sudah kuduga.”
“Lo nggak perlu melibatkan diri dalam perang ini, kalau memang nggak mau. Gue nggak akan maksa kalian berpihak ke gue. Tapi kalau lo sama Novel berpihak ke Basil, itu berarti kalian mendeklarasikan diri sebagai musuh gue. Kalau lo muncul di medan perang sebagai lawan gue, gue nggak akan segan-segan menjatuhkan kalian berdua.”
Denzel tertawa kecil. “Ternyata Alka nggak mengada-ada.”
“Maksudnya?”
“Kamu benar-benar susah banget percaya sama orang ya?” Denzel geleng-geleng kepala. “Kalau aku dan Novel berencana berpihak ke Benji, Basil, atau siapa pun dia sekarang, kami nggak bakal mengikutimu bersembunyi di Nanggala selama berbulan-bulan!”
Risa terdiam.
“Kami berpihak padamu, Riri. Sampai akhir.”
“Kenapa?”
“Karena kami percaya sama Alka. Dia sahabat terdekatku. Yang terbaik, bahkan. Melindungimu dan menjagamu adalah tindakan terkecil yang bisa aku dan Novel lakukan untuk menghormati keinginan terakhirnya.”
“… makasih.”
“Bukan apa-apa.”
“Oh ya, ada yang mau gue tanyain.”
“Apa?”
“Lo tahu tempat custom perhiasan? Yang bisa bikin-bikin liontin atau sejenisnya sesuai request. Yang di dekat-dekat sini aja.”
“Ada beberapa bengkel pengrajin perhiasan di Desa Arati. Kamu mau bikin perhiasan?”
Risa mengangguk. “Gue mau bikin semacam liontin.”
“Aku bisa mengantarmu ke sana kalau kamu mau. Gini-gini, aku jago tawar-menawar, loh! Kalau datang bersamaku, kamu pasti bisa dapat diskon!”
“Kalau gitu, bisa antar gue sekarang?”
“Yuk!”
***
Malam sudah tak lagi muda ketika Basil menghentikan langkah di tepi Danau Tundra.
Mata kelabu cerahnya memandang permukaan air yang segelap tinta. Sinar bulan yang redup tak mampu mengalahkan pekatnya gulita. Mega mendung berarak di langit. Sesekali, angin bertiup, menggoyang pucuk-pucuk pepohonan hingga menghasilkan bunyi gemerisik.
Konon menurut mitos yang beredar, satu-satunya siren yang menghuni Danau Tundra hanya akan menampakkan diri di depan orang-orang yang cukup beruntung di malam Bulan Mati. Ini bukan malam Bulan Mati. Tetapi mitos konyol seperti itu jelas tidak berlaku untuk seseorang seperti Benji Agnimara.
“Tunjukkan dirimu.” Basil berkata dalam suara tenang yang terkontrol. “Sekarang.”
Terdengar suara percikan air. Lalu, sebentuk ekor mirip ikan terlihat. Ekor tersebut bertahtakan sisik-sisik holografik yang membiaskan tujuh warna pelangi, tampak berpendar dalam malam sekelam jelaga. Siren yang Basil panggil berenang ke tepi danau. Mata hijau zamrudnya berlapis kabut. Kulitnya yang pucat terbungkus lapisan tipis mirip sisik yang juga holografik. Rambut putihnya yang basah tergerai hingga pinggang. Kalung yang terbuat dari untaian rubi merah melingkar di lehernya.
“Oh, Benji Agnimara.” Siren itu terkekeh. “Atau haruskah kusebut kamu Basil Arnawarma sekarang? Setelah memori Luka Diwangka, akankah aku mendapatkan memori dari Benji Agnimara malam ini?”
“Kamu pernah bertemu Luka sebelumnya?”
“Aku bertemu dengannya berapa bulan lalu. Dia lebih tampan dari yang kubayangkan.” Siren itu mulai cekikikan. Tawanya nyaring merobek keheningan. “Waktu itu, dia lagi kebingungan memikirkan cara menyelamatkan kekasihnya yang terjebak di tempatmu.”
Oh, jadi begitu. Harusnya sudah bisa kutebak.
“Aku tidak pandai berbasa-basi, jadi aku akan langsung ke intinya saja. Aku menginginkan sesuatu darimu.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Sebuah senjata.”
“Senjata?”
“Senjata yang hanya akan membunuh mereka yang bersalah. Mereka yang memang pantas mati.” Basil melanjutkan tanpa ragu.
“Tidak adakah permintaan yang lebih mustahil dari itu, Agnimara?” Siren itu berdecak. “Kamu menginginkan senjata yang hanya akan membunuh mereka yang bersalah. Terdengar sederhana, tapi sesungguhnya rumit luar biasa. Atas dasar apa kita bisa menentukan seseorang bersalah atau tidak? Atas alasan apa kita berhak menetapkan siapa yang pantas mati dan siapa yang pantas hidup? Senjata adalah senjata. Senjata adalah alat. Dia bukan hakim. Bukan pula penentu takdir.”
“Aku tidak peduli.” Basil menyergah. “Berikan apa yang kuminta kalau kamu masih ingin tinggal di danau ini.”
“Kamu mengancamku?”
“Kota Sigra berada di bawah kekuasaanku. Keluarga Arnawarma menyerahkannya padaku. Seluruh penduduknya mengakui kewenanganku. Danau ini adalah bagian dari Kota Sigra. Aku bisa mengusirmu dari sini kapan pun aku mau.”
“Sungguh lancang!” Siren itu berseru geram. “Tapi baiklah. Kelihatannya, aku tidak punya pilihan lain. Apa boleh buat? Akan kuberikan apa yang kamu inginkan.”
“Dan memori apa yang kamu inginkan dariku sebagai timbal-balik?”
“Aku tidak menginginkan memorimu. Laki-laki dingin sepertimu mustahil punya memori hangat yang ingin kumiliki.”
Basil berusaha menahan rasa dongkolnya. “Lalu, imbalan apa yang kamu mau?”
“Kepemilikan atas danau ini. Hak untuk tinggal di sini selama yang kuinginkan.”
“Permintaan itu agak berlebihan.”
“Kurasa kamu perlu berkaca.” Siren itu menukas tajam. “Kamu meminta sesuatu yang berharga dariku. Imbalan yang kuminta tergolong sepele kalau mempertimbangkan apa yang akan kuberikan padamu.”
“Baiklah.”
“Bersumpahlah lebih dulu. Atas nama kehormatanmu. Atas nama kehormatan para pendahulumu.”
“Aku, Benji Agnimara, bersumpah atas nama kehormatanku dan kehormatan para pendahuluku, bahwa aku akan menepati janjiku memberikan hak tinggal di Danau Tundra selama yang kamu mau sebagai pertukaran untuk senjata yang kubutuhkan. Senjata yang bukan hanya sebatas alat. Senjata yang hanya akan melenyapkan orang-orang yang memang pantas dilenyapkan.”
“Tunggulah di sini.”
Siren itu menghilang sebentar ke dalam air. Saat kembali muncul ke permukaan, dia membawa sebilah belati bersarung dengan gagang berhiaskan bebatuan rubi berwarna merah. Basil mengangkat alis ketika menyadari kalau kalung yang tadinya menggantung di leher siren itu sudah lenyap. Dia melemparkan belati itu ke Basil, yang lantas menangkapnya.
Basil menarik keluar belati tersebut dari sarungnya. Dia langsung disambut bilah perak dengan serentetan aksara Dewanagari menggurat bagian tajam belatinya; पराक्रमो विजयते.
“Parakramo vijayate.” Basil bergumam samar. “Keberanian akan menang.”
“Benar.” Siren itu menyeringai. “Keberanian akan menang.”
“Baiklah. Terima kasih.”
“Kudoakan kamu beruntung dalam perang yang akan datang.”
“Doa yang sia-sia.” Basil tersenyum simpul. “Tidak ada keberuntungan dalam perang. Karena jika aku beruntung, Aella, maka perang tak akan sampai harus terjadi.”
Kemudian, Basil berbalik pergi.
to be continued.
***
a/n:
yak, akhirnya kita memulai buku terakhir tentang Risa dan Luka (dan kawan-kawannya sekalian) wkwkwkwwk gue masih belum tahu buku terakhir ini bakal sepanjang apa, tapi okelah, berhubung ini buku terakhir dalam trilogi ini, mari kita tumpahkan saja semuanya~
makasih banyak yang udah menunggu. sampai ketemu di chapter selanjutnya!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
