
Aura memamerkan jajaran giginya kala surainya diusak Rendra. "sebentar lagi dokternya ke sini, periksa kamu."
Wanita itu mengangguk lalu maju selangkah memeluk. "makasih ya abang" ujarnya menempatkan kepala di dada bidang suami. Ingin rasanya ia menyematkan kata abang ga perlu khawatir tetapi ia juga tak tau apa yang akan terjadi kedepannya.
"abang"
"hm"
"perut aku rasanya kenceng banget. ."
"kenapa?"
"ga tau sakit"
Aura memegangi perut besarnya menahan apa yang sedang dirasa. Rendra segera membawa sang istri ke ranjang pelan-pelan ia membawanya dan mendudukinya.
"sakit banget?" tanya Rendra, rautnya penuh kekhawatiran.
"ga sakit banget tapi kenceng gitu"
Rendra bingung harus apa, pikirannya sudah kemana-mana, dokter lama banget.
"minum dulu." Pria itu menuangkan air yang sudah tersedia di meja serta mencemplungkan sedotan ke dalam gelas lalu menyodorkannya pada Aura.
Aura cuma minum dikit, sakitnya bisa ia tahan tapi untuk memasukkan apapun dalam mulut ia tak selera.
"permisi"
Rendra cepat menoleh mendengar seorang perempuan membuka pintu dan masuk yang mana ia tau itu adalah dokter yang sedari tadi ditunggu, pria itu segera meminta pemeriksaan pada wanitanya mendapati rasa gelisah menggebu.
Ia usap wajahnya kalut memperhatikan Aura tengah dalam pengecekan, tak lama dokter tersebut memberi instruksi bahwa Aura tengah mengalami kontraksi. Memang ini yang Rendra harapkan mengapa meminta pelayanan ekstra, ketika sakit apapun yang dirasakan oleh sang istri paling tidak sudah di rumah sakit karena dapat langsung ditangani oleh ahlinya. Mendiang sang istri memang pernah hamil namun untuk hal seperti ini Rendra tak berpengalaman, ia hanya tau akan ada yang namanya kontraksi pada ibu hamil yang akan melahirkan.
Perempuan berprofesi dokter tersebut dengan sopan dan ramah meminta ijin untuk pamit terlebih dahulu, pria itu mengangguk iya setelah mengerti Aura kenapa dan hal itu wajar.
"kamu tahan?"
Aura mengangguk iya, sakitnya juga kadang menyerang kadang tidak.
"butuh apa-apa bilang saya"
Syukur wanitanya mengangguk lagi menuruti apa ucapannya. Pria itu hanya ingin yang terbaik dari yang terbaik mengingat masa lalunya yang tak ada di dekat mendiang sang istri saat-saat seperti ini.
•∆•
Waktu berlalu dan berputar, Aura terus merasakan sakit yang sama, sampai sakit yang tadinya terjeda sekarang jaraknya hanya 5 menit sekali.
Ia mencoba untuk tak terlalu merasa akan sakitnya, ia tiduran sambil mengatur napas semakin lama kok makin sakit.
"abang" panggilnya bosan sekali rebahan, ia berdiri di bantu Rendra namun tubuhnya tumbang pada dekapan suami kendati merasakan suatu hangat keluar dari dalam vaginanya. Ketubannya sudah pecah.
"saya panggil dokter sebentar."
"ga usah aku pengen ke kamar mandi" ujar Aura sambil menahan sakit namun untuk saat ini cuma berdua sama Rendra jauh lebih nyaman yang mana dari apa yang pernah ia baca sekarang pasti belum waktunya melahirkan. Ia jalan pelan-pelan ke kamar mandi dibantu suami lalu mendorong Rendra untuk tak ikut masuk ke dalam. “abang, tolong ambilin celana dalem” katanya, pelan nan lambat.
"jangan di kunci." kata Rendra sebelum akhirnya bergegas mengambil celana dalam sang istri.
Aura berusaha untuk tak panik melihat lendir merah keluar apabila gelisah pasti akan membuat pria itu cepat-cepat memanggil dokter. Terlihat tenang di dalam kamar mandi ia mengambil celana yang Rendra serahkan sementara pria itu setia menunggu di luar.
"udah? saya panggil dokter ya?" ucap Rendra memperhatikan sang istri keluar manahan sakit.
"nanti aja" Aura lagi-lagi mendekap Rendra sakit di perutnya terus melanda. Ia membawa Rendra jalan-jalan pelan dalam ruangan mencoba meminimalisir rasa sakit.
Menit ke menit Aura menahan sendiri, berbagai celah ruangan ia singgahi sampai Rendra sudah tak tega melihat Aura seperti itu tanpa berucap apapun pada sang istri ia memencet bel.
Aura diam menahan, apapun yang Rendra lakukan ia pasrah hingga akhirnya ia melihat dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan. Rendra yang berdiri di sini terlihat kacau, debar jantungnya panas, setelah dicek Aura rupanya sudah pembukaan dua.
Ia perhatikan perawat membenahi sang istri, tak tau harus berbuat apa netranya tak lepas sama sekali memperhatikan Aura. Pikirannya terus menerka apa yang dulu Adelia lalui, sungguh rasanya amat sangat bersalah tak menemani Adelia melalui masa seperti ini meski itu bukan salahnya.
Setelah usai, dokter dan perawat berpamit lagi dan akan kembali setelah beberapa jam. Ia dekati Aura yang sudah berbaring di ranjang duduk dan diam di sampingnya menunggu pembukaan berikut dan berikutnya.
"abang istirahat aja aku lahirannya masih lama" meski perutnya sakit Aura mencoba menenangkan Rendra merasakan tangannya digenggam dan dielus-elus lembut menggunakan jempol tau pria itu pasti perasaannya sedang tak menentu.
•∆•
Langit sudah teramat gelap, berjam-jam Aura tak dapat beristirahat dari rasa sakitnya bahkan sekarang napasnya terasa sesak.
"abang"
Rendra yang tidur tepat di samping Aura langsung bangun mendengar sang istri memanggil, garis bawahi sebenarnya Rendra tak tidur.
"aku mau ke kamar mandi"
Rendra cepat berdiri melihat sang istri begitu sulit, ia tuntun wanitanya namun baru beberapa langkah Aura sudah tak sanggup berjalan. Pria itu dibuat bingung, ia lepas Aura dan mendekati bel, memencetnya berkali-kali tak teratur. Entah berapa skala rasa sakitnya, Aura sudah tak sanggup rasanya ingin mengejan.
Seperti orang gelagapan mencari sanggahan ia memegangi Rendra yang kembali disisi mencekal kuat-kuat tangan prianya. Napasnya tersengal, keringat bercucur, hanya sakit yang ia rasa bahkan napasnya memendek.
"DOKTERR" mungkin ini pertama kalinya Aura mendengar Rendra berteriak, suaranya berat dan menggema namun ia tak peduli apapun lagi, yang ia tau menyimpan tenaga dan bertahan.
Tergesa dokter dan perawat mendekati keduanya, Aura lagi-lagi diperiksa, betapa buru-burunya semua perawat setelah tau Aura sudah pembukaan 7.
Kursi roda dan segalanya dipersiapkan untuk Aura, lalu membawanya dengan cepat ke ruang bersalin. Rendra gelisah bukan main mengikuti langkah perawat, moment sangat ditunggu dan sangat ditakuti tiba.
Sampai di ruang bersalin, pembukaan wanita itu hampir lengkap, Aura segera dibaringkan dan langsung diinstruksi. Ia baik-baik mendengar arahan sambil mencekal kuat tangan suami berusaha dengan semua tenaga mengeluarkan si kecil.
Rendra di samping Aura hanya bisa diam membisu, menyaksikan langsung sang istri berjuang membuatnya harap-harap cemas, tak peduli tangannya dicekal kuat bila dapat membantu Aura dalam proses melahirkan ia tak masalah. Kalimat doa tak henti-hentinya ia ucapkan dalam benak mendengar sang dokter menginstruksi dan melihat Aura harus mengatur napas dalam keadaan sakit mengejan.
Tangan satunya terulur lembut membasuh keringat yang membasahi kening wanitanya matanya memerah saat netranya menangkap Aura terlihat sulit. Saat ini hanya satu yang ia mau, anak dan istrinya selamat. Namun, jika memang harus memilih ia ingin Aura tetap berada di sisi.
Rasa cemasnya semakin besar saat mendapati Aura sangat kuat mencengkram tangannya mengejan panjang. masa lalunya lagi-lagi menabrak pikiran, pasti keadaan sekarang yang tak kuat Adelia rasa sampai akhirnya tak kuasa.
"haa~"
Aura menghembuskan napas lega, ia lepas tangan Rendra dari cengkeramannya akhirnya bayi yang selama ini menemaninya kemana-mana lahir ke dunia. Ia mengatur napasnya yang masih tersengal berkedip sayu melihat suaminya bingung dan melangkah melihat anaknya. Tak lama, suara tangisan bayi pun mengisi ruangan.
"Aura"
Yang dipanggil tersenyum haru memperhatikan Rendra mendekat, kali pertama ia melihat raut wajah Rendra sangat sangat sangat sangat bahagia. Walau tubuhnya masih teramat sakit melihat Rendra senyum sumringah sedikit meminimalisir rasa sakitnya.
"bayinya udah lahir" ucapnya saat prianya berada tepat di sampingnya lagi.
Rendra mengangguk iya tak dapat berkata apapun, ia raih tangan wanitanya menciumi tangannya berkali-kali lalu naik ke pipi. Rasa khawatir akan datangnya hari ini akhirnya meluntur.
Aura menurunkan pandangannya ke bawah mendapati seorang perawat meletakkan bayinya di atas perutnya.
"anak kita." Semburat merah menjalari pipi akan ucapannya sendiri, namun Aura tau kalimat itu dapat semakin membuat Rendra tak lagi hanyut akan masa lalunya.
Senyum Aura tertarik lebar kala Rendra mencium keningnya cukup lama, seolah menghiraukan semua perawat yang masih menangani wanita itu tersenyum teduh merasakan hangat air mata jatuh pada permukaan kulit keningnya.
Hari ini, di menit ini, tepat di detik ini Aura berhasil menghilangkan rasa traumanya Rendra. Dan kini keduanya dapat terlepas dari beban pikiran yang sempat melanda.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
