
Part 50 : Penyesalan Yuda
Bersama bodyguard -nya Yuda memasuki kawasan padat penduduk yang notabene dihuni oleh para warga kurang mampu. Rumah-rumah kecil tak layak huni itu berjajar rapi di sepanjang pinggiran rel kereta api. Miris, sangat miris. Tapi Yuda tak peduli, baginya kini kebenaran jauh lebih penting dari apa pun. Bahkan Yuda tak mempedulikan lagi tatapan aneh para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Tentu saja mereka merasa aneh saat melihat kedatangan orang asing berpakaian formal dengan jas rapi, sepatu mengkilat, berkaca mata hitam, serta ditemani seorang pria berbadan besar dan sangar di sisinya.
"Bos, apa kita tidak salah alamat?" ujar pria berkepala plontos itu kepada Yuda yang masih terus saja melangkah seraya memindai ke seluruh deretan rumah beratap seng tersebut.
Lantas Yuda menghentikan langkah, menatap ke arah bodyguard -nya dengan sorot tak terbaca. Apa yang dikatakan pria itu benar, bagaimana dirinya bisa menemukan alamat yang benar sedangkan di sana semua rumah hampir serupa. Namun baru saja Yuda membuka kata saat ponselnya berdering. Yuda segera menerima telepon tersebut setelah memastikan nomor si pelaku pengirim berkas misterius yang tadi menghubunginya.
"Anda lurus saja, nanti ada rumah bercat biru dengan banyak tumpukan kardus di depan rumahnya," ucap pria dari balik telepon.
"Ka... " Tut... Tut.... Tut.... Suara sambungan telepon terputus seketika berhasil memancing emosi Yuda. Rahang pria itu mengeras sembari mencengkeram ponselnya.
"Ada apa Pak?" tanya bodyguard -nya saat melihat ekspresi marah wajah Yuda.
"Kita hampir sampai," balas Yuda singkat lalu kembali melangkah.
Sampailah Yuda di depan sebuah rumah kumuh dengan ciri-ciri yang telah disebutkan oleh si penelepon tadi. Sejenak Yuda terdiam. Menatap ke arah rumah bercat biru yang telah memudar di hadapannya dengan miris. Bahkan jika dibandingkan dengan tempat tinggal kucing peliharaannya saja masih jauh lebih baik dan layak huni daripada rumah di hadapannya.
"Bapak yakin ini adalah rumah yang kita cari?" tanya pria berkepala plontos dengan perasaan bingung karena sejak tadi Yuda lebih banyak diam dan mengabaikan dirinya.
Yuda masih bergeming di tempatnya saat melihat seorang pria berpakaian kumal dan lusuh ke luar dari dalam rumah tersebut. Seketika tubuh pria itu membatu, kedua mata sayu itu terbelalak kaget saat mengenali siapa tamu yang datang ke rumahnya. Pun dengan Yuda yang hanya mampu terdiam, kedua matanya mulai memindai dari ujung kaki hingga ujung kepala pria di hadapannya yang tampak sangat kurus dan tua. Jejak ketampanan dan kegagahan itu pun telah pupus di makan usia atau lebih tepatnya karena beratnya beban hidup yang ditanggungnya. Sangat jauh berbeda dengan penampilan Yuda yang masih terlihat muda, gagah, dan berkharisma.
"Pak Yuda?" gumam pria itu dengan suara bergetar.
Tanpa disangka pria itu lantas mendekat dan menjatuhkan diri tepat di hadapan Yuda, bersimpuh di bawah kaki pria yang dulu pernah ia dzolimi. Pria yang keluarganya telah ia hancurkan hanya demi sebuah uang.
"Jangan menyentuh Pak Yuda dengan tangan kotor kamu!" Bodyguard Yuda seketika murka saat melihat pria kurus itu menyentuh kaki majikannya. Pria berkepala plontos itu mendorong tubuh pria itu hingga terjatuh.
"Hentikan Edi!" titah Yuda yang sukses membuat Edi, bodyguard Yuda terdiam lalu sedikit mundur.
"Ampuni saya Pak Yuda. Demi Allah saat itu saya menerima tawaran Bu Tiara karena saya terdesak masalah berat. Anak saya harus dioperasi secepatnya dan saya sangat membutuhkan uang itu. Jadi tanpa berpikir panjang saja menerima tawaran Bu Tiara dan mengikuti semua rencananya," aku pria itu dengan berlinang air mata seraya mengatupkan kedua tangan di depan dada. Sungguh hidupnya tak pernah tenang karena setiap waktu harus dihantui oleh rasa bersalah.
"Apa kamu bilang? Ampun?" sinis Yuda tak percaya mendengarkan permintaan ampun setelah 25 tahun pria itu menghancurkan hidupnya. "Hahahaha... Apa kamu pantas mendapat maaf dari saya setelah menghancurkan hidup saya selama 25 tahun? Kamu tahu, gara-gara kamu saya telah menyakiti istri dan putri saya," sambung Yuda dengan kedua tangan terkepal. Ingin sekali Yuda membunuh pria itu dengan kedua tangannya saat ini juga.
Pria itu hanya menangis tanpa mampu berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur. Waktu telah berlalu dan tak mungkin bisa terulang kembali. Kini hanya menyisakan sebuah penyesalan terdalam. Semuanya telah terjadi karena kesalahannya. Ia hanya seorang ayah yang rela melakukan hal keji demi menyelamatkan putrinya yang saat itu sakit karena tabrak lari saat pulang sekolah. Mana mungkin dirinya mampu membiayai operasi putrinya sedangkan gaji sebagai pelayan kafe hanya cukup untuk makan keluarganya sehari-hari.
"Semuanya sudah terlambat. Saya sudah kehilangan semuanya," lirih Yuda dengan perasaan hancur.
Setelah mengatakan itu Yuda lantas pergi begitu saja. Membunuh pria menyedihkan itu tentu tak ada gunanya. Dirinya justru akan mengotori tangannya dengan dosa yang lebih besar lagi. Kini yang bisa Yuda lakukan hanya merutuki diri sendiri atas kebodohannya. Bagaimana mungkin dirinya dulu tidak pernah terpikirkan untuk menyelidiki kebenaran itu terlebih dahulu sebelum mempercayai bukti-bukti dari Tiara, mantan kekasihnya. Yuda tak pernah menyangka monster yang sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Hewan saja akan mempertaruhkan nyawa demi istri dan anaknya. Tapi dirinya? Makhluk yang diciptakan oleh Allah paling sempurna. Seharusnya dirinya mampu menggunakan akal dan perasaannya dengan baik bukannya hanya menuruti egonya saja.
Yuda berjalan dengan gontai menyusuri kawasan kumuh itu dengan pandangan kosong. Suara decitan lokomotif yang bergesekan dengan rel begitu memekakkan telinga pun seolah tak terdengar di telinganya. Yuda merasa hancur dan tak berguna. Edi yang sudah menemani Yuda lebih dari 10 tahun itu hanya mampu menatap punggung Yuda dengan perasaan sedih. Memperhatikan bahu tegap itu meluruh tanpa asa di hadapannya.
"Sekarang kita kemana Pak?" ucap Edi memberanikan diri saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Yuda membisu, pria itu menatap Edi dengan sorot tak terbaca lalu kembali menatap ke arah depan seraya berbicara, "Ed pantaskah saya menemui istri saya? wanita yang telah saya siksa secara fisik dan batinnya selama ini?"
Edi menatap Yuda sekilas lalu kembali fokus pada jalanan sempit di hadapannya. Edi masih memilih diam, memberi waktu sejenak untuk Yuda agar lebih tenang. Lalu saat mobil yang dikendarainya mulai memasuki jalanan raya utama barulah Edi membalas.
"Selagi Pak Yuda masih bernapas kesempatan itu pasti ada," ucap Edi dengan bijak. Penyesalan selalu datang terlambat tapi selama Allah masih memberikan izin untuk kita bernapas maka kesempatan untuk bertobat masihlah terbuka. Meskipun tidaklah mudah. Tapi apa salahnya mencoba memperbaiki sesuatu yang telah rusak. Tentu semuanya tidak akan kembali menjadi sempurna. Semua luka itu tidak akan dengan mudah terobati tapi setidaknya masih ada kesempatan untuk memberi warna baru dari sisa perasaan itu.
"Kamu benar Edi, klo gitu kita pulang sekarang!" balas Yuda dengan kedua mata berkaca-kaca.
Selama perjalanan Yuda begitu gelisah. Dirinya tak mampu membayangkan tatapan terluka Valerie setiap kali mereka bertemu. Selama ini mereka memang tidak pernah tidur dalam satu kamar kecuali jika Yuda menginginkan Valerie, Yuda akan masuk ke dalam kamar Valerie dengan kondisi mabuk. Itulah yang Yuda lakukan agar dirinya mampu memenuhi keinginan balas dendamnya. Dengan pengaruh alkohol dirinya tega melakukan apa pun terhadap Valerie. Termasuk mengabaikan perasaannya sendiri.
Yuda selama ini memang sengaja menunjukkan perangi buruknya di hadapan Valerie. Mabuk dan bergonta-ganti wanita hampir setiap pekan yang memang sengaja Yuda tunjukkan di hadapan Valerie. Padahal yang sebenarnya, Yuda hanya menyewa wanita-wanita itu untuk mengikuti semua rencananya, membuat Valerie cemburu dan sakit hati. Yuda tidak pernah sekalipun meniduri satupun wanita yang disewanya. Yuda akan membayar mahal pada wanita-wanita itu setelah dirinya merasa puas saat melihat Valerie tersiksa. Sifat psikopat dalam dirinya lahir begitu saja semenjak mengetahui pengkhianatan Valerie. Yuda marah dan kecewa hingga melakukan hal-hal yang sekarang justru terlihat sangat bodoh seperti seorang pria pecundang.
Dengan jantung berdebar-debar Yuda bergegas turun dari mobil. Melangkah dengan cepat menuju teras rumah saat melihat mobil Valerie telah terparkir di halaman. Namun seketika nyali Yuda menguap begitu saja saat tangannya hendak mendorong daun pintu. Edi hanya mampu menatap dari kejauhan seraya berdoa dalam hati semoga Yuda segera menemukan kebahagiaannya. Sebagai bodyguard sekaligus tangan kanan Yuda tentu dirinya tahu bagaimana menderitanya Yuda selama ini. Hanya saja di hadapan semua orang Yuda selalu bersikap seolah hidupnya bahagia dan sempurna.
Yuda menghela napas panjang sebelum benar-benar mendorong daun pintu raksasa itu. Hal yang pertama kali Yuda lakukan adalah mencari keberadaan Valerie. Namun, tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkah Yuda yang baru saja melewati ruang tamu.
"Tuan sudah pulang?" tanya salah satu ART keluarga Wirawan dengan tatapan heran karena hampir setiap hari pemilik rumah megah tersebut selalu pulang menjelang larut malam. Tak jarang juga pria itu tidak pulang selama berhari-hari.
Hanya Edi yang tahu kemana Yuda pergi jika tidak pulang ke rumah. Pria itu akan beristirahat di kamar khusus miliknya di kantor ataupun pulang ke apartemen pribadinya.
"Nyonya Valerie dimana?" tanya Yuda pada wanita itu.
"Nyonya sedang di kamar beliau Tuan," balas wanita itu yang langsung membuat Yuda melangkahkan kaki.
Mencoba menekan egonya, Yuda segera memasuki kamar yang seharusnya dihuni oleh mereka berdua. Yuda seketika terperangah saat melihat kondisi ranjang yang berantakan. Valerie wanita yang rajin dan rapi. Jadi tidak akan mungkin kamar itu berantakan seperti yang saat ini dilihatnya. Lalu pandangan Yuda tertuju pada laci nakas yang terbuka. Langkah Yuda mulai memutari ranjang.
Deg... Jantung Yuda seketika seolah terhenti.
"Valerie!" Teriak Yuda saat melihat Valerie yang tertidur di lantai dalam kondisi tak sadarkan diri dengan kondisi menggenggam sebuah botol obat. Bahkan kapsul di dalam botol itu berhamburan di sekitarnya.
Yuda segera mengangkat kepala Valerie lalu memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Gegas Yuda mengangkat tubuh Valerie ke luar dari kamar seraya berteriak memanggil Edi. Tak lama Edi datang dengan berlari.
"Nyonya kenapa Pak?" tanya Edi saat melihat Valerie yang tak sadarkan diri.
"Kita harus ke rumah sakit sekarang juga," balas Yuda dengan terus berjalan ke arah pintu ke luar.
Edi berlari membuka pintu untuk kedua majikannya lalu bergegas melajukan mobilnya menuju arah rumah sakit. Dalam perjalanan Yuda tak henti merapalkan doa untuk keselamatan Valerie.
Setibanya di rumah sakit tenaga medis yang berjaga di ruang IGD segera mendorong brangkar untuk pasien. Yuda begitu terkejut saat menyadari jika napas Valerie berhenti.
"Valerie aku mohon jangan tinggalkan aku," ucap Yuda dengan air mata berderai.
"Maaf kami harus melakukan penanganan medis secepatnya pada pasien," ucap salah satu tenaga medis seraya mendorong masuk brangkar tersebut masuk ke dalam ruang IGD dengan tergesa-gesa.
Dokter segera memasang ambu bag. Alat berbentuk seperti pompa udara yang dioperasikan dengan cara menekan kantong berisi udara. Masker ambu bag tersebut segera diletakkan secara tepat pada mulut dan hidung Valerie, sehingga tidak ada celah bagi udara untuk ke luar. Alat itu berfungsi untuk membantu pasien mendapatkan pasokan oksigen ketika mengalami henti napas.
Yuda yang berada di samping Valerie tak sedikit pun melepaskan perhatiannya dari Valerie yang saat ini tengah mendapatkan penanganan medis. Tak lama dada Valerie terlihat bergerak naik turun. Lalu disusul ucapan hamdallah dari salah satu suster yang menangani Valerie.
"Alhamdulillah untung saja Bapak dengan cepat membawa pasien ke rumah sakit," ucap dokter jaga tersebut kepada Yuda.
Seorang suster segera memasang oksigen di hidung Valerie untuk membantu melancarkan pernapasan dan memberikan obat melalui injeksi. Masih dengan menatap Valerie yang terbaring lemas di ranjang Yuda menjawab semua pertanyaan dokter jaga tersebut dengan lengkap.
"Kami harus melakukan observasi terlebih dahulu kepada pasien sebelum melakukan penanganan medis lebih lanjut," ucap dokter tersebut seraya menatap Yuda penuh makna. Tentu saja dokter tersebut seketika paham saat Yuda menjelaskan kronologi saat menemukan Valerie dalam kondisi tidak sadarkan diri. Lalu diperkuat dengan Yuda menyebutkan nama obat yang tadi diminum oleh pasiennya. Pasien tersebut berniat mengakhiri hidupnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
