Mengejar Senja — Bab 3, 4

21
0
Deskripsi

Bab 3. Kamar Suami

Bab 4. Mengenal Lebih Dalam

3. Kamar Suami

"Apa Mas mau melihat Mbak Maya?" tanyaku memulai pembicaraan karena Endra yang masih berada di depan pintu itu tidak berbicara apa pun.

"Nggak, nanti aja," jawabnya singkat dan tak lama dia pun berlalu dari kamar. Aku menarik napas dan menutup kembali pintu kamar yang terbuka. Apa Endra membatalkan niatnya yang ingin melihat keadaan Maya karena aku? 

Kadang aku tidak bisa memahami apa sebenarnya yang ada di pikiran Endra. Dia sangat jarang berbicara semenjak Maya mengalami kelumpuhan. Kalau berbicara pun hanya seperlunya saja. Pantas saja dia tidak bisa menolak permintaan Tante Jenar untuk menikahiku.

Aku benci lelaki yang tidak memiliki pendirian seperti itu. Harusnya dia bisa memberikan alasan untuk menolak permintaan menikahiku. Hanya dia yang bisa menolak tapi nyatanya dia tidak melakukannya dan membiarkanku terseret dalam situasi yang rumit ini.

Walaupun menikah secara siri, tetap saja saat ini aku sudah berstatus sebagai istrinya. Apakah ada wanita yang mengalami hal tidak masuk akal seperti yang sedang kualami? Aku menjadi istri kedua hanya untuk menjaga seorang lelaki agar tidak berpaling dari istrinya.

Memikirkan apa yang telah terjadi padaku hanya membuatku kesal. Aku merasa marah pada keadaan dan juga orang-orang yang tidak berpihak padaku. Hanya karena selama ini aku hidup tanpa orang tua dan bergantung pada keluarga Maya, aku bebas dimanfaatkan seperti ini.

Dadaku terasa sesak karena amarah yang tidak bisa kulampiaskan. Ada banyak hutang budi yang tidak bisa kusepelekan dan membuatku menuruti apa pun permintaan Tante Jenar. 

Aku segera mengusap mataku yang basah dan kembali mendekat ke arah Maya. Semuanya begitu egois, tidak ada yang memikirkan keadaan Maya saat ini. Dia hanya bisa berbaring tak berdaya di hari pernikahan suaminya. Sial! Aku tidak suka mengatakan hal ini karena hanya membuatku semakin merasa bersalah.

Setelah memastikan Maya dalam keadaan baik, aku membereskan hasil memompa ASI tadi. Setelah ini aku akan melihat keadaan Kiara, biasanya dia sering rewel saat malam hari.

Tubuh dan pikiranku terasa lelah, harusnya aku segera tidur dan beristirahat. Tapi nyatanya rasa marah yang terpendam membuatku kesulitan melakukannya. 

Kiara sudah tidur saat aku membawanya ke kamar Maya. Biasanya Kiara memang tidur bersamaku untuk mempermudahku memberikan ASI padanya. Bayi kecil ini terlihat begitu polos, dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada ibunya, dia juga tidak tahu jika orang yang sedang menggendong ini telah menjadi istri kedua ayahnya.

Aku sangat menyayangi Kiara karena akulah yang mengurusnya sejak dia baru lahir hingga sekarang. Jangan tanya bagaimana perlakuan Endra pada Kiara. Dalam hitungan umur Kiara yang sudah lima bulan ini, mungkin hanya dua kali Endra menggendong putrinya. Entahlah, Endra seperti tidak menyukai Kiara, dia seperti sengaja menjauhi Kiara. Apa mungkin Endra berpikir jika Kiaralah yang menyebabkan Maya mengalami kelumpuhan?

Tidak ada yang tahu pasti apa Maya bisa kembali sehat seperti dulu, bahkan dokter yang menanganinya pun tidak bisa memberikan jawaban pasti. Maya mengalami komplikasi menjelang persalinan hingga membuat dia harus melahirkan dengan jalan operasi. Setelah dioperasi, kondisinya memburuk dan saat sadar dia sudah dalam keadaan lumpuh.

Endra mungkin tidak pernah membayangkan jika hari di mana putrinya dilahirkan, yang seharusnya bisa menjadi hari bahagia untuknya malah menjadi hari yang terburuk. Aku tidak menyalahkan Endra yang hingga saat ini seolah menjauhi Kiara. Dia pasti butuh waktu untuk menyembuhkan traumanya.

Malam ini kami akan tidur bertiga. Kiara di box bayinya dan aku tidur dengan beralaskan kasur tipis di bawah tempat tidur Maya. Begini lebih baik agar aku bisa menghilangkan rasa bersalahku pada Maya. Walaupun sampai kapan pun aku tetap merasa telah melakukan hal yang jahat pada Maya.

"Senja! Ngapain kamu tidur di sini?" Aku tersentak saat mataku sudah hampir terpejam dan mendapatkan Tante Jenar sudah berada di hadapanku.

"Eh ... Tante ..., itu ... aku lagi pengen nemanin Mbak Maya," jawabku terbata.

"Tidur di kamar suamimu sana, jangan di sini," usirnya yang membuatku seperti kesulitan bernapas. Suamiku? Tetap saja aku tidak bisa menganggap Endra sebagai suamiku. 

"Nggak, Tante .... Maksudku, malam ini aku mau tidur di sini dulu, lagi kangen sama Kiara juga," jelasku.

"Nggak ...nggak! Sana ke kamar suamimu. Malam ini biar Tante yang tidur di sini," ucapnya. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Tante Jenar berbicara dengan santainya tentang Endra yang telah menjadi suamiku di hadapan putrinya yang sedang terbaring tak berdaya. Ke mana perasaannya? Apa dia tidak bisa merasakan kesedihan Maya jika tahu Endra telah menikah denganku?

"Tapi ...."

"Sudah sana, jangan di sini lagi. Nggak enak dilihat orang kalau mereka sampai tahu kamu tidur di kamar yang berbeda dengan suamimu," potongnya cepat.

Aku tidak yakin Endra akan tidak senang jika aku memasuki kamarnya, kamar yang dulu ditempati berdua dengan Maya. Aku menarik napas panjang dan berharap Tante Jenar bisa memahami keadaanku.

"Aku mesti bangun tengah malam nanti untuk memompa ASI Mbak Maya, Tante," kataku memberi alasan.

"Akan Tante kerjakan malam ini, kamu tinggal jelaskan saja bagaimana caranya," balas Tante Jenar. Aku berharap jika Tante Jenar dan keluarga yang lainnya segera meninggalkan rumah ini agar tidak ada permintaan aneh seperti ini lagi.

Tante Maya mendorongku keluar dari kamar dan aku pun tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain menarik napas panjang. 

Aku tidak akan ke kamar Endra malam ini. Tante Jenar pun tidak akan memeriksa apakah aku berada di kamar Endra atau tidak, jadi lebih baik aku tidur di kamarku sendiri malam ini.

Sepertinya keberuntungan tidak sedang berpihak padaku karena saat ini kamarku malah digunakan oleh keluarga dari pihak Endra untuk beristirahat. Aku tidak mungkin tidur di ruang tamu karena Tante Jenar pasti akan mudah melihatku. Tidak ..., aku tidak mau ke kamar Endra, apa pun yang akan terjadi.

"Ini sudah malam banget, jangan kerjakan apa pun lagi. Kembalilah ke kamar," ucap salah seorang keluarga Endra saat aku sedang membersihkan dapur yang kotor.

Sama halnya sepertiku, Endra juga sudah tidak memiliki orang tua lagi. Mungkin itu juga yang membuatnya dengan mudah dipengaruhi oleh Tante Jenar. Aku jadi membayangkan jika kedua orang tuaku masih ada, mereka pasti tidak akan membiarkan aku mengalami hal yang tidak masuk akal ini. Orang tua mana yang mau anaknya menjadi istri kedua dan mendapatkan suami yang sama sekali tidak mencintainya.

"Sedikit lagi, Tante," balasku sambil tersenyum. Aku kembali membasahi kain dan membersihkan kompor yang kotor. Aku harus melakukan sesuatu malam ini, yang penting tidak tidur di kamar Endra. 

Statusnya sebagai suamiku hanya sebatas ucapan, aku sama sekali tidak memiliki kewajiban sebagai istri sesungguhnya dan dia juga sama, tidak perlu melakukan tugasnya sebagai seorang suami padaku. 

"Apa yang kamu lakukan tengah malam seperti ini?" Ah sial! Aku memaki di dalam hati saat Endra tiba-tiba muncul di hadapanku.(*)


 

4. Mengenal Lebih Dalam

"Tidur sana, ini sudah malam," perintahnya seperti sedang memarahi anak kecil. Ada baiknya sebelum berbicara, dia memahami bagaimana kondisiku saat ini. Bagaimana mau tidur jika aku tidak tahu malam ini akan tidur di mana.

Selama aku tinggal bersama Maya, aku memang jarang berkomunikasi dengan Endra. Hubungan kami hanya sebatas bertegur sapa dan berbicara basa-basi jika kebetulan berpapasan. Selebihnya kami tidak pernah mengobrol panjang lebar.

Sebenarnya semua itu kulakukan untuk menghormati Maya. Aku menjaga jarak dengan Endra agar tidak timbul fitnah atas kami berdua. Nyatanya apa yang aku lakukan itu sia-sia karena saat ini dia malah telah menjadi suamiku.

Suami? Oh tidak! Aku paling benci mengucapkan kata itu.

"Tidurlah di kamarku," katanya lagi. Aku terdiam karena tidak percaya dengan ucapannya. Apa sebenarnya sejak tadi dia tahu jika aku sedang berpura-pura membersihkan dapur?

"Nggak Mas ...."

"Aku nggak pulang malam ini. Segera masuk kamar dan tidurlah," katanya lagi sambil berlalu dari hadapanku. Samar aku mendengar suara anak kunci yang berdencing, menandakan jika Endra memainkan kunci yang berada di tangannya. Mungkin kunci mobil karena tadi dia bilang tidak akan pulang.

Aku tidak peduli dia akan ke mana malam ini, yang pasti ucapannya tadi cukup membuatku merasa lega. Dengan langkah cepat, aku pun segera meninggalkan dapur dan menuju kamar Endra.

Mirip seperti seorang pencuri, aku mendekat ke kamar Endra dengan mengendap-endap dan membuka pintu dengan perlahan. Entahlah, aku hanya tidak ingin ada seorang pun yang tahu jika aku memasuki kamar Endra.

Setelah berhasil masuk, aku segera mengunci kamar dan bersandar di pintu sambil menarik napas lega.

Ini bukan pertama kalinya aku memasuki kamar Endra. Dulu ini adalah kamar Endra dan Maya. Biasanya saat Endra ke kantor, aku akan menawarkan diri untuk membersihkan kamar mereka. Sekarang hanya Endra sendiri yang menempati kamar ini. 

Aku masih tidak habis pikir kenapa Endra memindahkan Maya ke kamar lain. Apa dia merasa terganggu dengan Maya yang lumpuh? Jika benar, dia adalah suami paling jahat yang pernah aku kenal.

Aku duduk di pinggir tempat tidur dengan ragu. Membayangkan jika dulu kamar ini penuh dengan kehangatan dan rasa cinta. Apa Endra tidak pernah memikirkan perasaan istrinya? Diabaikan dalam keadaan sehat saja sudah terasa menyakitkan, apalagi diabaikan dalam keadaan sakit dan tak berdaya.

Tapi aku bisa melakukan apa? Memaki dan memarahi Endra atas sikapnya pada Maya? Aku menggeleng karena tidak mau ikut campur terlalu dalam.

Mataku terasa berat dengan tubuh dan pikiran yang begitu lelah. Sebenarnya aku tidak ingin tidur di sini tapi tidak ada pilihan lain lagi. Besok aku akan bangun pagi-pagi sekali agar orang-orang tidak curiga dengan Endra yang sebenarnya tidak berada di rumah malam ini.

Aku hanya perlu bersabar selama beberapa hari hingga semua keluarga sudah pulang dan aku pun bisa bersikap seperti hari-hari biasanya lagi. Endra dengan dunianya dan aku dengan kesibukanku mengurus Maya dan Kiara.

***

"Nah gitu dong, mulai sekarang kamu yang harus tidur di kamar Endra," ucap Tante Jenar saat aku keluar dari kamar Endra dan berpapasan dengannya. Padahal aku sudah bangun sangat pagi tapi nyatanya masih tidak bisa menghindari hal seperti ini.

"Endra masih tidur?" tanya Tante Jenar dengan wajah penasaran.

"Eh ... itu ..., sudah. Dia keluar buat jogging tadi," jawabku terbata. Hingga pagi ini, Endra memang belum pulang yang membuatku kesulitan untuk menjelaskan di mana keberadaannya saat ini.

"Kiara gimana, Tante?" tanyaku yang mengkhawatirkan Kiara yang rewel semalam.

"Anteng kok, tidur pulas sampai sekarang," jawabnya.

Aku menarik napas lega dan segera menuju kamar Maya. Setiap pagi aku harus memastikan bagaimana keadaan Maya, membersihkan tubuhnya dengan kain basah, mengganti pakaiannya dan menyiapkan sarapan untuknya. Aku tidak percaya orang lain akan bisa merawat Maya sepertiku. Itu juga yang membuatku tidak bisa jauh darinya.

Yang menjadi pikiranku saat ini, aku masih tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di pikiran Tante Jenar hingga tega meminta Endra menikahiku. Alasan takut Endra akan memiliki wanita lain karena kelumpuhan Maya bukanlah alasan yang masuk akal. Seorang ibu pasti tidak ingin anaknya terluka. Aku rasa Tante Jenar sama sekali tidak memahami perasaan Maya.

Aku kembali merasa sedih saat masuk ke kamar Maya. Bagaimana mungkin aku tega menyakiti wanita ini dengan menikah dengan suaminya. Kami sangat dekat dari kecil, Maya memperlakukanku dengan baik, seolah aku adalah adik kandungnya. Lagi-lagi hal ini membuatku merasa bersalah.

Sudah hampir setengah tahun Maya seperti ini. Mungkin Endra sudah putus harapan dan tidak lagi berharap pada keajaiban. Sedangkan aku sendiri masih terus berharap Maya bisa sembuh dan bisa melihat dan merawat Kiara.

Aku melakukan rutinitasku pada Maya. Membersihkan tubuhnya dan memastikan tempat tidurnya tidak kotor. Aku juga mengganti pakaiannya dan menyisir rambutnya. Aku selalu berdoa untuk kesembuhannya setiap berada di dekatnya. Kali ini harapanku begitu besar, jika Maya sembuh, aku tidak perlu menjadi istri kedua Endra lagi. Aku sangat benci dengan kenyataan jika saat ini aku telah menjadi istri kedua Endra.

Jika aku menjadi Maya, aku pasti akan marah jika mengetahui suamiku menikah lagi di saat aku sedang berjuang melawan penyakitku. Selain kesal pada Tante Jenar, aku juga marah pada Endra yang tidak bisa bersikap tegas. Mana ada seorang istri yang mengizinkan suaminya untuk menikah lagi karena itu adalah hal yang menyakitkan. Tante Jenar terlalu percaya diri dengan mengatakan jika Maya pasti menyetujui pernikahan kami.

Aku membuang napas dan berusaha melepaskan semua hal yang membuat pikiranku tak karuan. Setelah memastikan Maya dalam keadaan baik dan bersih, aku pun beralih menuju box bayi Kiara. Dia masih lelap tertidur dan terlihat belum akan bangun dalam waktu dekat. Aku akan menghangatkan ASI untuk Kiara sambil menunggu dia bangun.

"Sudah ..., Maya dan Kiara biar Tante aja yang urus hari ini. Sana ajak Endra ke mana gitu. Kalian baru saja menikah dan perlu saling mengenal lebih dalam, pergilah berjalan-jalan ke suatu tempat hari ini," ucap Tante Jenar yang tiba-tiba berada di sebelahku.(*)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Mengejar Senja
Selanjutnya Mengejar Senja — Bab 5, 6
22
0
Bab 5. Sudah Begitu BaikBab 6. Bukan Maya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan