Bulan yang Kedua โ€” Bab 1, 2

61
2
Deskripsi

Selamat Tahun Baru โค๏ธ๐Ÿ’ƒ.

Ayo rayakan tahun baru kalian dengan cerita baru dariku ๐Ÿฅฐ.


Blurb :

Sepertinya takdir selalu membuat Bulan menjadi yang kedua. Mantan pacarnya menduakannya dan berselingkuh dengan rekan kerjanya. Di saat yang bersamaan, perusahaan tempatnya bekerja malah mengabaikan Bulan dengan mengangkat Damar yang menurutnya tidak pantas untuk mendapatkan promosi jabatan, padahal Bulan sangat yakin jika harusnya dia yang lebih pantas mendapatkannya.

Lagi-lagi Bulan merasa diduakan.

Bulan tidak...

1. Seharusnya Dia yang Pergi

Sama sekali tidak ada yang menarik di tempat ini. Makanan, minuman, bahkan orang-orang yang datang, semuanya membosankan. Rasa pasta yang masuk ke mulutku ini saja terasa hambar dan membuatku bertambah kesal.

Dari kejauhan, aku bisa melihat dengan jelas jika orang-orang menjadikan lelaki itu sebagai pusat perhatian, mengajaknya mengobrol hingga mengulurkan tangan mereka dan mengucapkan selamat padanya.

Cih. 

Bocah kemarin sore itu tidak pantas mendapatkannya. Bukankah seharusnya aku yang lebih pantas untuk semua itu?

Aku menarik napas panjang dan membuat dadaku terasa sesak karenanya. Minuman yang masuk ke tenggorokanku pun semakin membuatnya nyeri.

Dalam hatiku terus menghitung sudah berapa orang yang mendekat dan memberikan ucapan selamat padanya. Jika sudah sampai seratus orang, aku baru akan beranjak dan melakukan hal yang sama. Sayangnya jumlah karyawan di kantor ini hanya mencapai lima puluh orang, itu pun sudah dihitung dengan beberapa office boy, satpam, dan cleaning service. Jadi ... sudah dipastikan aku tidak akan memberikan ucapan selamat untuknya.

Mataku kian memicing saat melihat senyum lebarnya. Aku yang selama ini bekerja dengan keras, lembur hingga melewatkan waktu istirahatku, dan juga paling sering menjadi tempatnya bertanya, malah tidak mendapatkan penghargaan apa-apa.

Namanya Damar Pramana, orang-orang di kantor memanggilnya Damar. Dia baru bergabung tiga tahun yang lalu dengan Global Kimia, perusahaan yang bergerak di supplier niacinamide, zat kimia yang saat ini banyak digunakan untuk skincare. Sedangkan aku sudah berada di perusahaan ini selama lebih dari lima tahun. Sudah banyak yang aku berikan buat perusahaan ini, tapi kenapa justru bocah kemarin sore itu yang diangkat menjadi kepala tim pemasaran? Aku meringis saat menyadari jika ternyata pengorbananku selama ini pada perusahaan tidak berarti apa-apa.

Beberapa gosip menyebutkan jika Damar memiliki koneksi yang kuat dengan petinggi perusahaan, kabarnya dia masih memiliki hubungan keluarga dengan direktur utama Global Kimia.

Memikirkan hal itu kembali membuat kepalaku terasa panas. Aku masih ingat di hari pertama bocah itu bergabung dengan Global Kimia. Tampangnya yang lugu, pendiam, dan terlihat serba salah membuatku merasa iba dan selalu membantunya saat dia mendapat kesulitan. Sial. Jika ingat itu semua, rasanya aku ingin mengulang masa lalu dan yang kulakukan pasti akan mengabaikan lelaki itu dan membuatnya terus mengalami kesulitan.

"Lo asyik banget makan sendiri." Aku menoleh dan mendapatkan Rien, teman sedivisiku sedang menarik kursi dan duduk di sebelahku. Untuk merayakan promosi Damar menjadi kepala divisi pemasaran, perusahaan menyewa restoran berbintang ini dan membebaskan karyawannya untuk memesan makanan apa pun.

Kenapa mesti perusahaan yang menanggung perayaan promosi jabatannya? Kenapa tidak menggunakan uangnya sendiri saja? Dari sini saja sudah terlihat jelas jika ada sesuatu yang tidak beres antara Damar dan perusahaan ini. Membayangkannya saja sudah membuatku kesal.

Kesal ... kesal ... kesal!

"Buset, lo doyan atau lapar sih?" komentar Rien saat melihatku menjejalkan makanan di piring ke mulutku hingga tak bersisa.

"Dua-duanya," balasku tidak peduli dan segera beranjak dari dudukku.

"Udahan?" tanya Rien lagi.

"Iya, gue mau cabut dulu nih, nggak bisa lama-lama di sini," balasku tanpa menjelaskan apa alasanku yang sebenarnya hingga meninggalkan acara yang baru saja berlangsung lebih cepat.

Aku melirik sekilas ke arah Damar yang masih dikerumuni oleh orang-orang yang mengucapkan selamat padanya. Bodo amat dengan Damar dan promosi jabatannya hari ini, aku tidak peduli.

Aku melangkah dengan cepat dan keluar dari restoran ini. Tidak akan ada yang peduli dengan keberadaanku di tempat ini karena saat ini hanya Damar yang menjadi pusat perhatian.

Setelah berada di dalam mobil, pikiranku masih saja tidak tenang. Ada rasa kesal sekaligus marah yang tidak bisa aku ungkapkan. Aku sudah berkali-kali mengalami hal seperti ini, kenapa aku masih saja merasa sakit hati?

Tidak ada yang tahu jika sebenarnya aku selalu terobsesi ingin menjadi yang paling utama, yang paling diperhatikan, dan 'paling' lainnya yang hanya membuatku merasa tersiksa karena nyatanya aku sama sekali tidak pernah mendapatkannya.

Sejak kecil hingga saat ini, aku selalu dikecewakan dengan keinginanku yang ingin menjadi yang paling utama. Rasanya begitu menyakitkan saat keinginan menjadi yang utama itu malah diambil oleh orang lain.

Aku meringis dan meremas rambutku perlahan. Seharusnya semua yang pernah aku alami sudah cukup membuatku kebal, tapi nyatanya aku masih saja merasa kesal saat yang paling utama itu tidak aku dapatkan.

Wajar jika saat ini aku kesal, kan? Damar, si bocah kemarin sore itu tidak jauh lebih baik dariku, dia bahkan masih terlalu muda untuk menduduki posisinya sekarang, pengalamannya minim dan dia masih harus lebih banyak belajar lagi. Aku merasa percaya diri jika aku pantas mendapatkan posisinya itu, tapi kenapa malah Damar yang mendapatkannya?

Embusan napasku terasa berat, tanda jika aku sedang sangat kesal. Sudah menjauh dari sosoknya, tapi pikiranku masih saja memikirkan lelaki itu. Hanya karena dia memiliki hubungan dengan pemilik perusahaan, maka semua hal pun diabaikan.

Oh sial! Aku bahkan lebih rela jika Rien, Mas Geri, atau siapa pun itu yang berada di divisi yang sama denganku yang mendapatkan posisi itu. Rasa kesal membuatku semakin membenci lelaki itu.

Aku menyandarkan kepalaku di sandaran jok mobil sambil menarik napas perlahan. Tidak ada yang boleh tahu rasa kesal yang sedang aku rasakan ini, aku tidak mau terlihat semakin menyedihkan. Tenanglah, Bulan. Ini hal biasa yang sering terjadi padaku dan sebentar lagi semua akan kembali seperti semula.

Setelah merasa lebih tenang, aku kemudian mulai menyalakan mobilku dan bermaksud meninggalkan parkir ini. Tapi suara ketukan di kaca mobil membuatku menoleh. 

Leon? 

Keningku sampai berkerut untuk memastikan sosok yang masih mengetuk-ngetuk kaca mobilku itu. Kenapa lelaki itu bisa berada di sini? Apa dia sengaja menguntitku?

"Bulan ...," panggilnya setelah aku membuka membuka pintu mobil dan menatapnya dengan tajam.

"Apalagi? Aku sudah memperingatimu untuk tidak mencariku lagi. Kita sudah berakhir, Leon!" kataku dengan napas yang memburu karena kekesalanku sepertinya semakin bertambah saat melihat sosok lelaki yang pernah menjadi pacarku selama tiga tahun terakhir ini dan harus berakhir karena aku memergokinya berselingkuh dengan rekan kerjanya.

"Nggak, Bulan! Itu keputusan sepihakmu, kita bahkan belum berbicara baik-baik," balasnya tidak terima.

"Nggak ada pembicaraan baik-baik buat kamu," kataku ketus dan bermaksud berbalik ke mobil dan meninggalkannya. Lelaki ini sungguh menyeramkan, dia bahkan mengikutiku hingga ke sini hanya agar bisa menjelaskan sesuatu yang tidak ingin kudengarkan.

"Tunggu, Bulan!" Tarikan tangan Leon di lenganku membuat langkahku terhenti. Aku memicing dan merasa tidak senang dengan perlakuannya. Lelaki di hadapanku ini menambah deretan kegagalanku, dia dengan teganya berselingkuh dan menjadikan aku yang kedua. 

Jika tidak menggunakan rok pendek dan sepatu dengan hak tinggi seperti ini, aku mungkin sudah menendang kepalanya hingga dia berhenti menarik-narik lenganku.

"Aku khilaf, maafkan aku," ucapnya lirih masih dengan tangan yang menarik lenganku. Bagaimana bisa selama tiga tahun ini aku menghabiskan waktu berhargaku dengan lelaki seperti ini? 

"Pergilah, Leon! Aku nggak mau melihatmu lagi!" bentakku masih sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya.

"Apa anda tidak mengerti dengan ucapannya?" Sebuah suara membuatku menoleh dengan cepat. Ada Damar yang berdiri tepat di belakangku sedang menatap Leon dengan tatapan tajamnya.

Oh tidak! Justru dia yang seharusnya pergi dari hadapanku.(*)


 

2. Bocah Sok Dewasa

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Damar sesaat setelah Leon pergi dari hadapanku. Aku membuang napas kesal, ini ibarat lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Keduanya sama-sama sosok yang begitu kuhindari.

"Nggak apa-apa," jawabku sambil mengibas lenganku yang terasa nyeri karena cekalan tangan Leon tadi.

"Aku pulang dulu," kataku akhirnya. Dulu Damar memanggilku dengan panggilan 'kakak', karena aku memang lebih tua tiga tahun darinya dan seniornya di Global Kimia. Tapi entah sejak kapan dia mulai ber-aku kamu denganku. Hanya membuat perasaan tidak enak saja karena kesannya yang sok akrab.

"Acaranya belum selesai." Ucapannya menahan langkahku.

"Aku merasa nggak enak badan," balasku tanpa menoleh ke arahnya.

"Nggak ada yang boleh pulang duluan selama acara belum selesai," katanya dan seketika membuat tanganku terasa gatal ingin menggaruk wajahnya. Oh ... aku baru sadar kenapa dia bersikap menyebalkan seperti itu, mulai saat ini dia atasanku, bukan? Yang membuatku harus menuruti semua perintahnya.

Aku menoleh dan menatap matanya tanpa berkedip. Aku memang mengarang alasan tadi, tapi tanggapan lelaki ini membuatku ingin kembali mengarang kebohongan yang lain.

"Perutku nyeri dan aku nggak yakin bisa bertahan duduk di dalam sana," ucapku setengah mengeluh.

"Jadi, Pak Damar bisa memberikan dispensasi buat saya, kan?" tanyaku dengan nada formal. Karena dia sudah menjadi atasanku, akan kuperlakukan dia seperti yang diinginkannya.

Keningnya terlihat berkerut saat mendengar ucapanku. Semenjak berembus isu yang mengatakan jika Damar akan dipromosikan menjadi kepala bagian pemasaran, menggantikan kepala bagian yang  akan resign, sejak saat itu hubungan kami tidak lagi sama. Aku sudah tidak bisa tersenyum saat mendengar sapaannya atau sekadar berbasa-basi membahas hal sepele pun sudah tidak bisa kulakukan. Aku memang cemburu karena dia yang mendapatkan jabatan itu, tapi bukankah itu hal yang wajar?

"Ini sudah di luar jam kerja, aku nggak bisa berlama-lama menghabiskan waktu di sini," kataku lagi.

"Baik, tapi besok datanglah lebih awal dari yang lainnya karena ada beberapa hal yang harus dikerjakan," katanya dengan nada perintah. Aku baru tahu jika dia bisa berubah menjadi sesombong ini padahal jabatan barunya itu baru saja didapatkannya.

Aku hanya mengangguk mendengar perintahnya dan tanpa bicara lagi segera masuk ke mobilku. Bertemu dengan Leon adalah sebuah kesialan dan kesialan itu bertambah berkali-kali lipat karena harus menghadapi bos baru yang sombongnya mengalahkan artis papan atas ini. 

Entah kenapa Damar tidak segera beranjak dan berdiri menunggu hingga mobilku berlalu dari hadapannya. Aku benci dengan lelaki yang berwajah dua itu, aku benci karena keberuntungan yang didapatkannya.

***

Setelah memutuskan mengakhiri hubungan dengan Leon, aku memblokir semua aksesnya hingga dia akan kesulitan untuk menghubungi apalagi bertemu denganku. Aku mengganti kode apartemenku, memblokir nomor ponselnya dan mengambil jalan berbeda setiap ke kantor. Tapi sepertinya Leon juga mengandalkan segala cara agar bisa bertemu denganku seperti yang dilakukannya kemarin. 

Leon memang begitu posesif bahkan hingga hubungan kami telah berakhir pun dia masih bersikap seperti itu. Ternyata sikap posesifnya tidak menjamin kesetiaannya, nyatanya dia masih saja berselingkuh dengan alasan aku sering mengabaikannya. Alasan yang tidak masuk akal, aku masih tidak bisa menerima jika aku yang disalahkan atas perselingkuhannya itu. 

Ah sial! Kepalaku malah terasa nyeri saat mengingat lelaki itu, ditambah pagi ini aku mesti datang lebih awal ke kantor karena permintaan bos baru yang terhormat itu. 

Memang sih datang lebih awal membuatku tidak perlu terkena macet, tapi membayangkan akan bertemu dengan sosok bocah yang sok dewasa itu, aku malah lebih rela bermacet-macetan daripada berada di ruangan yang sama dengannya, apalagi sampai menatap wajahnya. Menyebalkan! Aku bahkan masih ingat bagaimana aroma parfum yang menjadi ciri khasnya.

Mungkin sebaiknya aku mencoba peruntunganku di perusahaan lain.

Mobilku baru saja memasuki basement gedung kantorku saat ponselku berdering dan menampilkan nama Yang Mulia itu. Aku mendesis kesal, dia pasti mengira aku melupakan perintahnya semalam. 

Aku mengabaikan panggilan darinya dan berkonsentrasi memarkirkan mobil. Hari masih pagi, tapi dia sudah membuat perasaanku terasa tidak nyaman.

Global Kimia terletak di lantai enam dan tujuh, sedangkan ruanganku sendiri ada di lantai tujuh. Lift yang membawaku ke lantai tujuh saja masih sepi, harusnya aku bisa datang setengah jam lagi.

Ponselku kembali berdering saat aku baru saja menempelkan kartu aksesku di lantai tujuh. Sebaiknya aku mencari tahu apa yang diinginkannya dariku.

"Sudah jam tujuh pagi," ucapnya saat aku menjawab panggilan teleponnya.

"Selamat pagi Pak Damar, pagi yang sangat cerah, bukan?" sapaku masih dengan ponsel di telinga. Saat melihat kedatanganku, dia segera mematikan panggilan teleponnya dan menatapku dengan tajam.

"Apa yang bisa dikerjakan hari ini, Pak?" tanyaku sambil menyimpan tasku di meja.

"Ke ruangan saya dulu," balasnya dan sosoknya pun menghilang di ruangan yang baru kemarin menjadi miliknya. Kenapa tidak langsung bicara di sini saja? Apa dia sengaja ingin menunjukkan betapa berbedanya kami sekarang? Jika dia adalah bos dan aku anak buahnya? Tingkah bos baru sok penting itu benar-benar membuat darahku mendidih.

Dengan kepala bagian yang dulu, karyawan-karyawan di bawah divisi pemasaran tidak pernah harus datang awal seperti ini. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti dengan misinya itu.

Walaupun enggan, aku beranjak dan berjalan menuju ruangannya. Padahal beberapa hari yang lalu, dia masih sama denganku, duduk di sebelah mejaku sambil menatap komputernya.

Sudahlah. Mengingat hal itu hanya membuatku semakin kesal.

"Ada beberapa hal yang akan kita lakukan hari ini," ucapnya tanpa basa-basi.

"Nggak nunggu yang lainnya datang aja?" tanyaku heran kenapa dia malah membeberkan rencana hari ini hanya denganku.

"Nggak, kita mesti ke luar kota pagi ini," balasnya dan sukses membuatku melongo. Biasanya jika ada rencana keluar kota, satu hari sebelumnya akan diinfokan agar karyawan yang mendapat tugas keluar kota dapat mempersiapkan diri. Tapi lelaki ini malah tiba-tiba memberiku tugas keluar kota secara mendadak seolah memang seperti itu yang seharusnya terjadi.

"Tapi, Pak ...." 

"Kamu belum sempat sarapan?" tebaknya padahal bukan itu yang mau aku bicarakan.

"Aku sudah meminta Doni membelikan sarapan. Kamu sarapan dulu sekarang, setengah jam lagi kita berangkat," katanya lagi. Kita? Aku dan dia maksudnya?

"Kamu ..., ah itu ..., Bapak juga ikut?" tanyaku. Sudah terlanjur dari kemarin memanggilnya dengan panggilan 'bapak', sepertinya aku akan terus melanjutkannya. Anggukannya membuatku menahan napas. Menyebalkan. Harusnya dia di kantor saja sambil menikmati jabatan barunya.

Setelah dia menjelaskan dengan singkat apa rencana kami hari ini, aku pun segera beranjak dari ruangannya dan di saat yang bersamaan, Doni, office boy kantor menghampiriku.

"Mbak Bulan, sarapannya ada di pantry ya," katanya dan kubalas dengan ucapan terima kasih. Walaupun sebenarnya tidak sudi menerima pemberian lelaki itu, tapi rasa lapar membuatku menahan sedikit harga diriku.

Ada sebuah kantong yang tergeletak di meja pantry, sudah pasti itu adalah sarapan yang dimaksud Damar tadi. Niatnya mau sok perhatian dengan bawahan, tapi tetap saja tidak berhasil membuatku merasa senang.

Sebaiknya aku tidak memikirkan lelaki menyebalkan itu dulu. Makan adalah hal utama yang ingin kulakukan saat ini setelah semalam tidak makan dengan benar. 

Sebungkus nasi uduk, roti, jus buah, coklat, dan obat pereda nyeri berada di dalam kantong yang baru saja kubuka. Nasi uduk sih memang biasa sarapan, tapi apa mesti ditemani dengan roti, jus buah, coklat dan anehnya ada obat pereda nyeri. Aku rasa ini bukan sarapanku.

"Ini bukan punyaku ya?" tanyaku pada Doni yang kebetulan baru memasuki pantry.

"Punya Mbak Bulan kok, tadi Mas Damar memang titip beli semua itu buat Mbak," jawabnya. 

"Obat ini?" tanyaku masih tidak yakin.

"Buat Mbak juga. Kata Mas Damar, kemarin Mbak sakit, jadi dia minta beliin obat itu buat jaga-jaga," jawab Doni.

"Nggak deh, aku nggak sakit. Aku cuma mau makan nasi uduk aja, yang lainnya kasih ke Damar aja," kataku ketus.(*)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bulan yang Kedua โ€” Bab 3, 4
42
0
Bab 3. Bos Tukang NgambekBab 4. Jangan Bilang Nggak Lapar
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan