A Love Written in the Stars — Bab 13, 14

2
0
Deskripsi

Bab 13. Rey Ganteng 3 Kali

Bab 14. Baju Mandor Proyek

13. Rey Ganteng 3 Kali

Menyebalkan. Aku menarik napas panjang beberapa kali  sambil mataku mengarah ke jalan raya. Lagi-lagi aku kembali memaki di dalam hati.

"Kenapa? Kamu kepanasan?" tanya Rey tanpa menoleh ke arahku. Mataku melirik sejenak ke arah lelaki yang sedang berkonsentrasi dengan jalan raya di hadapannya itu. Tentu saja aku kepanasan, cardigan tebal ini begitu menyiksaku sejak berada di mobil Rey tadi.  Bahkan pendingin mobil tidak mampu meredakan rasa gerahku.

"Nggak," jawabku singkat. Mana mungkin aku jujur mengatakan jika saat ini tubuhku seperti sedang berada di sauna.

"Kamu terlihat gelisah dari tadi," ucapnya. Aku terkekeh dan pura-pura memasang wajah santai. Oh astaga! Panas banget rasanya, rasanya ingin kubuka saja cardigan sialan ini, tapi bagaimana jika Rey melihat kaos bersablon merk semen yang sedang aku gunakan ini?

Aku memaki diriku, begitu kesal dengan keteledoranku yang dengan percaya dirinya menggunakan kaos yang biasa kugunakan saat tidur itu hanya karena mengira jika aku akan betah menggunakan cardigan tebalku selama perjalanan.

"Oh itu ..., aku kebanyakan minum kopi tadi pagi, jadi sekarang rasanya sedikit nggak nyaman," karangku sambil terkekeh agar Rey mengira jika aku baik-baik saja.

"Atau kita batalin aja rencana hari ini?" tanyanya dan kepalaku menggeleng dengan cepat. Tenang Zara, aku tidak boleh terlihat terlalu antusias, cukup tersenyum kecil sambil menoleh ke arahnya.

"Sudah setengah jalan, sayang aja kalau batal," kataku memberi alasan. Aku sudah mempersiapkan diri dari tadi pagi, masa hal sepele seperti ini bisa membatalkan rencana kami.

"Tapi kamu nggak apa-apa?" tanyanya. Dadaku terasa menghangat saat menangkap nada khawatir dari pertanyaan Rey tadi. Katakanlah aku sudah tidak waras karena bisa merasa sangat senang hanya karena pertanyaan tidak penting itu.

"Nggak apa-apa, memangnya aku kayak orang yang lagi sakit." Aku kembali pura-pura tertawa, lebih tepatnya sedang menertawakan diriku sendiri.

Pagi ini Rey terasa begitu normal. Dia tidak seperti banteng keras kepala, banyak maunya, dan sedikit aneh yang selama ini kukenal. Dia normal tapi malah membuatku curiga.

"Kamu nggak berniat membawaku ke tempat antah berantah dan kemudian meninggalkanku di sana, kan?' tanyaku saat membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa Rey lakukan padaku.

"Hah?!" Rey seketika menoleh ke arahku. Mobil yang dikendarainya melambat, sedikit menepi seperti akan berhenti.

"Itu seperti adegan film yang semalam kutonton," ucapku seperti menyambung ucapanku yang tadi. Aku berusaha pura-pura tidak tahu kening Rey yang berkerut-kerut.

"Kamu bicara apa tadi?" tanyanya masih dengan wajahnya yang terlihat tidak senang.

"Aku lagi cerita film yang aku tonton semalam," ulangku.

"Oh ...," balasnya singkat. Aku menarik napas lega diam-diam. Hampir saja aku memancing kekesalan banteng ini.

"Masih lama ya? Aku sudah nggak sabar," kataku mengalihkan pembicaraan dengan mata yang kubuat berbinar-binar. Aku lagi tidak ingin berdebat dengan alasan apa pun di pagi hari ini, persiapanku tadi pagi sudah cukup menguras tenagaku, aku tidak memiliki tenaga lagi jika harus berdebat dengan lelaki ini.

"Aku senang banget kamu antusias dengan rencana kita pagi ini," balasnya tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu.

"Aku memikirkan rencana pagi ini semalaman," sambungnya yang membuatku melongo.

"Aku juga berpikir sebaiknya kita memang harus menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Dengan begitu  kamu akan segera sadar jika ramalan zodiak itu ada benarnya," jelasku panjang lebar. Aku ini bicara apa sih? Apa yang aku ucapkan tadi benar-benar tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kami sebelumnya.

Rey terkekeh, mungkin menertawakan ucapanku. Dia tidak menanggapi ucapanku dan kembali fokus pada jalan raya di depannya. Sejak tadi dia tidak memberikan kejelasan padaku akan ke mana kami pagi ini, Dia pikir aku sejenis dukun yang bisa membaca isi pikirannya?

"Aku pikir akhir pekan ini akan mengajakmu ke rumah lagi, untung saja semalam kamu memberikan ide padaku," ucapnya. Salahkan saja mulutku yang semalam tidak bisa kuajak bekerja sama hingga mencetuskan ide berjalan-jalan di akhir pekan ini.

"Tadi kamu bilang ada bawa bekal. Boleh minta, aku lapar nih," pintaku. Aku memang tidak berbohong jika saat ini sedang kelaparan. Bangun terlalu pagi dan melakukan segala persiapan yang berakhir sia-sia membuat energiku habis dan parahnya aku juga melewatkan sarapan.

"Sebentar, aku ambilkan," ucap Rey yang menurunkan laju mobilnya hingga akhirnya benar-benar berhenti di pinggir jalan yang sepi. Dia kemudian segera turun dan membuka bagasi mobilnya.

"Aku bawa banyak, yang ini bisa kamu habiskan selama perjalanan," katanya sambil memberikan sebuah kotak makanan padaku. Mataku seketika berbinar, apalagi saat kotak itu kubuka dan menguarkan aroma lezat.

"Sandwich tuna favoritku!." Aku berseru kegirangan sambil mengambil satu potong sandwich dengan semangat. Jika datang ke Bull's Brew, aku memang selalu memesan sandiwich tuna. Ini satu-satunya sandwich tuna favoritnya dengan rasanya yang benar-benar lezat dan tidak pernah membuatku bosan.

"Ini semua buat dimakan?" tanyaku ragu setelah melihat ada banyak sandwich di dalam kotak yang kubuka tadi.

"Tentu aja, memangnya buat kamu pelototin aja?" balas Rey.

"Buat aku semua?" tanyaku lagi dengan tidak yakin. Aku kemudian tertawa setelah menyelesaikan pertanyaanku, aku merasa seperti anak kecil rakus yang tidak sabar ingin menghabiskan sandwich di hadapanku ini.

"Buat siapa lagi," balasnya. Aku melebarkan senyumku dan kembali menikmati sandwich tuna yang entah ke apa terasa istimewa.

"Tumben kamu baik," ledekku.

"Siapa bilang aku baik, tentu aja semua kebaikan ini harus ada balasannya juga." Aku menghentikan makanku sejenak dan menoleh ke arah Rey yang berwajah serius.

"Balasan gimana?" tanyaku yang awalnya mengira jika Rey sedang bercanda.

Aku mengernyit, menunggu jawaban Rey yang malah sibuk menyetir, seolah tidak ada hal penting yang kutanyakan tadi. Aku menatapnya lama-lama, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkannya—tapi wajahnya terlalu tenang, seolah tidak ada apa pun yang ingin disampaikannya.

Karena tidak sabar, aku mencondongkan tubuhku ke arahnya, membiarkan sandwich di tanganku terlupakan.

"Rey, balasannya apa?" desakku semakin tidak sabar. Rey menoleh sekilas ke arahku, wajahnya terlihat santai—wajah menyebalkannya itu bertambah menyebalkan.

"Satu kotak sandwich tuna dan strawberry croissant cukup untuk membayarmu, kan?" tanyanya. Keningku kembali berkerut karena tidak mengerti dengan maksud ucapannya.

"Membayar apa?" Menyesal tadi aku sempat memujinya bersikap baik, ternyata kebaikannya ada maksudnya.

Rey menghela napas panjang dengan jari-jari tangannya yang mengetuk setir mobil. Sedikit lagi kesabaranku akan habis.

"Balasannya ...kamu harus ...." Rey menggantung kalimatnya dengan mata yang menatap lurus ke depan. Aku menunggunya melanjutkan, tapi dia hanya tersenyum simpul, seolah ingin meledekku.

"Kamu harus bilang kalau Rey itu ganteng banget, Rey itu keren banget dan kamu suka sama aku sebanyak tiga kali."

Oh astaga! Aku hampir saja melempar sandwich yang ada di tanganku ke wajahnya. (*)

 


14. Baju Mandor Proyek

Aku turun dari mobil dengan rasa dongkol yang membuat kepalaku terasa panas, selain memang karena udara di pantai pagi ini juga sangat panas. Permintaan Rey tadi benar-benar tidak masuk akal dan gilanya aku sudah satu kali mengucapkan Rey ganteng, Rey keren dan aku suka Rey sebelum turun tadi.

Benar-benar menyebalkan! Kalau tidak karena sandwich tuna dan juga strawberry croissant yang sudah disiapkannya untukku, mungkin aku tidak akan melakukan hal memalukan seperti ini. Ah sudahlah, semakin dipikirkan malah semakin membuatku kesal.

"Kamu nggak kepanasan?" Suara Rey terdengar di sebelahku. Masih dengan wajah masam setelah mengucapkan hal paling menyebalkan tadi, aku menoleh ke arahnya.

"Nggak, biasa aja," kataku berbohong. Tentu saja aku kepanasan. Gila! Cardigan tebal ini sepertinya hanya cocok digunakan saat musim salju.

"Buka aja jaketmu, kita lagi di pantai, bukan di gunung," ucapnya. Tuh dia malah meledekku. Apa tadi katanya? Jaket? Apa dia tidak bisa membedakan antara jaket dan cardigan?

Tidak peduli dengan ucapan Rey, aku berjalan meninggalkannya sambil mataku mengedar menatap sekelilingku. Pantai yang terletak di luar kota ini terasa begitu tenang karena tidak ada seorang pun yang berada di sini. Yang membuat tidak nyaman hanya panasnya matahari pagi dan kostumku yang tidak bersahabat.

"Kamu pasti belum pernah ke sini." Rey menyejajari langkahnya sambil bersenandung riang. Aku melirik sekilas ke arahnya, mataku memicing karena silaunya marahari pagi.

"Tentu saja aku belum pernah ke sini, aku nggak punya teman seaneh kamu yang bisa nemuin pantai tak berpenghuni ini," balasku sinis. Rey terkekeh dengan wajah sombong seolah aku baru saja memujinya.

Aku sangat suka pantai, suka mendengar suara deburan ombaknya, suka menghirup aroma laut yang menenangkan. Tapi panasnya udara pagi ini ditambah pakaianku yang tidak bersahabat membuatku merasa tidak nyaman.

Ah masa bodoh! Sebaiknya kulepas saja cardigan ini.

"Kan, sudah kubilang dari tadi, mendingan jaketmu dilepas aja," kata Rey. Aku membalikkan tubuhku, berjalan menjauh darinya sambil pura-pura mengamati sekitarku. Jangan sampai Rey melihat baju kaos yang bersablon merk semen ternama ini.

"Gimana, pantainya bagus, kan?" Rey tiba-tiba sudah kembali berada di sebelahku, aku mendekap tubuhku tanpa sadar, berusaha menyembunyikan bagian depan baju kaosku. Beruntung Rey sepertinya tidak sadar dengan apa yang kulakukan.

"Bagus sih ..., tapi kayaknya mendingan lain kali datang ke sininya sore aja. Pagi kayak gini kerasa banget panasnya," balasku.

"Nggak panas kok, cuacanya kerasa pas banget malah," ucap Rey tidak mau kalah. Aku bergumam pelan, tidak menanggapi ucapannya agar tidak terpancing emosi.

"Di sana agak sejuk," ucap Rey menunju sebuah batu karang besar yang ada di pinggir pantai. Aku menurut dan mengikuti langkahnya. Sejujurnya aku tidak paham apa maksud lelaki ini membawaku ke sini, apa hanya karena aku pernah mengatakan padanya jika suka pantai?

"Kamu sering ke sini?" tanyaku.

"Sama ini dua kali," jawabnya.

"Sendirian?" tanyaku lagi. 

Padahal sebenarnya aku bisa menjawab pertanyaan yang kuajukan itu sendiri—tidak mungkin Rey pernah datang ke pantai ini sendirian, buat apa, dia bukan tipe lelaki yang suka tempat yang sepi. Tidak mungkin juga dia datang ke sini bersama keluarga atau teman-temannya, tidak ada yang menarik di sini kecuali suasana yang sepi, laut yang menenangkan, tempat yang jauh dari keramaian—yang semuanya hanya cocok jika bersama pasangan.

Oh! Sejauh ini aku bahkan tidak pernah tahu mantan-mantan pacar Rey, bahkan namanya saja aku tidak tahu. Sedangkan Rey sendiri sudah pernah bertemu dengan Alvin, mantan pacarku yang terakhir.

"Sama Nadia," jawabnya singkat tanpa mau menoleh ke arahku. Melihat caranya menjawab saja aku sudah tahu jika ada yang disembunyikannya. Tapi ...apa urusanku juga. Mau Rey ke tempat ini bersama Nadia, atau siapa pun itu, kenapa juga aku mesti peduli.

"Tuh, di sini lebih terasa adem, kan?" ucap Rey yang seperti bangga dengan dirinya sendiri.

"Aku lapar," cetusku tiba-tiba sambil menarik kotak makanan yang dibawa oleh Rey.

Memang benar yang dikatakan Rey, di sini terasa lebih sejuk dibanding saat kami pertama kali menginjakkan kaki di pantai ini tadi. Angin yang berembus dari arah laut pun terasa lebih dingin daripada tadi.

"Kamu terakhir kali ke sini dengan mantanmu ya?" tebakku sambil mengunyah croissant dengan isi stroberi yang merupakan makanan favorit keduaku setelah sandiwich tuna di Bull's Brew. Mataku mengarah pada ombak laut yang bergulung-gulung hingga memecah kembali di lautan, wajahku kubuat sedatar mungkin seolah tidak terlalu berharap Rey menjawab pertanyaanku.

"Mantan yang mana," balasnya salah tingkah. Tanpa perlu dia menjelaskan saja aku sudah tahu yang sebenarnya.

"Memang tempat ini cocok banget didatangi bareng pasangan," sambungku yang kali ini sudah mengunyah croissant yang kedua. Kalau aku membuka kedai kopi nanti, sepertinya aku harus menculik karyawan Bull's Brew yang pandai membuat makanan kesukaanku ini.

"Aku nggak pernah ke sini dengan mantan pacarku kok," ucapnya membela diri. Aku terkekeh setelah mendengar ucapannya.

"Kamu nggak mau? Keburu habis sama aku loh," tawarku melihat Rey yang sejak tadi tidak menyentuh satu pun bekal yang dibawanya.

"Nggak, aku sudah bosan makan itu, tiap hari juga bisa kumakan d Bull's Brew kok," tolaknya.

Aku baru saja melahap potongan terakhir croissant-ku saat tiba-tiba saja angin bertiup dengan kuat dan membuat pasir-pasir pantai berterbangan ke arah kami. Jeritanku tertahan karena butiran pasir itu telah masuk ke mataku.

"Rey! Aku nggak bisa melihat!" jeritku panik. Kedua belah tanganku menggosok-gosok kelopak mataku, berusaha menahan rasa nyeri di mataku.

"Tunggu, tahan dulu," ucapnya bersamaan dengan tangannya yang menahan gerakanku yang akan kembali menggosok kelopak mataku.

"Buka mataku perlahan," perintahnya dan aku pun menuruti apa yang dikatakannya. Embusan hangat menerpa wajahku sesaat setelah aku membuka mataku. Ada wajah Rey yang berjarak sanat dekat dengan wajahku dan membuatku kesulitan  bernapas.

"Sebentar, aku harus memasikan nggak ada pasir di matamu lagi," katanya dengan tangan yang menahan tubuhku saat aku ingin bergerak menjauhinya. Posisi seperti ini terasa begitu janggal dan membuatku tidak nyaman.

"Jangan bergerak dulu." Tangan Rey terasa mengusap kelopak mataku dengan perlahan. Oh astaga! Kenapa jantungku seperti akan berhenti berdetak?

"Kayaknya sudah aman," katanya kemudian yang membuatku segera mendorong tubuhnya menjauh. Aku bergerak dengan canggung dan berusaha tidak mau membalas tatapan matanya.

"Zara ...," panggilnya tiba-tiba dengan suara tertahan. Nada suaranya terdengar serius hingga membuatku memberanikan diri menatap matanya.

"Ada apa?" tanyaku penasaran dengan debaran di dadaku yang terasa semakin kuat.

"Kamu pinjam baju dari mandor proyek mana?" tanyanya.

Ah! sialan! (*)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya A Love Written in the Stars — Additional Part 1
0
0
Additional Part 1. Zara yang Aneh
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan