
A Love Written in the Stars (But the Stars Are Wrong)
Blurb :
Zara (Libra) dan Rey (Taurus) dipertemukan oleh ramalan bintang yang menyatakan mereka soulmate. Masalahnya? Mereka saling menjengkelkan! Untuk membuktikan zodiak salah, mereka sepakat pacaran selama 30 hari—dengan aturan: tidak boleh jatuh cinta. Tapi alam semesta punya rencana lain.
Bab 1. Pertemuan yang Salah (Dan Kopi yang Tumpah)
Bab 2. Taruhan Gila (Dan Media Sosial yang Meledak)
1. Pertemuan yang Salah (Dan Kopi yang Tumpah)
Zara
"Kamu harus datang, Zar! Ramalannya 100% akurat—Libra dan Taurus itu cosmic soulmates!" teriak Lani di telepon, suaranya nyaris memecahkan gendang telingaku.
Aku menghela napas, menatap deretan baju di lemari seolah mereka bisa memberiku jawaban. "Aku lebih percaya ramalan cuaca daripada zodiak, Lan. Lagipula, Taurus itu keras kepala dan—"
"Dan Libra itu plin-plan, iya, iya, kamu sudah bilang itu seribu kali," potong Lani. "Tapi ini Nathaniel Zodiac yang meramal! Akurasinya 99,9%!" Suara Lani terdengar begitu nyaring di telingaku hingga membuatku menjauhkan ponsel dan telinga. Lani benar-benar begitu bersemangat kali ini.
Aku memutar mata. Nathaniel Zodiac—astrolog selebriti yang wajahnya lebih sering muncul di meme daripada di majalah. Tapi demi menghindari rentetan pesan suara Lani besoknya, akhirnya kuputuskan untuk datang.
Datang ke mana? Apalagi kalau bukan datang untuk bertemu lelaki berzodiak Taurus yang kukenal di aplikasi kencan buta online.
Rey
"Bro, lo harus bantu gue," gerutu Rey sambil menatap layar ponselnya. Foto profil kencan butanya menunjukkan wanita dengan bio: Libra yang mencari Taurus untuk memenuhi takdir bintang. Dika, temannya, tertawa lebar.
"Lo tau kan lo nggak percaya zodiak? Kenapa lo setor nyawa buat baca biodata itu?"
"Gue cuma penasaran aja, orang-orang bisa segila itu nggak sih?" Rey menghela napas.
"Tapi fine, gue temenin lo. Tapi kalau dia mulai bahas rising sign atau elemen api-air, gue cabut."
***
Kafe Brew and Co. penuh dengan dekorasi bintang dan horoskop. Aku duduk di pojok, jari-jariku mengetuk meja dengan ritme gugup. Menyebalkan, harusnya tadi aku tidak datang ke sini, hanya membuat perasaanku tidak nyaman. Ini pertama kali aku menghabiskan waktu untuk sebuah kencan buta, terdengar seperti ucapan seorang wanita menjelang tiga puluh yang sedang putus asa.
Aku benci menuruti ucapan Lani untuk datang menemui lelaki berzodiak Taurus yang sudah menemaniku mengobrol selama beberapa bulan terakhir ini di aplikasi kencan online. Aku selalu percaya jika seseorang yang terasa cocok secara virtual belum tentu cocok saat bertemu di dunia nyata. Rey, si lelaki Taurus itu memang sosok menyenangkan walau kadang sedikit menyebalkan karena sikap keras kepalanya jika kami mulai membahas mengenai zodiak.
"Zara?" suara laki-laki menginterupsi lamunanku.
Aku mengangkat kepala—dan langsung menyipitkan mata. Lelaki di depanku memakai kaos hitam bergambar Zodiac is Bullsh*t dengan tulisan Taurus besar-besaran di bawahnya.
"Rey, ya?" tanyaku mencoba tetap sopan. Sekilas mataku memindai lelaki yang sedang berdiri di hadapanku ini dan mencoba menilai bagaimana sosok lelaki ini. Hmm lumayan, tidak begitu berbeda dari yang kubayangkan. Dia tampan, menarik, tipe lelaki yang aku suka, tapi ... entah kenapa wajahnya terlihat begitu menyebalkan.
Rey mengangguk, lalu tanpa basa-basi langsung membuka percakapan, terlihat sekali jika dia begitu percaya diri. Dia mengambil tempat duduk tepat di hadapanku dan duduk dengan mata yang tidak lepas menatapku.
"Jadi, menurut lo, kita soulmate karena bintang-bintang di langit lagi baik hati?" tanyanya.
Zara tersedak kopi dan mencoba mengatur napasku. "Aku tidak memilih untuk percaya, tapi—"
"Tapi data statistik bintang lebih meyakinkan daripada kepribadian asli orang, gitu?" Rey menyeringai.
Apa-apaan sih lelaki ini? Di pertemuan pertama kami, dia malah mengajukan pertanyaan yang membuatku kesal hanya karena selama ini kami selalu berdebat mengenai ketidakpercayaannya dengan zodiak. Bukankah seharusnya dia bisa memberikan kesan pertama yang baik, mengucapkan salam dengan hangat, memanggil namaku dengan lembut, dan mengajakku membahas hal yang menyenangkan?
Mataku berkedip cepat. "Kamu tahu nggak, Taurus itu—"
"Keras kepala? Nggak fleksibel? Yeah, I get that a lot," Rey memotong lagi.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku cuma ingin bilang... Taurus itu sebenarnya sangat setia dan—"
Tumpah.
Tangan Rey yang sedang bergerak terlalu lebay menyenggol cangkir kopiku. Cairan coklat pekat mengalir deras ke tas Hermès baruku—hadiah ulang tahun dari Mama. Mataku membesar dengan napas yang tertahan.
Suasana mendadak senyap.
"Oops," Rey bersuara datar.
Aku mengatupkan mulut, lalu dengan nada paling datar sepanjang sejarah kencan. Ah sial! Rasanya kata-kata bernada makian ingin sekali keluar dari mulutku.
"Kalau zodiak bilang kita soulmate ... mungkin alam semesta sedang mabuk," ucapku kesal.
Rey menatap tasku yang kini kecokelatan dan menyesap kopinya dengan santai. Menyebalkan! Harusnya kupesan air comberan saja untuknya.
"Gue bisa ganti tas itu kok."
Aku mengangkat alis. "Gitu ya? Kamu tahu ini Hermès, kan?" tanyaku dengan kening bekerut.
Dia membuka ponselnya, menunjukkan satu gambar dari marketplace online. "Tenang. Gue tahu tempat jual tas 'Taurus Approved'. Anti drama, anti mahal, 100% kanvas. Serbaguna buat belanja ke pasar," balasnya penuh percaya diri.
Aku membeku. Apakah ini nyata?
Dengan napas berat, aku berdiri dan mulai mengumpulkan barang-barangku. "Ini kencan terburuk dalam sejarah Libra."
Rey menyeringai. "Mission accomplished. Sekarang kita bisa bilang ke teman-teman kita bahwa zodiak itu nggak ada gunanya."
Aku menatapnya sejenak, lalu berbalik hendak pergi—namun langkahku terhenti. Sebuah ide aneh, gila, tapi entah kenapa … sangat memuaskan. Aku memutar badan perlahan.
"Tunggu. Kamu benar-benar percaya kita bisa membuktikan zodiak salah hanya dengan satu pertemuan?" tanyaku. Rey mengangkat satu alis.
"Lo punya ide lain?" Dia balas bertanya. Aku tersenyum licik.
"Bagaimana kalau ... kita pura-pura pacaran selama sebulan? Kalau akhirnya kita nggak jatuh cinta, berarti zodiak salah," usulku.
Dia menatapku beberapa detik. Lalu tertawa.
"Game on, Libra."
"Ya sudah kalau nggak berani," balasku sambil tersenyum sinis.
"Kapan gue bilang nggak berani. Ayo aja, nggak ada yang gue takutin," katanya penuh keyakinan.
"Oke, deal," ucapku sambil beranjak dari hadapannya.
"Deal, tiga puluh hari." Suara Rey masih terdengar di telingaku walau jarak kami mulai menjauh.
Aku menarik napas panjang setelah berada di parkiran. Jujur saja, aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang baru saja kubicarakan tadi. Oh astaga! Aku pasti sudah gila sampai mengakak orang asing berpacaran!
Ponselku yang berdering tiba tiba membuatku tersentak. Aku meraba benda kecil itu dari dalam tasku yang bernoda kecokelatan dan mengeluarkan aroma kopi itu. Mendadak aku ingat wajah lelaki menyebalkan itu, yang ingin mengganti tas Hermès-ku dengan tas kanvas yang menurutnya Taurus Approved.
"Gimana kencannya?" tanya suara di seberang sana. Tanpa melihat siapa yang menelepon, aku tahu dengan pasti jika Lani yang sedang meneleponku
"Gitu deh," jawabku tidak bersemangat.
"Padahal aku baru mau kasi tahu ke kamu ramalan Nathaniel Zodial hari, hati-hati dengan kecelakaan yang membawa keberuntungan," ucapnya. Aku terkekeh dan entah kenapa merasa lucu mendengar ucapan Lani.
"Aku baru aja mulai sebuah permainan berbahaya," kataku.(*)
2. Taruhan Gila (Dan Media Sosial Yang Meledak)
The Starlit Diner punya lampu neon berbentuk bintang yang bikin silau kalau dipelototin terlalu lama, dan jukebox di sudut sana baru saja memutar Fly Me to the Moon—sebuah ironi, mengingat aku dan Rey sedang menghancurkan bulan. Maksudku, ramalan zodiak, bukan benda langitnya. Walau kalau diberi kesempatan, Rey pasti akan menyalahkan bulan untuk semua masalah dunia yang terjadi.
Restoran ini punya aroma khas: perpaduan minyak goreng, roti panggang, dan sedikit wangi vanilla dari milkshake yang dibawa pramusaji berseragam ungu dan rok mengembang. Kursinya empuk, merah mencolok, dan penuh cap leleh keju serta noda nostalgia. Di sekeliling kami, orang-orang larut dalam obrolan, tawa, dan bunyi kentang goreng renyah yang patah saat digigit.
Aku menatap Rey dari seberang booth. Dia mengenakan hoodie hitam yang sudah agak pudar, seperti sudah dicuci terlalu sering tapi tetap dicintai. Rambutnya yang coklat gelap sedikit acak-acakan, seperti dia baru saja keluar dari pertarungan dengan bantal, dan kalah telak. Di bawah hoodie, dia pakai kaos dengan tulisan "Sarcasm is my love language." Tentu saja.
Rey juga mengenakan jeans sobek di lutut, aku rasa bukan karena gaya, tapi karena dipakai bertahun-tahun dan menolak diganti. Lelaki itu memang penuh kejutan, kadang dia terlihat urakan sekaligus norak tapi di saat yang bersamaan dia juga terlihat menarik. Oh astaga Zara! Apa mulutku baru saja mengatakan jika lelaki ini menarik? Tidak! Sepertinya aku hanya asal bicara.
“Jadi, rencanamu untuk membuktikan zodiak salah adalah … makan burger dan kentang goreng?” tanyaku dengan mata memicing. Entah bagaimana awalnya aku bisa berkenalan dengan lelaki ini, sepertinya dia yang terlebih dahulu membuka obrolan di situs kencan buta hingga kami pun berakhir dengan obrolan tidak penting setiap saat.
Dia menyebalkan, aku sadar akan hal itu. Tidak pernah mau mengalah jika kami sudah terlibat sebuah pembicaraan. Meskipun dia cerdas, dengan segala ide-ide mencengangkan yang terucap dari mulutnya, tetap saja dia Taurus yang keras kepala dan selalu membuatku kesal.
Rey menyeringai, lalu menggeser piring kentangnya lebih dekat seperti itu adalah artefak kuno yang sakral. Kentangnya panjang-panjang, tipis dan garing, masih mengepul. Ada dua saus: barbekyu dan keju. Rey, si Taurus keras kepala, mencelup satu kentang ke keduanya sekaligus, lalu mengangguk seperti dia baru menemukan rahasia hidup. Bagaimana bisa aku menghabiskan akhir pekanku yang berharga dengan lelaki ini?
“Ini Starlit Diner, kita makan di tempat yang biasa aja, nggak usah sok fancy. Lagipula, Taurus itu pecinta hal-hal sederhana dan nyata—nggak kayak Libra yang butuh estetika extra.” Tangannya menunjuk ke jumpsuit biru gelapku yang dipenuhi motif bintang kecil yang berkilauan.
Aku memiringkan kepala, membuat anting bulan sabitku bergoyang pelan. Meskipun wajahku kubuat sedatar mungkin, tetap saja aku kesal mendengar ucapannya.
"Aku tidak butuh estetika. Aku menghargainya," balasku.
“Same thing,” gumamnya sambil menggigit burger. Saus barbekyu menetes ke dagunya seperti hujan meteor kecil. Aku mengeryit sambil kembali memaki di dalam hati. Aku tidak suka sesuatu yang terlihat berantakan, hanya membuat kepalaku terasa menegang.
Aku menghela napas dan dengan cara paling dramatis yang kupunya kemudian mengambilkan tisu untuknya. Aku selalu ingin sesuatu yang rapi dan teratur tapi Taurus di hadapanku ini menyalahi aturan hidupku.
“Kamu benar-benar mau kita pura-pura pacaran selama sebulan? Aku bahkan nggak yakin bisa bertahan seminggu," katanya sambil menyeka dagunya berlebihan, seperti aktor sinetron kehabisan dialog.
“Masalahnya, Zar, kamu terlalu yakin zodiak itu benar. Aku cuma ngasih kamu kesempatan buat terbukti salah.”
Aku melirik piringku. Burger ayam krispi, dengan lapisan keju mozzarella meleleh di pinggir roti, terlihat lebih menggoda daripada Rey. Tapi tentu saja aku tidak akan bilang itu keras-keras. Ada juga milkshake stroberi dengan topping krim dan ceri merah di atasnya yang tampak seperti penyesalan masa depan. Manis, pink, dan sangat Instagramable. Semua yang ada di hadapanku benar-benar aku banget, terkecuali lelaki yang sedang mengunyah kentang goreng dengan cara yang berantakan itu
Dan seperti kebanyakan momen chaos dalam hidupku, ide gilanya datang begitu saja.
“Baiklah, Tuan Zodiac Hater. Kalau kita benar-benar mau ngebuktiin ini palsu, kita harus komit. Kita upload foto kita. Di Instagram. Sekarang," usulku.
Alis Rey terangkat. “Apa?” Aku kemudian mengangkat ponsel.
"
Ayo dong, Rey. Soulmate palsu yang baik akan memamerkan hubungannya," tantangku dengan senyum yang kubuat-buat.
Rey menghela napas berat seolah aku menyuruhnya menyelamatkan dunia pakai kentang goreng. Tapi dia akhirnya bersandar ke depan. Dan tepat saat aku hendak memotret—
Sepotong kentang—yang baru kusadari berbentuk bintang—menempel di pipiku. Mataku melebar. Rey tertawa terbahak-bahak.
"Ups. Taurus-approved photobomb.”
Aku membeku sejenak. Dengan gerakan pelan dan penuh harga diri, aku mengambil kentang itu, lalu melemparkannya balik ke wajah Rey.
“Libra-approved revenge,” balasku. Dia terkesiap, laludengan kekacauan di matanya—mengambil segenggam kentang.
“Jangan coba-coba tantang Taurus, Zara.”
Perang pun dimulai. Kentang beterbangan. Aku bersembunyi di balik menu, lalu menggunakan sendok untuk melontarkan satu kentang tepat ke alisnya.
“Critical hit!” seruku. Dia menyerah. Akhirnya.
Wajah kami berantakan dengan saus dan tawa. Kami mengambil foto—tanpa filter, tanpa edit. Aku mengunggahnya ke Instagram setelah memberi tag pada akun Rey dengan caption:
Soulmate? Yeah, right. #ZodiacFail
Rey, yang masih berusaha membersihkan saus dari lehernya, malah men-tag akun Nathaniel Zodiac. Dia mengetik sambil berbicara dengan suara nyaring, seolah lawan bicaranya ada tepat di hadapannya.
"Nathaniel, ramalanmu salah. Kami bahkan nggak bisa setuju soal saus terenak," ucapnya sambil tersenyum puas.
Gila, ini benar-benar gila! Aku tidak pernah membayangkan hari-hari menjelang usiaku yang ke tiga puluh akan diakhiri dengan adegan kekanak-kanakan ini dengan lelaki yang juga seperti tidak ingat dengan umurnya.
Setelah membersihkan wajahku dari saos dan memastikan riasaku tetap sempurna, aku pun kembali menuju meja di mana Rey sedang memainkan ponselnya. Dia terlihat bosan, mungkin karena terlalu lama menungguku.
Dudukku belum sempurna, tiba-tiba saja ponselku menderingkan nada notifikasi bertubi-tubi, terdengar seperti orang yang tidak sabar.
Aku mengambil ponselku dengan perlahan, berusaha tenang agar Rey tetap memberikan cap padaku sebagai Libra yang teratur dan penuh perhitungan.
Pesan dari Lani.
ZARA. KAMU PACARAN DENGAN REY?! ITU REY ALDRICH?!"
Aku mengabaikan pesan dari Lani karena ada satu notifikasi yang lebih menarik. Balasan dari Nathaniel Zodiac yang membalas tag dari Rey tadi: "Tunggu saja hari ke-15. Bintang-bintang tidak pernah bohong."
"Adikku juga ikut berkomentar," ucap Rey sambil menatap layar ponselnya.
“Adikmu?”
“Iya, Nadia," jawabnya.
“Kenapa dia—”
“Dia begitu antusias," jawabnya.Dan saat itu juga, notifikasi baru muncul. DM dari ... mantan. Mataku memicing sambil membuka pesan masuk dari Alvin, mantan pacar yang telah kuputuskan beberapa bulan yang lalu karena berselingkuh.
Aku tahu kamu cuma pake dia buat bikin aku jealous, kan?
Aku membaca pesan dari Leon dengan suara nyaring hingga membuat Rey menatap ke arahku. Aku dan Rey saling pandang. Ponsel kami masih bergetar dengan dering notifikasi yang seperti tak kunjung selesai.
“Kita baru saja bikin keputusan terburuk dalam hidup kita, ya?” tanyaku pelan.
Rey menyeringai lebar, saus masih nempel di pipinya.
“Oh, ini baru permulaan.”(*)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
