
TAYANG GRATIS HINGGA TAMAT
Chapter:
- Wow-derful Weekend
- Kamu, Kamu, Lagi-Lagi Kamu
- Berkeping
- Mantan vs Pacar
- Rumit
- Akhirnya
WOW-DERFUL WEEKEND
Celotehan dari dua bayi kembar terdengar makin jelas dari ruang tengah. Ternyata si kembar, Lakesh dan Sita, yang berada dalam gendongan orang tuanya baru saja turun dari kamar mereka di lantai atas. Aroma minyak telon seketika menguar karena mereka baru saja mandi sore. Jani yang duduk dalam rangkulan Danen di sofa menoleh sejenak kemudian menyapa sembari kembali fokus pada ponselnya. Sejak tadi, keduanya sedang memilih film untuk movie date mereka malam nanti.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali Jani menginap di rumah kakaknya. Jani cukup mengingatnya karena sepulang dari rumah ini, Danen langsung bertemu dengan Radit untuk meminta izin memulai hubungan mereka. Jadi ini juga merupakan kencan pertama mereka di rumah Jenna.
"Beneran nggak mau ikut nih?" tanya Jani pada kedua kakaknya setelah si kembar dibiarkan berkeliaran di karpet.
"Enggak deh. Nonton tuh udah nggak begitu menarik sejak punya anak-anak lucu ini. Bawaannya bakal kangen banget soalnya. Mending Netflix aja ya, Sayang?" Jenna meminta persetujuan suaminya, yang tentu saja diiyakan.
"Kamu udah tanya Kak Arya belum? Siapa tahu ngambek nggak diajak." Jani ganti bertanya pada Danen.
"Udah. Nggak mau jadi nyamuk katanya." Jani dan Danen tertawa geli membayangkan Arya si jomblo dengan gerutuannya. Sejak Danen dan Jani resmi menjalin hubungan, Arya kerap mengomel karena tidak lagi bisa leluasa hang out bersama Danen. Tentu saja Danen lebih sering memilih menghabiskan waktunya bersama Jani saat ke Bandung. Apalagi di antara mereka hanya Arya yang masih sendiri.
"Yang ini aja?" Danen mengangguk saat Jani menunjuk sebuah film di layar ponsenya. "Jam 19.05 ya? Kita jalan sebentar lagi, mandi dulu, makan dulu. Biar jam sepuluhan udah balik."
"Atur aja, Sayang." jawab Danen.
"Geli!" Pekikan ini bukan hanya dari Jani, tapi juga Danen yang merasa aneh sendiri dengan sapaan mesranya pada Jani.
Meski sedang mencoba menjalin hubungan dengan serius, keduanya masih merasa canggung dengan bentuk kemesraan tertentu yang bagi mereka berlebihan. Namun hal itu membuat Jani maupun Danen merasa hubungan mereka unik. Karena setelah itu, mereka bisa menertawakan kelakuan konyol mereka bersama. Kenyamanan yang mereka rasa cukup.
Danen memang tertarik pada Jani, secara fisik Jani jelas cantik di matanya dan obrolan mereka pun selalu menyenangkan. Makin mengenalnya, Danen begitu nyaman karena masih bisa jadi diri sendiri saat mereka bersama. Mereka bisa membicarakan banyak hal, menghabiskan waktu dengan hal yang mereka suka, termasuk berdebat jika mereka berselisih. Jani pun tidak banyak protes jika Danen membutuhkan waktu sendiri tanpa dirinya. Tidak ada yang berubah di hidupnya sejak bersama Jani. Meski begitu, Danen tetap merasa kalau Jani selalu ada untuknya lewat pesan atau telepon yang tidak pernah absen -namun tidak menuntut- setiap harinya meski berjauhan. Untuk lelaki, hal seperti ini cukup penting karena mereka memiliki satu sudut yang tidak berubah sejak kecil. Boys will be boys.
Begitu juga Jani yang merasa kedekatannya dengan Danen terasa natural. Bagi beberapa perempuan, perhatian dan pengertian dari pasangan bisa menjadi hal yang mencukupi dalam satu hubungan. Mungkin bersama Danen Jani tidak merasakan perasaan yang menggebu seperti di hubungan yang sebelumnya, tapi dia berharap kalau 'koneksi' di antara mereka justru akan lebih stabil. Dan seperti kata Kinara, Danen termasuk jajaran lelaki ganteng kok. Jadi sangat nyaman untuk dipandang berlama-lama. Termasuk bersandar di dada bidangnya seperti sekarang.
"Aku tuh sampe sekarang masih nggak yakin sama hubungan mereka, berasa kayak setting-an aja gitu, Yang." komentar Jenna melihat ke-random-an adik dan sahabatnya.
"Ingin ku berkata kasar, tapi inget ada dua bayi tak berdosa. Lakesh, sini, sama Om Danen!" Danen melepaskan rangkulannya pada Jani yang sudah selesai dengan urusan tiket menonton mereka. Lakesh yang semula merangkak ke segala arah, mendekat pada Danen yang menarik perhatiannya dengan mainan.
"Lagian setting-an demi apa coba, Mbak? Macem kita artis atau pewaris tahta yang mesti nikah dulu baru dapet harta." Jani menimpali kemudian mencium gemas Lakesh yang kini berada di pangkuan Danen. "Kak Aska, Mbak J sekarang suka nonton drama? Khayalannya mantap betul!" Aska hanya terkekeh di samping Jenna yang mencebik akibat tuduhan Jani.
"Siapa tahu, kalian berdua ditanyain soal pasangan terus, jadi ngide pacaran." Jenna membela diri.
"Gue sih enggak ya, 26 tahun belum terlalu tua lah buat jomblo."
Kali ini Sita yang melihat saudaranya menjadi sasaran kegemasan Om dan Tantenya, ikut mendekat kemudian menepuk-nepuk kaki Jani. Tentu saja hal itu membuat Jani mengangkatnya ke pangkuan dan kembali menciumi.
"Tuh kan, udah cocok!" goda Jenna lagi.
"Fotoin, dong." Jani memberikan ponselnya pada Jenna untuk mengambil gambar mereka berempat.
Meski sempat memutar bola mata, Jenna tetap menuruti keinginan adiknya. Mengambil beberapa pose mereka berempat, twins dengan Jani saja, twins dengan Danen saja, terakhir dan yang paling banyak hanya si kembar berdua dengan Jani dan Danen sebagai tim hore agar mereka berpose lucu. Namun ketika masih mengambil gambar, ponsel Jani tiba-tiba berdering karena telepon masuk. Jenna mengernyit heran saat panggilan tersebut berasal dari Klinik Utama Prama Cihampelas.
"Kenapa klinik telfon kamu, Dek?" tanya Jenna sembari menyerahkan ponsel Jani. Jani yang ikut heran hanya mengedik kemudian mengangkatnya.
"Halo? Oh, gimana, Teh Kia? Nggak ganggu kok.. Ibu Erlita? Iya, Teh, saya tahu.. Hah?!" pekikan Jani setelah mendengar penjelasan di telepon membuat yang lain ikut penasaran. "Saya ke sana sekarang aja. Makasih ya, Teh." Jani langsung menoleh pada Danen. "Kak, anter yuk!"
Jani menjelaskan dengan singkat kalau ibu dari temannya tidak sadarkan diri di klinik yang menghubunginya tadi. Namun klinik tidak dapat menghubungi keluarganya karena nomor yang dicantumkan ternyata milik si ibu sendiri. Dan Kia yang pernah melihat si ibu yang memang rutin berobat, pernah bersama Jani, berinisiatif menghubunginya. Jani tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan kalau teman yang dia maksud adalah Rayan. Terlalu banyak pertanyaan susulan jika dia menjelaskan. Karena dia harus segera mengambil tas berisi dompet dan perlengkapan lain sebelum meminjam motor di rumah Aska agar tidak terjebak macet. Weekend di Cihampelas jelas tidak ramah untuk mereka yang sedang terburu.
Selagi Danen menyiapkan motor, Jani mencoba menghubungi Rayan untuk mengabari, namun sayangnya tidak terhubung. Entah ponselnya mati atau tidak ada sinyal. Danen segera membawa mereka ke arah Cihampelas, bersabar melewati beberapa titik kemacetan hingga hampir satu jam kemudian mereka baru sampai di sana.
Jani langsung menuju nurse station untuk mencari Kia yang tadi mengabarinya kondisi Lita. Tidak lama, Jani diarahkan bertemu Lita yang ternyata sedang ditangani dokter karena baru sadar. Jani menunggu di kursi yang tersedia di depan ruangan. Tangannya kembali mencoba menghubungi Rayan yang kali ini tersambung namun tidak diangkat.
"Ibunya siapa sih, Jan?" Danen akhirnya bertanya penasaran. Di perjalanan tadi Jani memang tidak bersuara sama sekali saking paniknya.
"Eh? Aku belum bilang ya?" Jani baru tersadar kalau jawaban dari pertanyaan Danen bisa membuat keduanya canggung. "Maminya Kak Rayan."
"Arrayan Erlangga?" Jani mengangguk sembari memperhatikan ekspresi Danen. Kekehan Danen setelahnya tidak membuat Jani lega. "Kebetulan di antara kalian masih berlanjut ternyata." komentar Danen membuat Jani melipat bibir bingung.
"Maaf ya, Kak."
"Kok minta maaf?" Danen ganti mengerut bingung.
"Barangkali kamu nggak nyaman aku masih berhubungan sama Kak Rayan termasuk keluarganya."
Danen menarik Jani dalam rangkulan, mengambil satu tangan Jani dengan tangannya yang bebas. Tidak lupa menatap matanya yang menyiratkan rasa bersalah.
"Kita lagi membangun hubungan, ingat? Bukan membangun benteng yang membatasi kamu berbuat baik. Termasuk sama keluarga mantan pacar kamu." Danen meyakinkan.
"Thank you, Kak."
Tidak ada yang bisa Jani katakan lagi, selain kemudian tangannya membalas genggaman Danen. Hingga seorang perawat keluar dari ruang periksa dan memanggil Jani masuk. Lita sempat terlihat kaget saat menatap Jani, namun oksigen di hidungnya membuat dia tidak leluasa bicara. Lebih tepatnya kondisinya memang belum pulih benar sehingga tenaganya terbatas.
"Nah, Teteh keluarganya?" tanya dokter yang memeriksa.
"Iya, Dok. Gimana keadaan Tante Lita?" Jani mendekati Lita dan menggenggam tangannya.
"Ibu Lita ini sudah lama didiagnosa gangguan jantung dan perlu penanganan lebih lanjut. Saya sudah berulang kali ingatkan untuk menyampaikan ke keluarga agar tiap kontrol, ada yang mendampingi. Karena saya lihat, tidak ada yang pernah menemani." Jani melirik Lita yang nampak pasrah. "Sampai kekhawatiran saya terjadi hari ini, Ibu Lita tidak sadar sewaktu menunggu antrian. Ini pun harus segera dipindah ke Rumah Sakit karena alat-alat jelas lebih lengkap. Silahkan diskusi dulu mau pindah kemana, nanti langsung diurus ke administrasi. Saya siapkan pengantarnya."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Dokter yang menangani Lita berlalu dari ruangan itu diikuti oleh perawatnya, meninggalkan Lita bersama Jani dan Danen. Jani duduk di tepi ranjang dan tersenyum pada Lita.
"Tante mau ke Prama Medika? Nanti Jani sama Kak Danen urus." Lita mengangguk pelan, berusaha bicara meski lirih.
"Erlan.. " ucapnya pelan.
"Jani udah coba hubungi Kak Rayan, tapi belum nyambung. Habis ini.. " perkataan Jani terhenti saat Lita menggeleng dan meremas pelan tangannya.
"Jangan bilang.. " Jani ternganga sebelum kemudian menatap Danen. Danen yang paham kalau ada yang perlu mereka bicarakan, berinisiatif keluar dari ruangan.
"Aku urus administrasi dulu. Permisi, Tante." Jani kembali menatap Lita untuk mendapat penjelasan. Namun, Lita justru bertanya hal lain.
"Siapa?"
"Pacar Jani, Tante." Lita sempat nampak terkejut, namun mengangguk kemudian. "Tante, Kak Rayan atau Om Abri harus tahu." bujuk Jani.
"Nanti sedih. Rina aja, asisten Tante." ucap Lita setelah menggeleng.
Tidak ingin berdebat di saat seperti ini, Jani hanya mengiyakan. Mengambil ponsel Lita untuk mencari nomor asisten yang dimaksud, Jani menceritakan secara singkat dan meminta Rina menunggu di RS Prama Medika.
"Kak Rayan pasti cari Tante, karena mungkin Tante akan dirawat beberapa hari." kata Jani.
"Dia keluar kota satu minggu."
Jani akhirnya mengangguk saja. Tidak ingin membebani Lita dengan pemikiran berat. Jika memang itu yang diinginkan Lita, Jani akan mengikuti dulu. Urusan Rayan akan dipikirkan belakangan. Setelahnya Danen kembali dengan perawat yang mempersiapkan kepindahan Lita menuju rumah sakit menggunakan ambulans. Menurut dokter, kondisi Lita cukup stabil untuk dipindahkan meski dengan penuh pengawasan. Jani akan ikut ambulans untuk menemani Lita, sedang Danen mengikuti dengan motornya.
"Kak, maaf ya." ucap Jani di sela persiapan mereka.
"Maaf kenapa lagi sih?" balas Danen sembari mencubit pipi Jani saking gemasnya.
"Kayaknya kita nggak akan jadi nonton." sesal Jani mengingat tiket mereka yang seharusnya dipakai satu jam kemudian.
"Nggak apa-apa. Hari ini kita hospital date." Danen mengacak rambut Jani dan kemudian terkejut karena Jani merangsek memeluknya.
"Thank you."
"My pleasure."
Namun kemudian pelukan mereka terlepas berganti pandangan yang saling bertaut bingung, karena akhirnya ponsel Jani berdering dengan Arrayan Erlangga sebagai pemanggil.
***
578 suka
janitra.rayya Wonderful weekend with baby twins and bebe putudanendra ❤
Lihat semua 61 komentar
putudanendra Hi bebe 😘
andiraputri kangen lakesh sita 😍
aryanaka Laksh twins 😙
***
KAMU, KAMU, LAGI-LAGI KAMU
Jani melirik jam di sudut layar komputernya, ternyata sudah jam istirahat. Pantas saja di ruangannya mulai terdengar keriuhan samar. Dia segera mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya untuk menghubungi seseorang yang sejak pagi berbalas pesan dengannya.
"Siang, Teh Rina. Gimana Teh kata Dokter?"
"Sudah boleh pulang, Teh. Ini lagi dibereskan administrasinya." Jani bersyukur dalam hati. Sejak Lita masuk Rumah Sakit, Jani memang berkomunikasi dengan Rina, asisten Lita yang menjaganya. Jani memintanya melaporkan perkembangan kondisi Lita setiap harinya. Karena biasanya Dokter memeriksa di pagi hari, sedang Jani baru bisa datang di sore atau malam selepas bekerja. "Teh Jani mau ke sini?"
"Aduh, kalo sekarang belum bisa, Teh. Nanti sore saya ke rumah aja ya. Oh iya, Kak Erlan belum pulang kan?"
"Kemarin malam saya ke rumah sih belum ada. Tapi kata Ibu hari ini atau besok pulang, makanya Ibu tadi agak maksa Dokter buat pulang hari ini. Takut ketahuan, Teh. Padahal Ibu masih agak lemes. Dokter juga masih pesan buat mempertimbangkan operasi, soalnya kondisi Ibu udah lumayan parah. Gimana ya Teh, saya mah da nggak ngerti."
Jani menghela nafas. Rayan memang tidak tahu kondisi Lita. Lebih tepatnya Lita memang ingin tidak memberitahu siapapun. Hanya Jani dan beberapa pekerjanya yang tahu, itupun karena memang membantu mengurusnya. Ditambah Danen yang juga selalu Jani hubungi setiap malamnya, termasuk untuk menceritakan kekhawatirannya.
Bagaimana tidak, penyakit Lita jelas serius. Seharusnya Lita mendapat banyak dukungan agar penyakitnya ditangani dengan baik. Namun hal itu tidak mungkin terjadi jika tidak ada satupun keluarganya yang tahu. Karenanya, sebisa mungkin Jani selalu mendampinginya. Jani usahakan setiap hari menyempatkan diri menjenguk Lita. Meski dia harus memikirkan cara lain jika Lita sudah di rumah. Dia tidak bisa membuat Rayan curiga dengan kehadirannya di rumah lelaki itu.
Kemarin, saat Rayan balik menghubunginya, dengan sedikit tergagap Jani terpaksa berbohong. Meski mungkin membuat Rayan curiga karena menghubunginya berulang kali, Jani hanya mengatakan kalau ingin menanyakan tempat makan seafood yang pernah mereka datangi dulu. Kebohongan yang konyol, tapi Jani tidak terpikir ide lain saking tidak terbiasa berbohong.
"Ya udah, Teh. Kabarin aja ya kalo ada apa-apa. Nanti sore, kalo Kak Erlan belum pulang, saya mampir sebentar. Mudah-mudahan Tante Lita mau ngasih tahu keluarganya."
Tidak lama berbasa-basi, Jani memutus sambungan telepon mereka. Dia segera merapikan pekerjaannya kemudian memasukkan dompet dan ponsel ke dalam tas karena siang ini Jani punya janji dengan Kinara untuk makan siang bersama di dekat kantor Jani.
Dan selanjutnya denting ponselnya menunjukkan kalau Kinara sudah sampai di kafe yang mereka sepakati. Untungnya tidak butuh waktu lama untuk Jani tiba di sana sehingga Kinara tidak perlu menunggu.
Jani langsung bisa menemukan Kinara yang memilih tempat duduk di dekat jendela. Sudut favoritnya setiap mereka pergi berdua. Keduanya saling menyapa heboh sebelum Jani memesan makanan. Untungnya seperti biasa juga, kafe yang mereka kunjungi cukup ramai dengan musik sehingga sedikit keributan tidak membuat mereka jadi perhatian.
"How's life, Janitra? Kangen banget deh." Kinara berucap antusias setelah mencicipi minumannya yang datang lebih dulu.
"Nggak tahu deh gue, minggu ini tuh kayak capek banget. Padahal this is friday, Sis." Jani memekik frustasi. "Harusnya gue excited, kan?"
"Kenapa sih? Kerjaan banyak?" Kinara masih menanggapi dengan santai raut frustasi Jani. Kadang Jani memang terlalu ekspresif untuk banyak hal, jadi sebelum kadung antusias, Kinara memilih mendengarkan lebih dulu.
"Kerjaan sih biasa! Ketemu weekend juga gue bakal lupa lah." Jani menghela nafas panjang sebelum mulai menceritakan kegelisahannya belakangan ini. "Tadinya semua menyenangkan banget, gue nginap di rumah Mbak J jadi bisa puas main sama twins. Habis itu pacar gue datang, kita pesan tiket buat nonton, niatnya malam mingguan lah. Gue pikir habis weekend kemarin tuh gue bakal fresh banget pokoknya. Terus boom! Gue sama Kak Danen malah terdampar di Prama Medika. Lo tahu kami ngapain? Ngurusin Maminya mantan pacar gue! Drama banget nggak weekend gue?"
"Anjir! Kok bisa?" Kinara seketika penasaran.
Jani menggeleng pasrah tanpa memiliki jawaban. Selanjutnya dia menceritakan dengan singkat penyebab dirinya bisa terlibat dalam urusan kesehatan Lita. Dari mulai pertemuan tidak sengaja di klinik - tanpa menjelaskan kejadian selanjutnya di rumah Lita tentunya, karena Jani memutuskan hanya memberi tahu beberapa orang - hingga telepon dari klinik untuknya. Cerita Jani berakhir tepat saat pelayan mengantarkan makanan mereka.
"Terlalu kebetulan buat nggak dibilang jodoh. Gimana kalo emang jodoh lo dia?" Kinara akhirnya berkomentar sembari menyuap makanan.
"Heh! Jangan gitu dong, gue kan punya pacar." Jani panik. "Lo tau nggak sih, hal pertama yang gue pikirin waktu kebetulan itu terjadi tuh Kak Danen. Dia baik banget tetep mau bantuin gue ngurus Tante Lita. Bikin gue malah ngerasa bersalah. Tiket nonton kami hangus, nggak jadi ngedate. Lo bisa bayangin nggak?" Kinara mengangguk.
"Terus, dia ketemu dong sama mantan lo?"
"Itu juga yang bikin gue pusing. Tante Lita nggak mau suami sama anaknya tahu kalo dia sakit. Astaga! Asli, gue pusing banget."
"Gimana maksudnya? Jadi kemarin cuma lo berdua yang ngurusin?"
"Di klinik, iya. Pas sampai RS asistennya datang, gue sama Kak Danen bantu ngurus administrasi sebentar terus balik. Tapi itu udah malem banget, gue langsung dianter ke rumah Mbak J, Kak Danen juga ke rumah Kak Arya. Pokoknya batal kencan gue."
"Tapi malah romantis nggak sih, Jan, Kak Danen kayak nemenin lo dalam suka dan duka gitu." mata Kinara berbinar saat mengatakannya, dimana Jani kembali mendesah. Seharusnya memang begitu, karenanya dia mengangguk.
"Romantis. Kalo aja isi kepala gue bukan rasa bersalah sama Kak Danen, terus malah khawatir sama Kak Rayan. Gue nggak bisa menikmati keromantisan itu karna kepikiran gimana perasaan Kak Rayan nanti pas tahu Maminya sakit. Dia tuh sayang banget sama Maminya, pasti bakal sedih banget." Makanan yang dia telan jadi tidak senikmat biasanya, padahal spaghetti merupakan menu favoritnya saat datang ke kafe ini.
"Terus lo ikut sedih kalo dia sedih?"
"Iya lah, Kin." Entah kenapa jawaban Jani begitu yakin.
"Wah, bahaya sih, Jan. Lo jelas masih sayang dia." Kinara menggeleng dramatis sambil menunjuknya dengan sendok.
"Bukan gitu, peduli sesama manusia aja. Biar gimana dulu gue juga deket sama Tante Lita, Kin. Gue berempati." kilah Jani, namun sebenarnya dirinya sendiri tidak merasa yakin.
"Tapi serius sih, Jan, kebetulan antara lo sama si mantan ini kayak terlalu banyak. Lo nggak sengaja ketemu dia di kantor, oke lah Bandung sempit jadi semua orang bisa ketemu. Anggap aja pertemuan selanjutnya di kafe juga peluangnya besar soalnya kantor kalian deket." Kinara ingat pertemuan pertamanya dengan Rayan saat sedang makan bersama Jani seperti kali ini. "Tapi habis itu lo ketemu nyokapnya, di klinik yang random banget tiba-tiba lo ke sana. Mana kebetulan banget juga Mama lo keburu balik jadi lo nganterin dia. Terus kemarin? Lagi-lagi kebetulan perawat yang jaga inget kalo lo kenal dia. Gue sampe kayak 'wow', kalian jodoh banget, Janitra!"
"Jangan gitu dong, Kinara. Kemarin Kak Danen juga bilang hal semacem itu, kayak kebetulan di antara gue sama Kak Rayan ternyata belum selesai. Biarpun waktu itu dia ketawa, kayak becanda, tapi gue tetep ngerasa ada yang salah sih."
"Dari awal hubungan kalian juga aneh sih, Jan." Jani mengerutkan alis. "Lo sama pacar lo." lanjut Kinara saat melihat Jani bingung. "Kalian tuh pacaran tapi nggak pake feeling. Gue sebagai si hopeless romantic, can't relate."
"Gue sayang dia kok."
"Tapi lo nggak berdebar sama dia. Gue kasih contoh efeknya ya, kayak situasi kemarin yang harusnya romantis, lo malah mikirin cowok lain. Jangan ngelak!" Jani nyaris menyanggah tapi lebih dulu disela Kinara.
"Iya, gue sama Kak Danen juga lagi usaha kok, Kin. Gue masih nggak ngerasa ada yang salah sama hubungan yang nggak diawali berdebar."
"Nggak ada yang salah kalau rencana Tuhan mendukung. Kalau banyak kebetulan kayak gini, pusing kan lo!"
Jani tidak bisa menjawab lagi karena dia pun bingung dengan perasaannya. Sejujurnya, sebelum ini Jani sangat optimis dengan hubungannya dengan Danen. Mereka sudah lebih terbuka dengan sering mengobrol dan bertukar pikiran, lebih dekat secara fisik, Jani pun sudah mulai merasakan nyaman yang lebih dari sebelumnya. Tapi kegelisahannya karena Rayan, membuat Jani tidak lagi bisa menjalani hari seperti biasa.
"Gue bukan mau bikin lo mikir jelek terus jadi jahat sama orang, Jan. Tapi menurut gue, lo harus membatasi interaksi lo sama mantan lo, apapun yang terjadi. Buktiin kalo lo memang serius sama pacar lo dengan nggak lagi terpengaruh sama laki-laki lain."
Ucapan Kinara terus terngiang di kepala Jani. Bersahabat dengannya selama beberapa tahun ini membuat Jani paham semua maksud baik Kinara meski terdengar tidak nyaman di telinganya. Mereka sudah banyak melewati hal sulit bersama, jadi Jani yakin kalau Kinara tidak akan sembarangan memberi saran. Termasuk kali ini, Jani akan mempertimbangkan sarannya.
Mereka berpisah tidak lama setelah makan siang mereka habis. Jani harus kembali ke kantor sedang Kinara ada janji dengan calon kliennya. Sisa siang itu Jani berusaha konsentrasi dengan pekerjaannya sebelum kembali memikirkan perkataan Kinara di perjalanan pulangnya. Lebih tepatnya dia akan singgah terlebih dulu ke rumah Lita sesuai janjinya.
Meski terkesan jahat, Jani sedang menyusun kata untuk membujuk Lita agar mau memberi tahu keluarganya karena Jani merasa tidak berhak untuk menemaninya. Tapi dia juga tidak ingin Lita sendirian menghadapi penyakitnya. Nyatanya, kemacetan Bandung tidak berhasil memberinya waktu cukup untuk selesai dengan pemikirannya. Jani tetap tidak menemukan kata-kata yang cukup halus untuk mengatakan pada Lita dengan kondisi sakitnya.
Sayang, keriuhan isi kepala membuatnya abai dengan resiko kedatangannya ke rumah Lita. Jani baru saja menurunkan satu kaki dari mobilnya ketika ada mobil lain menyejajari mobilnya. Belum sempat menyadari kalau dirinya sedang menghindari keluarga Lita, Rayan lebih dulu membuka jendela mobilnya dan menyapa. Jani yang terlalu kaget hanya bisa meringis dan menyapa Rayan dengan canggung kemudian merutuki kelalaiannya hingga Rayan sudah berada di hadapannya.
"Kok nggak bilang mau ke rumah?" tanya Rayan dengan binar yang tidak bisa ditutupi meski wajahnya nampak sekali lelah.
Jani memaksa otaknya mengarang alasan yang masuk akal tanpa kembali berbohong. Tapi sepertinya sulit.
"Mau ketemu Tante Lita, udah janjian kok."
"Oh, masuk yuk kalo gitu." Rayan mendahului Jani menuju rumahnya untuk kemudian membuka pintu. "Ada acara apa sama Mami?"
"Nggak ada sih, iseng aja kemarin ngobrol terus janji mau ke sini. Tante cerita, Kakak lagi di luar kota jadi rumah sepi." Tidak sepenuhnya berbohong, tapi Jani berdoa semoga Lita bisa bekerjasama dengannya.
"Jadi kalo aku ada di rumah, kamu nggak akan ke sini ya?" Rayan terkekeh sembari menahan pintu untuk Jani masuk sebelum dia tutup lagi. Jani yang tidak memiliki jawaban hanya bisa meringis.
"Nggak gitu juga sih."
Jani menghentikan langkah di ruang tamu dengan ragu. Dia tahu Lita pasti sedang istirahat di kamarnya. Seandainya tidak ada Rayan, dia akan meminta izin untuk menemuinya di kamar. Tapi Rayan jelas belum tahu soal sakitnya Lita, jadi normalnya dia menunggu di sini.
"Di dalam aja, Jan." Rayan yang melihat kebingungan Jani, mengajaknya ke ruang keluarga. Seperti biasa saat dia berkunjung. "Kamu bukan pacarku lagi, tapi Mami tetap sayang kamu."
Kegelisahan Jani berubah jadi rasa frustasi karena kehadiran Rayan jelas di luar rencananya. Dia tidak yakin akan mudah melepaskan diri dari Lita dan Rayan setelah ini karena tidak mungkin membicarakan maksud kedatangannya hari ini di depan Rayan.
***
489 suka
janitra.rayya Udah tahu pahit, tapi tetep balik lagi ke kamu.. #mycoffee #blackcoffee
***
BERKEPING
"Mau minum apa, Jan?" tanya Rayan saat Jani akan duduk di sofa ruang keluarga. Jani akhirnya mengikuti Rayan untuk menunggu Lita di dalam, bukan di ruang tamu. "Si Teteh pada kemana sih?" Rayan mengerut heran mendapati rumahnya begitu sepi, termasuk di area dapur.
"Nggak usah repot, Kak. Aku sebentar aja. Nggak enak sama Ayay-Bibu, dari kemarin pulang malem terus." Jani tidak berbohong, karena setiap pulang kantor dia mampir ke Rumah Sakit, selama sepekan ini Jani selalu pulang terlambat.
"Lagi sering lembur?" Rayan kembali dari dapur dengan membawa sekotak jus yang dia tahu kesukaan Jani.
Sebelum Jani sempat menjawab, ponselnya berdering panjang hingga menciptakan kerutan di keningnya saat melihat Teh Rina Tante Lita sebagai nama yang terpampang di layarnya. Mengabaikan Rayan, Jani segera mengangkatnya.
"Ya, Teh?"
"Teh Jani jadi ke rumah? Ini Ibu pucat lagi. Aduh, Rina bingung. Ibu kelihatan lemes, tapi nggak mau diajak ke Dokter lagi. Gimana ya Teh?" suara Rina yang terdengar panik meski sedikit berbisik membuat Jani ikut gelisah.
"Sekarang Tante dimana?"
"Di kamar, Teh. Barusan Rina disuruh keluar. Rina takut ada apa-apa." Rayan cukup terkejut ketika Jani berdiri dari duduknya ketika baru saja akan menyimpan kotak jus di meja.
"Tunggu di situ." Lebih kaget lagi ketika Jani begitu saja melangkah ke arah tangga dan naik ke atas.
Rayan segera mengikutinya setelah kesadarannya kembali. Dia melihat Jani berbelok menuju kamar Ibunya dimana sudah ada Rina di depan pintunya. Kekagetan Rayan tadi berlanjut dengan keheranan melihat Rina nampak antusias menghampiri Jani, seolah mereka sudah saling mengenal dan mempunyai urusan.
"Teh Jani, ya ampun. Untung udah di sini." ujar Rina lega.
"Gimana, Teh? Tiba-tiba aja lemesnya?"
Rina akan menjawab, namun urung saat melihat Rayan mendekat. Dia hanya bisa menggoyangkan pelan lengan Jani untuk memberi kode. Jani menoleh dan kembali gelisah saat mendapati Rayan yang keheranan. Dia tahu tidak mungkin menyembunyikan hal penting ini darinya. Jadi dengan pertimbangan cepat dia memutuskan untuk memberi tahu Rayan.
Sayangnya, belum sempat Jani berkata, suara pecahan kaca membuat ketiganya panik karena berasal dari dalam kamar Lita. Tanpa pikir panjang, didahului Rayan, ketiganya memasuki kamar Lita kemudian panik saat melihat Lita bersandar dengan memegang dadanya. Di lantai berserakan pecahan gelas dengan airnya. Sepertinya Lita menjatuhkan air minumnya.
"Teh, obat Tante mana?" Jani yang tahu kalau Lita dibekali obat jika merasa sakit dada, segera mencari obat yang dimaksud.
"Di meja semua, Teh."
Menyisir beberapa bungkusan obat, Jani segera memberikannya pada Lita setelah yakin kalau itu obat yang dimaksud. Rayan yang duduk di samping ibunya makin bingung dengan situasi yang ada.
"Jani, Mami kenapa?" tanyanya. "Mami sakit?"
"Sebentar, Kak." Jani mengabaikan pertanyaan Rayan karena fokusnya adalah menghubungi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah yang menangani Lita. Untungnya, Jani cukup mengenalnya secara pribadi karena itu dia berinisiatif segera menghubunginya. "Sore, Om Farhan. Maaf banget Jani ganggu. Tante Lita sesek lagi, Om.. Udah, barusan Jani kasih.. Baik, Om. Terima kasih banyak ya, Om."
"Jani, ada apa sebenarnya? Mami sakit apa? Rina?" Rayan mulai terpancing emosi karena tidak mengetahui apa-apa. Usapan pelan Lita di tangannya tidak mengurangi kerutan di kening Rayan.
Jani dan Rina saling berpandangan. Rina memutuskan melanjutkan tugasnya membersihkan lantai dari pecahan kaca sedang Jani berusaha menyusun kata. Berulang kali dia melipat bibirnya gelisah. Melihat Lita yang begitu lemah, Jani merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan.
"Kak, aku pasti jelasin. Tapi kita harus ke Rumah Sakit sekarang. Tolong bantu Tante masuk mobil ya, aku akan siapin obatnya Tante. Teh Rina, tolong bawa barang penting Tante." Jani ganti menatap Lita yang nampak pasrah. "Tante, tolong jangan nolak ya. Om Farhan akan nunggu di IGD, nanti Tante langsung diperiksa."
Menahan kesal, Rayan tetap menggendong ibunya yang sudah mulai bernafas normal menuju mobil. Rina meminta supir Lita menyiapkan kendaraan, karena dalam kondisi seperti ini Rayan tidak mungkin menyetir sendiri. Meninggalkan mobilnya di rumah Lita, Jani mengambil tempat di samping Lita sedang Rina di kursi belakang dan Rayan di depan. Perjalanan yang seharusnya singkat tapi sangat mencekam karena tidak ada satupun yang bersuara selain memastikan kenyamanan Lita.
Sampai di IGD, seperti janjinya, Dokter Farhan yang menangani Lita sudah menunggu di sana. Lita segera di bawa ke ruang tindakan khusus dalam IGD. Baik Jani maupun Rayan belum ada yang buka suara selain saat mengurus administrasi. Setelahnya, melihat Lita sudah ditangani dengan baik, Rayan menarik tangan Jani untuk sedikit menjauh dari sana.
"Ada apa ini, Jani?" tuntut Rayan karena sepertinya sejak tadi hanya dia yang tidak tahu apa-apa.
"Kak, tunggu Dokter Farhan selesai periksa ya? Biar bisa lebih jelas.."
"Jelasin sekarang!" Selaan Rayan dengan nada bicara yang meninggi membuat Jani berjengit hingga mundur selangkah. Dia menarik nafas panjang sebelum menjelaskan dengan singkat.
"Tante Lita sakit, kata Dokter ada gangguan jantung. Dokter udah menyarankan operasi, tapi Tante nggak mau. Nanti kita bisa minta Dokter Farhan jelasin lagi lebih detail kalo Kakak mau."
"Kenapa kamu bisa tahu dan aku enggak?" tukasnya tajam, Rayan nampak sekali tidak lagi bisa menahan emosi yang sejak tadi ditahannya.
"Minggu lalu Tante drop dan nggak sadar di klinik. Terus aku.. "
"Tunggu! Minggu lalu waktu kamu telfon aku?"
"Iya. Waktu itu aku.. "
"Jadi kamu nyembunyiin ini dari aku? Kamu bohong waktu bilang lagi nyari tempat makan?"
"Kak.. "
"Dia Mami aku, Janitra!" Jani tercekat karena begitu kaget dengan bentakan Rayan. "Kamu bikin aku kayak orang bodoh yang nggak tahu apa-apa?!" Matanya berkaca namun sekuat tenaga menahan tangis ketika Rayan kembali mengeluarkan nada tinggi.
Bertahun lalu mengenal Rayan, Jani tahu kalau Rayan cukup emosional. Dulu Jani mengira karena dibesarkan sebagai anak tunggal, begitulah karakter Rayan terbentuk. Anak tunggal terkesan manja karena semua keinginannya biasanya dituruti orang tua. Apalagi Rayan anak lelaki satu-satunya. Jadi Jani cukup terbiasa dengan Rayan yang mudah ngambek, banyak menuntut ini itu, dan berakhir menyerah saat Rayan menuduhnya macam-macam.
Rasa sakit hari itu ternyata muncul lagi hari ini. Rayan begitu saja membentaknya tanpa mau mendengar penjelasan lebih dulu. Sama seperti dulu, Jani memang menutupi satu hal pada Rayan. Jika dulu dia tidak merasa bersalah karena menutupi kejutan manis untuk Rayan, kali ini Jani memang merasa gelisah karena tahu dia bersalah menutupi hal penting dari Rayan. Tapi dia punya alasan. Dan sayangnya Rayan sudah kadung terlalu marah. Jani maklum, rasa khawatir pada Ibunya membuat emosinya semakin tinggi. Ditambah mendapati Jani membohonginya. Tapi Jani tidak bisa menahan perasaan sedihnya. Apalagi kalimat Rayan setelahnya seolah makin menggores hatinya.
"Terima kasih udah repot-repot ngurusin Mami kemarin. Setelah ini, nggak perlu lagi ikut campur urusan keluargaku."
Rayan berlalu begitu saja dari hadapannya. Meninggalkan Jani yang tercenung lama karena keterkejutannya. Selama beberapa saat, Jani berusaha mengembalikan kesadaran setelah tadi dia tidak bisa bernafas dengan baik. Tubuhnya meluruh ke kursi di dekatnya bersamaan dengan air matanya yang menetes. Segera dia hapus dan coba hentikan sebelum menarik perhatian orang.
Jani meraba kantongnya kemudian merasa lega saat mendapati ponselnya ada di sana. Karena tadi, dia tidak membawa apapun saking paniknya. Tas berisi dompetnya dia tinggal di mobil, sedangkan kunci mobilnya masih berada di rumah Lita. Entah di sofa atau meja ruang keluarganya. Tangannya bergerak memesan ojek online menuju rumah Lita. Meski tidak yakin masih bisa menyetir dengan baik saat perasaannya kacau seperti ini, Jani tidak mungkin meninggalkan mobilnya di sana. Selain akan menjadi pertanyaan orang tuanya, Jani juga tidak ingin makin lama berurusan dengan Rayan dan keluarganya, sesuai dengan permintaan Rayan.
Sedangkan Rayan kembali ke dalam dengan perasaan yang tidak jauh berbeda dengan Jani, kacau. Emosinya tidak terkendali. Sepekan ini dia lelah sekali karena kerumitan kasus yang ditanganinya hingga mengharuskan dia ke luar kota. Moodnya sempat membaik ketika melihat Jani berada di rumahnya. Namun tidak lama, kenyataan yang baru saja diketahuinya membuat dia terpukul. Dan rasa sedih itu berubah menjadi kemarahan karena merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang ibunya. Dia tidak tahu harus marah kepada siapa. Jadi saat mengetahui kalau Jani membohonginya, ke sana lah emosinya meluncur. Meski sempat sadar kalau reaksinya berlebihan, terutama saat melihat kaca di mata Jani, Rayan memilih pergi untuk menenangkan diri agar tidak semakin menyakiti Jani.
Tidak lama menunggu di dalam, Dokter keluar dari ruang penanganan khusus dan mencari keluarga Lita. Tentu saja Rayan segera menghampiri untuk mengetahui kondisi ibunya. Secara perlahan, Dokter Farhan tidak keberatan menjelaskan dari awal kondisi Ibunya. Perasaannya makin buruk ketika mengetahui kalau sudah sepekan ini ibunya dirawat.
"Sebelum ke sini, Ibu Lita sudah mendapat rekomendasi operasi dari Dokter Jantung Klinik Prama Cihampelas. Karena kebetulan masih satu grup, saya bisa dapat rekam medis dari sana. Kalau dilihat, Ibu Lita sudah berobat di sana hampir satu tahun. Dan kesimpulan saya sama, Ibu Lita harus segera dioperasi karena kondisinya semakin buruk." Dokter Farhan menutup penjelasan panjangnya. "Saya sempat menjelaskan sedikit sama Jani kemarin. Dia sudah pulang?" tanyanya mencari keberadaan Jani.
"Ah, iya, Dok." Rayan baru sadar kalau tadi Jani ke sini bersamanya. Perasaan bersalah seketika menggelayuti memikirkan bagaimana cara Jani kembali ke rumahnya.
"Yah, nggak apa-apa. Seminggu kemarin dia tiap sore datang ke sini menemani Ibu Lita. Untung hari ini sudah ada Mas sebagai anaknya. Mungkin kalau kemarin Jani belum berhasil membujuk Ibu Lita untuk mau operasi, Mas bisa memutuskan sebagai walinya. Terus terang, kondisi Ibu Lita sangat mengkhawatirkan."
"Kalau memang itu yang terbaik, saya setuju, Dok. Mohon dilakukan saja secepatnya."
"Baik, setelah ini akan saya rujuk ke bagian bedah jantung. Karena saya hanya bisa mengusahakan sampai sini, selanjutnya Ibu Lita akan ditangani oleh Dokter Bedah Jantung." Dibantu perawat, Farhan menandatangani beberapa berkas untuk merujuk Lita. "Oh iya, Mas temannya Jani? Kemarin Jani cerita kalau Ibu Lita itu Ibu dari temannya makanya dia bantu." Farhan mencoba mencairkan suasana serius di antara mereka sembari mengisi beberapa form.
"Betul, Dok. Kami satu SMA." Farhan mengangguk.
"Saya kenal Jani dari kecil, anak itu memang peduli sekali sama orang lain dari dulu. Waktu bawa Ibu Lita dari Prama Cihampelas, dia sama pacarnya. Saya ingat sekali itu malam minggu, normalnya mereka mau kencan, ya kan. Tapi dia di sini sampai urusan Ibu Lita selesai dan itu kayaknya udah malam sekali."
Bukan makin ringan, kepala Rayan justru bertambah berat mengetahui kalau Jani sangat banyak membantu ibunya kemarin. Rasa bersalah bukan lagi makin menumpuk, tapi juga menghantam keras kesadarannya kalau dia sudah berbuat sangat buruk pada Jani.
***
***
MANTAN VS PACAR
Jam dinding di ruang meeting menunjukkan kalau sudah lewat jam pulang, tapi hampir seluruh tim Sailendra Architecture masih duduk tenang di kursinya masing-masing. Tepat saat lampu ruangan yang semula redup untuk memperjelas layar presentasi kembali terang, Ben menutup weekly meeting mereka.
"Oke, makasih banyak all team untuk kerja kerasnya pekan ini. Kita akan follow up terus ya. Kendala administrasi ataupun teknis, tolong selalu dikomunikasikan. Ilsa, minta tolong juga notula rapat hari ini diforward ke Mas Aska ya."
"Siap, Kang Ben." Ilsa, dari tim administrasi, yang kali ini ditunjuk sebagai notulis mengangkat jempolnya.
"Kalo gitu saya tutup ya. selamat istirahat teman-teman, semoga weekend-nya bisa bikin semangat lagi minggu depan." Serempak seruan lega keluar dari seluruh peserta rapat. "Oh, iya, Mas Aska juga titip pesan permohonan maaf nggak bisa hadir kali ini karena ada urusan keluarga."
Tidak seperti biasanya, dimana Aska selalu memimpin langsung weekly meeting yang mereka sepakati diadakan di akhir pekan, kali ini untuk pertama kalinya dirinya absen. Bahkan Aska sudah tidak terlihat di kantor sejak dua hari lalu. Hampir satu tahun ini sibuk dengan kepindahannya ke Bandung sekaligus membangun Sailendra Architecture, Aska hampir tidak pernah mengajak keluarganya berlibur lama. Kali ini pun sebenarnya tidak jauh, hanya ke Jakarta karena menurut Jenna si kembar belum nyaman dengan perjalanan jauh. Jadi Jenna memilih menghabiskan waktu dengan staycation di tempat yang memiliki kenangan bagi mereka. Dia ingin bernostalgia dengan hubungan mereka sebelum ada si kembar.
"Jani nggak ikutan acara keluarganya Mas Aska?" goda Alvian. Jani yang disebut namanya sontak terkekeh.
"Nyusul, Al. Mau ikut?" balas Jani santai. Karena Jenna juga ingin berkumpul dengan sahabatnya, Danen meminta Jani menyusul agar dirinya tidak jadi satu-satunya jomblo di sana.
"Nggak usah ditanya, Jan, pasti mau dia mah." Den Bagus menimpali.
"Mau jawab gitu takut dikira do'ain Jani putus sama pacarnya." celetuk Alvian.
"Kok gitu?" Jani mengerut heran meski paham kalau Alvian hanya bercanda.
"Kan judulnya 'acara keluarga', kalo gue ikut harus jadi keluarga dulu dong. Kelanjutannya, terserah Jani deh."
Sorakan Den bagus dan yang lain ditanggapi tawa oleh Jani. Keakraban seperti ini adalah salah satu hal yang membuatnya betah bekerja di kantor Aska. Abaikan satu orang yang masih menatapnya dengan malas. Jani berusaha untuk menghargai sikap baik yang diterimanya dibanding merasa terganggu dengan satu orang.
Selain keluarga, pekerjaan dan teman-temannya lah yang mampu mengalihkan Jani dari rasa sesaknya satu minggu ini. Bayangan kemarahan Rayan masih berdesakan di dadanya. Jani berusaha meredam rasa sakit hatinya atas perkataan Rayan malam itu. Bagaimanapun, dia merasa layak mendapatkannya. Sudah seharusnya dia mengabaikan permintaan Lita karena sangat berbahaya.
Perasaan yang terpendam jelas makin membuatnya tidak nyaman. Apalagi hanya Danen yang mengetahui tentang masalah ini. Jani memang sempat menceritakan kemarahan Rayan padanya, meski tidak secara detail karena merasa khawatir dengan reaksi Danen nantinya. Hanya dari sekilas ceritanya saja, secara tersirat Danen nampak tidak ingin lagi Jani terlibat dengan keduanya.
"Mungkin itu jadi tanda buat kamu berhenti berhubungan sama mereka, Jan. Karena akhirnya selalu nggak bagus." komentarnya waktu itu.
Tidak ada yang salah dengan perkataan Danen, karena nyatanya memang begitu. Hubungan romantis mereka tidak berakhir baik, begitu juga pertemanan yang baru saja mereka mulai. Jika Danen menyebutnya sebagai tanda, Jani tidak mempunyai alasan untuk mengelak dan hanya bisa mengiyakan.
Jani tidak lagi punya tenaga untuk menceritakan ulang apa yang terjadi antara mereka pada orang lain demi mendapatkan masukan. Terlalu banyak hal yang dia tutupi. Apalagi terakhir kali dia bercerita pada Bibunya adalah ketika dia melakukan kesalahan besar, mengkhianati Danen dengan membalas ciuman Rayan. Rasanya terlalu malu jika harus kembali mengungkapkan kesalahannya. Meskipun dia tahu kalau Kalya dan Radit tidak pernah begitu saja menghakiminya, Jani merasa lebih sakit hati jika keduanya sampai kecewa padanya.
Meski begitu, sebetulnya Danen sangat bijak saat menanggapi ceritanya. Bagi Danen yang terjadi kemarin tidak bisa mereka kontrol. Rayan memang seharusnya tahu tentang sakit yang diderita ibunya, tapi Jani juga tidak berkewajiban memberi tahu jika Lita memang melarangnya. Danen juga mengajaknya mendoakan kesembuhan Lita, karena itu yang utama. Selebihnya, Jani hanya perlu menghindari berurusan dengan keduanya.
Jani sepakat, meski tidak bisa dipungkiri kalau dia tetap memikirkan Lita dan Rayan. Jani yakin Lita akan ditangani dengan baik oleh Dokter, tapi Jani tidak yakin perasaan Rayan akan baik-baik saja selama ibunya berada di rumah sakit. Tapi benar kata Danen, itu bukan lagi tanggung jawabnya.
Jadi ketika Danen memintanya untuk menyusul Jenna dan Aska ke Jakarta, Jani setuju. Dia memilih menggunakan kereta malam selepas bekerja. Masih ada waktu sekitar tiga jam lagi sebelum keretanya berangkat. Jani masih sempat pulang ke rumahnya, membersihkan diri, kemudian mengambil barang yang sudah dia siapkan.
"Dianter siapa ke stasiun?" Danen menghubunginya ketika dia bersiap.
"Jendra. Kamu masih di kantor?" Danen berdehem mengiyakan.
"Sebentar lagi balik. Nanti aku yang jemput kamu."
"Padahal aku bisa ke apartemen sendiri, udah biasa." Jani membayangkan Danen yang akan repot harus bolak-balik mengantarnya ke apartemen, apalagi seharian ini Danen juga bekerja.
"No debat, ya. Bawa jaket, Jan. Kereta malam dinginnya suka nggak kira-kira. Makanya aku lebih suka travel. "
"Iya, Pacar. Dianter Jendra naik motor kok, pasti bawa jaket. Ya udah aku siapin bekal dulu ya, nanti aku kabarin lagi."
"Okay. Hati-hati ya, Pacar."
"Kamu juga hati-hati baliknya. Bye."
Setelah sambungan telepon mereka terputus, Jani segera keluar kamar dengan membawa koper kecil yang akan dibawanya kemudian menuju dapur untuk menyiapkan bekal seperti katanya tadi. Jadwal keberangkatan keretanya jam tujuh malam, jadi Jani tidak akan sempat makan malam di rumah. Sedangkan jika melewatkan masakan Bibunya akan membuatnya menyesal. Jadi membawa bekal adalah solusi.
Ternyata di dapur Kalya sedang menyiapkan bekal untuknya hingga siap dibawa. Di sampingnya, Radit memberikan beberapa pesan untuknya. Tidak jauh dari perihal pentingnya menjaga diri, khas Radit pada anak perempuannya. Hingga akhirnya Jendra turun dari kamarnya, nampak sudah siap mengantar Jani dengan jaket kulit di luar kaosnya.
Sempat mengomel karena koper Jani yang menyulitkannya, keduanya akhirnya pergi juga. Diam-diam Jani merasa kalau adiknya ini menjadi lebih protektif padanya sejak Jenna menikah. Jika dulu, Jendra tidak akan repot-repot mengantarnya ke stasiun di jumat malam yang sudah pasti akan macet dimana-mana. Apalagi pagi tadi juga Jendra masih berkuliah seperti biasa, Jatinangor-Buah Batu bukan jarak yang dekat untuk ditempuh. Jadi sebagai rasa terima kasihnya, sore tadi Jani membelikan roti kopi kesukaan adiknya sebagai bekal karena mengantarnya Jendra jadi tidak bisa makan malam tepat waktu.
Seperti yang sudah diduga, baru saja keluar dari gerbang perumahan mereka sudah berjibaku dengan kemacetan. Untungnya Jani sudah memperkirakan dengan berangkat lebih awal. Di perjalanan, dia teringat untuk mengabari Danen. Saat berangkat tadi dirinya sibuk membujuk Jendra yang protes dengan bawaannya. Namun gerakannya yang sedang mencari kontak Danen dalam kotak pesannya terhenti ketika melihat satu pesan belum terbaca dari nama yang tidak dia sangka. Jarinya urung
Arrayan Erlangga
Jani, aku minta maaf.
Terakhir kita ketemu, aku keterlaluan bgt.
Nggak ada pembenaran apapun buat sikapku kmrn, bahkan kamu berhak utk gak maafin.
Aku terima.
Aku tau aku jg gak tahu diri, tp aku minta doamu utk Mami.
Mami sayang bgt sm kamu
Sblm operasi, Mami nanyain kamu terus
Tp egoisnya aku, malah bohong sm Mami
Siapa tau dgn doamu Mami mau bangun.
Krn udah 3 hr ini Mami gak sadar
Aku gak tau harus ngapain
Seketika, pikiran Jani berkecamuk. Kekhawatirannya pada Rayan benar-benar terjadi, Rayan akan menjadi yang paling kacau ketika terjadi sesuatu pada Lita. Entah apapun yang terjadi, tapi sepertinya Lita tidak baik-baik saja. Dia mengenal Rayan dengan gengsinya yang tinggi, jadi tidak mungkin Rayan mau menghubunginya begitu saja.
Sepekan ini, sesuai permintaan Rayan, Jani sama sekali tidak mencari tahu kondisi Lita. Bahkan ketika Dokter Farhan sempat mengirimkan pesan menanyakan dirinya yang tidak pernah lagi datang ke RS, dia hanya menjawab sedang sibuk dan Lita sudah dijaga anaknya. Jani begitu menahan diri untuk tidak lagi ikut campur - jika itu bahasa Rayan - urusan Lita.
Tapi ketika menerima pesan Rayan, hatinya tidak bisa tenang. Meski Danen mengingatkan untuk tidak lagi berurusan dengan keduanya, lintasan pikiran untuk menjenguk Lita di rumah sakit tidak bisa dihindari. Hingga tanpa sadar, Jendra sudah memarkirkan motornya dan menyuruhnya turun meski dengan penuh tanda tanya.
Melihat waktu di pergelangan tangannya, sudah seharusnya dia terburu karena lima menit lagi keretanya akan berangkat. Kemacetan yang sudah diprediksi ternyata lebih parah, membuatnya terjebak lama di jalan. Langkah Jani terayun cepat diikuti Jendra yang membawa koper di belakangnya.
Namun bukan pada kereta langkahnya tertuju. Di depan sana, Jani menemukannya duduk sendirian di ruang tunggu khusus pasien ICCU. Telapak tangannya menutupi wajah, gestur yang membuatnya jelas terlihat frustasi. Ditambah parah dengan kusutnya pakaian yang sepertinya sudah seharian dia pakai. Jani mendekat dengan nafas yang agak terengah karena langkah cepatnya, hatinya mencelus ketika dari dekat dia bisa melihat lebih jelas kusutnya lelaki di hadapannya.
"Kak Erlan." lirih Jani yang seketika membuat Rayan mendongak.
Wajah terkejut campur lega Rayan adalah ekspresi terakhir yang Jani tangkap sebelum tubuhnya kembali merasakan kehangatan dengan aroma familiar. Karena Rayan seketika berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Seperti bergerak otomatis, tangan Jani yang ikut melingkar erat di punggungnya ternyata memberi ketenangan bagi keduanya. Melupakan kegelisahan keduanya seminggu ini. Juga membuat Jani abai dengan ponselnya yang terus berdering.
***
Putu Danendra
Jan, udah jalan?
Dimana?
Udah di kereta?
Pacar?
Jani?
***
RUMIT
"Dek, kita puter balik ke Prama Medika!" putus Jani tiba-tiba yang tentu saja mengejutkan Jendra.
"Hah?! Siapa yang sakit?" Jendra segera mencari tepian yang memungkinkan untuknya menghentikan motor.
"Nanti aja ceritanya. Please, kita harus ke Prama Medika dulu."
Meski berdecak, Jendra mencari jalan menembus kemacetan untuk kembali ke arah Buah Batu. Butuh waktu hampir lima belas menit hanya untuk berputar dan berbalik arus. Tapi selama itu, Jani tidak sempat berpikir yang lain selain kondisi Rayan dan Lita. Hingga mereka tiba di parkiran Prama Medika, Jendra hanya mengikuti Jani yang tergesa di depannya tanpa banyak tanya.
Namun setelahnya, dia begitu kaget ketika melihat Jani menghampiri seorang lelaki yang kemudian memeluknya erat. Lebih tepatnya mereka berpelukan erat. Wajah pria itu cukup familiar bagi Jendra, tapi dia tidak ingat pernah melihatnya dimana. Merasa ada yang salah dengan pemandangan di hadapannya, Jendra segera berdehem keras agar keduanya tersadar bahwa ini tetap tempat umum meskipun sepi.
"Kopernya, Mbak." ujar Jendra setelah Jani menoleh padanya dengan canggung. "Aku tunggu di kantin." lanjutnya tanpa menatap Rayan.
Begitu Jendra pergi, Rayan melihat Jani menarik kopernya mendekati kursi yang tadi didudukinya. Diikutinya Jani dengan duduk di sebelahnya.
"Kamu mau kemana?" Rayan penasaran. Baru sadar kalau Jani nampak siap pergi dengan ransel di punggungnya ditambah koper yang baru saja diserahkan lelaki yang tidak dia kenali.
"Nggak kemana-mana. Tante Lita gimana?" Untuk sementara, Jani memilih abai dengan batalnya kepergian dirinya ke Jakarta. Karena setelahnya, Rayan kembali menampakkan kerapuhannya.
"Tiga hari lalu Mami akhirnya setuju operasi, tapi sampai sekarang belum sadar juga. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi kalo stabil kenapa Mami nggak mau bangun ya, Jan?" Rayan mengacak rambutnya sendiri, terlihat sekali raut cemas, bingung, juga frustasi darinya. Sedang Jani hanya bisa menenangkan dengan usapan di punggungnya. Untuk berkata kalau semua baik-baik saja pun sepertinya percuma, karena yang dibutuhkan Rayan adalah Lita yang sadar. Dan selama itu belum terjadi, Jani yakin Rayan tetap gelisah.
"Kakak udah makan?" tanya Jani yang dibalas gelengan Rayan. "Kita ke kantin yuk, Jendra juga nunggu di sana."
"Aku nggak nafsu makan, Jan." Jani bisa membayangkan kalau tiga hari ini Rayan pasti mengabaikan kebutuhannya, terlihat dari begitu kusut dirinya.
"Temenin aku makan mau?" tawar Jani.
"Kamu aja ya? Temen kamu pasti udah nunggu." Alis Jani mengerut sesaat sebelum tersenyum paham.
"Kamu lupa sama Jendra? Dulu dia masih bocah banget ya pas ketemu kamu."
"Jeje? Itu tadi Jeje?" Rayan masih nampak mengingat-ingat, membuat Jani mengangguk.
"Dia sekarang ngambek kalo dipanggil Jeje." Kekehan Jani menular padanya. "Jadi mau ya ikut ke kantin? Nanti perawat pasti kabarin kok kalo Tante Lita bangun. Kamu butuh tenaga lho buat jagain Tante kalo udah sadar." bujuk Jani.
Rayan menghela nafas panjang. Perasaannya memang belum membaik, tapi kehadiran Jani jelas melegakan. Menemukan ketulusan di mata Jani, Rayan tidak bisa menahan diri untuk kembali menarik Jani dalam pelukannya.
"Makasih ya." Setelah kata-kata tajamnya kemarin, seharusnya Jani membencinya bukan malah peduli seperti ini. Tapi tentu saja tidak dia ucapkan, karena takut Jani berubah pikiran.
"Its okay. I know its must be hard for you. Kita teman kan, Kak?" Jani kembali menenangkan dengan usapan di punggungnya. Namun perkataannya justru membuat Rayan tersadar dengan status keduanya. "Yuk, makan."
"Aku di sini aja nggak apa-apa ya? Nanti aku pesan makan." ucapnya ragu setelah melepas pelukan dan kembali menatap pintu ruangan ICCU di hadapannya. Rayan menghela nafas panjang untuk ke sekian kali. "Rasanya nggak tenang kalo ninggalin Mami lagi. Seharian tadi aku masih kerja, baru sebentar nunggu Mami. Makasih ya, kamu udah sempetin mampir. Sayangnya nggak bisa masuk karena memang ruangannya khusus." Rayan kembali menatap Jani. Tatapan yang membuat Jani semakin iba.
Tanpa menjawab lagi, Jani mengambil ranselnya kemudian mengeluarkan kotak makan yang disiapkan Kalya. Memang hanya satu porsi, tapi karena yakin Rayan tidak akan makan jika tidak dipaksa, maka itu yang akan dilakukan Jani sekarang.
"Kamu makan ini aja kalo gitu. Ini masakan Bibu kok. Dan Bibu bakal sedih kalo masakannya ditolak." tegas Jani ketika melihat Rayan akan menolak. Dia segera mengeluarkan peralatan makannya kemudian menyendok bekalnya dan menyodorkan pada Rayan. "Mau makan sendiri apa disuapin?"
Meski berdecak, Rayan akhirnya membuka mulut juga. Jika ada yang bisa dia nikmati di antara kegelisahannya belakangan ini, tentu saja kebersamaannya dengan Jani hari ini. Mungkin terdengar egois, tapi rasanya dia ingin terus merasakan perhatian Jani. Bukan hanya hari ini.
Rayan membiarkan Jani menyuapkan makanan ke mulutnya sembari bertanya banyak hal, khas Jani ketika sedang berusaha memperbaiki mood-nya. Persis seperti yang Rayan ingat, beberapa tahun lalu saat dirinya sedang sibuk dengan ujian akhir sekolah. Hampir setiap hari Jani menemaninya makan siang, karena dia bisa lupa makan saat sedang sibuk belajar.
Satu tahun menjadi kekasihnya, Jani cukup mengenal kebiasaan Rayan yang sulit makan dengan benar ketika sedang banyak berpikir. Mungkin seiring berjalannya waktu banyak yang berubah dari Rayan, tapi sepertinya tidak dengan yang satu itu. Jadi dengan obrolan ringan yang mengalihkan sejenak pikiran Rayan dari keadaan Lita, Jani berharap Rayan bisa cukup menutrisi tubuhnya. Setidaknya itu hal yang bisa dia lakukan untuk keduanya.
"Kayaknya kalo nggak jadi lawyer, Althaf bakal jadi desainer kayak kamu. Lebih tepatnya desainer pribadi kakaknya yang kadang ngasal aja kalo udah urusan warna." komentar Rayan setelah Jani selesai menceritakan 'serunya' mendiskusikan warna cat tembok yang akan digunakan di ruang meeting kantornya. Diskusi yang berulang kali dilakukan karena Arbani tidak konsisten dengan pilihannya. Mereka memang punya bahasan seru karena kantor Rayan masih dalam proses renovasi oleh kantor Jani.
"Itu dia, untungnya setiap email Mas Althaf ikut baca. Aku harus banyak bilang terima kasih sama dia sih." kekeh Jani sembari menyodorkan suapan terakhir pada Rayan.
Seperti dugaannya, tidak butuh waktu lama bagi Rayan menghabiskan isi kotak makan Jani yang disiapkan Kalya tadi. Jani bahkan tidak memakannya sama sekali, hanya terus bertanya dan bercerita. Meski masih tampak leah, raut wajah Rayan sudah jauh lebih segar dari sebelumnya.
"Tapi kayaknya itu bukan masalah buat kamu."
"Ya itu kerjaan aku, jadi udah biasa."
"You're passionate. Emang main warna tuh tempat kamu banget." Jani tidak bisa menahan senyum saat mendengarnya.
Desain beserta warna-warninya memang sudah menjadi hidupnya. Mungkin karena matanya sudah berbinar sejak pertama kali Radit dan Kalya membelikan berbagai jenis pewarna untuknya berkreasi. Tidak hanya untuk mewarnai gambarnya, sejak kecil Jani sudah kenal dengan pewarna kuku, bibir, juga mata. Jangan lupakan isi lemari yang Kalya isi dengan pakaian dan asesoris beragam warna sehingga Jani bebas memadu-padankan warna pakaian yang akan dikenakannya.
Warna-warni itu juga yang membuat Rayan langsung jatuh hati di hari pertama melihatnya. Di antara lautan siswi baru yang memakai seragam SMP dan rambut yang diikat kuda, Rayan menemukanJani dengan jepitan poni warna-warninya. Jepitan yang membuat Rayan memperhatikannya karena meski sebetulnya tidak berlebihan, Rayan tidak bisa menahan diri untuk lebih sering menengok padanya. Jani memang cantik, terbukti dari banyaknya teman Rayan yang juga menandainya sebagai salah satu siswi baru yang masuk daftar untuk didekati. Tapi entah kenapa, hanya Jani yang bisa menarik perhatiannya sejak hari itu.
"Minum dulu, Kak." Lamunan Rayan buyar ketika Jani menyodorkan botol minum ke hadapannya. Dia bahkan baru sadar kalau kotak nasi yang dibawa Jani sudah kosong.
"Eh, kamu jadi belum makan." kata Rayan setelah berterima kasih dan mengembalikan botol Jani.
"Nggak apa-apa, habis ini aku ke kantin." balas Jani sembari merapikan kembali bekas makan Rayan.
Rayan hendak kembali berterima kasih pada Jani namun urung karena sebuah sapaan. Wajahnya nampak mengeras ketika melihat orang yang menyapanya. Tubuhnya menegak dan ikut berdiri ketika si pemanggil berada di hadapannya.
"Kenapa nggak bilang kalo Mami kamu dirawat? Papi nggak tahu kalau nggak ketemu Rina tadi." Sebelum Rayan datang, Rina memang baru saja pulang ke rumah.
Rayan menatap ayahnya dari atas hingga bawah. Ya, yang berdiri dihadapannya adalah Abrisham Afif. Lelaki dengan raut wajah khas timur Tengah ini merupakan ayahnya sekaligus pengacara yang terkenal bertangan dingin ketika menghadapi banyak kasus. Seharusnya Rayan bisa menjadikannya teladan, baik sebagai pribadi maupun profesional. Sayangnya, rasa hormatnya hilang sejak beberapa tahun lalu. Sejak dia sadar kalau ibunya tidak diperlakukan dengan baik. Meski dia tahu sangat tidak pantas, Rayan tidak bisa menahan diri untuk mendengus.
"Mami udah seminggu di sini dan Papi baru nyari? Mami ini siapanya Papi sebenernya? Istri atau penunggu rumah?" balasnya tajam. Jani yang semula hanya duduk memperhatikan seketika berdiri, terus terang dia sangat kaget dengan respon Rayan. Bagaimanapun, ucapan Rayan sangat tidak sopan. Tangannya bahkan reflek menyentuh lengan Rayan, bermaksud menenangkan.
"Jaga bicara kamu ya!" Meski suaranya pelan, amarah jelas sangat nampak pada wajah Abri. Namun begitu, Abri berusaha tidak terpancing emosi, ada yang lebih penting dari itu. "Siapa Dokter yang nanganin Mami? Papi mau tanya kondisinya."
"Nggak usah pura-pura peduli, Pi. Nggak ada untungnya. Nggak ada media juga di sini."
"Kamu jangan kurang ajar ya, Arrayan!" Abri kembali memperingatkan dengan suara pelan tapi tajam.
"Jangan dikira aku nggak tahu ya, Pi, Mami drop minggu lalu setelah ketemu Papi. Jadi yang kurang ajar siapa sebenarnya?!" Rayan tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan suaranya hingga Jani menariknya mundur.
Minggu lalu, setelah Lita selesai ditangani di IGD, Rayan memaksa Rina untuk menceritakan secara detail sakitnya Lita sejak awal. Dari sana juga Rayan tahu kalau sesaat sebelum Lita mengeluh sesak ketika baru saja kembali ke rumah sakit, Lita baru saja selesai bicara dengan Abri yang sempat pulang sebentar. Jadi wajar saja ketika bertemu ayahnya, Rayan tidak bisa menahan emosi.
"Kamu memang selalu mikir jelek sama Papi."
Begitu saja Abri berlalu dari hadapan Rayan. Niat untuk mengetahui kondisi Lita dia urungkan, karena dari penjelasan Rina dia tahu kalau Lita masih belum sadar. Selepas punggung Abri menghilang dari netranya, Rayan terduduk lemas dengan hembusan nafas kasar. Emosinya masih sangat terasa dari nada bicaranya pada Jani.
"Aku yang pegang ponsel Mami seminggu ini, Jan. Dan aku sama sekali nggak lihat satupun pesan atau telfon dari Papi." Rayan menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. "Aku nggak ngerti hubungan macam apa yang mereka jalani."
Jani tidak bisa berkata-kata karena dia pun yakin Rayan tidak butuh mendengar apapun saat ini. Jadi yang bisa dia lakukan hanya kembali menenangkannya dengan usapan di lengan, dia ingin kalau Rayan tahu dirinya mendengarkan. Tapi dari situ juga Jani jadi sadar kalau selama ini Rayan tidak baik-baik saja.
Bagi Jani yang melewati hari dengan dukungan utama dari keluarga, kondisi keluarga Rayan jelas tidak bisa dia bayangkan. Mungkin tidak jarang dia berdebat dengan kakak dan adiknya, tapi Jani tidak pernah merasakan Radit dan Kalya dalam kondisi yang menegangkan seperti ini. Apalagi ketika dia melihat raut wajah Rayan yang kembali kusut, rasanya salah jika Jani mengabaikannya. Padahal Jani tahu, di sana ada yang menunggunya.
***
Putu Danendra
Istirahat, Jan
Kita bicara besok
***
AKHIRNYA
"Jan, it's okay. Kita udah coba, kayaknya udah semua cara ya? Aku bisa ngerasain perhatian kamu, perlakuan kamu juga udah berubah banget sama aku dibanding waktu kita berteman, tapi perasaan itu nggak bisa dipaksa. Niat kita kemarin mau membangun hubungan ini kan? Termasuk perasaan kita berdua. Kalo kenyataannya cuma aku yang akhirnya jatuh cinta, it's just we weren't to be. And that's really okay.
"Aku akan bilang sama Om Radit, tapi mungkin aku belum bisa ke sana langsung. Kita mulai dengan baik-baik, aku mau kita selesai dengan baik-baik juga.
"Jan, pesan aku, jangan mengelak lagi. Kamu masih sayang sama Arrayan Erlangga. Fokus kamu selalu teralih setiap dia muncul. Dan aku yakin, dia juga masih punya perasaan sama kamu. Perjuangin, Jan.
"Aku juga minta maaf, kalau mungkin sementara ini aku belum bisa ketemu kamu. Ternyata sedih juga ya harus udahan sama kamu. Aku minta waktu ya, Jan, aku akan segera balik jadi Danen temen kamu setelah sedihku hilang.
"Take care, Janitra."
***
Percakapan mereka di telepon pagi ini, atau mungkin lebih tepatnya perkataan Danen - karena Jani hanya banyak diam, masih sangat terngiang di telinga Jani. Sepertinya tangisnya sepanjang sambungan telepon belum cukup hingga perasaan bersalah di dadanya masih terus bertambah. Dia tidak akan mengelak, dia pantas untuk menyakiti dirinya dengan rasa bersalah karena sudah membuat Danen sedih. Dia yang sudah menghancurkan komitmen keduanya.
Pagi ini pun sebenarnya dia ingin tetap ke Jakarta, tapi setelah sambungan telepon keduanya, Jani mengurungkan niat. Dia ingin menghargai keinginan Danen untuk tidak dulu bertemu dengannya. Apalagi hari ini kakaknya berencana berkumpul bersama sahabat kuliahnya, termasuk Danen. Jani tidak ingin merusak acara mereka dengan ketidakhadiran Danen karena kedatangannya.
Masalah lainnya, keberangkatan Jani ke Jakarta tentu saja membuat Jenna bertanya-tanya, apalagi ketika bertanya pada orang tuanya, Kalya mengabari kalau Jani sudah pamit padanya untuk menuju stasiun. Danen pun tidak tahu apa-apa, dia bahkan tetap datang ke stasiun untuk menjemputnya, meski tidak mendapati Jani di sana. Semua orang kebingungan hingga akhirnya Jendra yang memberi kabar kalau Jani sedang di rumah sakit. Entah apa yang dia lakukan, Jendra hanya mengantar.
Tidak ada yang tahu tentang Rayan dan ibunya, kecuali Danen. Jadi ketika Danen yang meminta Jenna untuk tenang, kakak Jani itu justru tidak berhenti mencecarnya. Meski tidak mendapat jawaban di malam itu, keesokan paginya Jenna berkesempatan mendesak Danen hingga terkejut saat mendapati hubungan keduanya sudah berakhir.
Jenna yang semula menuding Danen bertingkah hingga Jani mengakhiri hubungan mereka, seketika terdiam saat melihat Danen justru menghindari tatapannya dengan mata berkaca. Meski ada tawa di sana, tapi Jenna yang sudah mengenalnya bertahun-tahun tahu kalau Danen tidak baik-baik saja. Tidak ada yang baik-baik saja dari sebuah perpisahan meskipun hubungan mereka baru beberapa bulan saja.
Jadi sekembalinya Jenna dari Jakarta keesokan harinya, dia langsung menuju rumah orang tuanya untuk menemui Jani. Jani yang sudah siap dengan kemarahan Jenna jika Danen menceritakan semuanya, hanya bisa tertegun saat Jenna justru kembali bertanya. Artinya, Danen tidak melakukannya. Bukan menenangkan,justru menambah rasa bersalah dan kegelisahan Jani. Apalagi kalau sampai Jenna tahu alasan sebenarnya.
"Jadi siapa yang di rumah sakit kemarin?" tanya Jenna ketika mereka semua sedang makan siang. Jani sempat melirik adiknya yang juga melirik padanya sebelum menjawab.
"Ibunya temenku koma habis operasi jantung tiga hari lalu." jawaban yang juga diberikan Jani pada kedua orang tuanya. Sama seperti kedua orang tuanya juga, Jenna hanya mengangguk. Wajah sembab Jani cukup menjelaskan adanya masalah di antara keduanya. Mereka tahu, Jani akan bercerita jika sudah merasa siap.
"Operasinya sama Om Farhan?" tanya Jenna lagi.
"Om Farhan spesialis jantung, bukan bedah jantung." Kali ini Jendra yang menjawab.
"Kalo kamu mau jadi spesialis apa, Dek?"
Begitu saja, obrolan mereka beralih dari membahas Jani pada Jendra hingga makan siang mereka tandas. Tapi rasa bersalahnya membuat Jani memasuki kamar sang Bibu ketika Ayaynya sedang mengobrol dengan Aska selepas makan siang, setelahnya dia menceritakan semua yang terjadi. Benar-benar semuanya. Dari komitmennya dan Danen untuk mengusahakan hubungan mereka pasca kejadian itu, rahasia sakitnya Lita, hingga dirinya yang berakhir menemui Rayan di saat seharusnya dia bertemu Danen.
Jani memperhatikan ekspresi Kalya yang sepertinya begitu tegang. Berbeda dengan ketika mendengan pengakuannya waktu itu, kali ini Kalya lebih terkesan datar. Tapi Jani yang terbiasa menceritakan apapun pada Bibunya, bisa menangkap kekecewaan Kalya. Hingga Jani tidak berani lagi menatapnya di ujung ceritanya.
"Dek, apa yang kamu pikirin waktu memutuskan buat datang ke rumah sakit?" tanya Kalya setelah beberapa saat tercipta keheningan di antara mereka.
"Kak Rayan butuh teman, Bu, dia nggak baik-baik aja." Jani mengingat lagi perasaannya waktu itu. Perasaan yang membuatnya tidak berpikir jernih.
"Dan apa yang bikin Adek ngerasa kalau teman yang dia butuhkan adalah Adek?" tanya Kalya lagi, kali ini Jani butuh waktu untuk menjawabnya karena dia pun tidak mengerti dengan spontanitasnya waktu itu.
"Karena Kak Rayan chat aku waktu itu. Dia tuh lagi marah, Bu, sama aku karna aku rahasiain sakit Maminya, tapi dia chat aku. Nggak tahu kenapa aku ngerasa aku harus langsung nemuin dia. Mungkin Adek merasa bertanggungjawab?" ucap Jani ragu, karena semakin banyak kata yang keluar dari mulutnya semakin dia tahu kalau dia salah. "Tapi Adek tahu itu bukan pembenaran, Bu. Adek salah." Akunya. Rasa bersalahnya terus bertambah, apalagi ketika mendengar helaan nafas dari Kalya.
"Adek, Bibu tahu Adek udah dewasa. Udah paham mana yang benar dan salah. Adek juga harus tahu kalau kami, Ayay, Bibu, Mbak J, Jendra, akan selalu sayang Adek apapun yang terjadi. Tapi mungkin sekarang wajar kalau Bibu kecewa sama Adek. Tindakan Adek, bukan hanya merugikan diri sendiri, tapi juga menyakiti orang lain. Adek udah minta maaf sama Danen?" Jani mengangguk. Dia sudah tidak bisa berkata lagi karena tenggorokannya tercekat.
"Dek, nggak ada yang salah sama perasaan Adek. Adek berhak khawatir sama Rayan, apalagi dia memang lagi kesulitan, butuh bantuan. Tapi tindakan Adek nggak bijak. Adek nggak memikirkan perasaan Danen di saat kalian masih punya hubungan. " Kalya menghela nafas lagi.
"Tapi karena itu udah lewat, Bibu harap Adek bisa ambil pelajaran ya. Pikirkan matang-matang sebelum bertindak apapun." Kalya menarik Jani ke dalam pelukannya. "Nggak apa, kita belajar dari kesalahan ya. "
Air mata yang ditahan Jani akhirnya turun deras. Rasa bersalahnya yang menyesakkan itu seolah mengalir bersamaan dengan air matanya. Tidak hilang, tapi paling tidak dia bisa merasa lega karena tahu kalau dia tidak sendirian. Pelukan Bibunya menjadikan dirinya semakin malu pernah berbuat salah, tapi sekaligus membuatnya berusaha semakin keras untuk menjadi lebih baik. Jani tidak berhenti bersyukur karena memiliki keluarganya.
"Bu, menurut Bibu Adek perlu cerita sama Mbak J nggak?" Jani meluapkan kegelisahannya setelah tangisnya mereda. "Kayaknya Kak Danen belum bilang apa-apa."
"Menurut Adek, Mbak J perlu tahu?" Jani yang kebingungan mengangkat bahu.
"Kak Danen itu sahabat Mbak J."
"Tapi kamu adeknya. Kayak yang Bibu bilang tadi, kami semua akan sayang kamu. Mungkin Mbak J bisa marah, tapi Bibu yakin nggak lama. Dan kalian udah cukup dewasa untuk menyelesaikannya."
Belum sempat melaksanakan niatnya untuk memberitahu Jenna, ketukan di pintu yang merupakan suara Jenna membuat keduanya saling bertanya dengan tatapan. Apalagi ketika Jani membuka pintu, dia mendapati wajah kakaknya berubah dingin.
"Ada Rayan di depan." katanya, sangat terdengar ketus. Membuat rasa kaget Jani bercampur cemas karena melihat ekspresi kakaknya.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Jenna kemudian mencuci mukanya yang sembab karena menangis, Jani menemui Rayan yang menunggunya di teras.
"Kak, nggak masuk?" tanya Jani yang heran melihat tamunya tidak dipersilahkan duduk di ruang tamu. Rayan segera berdiri dari kursinya dengan antusias, namun senyumnya pudar setelah melihat wajah sembab Jani.
"Kamu sakit?" Raut Rayan berubah khawatir.
"Enggak, agak kurang tidur aja." Jani berusaha tersenyum, tidak ingin menambah kekhawatiran Rayan. Cukup ibunya saja. "Masuk yuk, Kak?" Ajak Jani.
"Aku tadinya mau ajakin kamu ketemu Mami, makanya aku nunggu di sini." Jenna tadi memang menawarinya masuk. "Barusan dari rumah sakit ngabarin Mami udah sempat sadar. Tapi masih diobservasi sih, lagi dibiarin istirahat dulu." jelas Rayan yang membuat Jani berbinar.
"Mau ke rumah sakit sekarang?" tanyanya antusias.
"Tapi kamu beneran nggak sakit?"
"Enggak, ini karna nggak make up aja."
"Tapi keluarga kamu lagi ngumpul kayaknya, Jan. Nggak apa-apa ditinggal? Kalo kamu nggak bisa ikut nggak apa-apa kok, aku cuma mau ngasih tahu kamu aja."
Jani berpikir sejenak sebelum memutuskan. "Kalo gitu aku izin Ayay dulu ya?"
Kali ini, Rayan yang tiba-tiba memikirkan sesuatu. "Kalo aku yang izin sama Om Radit, boleh? Kan aku yang ajak."
"Boleh, dong. Masuk aja yuk."
Jani membimbing Rayan memasuki rumahnya menuju taman belakang karena Ayay dan keluarganya yang lain sedang berkumpul di sana, termasuk si kembar Lakesh dan Sita. Hampir semua orang menoleh ketika Jani menyapa Ayaynya.
"Masih inget Kak Rayan nggak, Yay?" Jani mengajak Rayan mendekati ayahnya.
"Ah, Rayan. Udah lama nggak ketemu ya. Apa kabar?" Radit yang sedang menggendong Sita menyambut tangan Rayan yang hendak menyalaminya.
"Baik, Om. Siang, Tante. Maaf mengganggu istirahatnya ya." Rayan beralih menyalami Kalya kemudian Aska dan Jendra. Dan tersenyum pada Jenna yang sudah lebih dulu disalaminya tadi.
"Duduk, Nak. Nggak enak berdiri gini. Ini tadi Om sama Tante lagi jagain anak-anak yang baru seneng jalan." Kalya menunjuk kursi kosong di sana.
"Nggak usah, Tante, sebentar aja kok ini." Rayan melirik Jani sejenak kemudian beralih pada Radit. "Saya sebenernya mau izin, Om, Tante, kalo boleh saya mau ajak Jani jenguk Mami saya."
"Oh, Mami kamu sakit?" tanya Radit.
"Iya, Om. Kemarin sempat nggak sadar habis operasi jantung. Kata Dokter koma. Tapi hari ini sempat sadar. Jani banyak bantu Mami saya selama sakit, jadi saya pikir Mami akan senang kalo bisa ketemu Jani."
Kali ini bukan hanya Radit dan Kalya yang saling berpandangan, tapi juga Aska dan Jenna. Kecuali Kalya, mereka tersadar bahwa teman yang dimaksud Jani adalah Rayan. Teman yang ibunya sakit, banyak Jani bantu, hingga membuatnya batal pergi ke Jakarta dan tiba-tiba putus dengan kekasihnya.
***
225 suka
janitra.rayya akhirnya cukup jugaa..
Lihat semua 31 komentar
kinarayna twinsss 😘
arrayanerlangga boleh Om bawa pulang gak?
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
