ASISTOL(OVE): RESUSCITATION PHASE 2

3
0
Deskripsi

Pada kondisi asistol, resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan untuk mengembalikan denyut jantung dan menghindarkan pasien dari kematian. Dengan tekanan yang adekuat juga minim interupsi diharapkan selain aliran darah yang kembali lancar, pasien pun dapat memenuhi kembali kebutuhan oksigen dalam tubuhnya sehingga pada akhirnya bisa kembali sadar.

BAB 21

"Azalea, kamu dimana?"

Alea mengernyit ketika sapaannya saat mengangkat telepon dibalas pertanyaan penuh ingin tahu ala Andra. Masalahnya, mereka sudah cukup lama tidak berkomunikasi apalagi bertemu jadi keingintahuan Andra yang tiba-tiba tentu membuat Alea heran. Beberapa hari lalu Andra memang sempat mengirim pesan acak padanya, yang tentu saja tidak ditanggapi Alea. Apa yang perlu Alea tanggapi kalau yang Andra kirim adalah info lowongan dokter jaga di salah satu rumah sakit di Bandung? Alea mengabaikan begitu saja karena menganggap itu hanya salah satu keisengan Andra.

"Kenapa memangnya?" balas Alea, tampan menjawab pertanyaan Andra.

"Ampun deh, harus ya tanya balik? Satu jam lagi kamu ada janji sama Asti, kan? Saya yang akan antar kamu." Alea makin mengernyit, kali ini tidak suka.

"Kamu kok bisa tahu jadwal konsultasi saya? Apa lagi yang kamu tahu? Hasil konsultasinya sekalian juga?" Tuduhannya memang tidak asal, karena Andra adalah orang yang merekomendasikan bahkan membuatkan janji konsultasi pertama dirinya dengan Asti. Apalagi jadwal hari ini cukup berbeda dengan sebelumnya. Bukan tidak mungkin Andra dengan mudah tahu banyak informasi karena Asti sendiri adalah temannya.

"Kebiasaan! Kamu tuh selalu mikir jelek. Saya niatnya baik lho ini."

"Saya nggak butuh niat baik kamu." tukas Alea.

"Oke, oke. Tenang dong, Azalea. Sumpah! Saya nggak tahu sama sekali hasil konsultasi kalian. Saya kemarin cuma tanya Asti, kamu datang nggak? Terus saya tanya, jadwal selanjutnya kapan. Dia nggak mungkin juga bocorin obrolan kalian, gini-gini saya dokter, tahu lah mana yang boleh dan enggak."

"Terserah."

"Saya jemput ya? Kamu di rumah Deva kan?"

"Ngapain?" Alea melotot ngeri. "Saya bisa jalan sendiri." Alea tahu kalau Andra bukan orang yang mudah ditolak. Dia pasti punya bermacam alasan yang akan menjadikan keinginannya terlaksana.

"Saya lagi gabut. Bosen di kamar terus."

"Bukan urusan saya."

"Tapi saya udah di jalan nih, paling lima belas menit lagi sampe. Kamu bisa pilih mau tunggu di depan atau saya ngobrol dulu sama Deva." Alea ingin mengerang kesal, sayang dia sedang berada di ruang ganti salah satu studio TV yang diisi beberapa orang dan dia tidak ingin menarik perhatian.

"Kamu tuh kalo nggak maksa, bisanya ngancam!"

"Sebelah mana dari kalimat saya yang ada kata ancaman, Azalea? Saya ngasih pilihan. " Alea memutar bola matanya, malas menanggapi. Jika dia ingin bisa datang untuk konsultasi dengan Asti, maka dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya alih-alih meladeni Andra.

"Saya nggak lagi di rumah, masih kerja."

Sejak pagi, Alea menemani Deva untuk tapping acara talkshow sekaligus bernyanyi di salah satu stasiun televisi. Rencananya, setelah selesai dari sini, Alea akan langsung ke klinik tempatnya berkonsultasi dengan Asti karena sepertinya sudah tidak ada pekerjaan lagi. Brina pun berencana untuk menonton film di salah satu Mall dekat gedung ini. Alea tau karena Brina sempat menawari Deva untuk ikut. Biasanya jika pekerjaannya selesai lebih cepat seperti ini, Deva akan mempersilahkan Alea untuk menghabiskan waktu, tapi hampir tidak pernah digunakannya. Jadi kali ini Alea akan izin untuk pergi sesuai rencananya.

"Oh, dimana?" Sebelum Alea sempat menjawab, Andra sudah melanjutkan. "Jawab aja deh, daripada saya tanya Deva. Lagi kerja kan dia?"

"Artawija Tower. " Ketus Alea, tidak ada pilihan selain mengatakannya.

"Oke. Jangan kabur! I'm on the way. "

Hembusan nafas Alea terdengar bersamaan dengan sambungan telepon yang tertutup. Tangannya bergerak cepat merapikan barang-barang Deva juga miliknya agar sudah siap saat Deva selesai. Jika sesuai rundown, maka Deva akan selesai sebentar lagi. Ternyata tidak perlu menunggu lama, setelah suara Brina sudah terdengar mendekat ke ruang ganti, Deva dan Brina akhirnya tiba di sana.

Alea membantu Deva melepas jas kasual yang baru saja dipakainya untuk diganti dengan polo shirt yang sudah disiapkan. Deva selesai mengganti kaosnya dalam tirai bersamaan dengan Alea yang selesai membereskan barang-barang mereka.

"Jadi ikut nggak, Mas?" suara Brina lebih dulu terdengar. "Mumpung tiketnya masih ada nih kalo mau."

Sepertinya Brina masih berusaha menawari Deva untuk menonton bersamanya. Yang jika boleh Alea simpulkan, urusan pekerjaan Deva memang sudah selesai. Alea akan melihat situasi dulu apakah memungkinkan bagi dirinya untuk pergi, sebelum meminta izin pada Deva. Karena bagaimanapun, berbeda dengan Brina yang hanya mengurus masalah pekerjaan, Alea adalah asisten pribadi Deva yang tidak hanya mengurus Deva dalam hal pekerjaan saja. Namun ternyata ada yang sudah lebih dulu menunggunya, karena ponselnya kembali bergetar pelan. Panggilan dari Andra. Alea memandangi layar ponselnya, masih menimbang untuk mengangkat atau mengabaikan karena Andra bisa menunggu, saat Deva lebih dulu bersuara.

"Le, lo mau ikutan nonton juga?" Tawaran Deva tidak diduga Alea.

"Oh, enggak, Mas. Kalau Mas Deva nggak ada jadwal lagi saya mau izin, karna ada janji." balas Alea, bertepatan dengan getar ponselnya yang berhenti. Meski tidak lama bergetar lagi.

"Tumben, Le. Udah bersosialisasi lo sekarang? Syukur deh." timpal Brina, membuat Deva melirik penuh minat. "Kencan, Le?" Godanya lagi.

"Sama teman perempuan, Mbak." jawab Alea, entah kenapa merasa harus menjelaskan padanya. Brina pun mengangguk.

"Gimana, Mas?" Brina kembali menunggu jawaban Deva.

"Gue balik aja deh, Bri. Le, lo janjian dimana? Mau gue drop sekalian?" tawaran Deva membuat Alea seketika menggeleng. Tentunya dia tidak mungkin membiarkan Deva bertanya-tanya jika tahu kalau dirinya akan berkonsultasi dengan seorang psikolog. Belum lagi ponselnya yang terus bergetar membuat Alea sedikit gugup dan lebih banyak menahan kesal karena Andra yang tidak sabaran.

"Makasih, Mas. Saya jalan sendiri aja."

"Oke." Deva mengangguk pelan sebelum perhatiannya teralih pada ponselnya yang berbunyi di meja.

Arkandra Pramana.

Nama yang terlihat juga oleh Alea seketika membuat matanya membulat, nyaris melotot. Alea merutuki Andra yang tidak sabaran sampai akhirnya menghubungi Deva.

"Ya, Ndra.. Baru aja selesai, gimana?.. Oh? Gue di Studio Svara, lantai 5.. Oke.. Oke."

Tepat saat Deva memutus sambungan telepon, matanya dan milik Alea bertemu. Alea tidak bisa menutupi sorot gugupnya karena tahu kalau Deva pasti tahu Andra akan menjemputnya. Dirinya yang baru saja menolak diantar Deva.

"Andra udah di bawah, katanya nelfon lo dari tadi nggak diangkat." Alea tidak bisa bereaksi lain selain mengangguk. "Kalo udah beres kita bisa pergi sekarang." Deva beranjak dari duduknya diikuti Alea yang membawa barang-barang Deva.

"Lo dijemput Mas Andra, Le?" Brina menyikut pelan lengan Alea saat mereka keluar ruangan setelah berpamitan pada kru di sana. Tidak mendapat respon memuaskan karena Alea hanya tersenyum kecil, membuat Brina kembali bicara. "Pinter juga lo." Nada sinis dari Brina membuat Alea menoleh padanya.

Tipe wajah Brina memang bukan tipe ramah, apalagi bukan sekali dua kali Alea melihatnya marah termasuk padanya. Tapi baru kali ini Alea menerima tatapan sinis sekaligus meremehkan ditujukan untuknya karena salah paham. Alea bisa menebak apa yang ada di kepala Brina, Alea sedang menggoda Andra. Dan pemikiran yang salah itu jelas membuatnya tidak nyaman.

Apalagi saat tiba di lobi, Andra sudah ada di sana. Padahal, Alea sempat mengirim pesan padanya untuk menunggu di mobil saja saat Deva selesai bertelepon dengannya. Tapi Andra tetaplah Andra yang tidak peduli. Hingga akhirnya mereka bertiga menghampiri Andra yang juga mendekat.

"Libur, Ndra?" sapa Deva.

"Nggak, Bro. Asik juga jadi mahasiswa, siang udah beres. Jadi bisa ngojekin dia." Andra mengedik pada Alea yang sebisa mungkin memasang wajah datar andalannya. Yang sepertinya sangat sulit dilakukan jika berada dekat Andra.

"Ah, iya. Alea mau diajak kemana, Ndra?" kata Deva.

"Wah, kalo itu tanya Alea aja, Dev. Gue cuma nganter aja, dia ada janji sama yang lain."

Deva tidak menduga dengan jawaban Andra hingga mengangkat alis menatap Alea. Deva kira Andra hanya berkelakar saat menyebut dirinya sebagai ojek. Tapi penjelasan Andra selanjutnya menjawab keraguan Deva yang sempat mengira Alea berbohong. Namun kemudian mengangguk.

"Wah, boleh dong kapan-kapan minta dianter Mas Andra juga." celetuk Brina yang ditanggapi tawa Andra.

"Special order only, Bri. Sorry ya."

Tanpa ada yang menanggapi jawaban Andra yang membuat mereka saling melirik, mereka kemudian beranjak menuju tempat parkir. Alea berkeras menyelesaikan tugasnya menyimpan barang Deva di mobil meski Deva sudah menawari untuk mengambil alih. Hingga setelahnya, Deva tidak bisa melepaskan pandangannya dari Alea dan Andra yang berjalan menuju tempat Andra memarkir mobil. Karena di sana, dia bisa melihat Alea yang biasanya berwajah datar nampak begitu berekspresi. Meski Alea terlihat mengerutkan Alis tidak suka dan seperti sedang mengomel, Alea nampak lebih manusiawi. Di sampingnya, Andra tertawa saja menanggapinya.

***

BAB 22

"Its okay, Mbak Alea. Kamu boleh sedih. Kamu boleh marah. Kamu butuh sedih. Kamu butuh kemarahan. Rasa sedih itu akan membuat kamu kembali pada realita yang sudah kamu tinggalkan. Its really okay."

Asti membiarkan Alea yang duduk di sampingnya menangis. Dia tidak melakukan apapun selain mencondongkan dirinya pada Alea, membuat Alea tahu kalau Asti ada didekatnya untuk mendampingi. Sesekali Asti mendekatkan kotak tisu pada Alea atau menyentuh pelan lengannya. Memberi sedikit dukungan tanpa banyak intervensi. Karena Alea memang sedang membutuhkan ruang untuk mengeluarkan emosinya.

Satu jam yang lalu, mereka kembali memulai sesi konsultasi kedua Alea. Yang tidak diduga, bahkan oleh Alea sendiri, adalah hari itu dia menjawab pertanyaan Asti sebelumnya dengan menyatakan kalau dirinya tidak baik-baik saja. Lewat pertanyaan-pertanyaan Asti selanjutnya juga, pengakuan itu membuatnya mampu menceritakan hal buruk yang pernah dia rasakan selama ini. Selama hidupnya. Hingga kehilangan terberat dalam hidupnya yang mengubah dirinya hingga seperti sekarang, tidak dikenali lagi.

Dengan terbata dan tidak berurutan, Alea membuka kisah hidupnya pada Asti. Sejak kedua orang tuanya bercerai, Alea yang tinggal bersama ibunya tumbuh menjadi anak yang merasa tidak lengkap. Dia ingin mengembalikan keutuhan keluarganya dengan berusaha menjadi anak yang selalu membanggakan. Alea belajar dengan rajin hingga tidak pernah absen menjadi juara di sekolahnya. Dia juga menjaga tingkah lakunya dan terkenal sebagai anak baik juga menyenangkan bagi teman-teman dan gurunya.

Semua usahanya dilakukan agar orang tuanya bangga dan memiliki keinginan sama dengannya untuk kembali menjadi satu keluarga. Hingga harapan itu satu persatu hilang saat ayahnya menikah lagi disusul ibunya beberapa waktu kemudian ketika Alea remaja. Namun beruntungnya, ketika harapan besar Alea patah, dirinya bertemu dengan Fahmi. Tetangga baru yang akhirnya menjadi teman dekatnya. Meski tidak lama kemudian Fahmi pindah dari sana karena berkuliah di luar kota, hubungan mereka terus berkembang.

Fahmi selalu memberikan kenyamanan yang tidak Alea dapatkan sejak keluarganya terpisah. Apalagi saat sang ayah kembali memiliki anak yang otomatis membuat waktunya semakin berkurang untuk Alea. Fahmi selalu ada di sana, menjadi pendengar yang baik untuk Alea, memahami perasaannya, dan sangat sabar menghadapi Alea yang tidak jarang menunjukkan emosi negatifnya.

Karena itu juga, saat Fahmi mengajaknya menikah sekembalinya dia ke Surabaya, tidak sulit bagi Alea untuk menyetujuinya. Meski karena usianya yang masih muda, Alea baru saja lulus sarjana waktu itu, tidak mudah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Namun dengan keseriusan Fahmi juga Alea yang tidak berhenti membujuk, mereka akhirnya menikah dengan restu semua orang.

Kehidupan mereka setelah menikah begitu penuh kebahagiaan, seperti bayangan Alea selama menjalin hubungan jarak jauh dengan Fahmi. Apalagi tidak lama kemudian mereka memiliki Falila, gadis kecil mereka yang menambah kebahagiaan keduanya. Alea rasanya sudah lupa dengan kesakitan di hidupnya sebelum bertemu Fahmi. Dia pun yakin, hubungan mereka tidak akan berakhir seperti kedua orang tuanya dan Lila tidak akan pernah merasakan apa yang dia rasakan.

Keyakinannya memang jadi kenyataan. Alea dan Fahmi tidak akan pernah bercerai dan Lila tidak akan pernah menjadi anak broken home, karena mereka berdua pergi bersamaan. Fahmi dan Falila meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan tragis ketika Alea merayakan selesainya program internship dokter umum yang Alea jalani. Meninggalkan Alea dengan rasa sakit yang berkali lipat dari semua kesakitan yang pernah Alea rasakan. 

"Mbak Alea sudah mengalami hal yang menyakitkan, jadi sangat wajar jika merasa sedih atau marah. Kita punya lima tahapan saat merasakan kesedihan sebelum akhirnya bisa menerima. Dan sekarang, waktunya Mbak Alea membebaskan emosi itu dengan tepat agar bisa melangkah menuju penerimaan. Saya ada di sini, akan bantu Mbak semampu saya."

Rasa sedih bercampur marah entah pada siapa, berdesakan untuk keluar saat itu. Sejak kehilangan suami dan anaknya, Alea bukan tidak pernah menangis. Hanya saja tangisan dan kemarahan yang dia tanggung sendirian menghasilkan pemikiran yang membuatnya mematikan perasaan agar tidak merasakan apapun lagi.

"Mbak Alea harus tahu, Mbak Alea nggak sendiri." Kali ini Asti menggenggam tangan Alea yang tangisannya mulai mereda.

"Saya merasa sendirian Mbak." lirih Alea dan Asti mengangguk.

"Sekarang kita coba buka hati ya, Mbak. Kadang rasa sepi itu ada karena kita menutup diri. Mbak Alea sekarang ini punya saya, yang meskipun secara profesional, tapi saya bersedia membantu. Kalau boleh saya ingatkan, Mbak Alea juga punya Andra. Dengan dia mempertemukan kita, itu merupakan bentuk perhatian dia untuk Mbak Alea."

Andra. Alea jadi ingat kalau kedatangannya ke sini tadi diantar lelaki itu. Dan tadi dia berjanji untuk menunggunya hingga selesai dengan alasan bosan di apartemen sendirian. Perkataan Asti membuat Alea mengingat lagi tawaran berulang Andra untuk menjadi pendengarnya. Membantunya kembali menjadi dokter. Ah, jangan lupakan Deva yang juga pernah memberikan tawaran yang sama. Alea juga seolah lupa kalau kedatangannya ke Jakarta dibantu salah satu teman kuliahnya yang baik hati. Sebelum akhirnya bertemu dengan Chris yang membawanya berada di dunia belakang panggung seperti sekarang.

Banyak orang peduli padanya. Tapi Alea memang seolah tutup mata dan hanya berkubang dengan kebekuan hatinya. Dan dari semuanya, Alea juga tidak pernah menganggap pesan yang dikirim ibu maupun ayahnya sebagai perhatian. Meskipun jarang, mereka masih rutin mengirim pesan padanya. Yang biasanya hanya dibalas Alea seadanya.

"Mbak Alea bisa coba ya untuk sedikit membagikan beban yang dirasakan pada orang lain. Mungkin mereka nggak selalu punya solusi, tapi paling nggak, Mbak Alea nggak menanggungnya sendiri kalau nggak mampu."

Kali ini Alea mengangguk. Meskipun belum ada bayangan untuk berbagi pada siapapun, selain Asti yang memang profesional, keinginan untuk keluar dari kesedihan ini membuat Alea mau berusaha.

"Kita coba dulu ya, Mbak. Setelah ini, Mbak bisa hubungi saya kapanpun lewat pesan teks kalau mau berbagi perasaan. Akan lebih bagus kalau ada orang yang bisa langsung Mbak Alea ajak bicara. Pekan depan saya buatkan janji lagi ya." ujar Asti menutup sesi konsultasi mereka.

Alea dipersilahkan untuk merapikan penampilannya yang agak berantakan karena menangis, sebelum diantar keluar dari ruangan dengan pelukan ringan Asti. Ternyata di luar, Andra masih menunggu seperti janjinya. Meski sepertinya dia sempat pergi dari sana karena terlihat ada gelas kopi di sampingnya. Andra yang bertatapan dengan Alea nampak tertegun sesaat sebelum menampilkan ekspresi seperti biasa saat menyapa Asti. Saat mengantar Alea tadi, Andra memang belum sempat bertemu Asti.

"Tolong ditemenin dulu Mbak Alea-nya ya, Ndra."

Pesan Asti sebelum mereka berpamitan membuat Andra bisa menebak kalau Alea baru saja melewati sesi yang begitu menguras emosi. Mata dan hidung yang masih nampak merah juga raut lelah Alea tidak bisa ditutupi. Tapi di sana juga Andra bisa melihat sisi manusiawi Alea. Alea lebih hidup dengan ekspresi-ekspresi yang mulai bisa dia lihat. Bukan sekedar wajah datar penuh senyum formal yang palsu. Alea dengan omelan juga kesenduan membuat Andra berani mengamit jemarinya untuk menunjukkan keberadaannya. Dan Alea yang masih kelelahan karena emosinya terkuras, hanya bisa mengikuti setelah menatap sejenak tautan tangan mereka yang entah kenapa terasa menenangkan. Mungkin ini saatnya bagi Alea untuk mencoba berbagi, seperti kata Asti. Alea akan mencoba membuka diri untuk melihat semua perhatian yang dia dapat.

***

BAB 23

Mobil Andra yang terparkir rapi membuat Alea mengernyit sebelum menoleh pada Andra untuk mengajukan protes. Pasalnya mereka berhenti di salah satu resto yang berada di kawasan Ancol. Alea menyesal sempat memuji Andra dalam hati, karena tanpa berkata Andra tahu kalau dia membutuhkan ruang untuk menenangkan diri sebelum pulang ke rumah. Dan seperti biasanya, pantai menjadi tempat favoritnya. Jadi saat Andra justru mengajaknya ke tempat makan alih-alih pantai, Alea hampir saja menyemburkan protesnya sebelum Andra lebih dulu berkata.

"Apa? Saya lapar. Kamu juga pasti butuh makan habis ngeluarin banyak energi. Daripada nanti pingsan di pantai, saya juga yang repot."

Karena jadwal konsultasi yang dimulai sore hari, Alea dan Andra sampai di Ancol lebih dari jam delapan malam. Sudah lewat jam makan malam tentunya, sehingga sudah sewajarnya mereka kelaparan. Meski hanya Andra yang merasakannya.

"Tapi.. "

"Ayo makan dulu!" Andra keluar dari mobilnya kemudian membuka pintu untuk Alea yang dia tahu enggan keluar.

"Saya.. "

"Kamu harus makan. " Tegas Andra, tidak menerima penolakan dengan meraih tangan Alea untuk mengajaknya turun.

"Mas Andra.. " Ucapan Alea yang lebih mirip rengekanlah yang membuat Andra berhenti memaksa. "Saya berantakan banget. Kamu nggak takut dikira habis macem-macemin saya?"

Meski berdecak karena pemikiran konyol Ales, Andra tetap memindai penampilannya yang sama sekali tidak terlihat berantakan. Hanya saja bekas tangisannya memang tidak bisa ditutupi. Jika tadi matanya sembab dan memerah, kali ini kelopak matanya mulai bengkak. Selain itu, Alea tetap cantik di matanya. Sadar dengan pemikirannya yang mulai kemana-mana, Andra berdehem kemudian melepas tangan Alea.

"Oke, kita take away aja." putus Andra. "Kamu mau makan apa?"

"Terserah Mas Andra, saya nggak kepengen makan apa-apa."

"Kamu harus makan, Azalea." Suara Andra kembali penuh penekanan.

"Iya, tahu. Makanya Mas Andra aja yang pilih. Saya ikut aja." Alea sudah terlalu lelah bahkan untuk sekedar memilih makanan.

"Kamu tunggu dulu di sini, saya pesan sebentar."

Rasanya tidak lama Alea menikmati keheningan di dalam mobil setelah Andra masuk ke resto tersebut, karena tanpa dia sadar Andra sudah kembali duduk di kursi pengemudi.

"Kok cepet?" tanya Alea bingung.

"Saya nunggu di sini, nanti dihubungi kalo udah selesai." jelas Andra.

Setelahnya kembali tidak ada suara lagi dari mereka. Kali ini, Andra menahan diri dan ocehannya agar tidak mengganggu Alea dan pikirannya. Meski begitu, dia tidak ingin membiarkan Alea sendirian meski hanya sebentar. Selain karena pesan Asti yang baru saja dia baca, Andra juga bisa melihat kalau saat ini Alea butuh ditemani. Jika boleh diibaratkan dengan air yang sedang berubah bentuk, Alea yang dulunya seperti batu es, saat ini mulai mencair. Dan dalam kondisi tidak stabil itu, es batu membutuhkan wadah yang tepat agar lelehannya tidak kemana-mana dan membuatnya hancur berantakan.

Ndra, Mbak Alea mungkin akan lebih emosional setelah ini. Kalau dia banyak bertanya 'kenapa', tolong jawab kalau dia mampu melewati itu semua. Berkabar ya Ndra. Thanks.

Andra bisa melihat kerapuhan itu di mata Alea. Mata yang biasanya tajam penuh keyakinan, malam ini begitu sendu. Bahkan rasa lelah yang terdengar dari suaranya, yang jika Andra tidak salah tangkap berupa rengekan tadi, mampu membuat Andra menurunkan egonya. Di saat yang bersamaan, egonya yang lain terasa terpuaskan karena Andra merasa memiliki kesempatan untuk melindungi Alea. Apalagi Andra lebih suka melihat Alea seperti ini. Lagi, lebih manusiawi.

Andra benar-benar membiarkan suasana di antara mereka hanya diisi keheningan. Andra dengan pikirannya yang sesekali membalas beberapa pesan dan mengecek tugas yang masuk. Hingga dia keluar dari mobil saat mendapat pesan kalau makanan mereka sudah siap.

Setelahnya Andra membawa mobilnya menuju tempat parkir dekat pantai favorit Alea. Namun sebelum membiarkan Alea turun, Andra menagih janjinya untuk makan malam lebih dulu. Mereka masih makan dalam diam. Andra bahkan tidak berkomentar saat Alea tidak menghabiskan makanannya. Dia membiarkan Alea keluar dari mobil dan menuju ke sudut favoritnya dengan Andra mengikuti. Kali ini Alea memilih berdiri saja dan Andra memastikan keberadaannya dengan berdiri di sampingnya.

"Menurut Mas Andra, kalau Mas Fahmi masih ada, dia akan minta saya melakukan apa?" ujar Alea setelah beberapa waktu mereka lewati dalam hening.

Here we go.

Andra harus berhati-hati saat menjawab pertanyaan Alea. Meski Asti sudah memberi petunjuk soal pertanyaan 'kalau' yang akhirnya muncul, tapi petunjuk itu sangat umum. Tentu dia tidak bisa mengikutinya begitu saja. Rasanya, tidak pas dengan pertanyaan Alea.

"Saya nggak kenal Fahmi, Azalea." jawab Andra, nampak seperti sebuah keengganan menjawab sebelum dia melanjutkan. "Kamu lebih kenal dia. Kamu pasti tahu seberapa yakin dia sama kemampuan kamu juga keputusan yang kamu ambil. "

Yang terjadi selanjutnya, Alea kembali terisak. Karena setelahnya lintasan ingatan tentang kalimat-kalimat Fahmi seakan menjadi pukulan bagi kelakuannya beberapa tahun ini.

Mas selalu tahu kalau Mila kesayangan Mas akan berusaha melakukan yang terbaik. Kalimat itu yang menjadi awal dari hubungan mereka, yang menjadikan Alea memiliki semangat baru dalam menjalani hidup. Alea merasa disayang, diperhatikan, dan dimengerti. Meski saat itu Fahmi tidak selalu berada di sisinya. 

Kamu senang? Kalo gitu Mas akan jadi orang nomor satu yang mendukung usaha kamu. Kalimat itu yang membuat Alea mulai menyayangi dirinya sendiri. Jika selama ini usahanya dilakukan untuk membuat orang lain bangga, maka sejak itu dia melakukan semua untuk dirinya sendiri. Untuk kebahagiaanya sendiri. Jadi jika ada yang mengira Alea menjadi dokter karena orang tuanya, Alea bisa menyangkal. Karena Alea memilih menjadi dokter atas keinginannya sendiri, seolah menjadi panggilan jiwanya. Meski secara genetik dia tidak bisa menyangkal jika orang tuanya memiliki peran.

Terima kasih, Sayang. Mas udah bisa membayangkan kamu akan jadi istri yang sempurna. Kalimat itu memberi keyakinan pada Alea kalau dia akan mampu melakukan yang terbaik, Fahmi percaya padanya bahkan sebelum dia melakukan apapun.

Terima kasih, Sayang, sudah selalu berusaha. Papi and Ila very proud of you, Mami. Kalimat terakhir Fahmi ini, sehari sebelum kecelakaan merenggut nyawanya, menjadi penyemangat Alea untuk selalu mau berusaha. Karena ternyata usaha kerasnya selama ini dengan banyak peran - sebagai mahasiswa, istri, dan ibu - tidak ada yang sia-sia. Alea tetap bisa menyelesaikan pendidikannya meski sedikit lebih lambat dari teman seangkatannya, Alea juga tetap bisa menjadi istri dan ibu yang membanggakan keluarganya.

Seharusnya Alea tahu, Fahmi tidak akan suka saat melihat dia seolah berhenti hidup seperti yang dilakukannya beberapa tahun ini. Dia juga tidak bisa memberi teladan dan membanggakan Lila. Fahmi mungkin kecewa padanya. Karena tahun-tahun indah yang Alea habiskan bersamanya seolah hilang begitu saja, seperti raganya yang hilang dari dunia ini. Padahal seharusnya, Alea masih bisa hidup dengan kenangan baik mereka. Bukannya justru sebaliknya, hingga dalam mimpinya mereka tidak lagi mengenalnya. Karena tidak sedetikpun Alea ingin kehilangan mereka.

"Mas Andra, saya harus berhenti." ucap Alea di sela isak tangisnya yang mulai mereda.

Andra yang sejak tadi menahan diri untuk tidak mendekati Alea, akhirnya bergerak merangkulnya. Berharap bisa menyalurkan kekuatan pada Alea yang bergetar di sampingnya, seolah bisa kapan saja terjatuh.

"Saya di sini, Azalea. Saya nggak akan kemana-mana."

Janji Andra seperti pertama kali dia memasuki kehidupan Alea. Dan saat ini, Andra menyadari kalau dia bukan hanya sudah masuk lebih dalam ke kehidupan Alea, tapi hatinya juga jatuh ke sana. Dia tidak bisa begitu saja melepaskan perempuan ini. Perempuan yang mampu membuat dia mempertaruhkan egonya yang setinggi langit hanya untuk mendapatkan perhatiannya.

***

BAB 24

"Berhenti?"

Meja makan Deva pagi ini mendadak hening setelah Alea menyampaikan pengunduran dirinya sebagai asisten di depan Deva juga Brina yang berniat briefing seperti biasa. Tadi malam sepertinya menjadi titik balik bagi Alea karena setelah semua emosinya akibat kehilangan terkuras habis, Alea mulai berpikir jernih. Dia tidak seharusnya berada di sini. Jadi hal yang pertama kali Alea lakukan di pagi harinya adalah mengundurkan diri sebagai asisten Deva. Namun beralasan ada masalah pribadi rupanya membuat Brina murka.

"Ah, males nih gue kalo udah begini. Ini pasti urusan pribadi yang dibawa ke kerjaan kan? Lo ada masalah sama Mas Andra? Putus? Makanya nggak mau berurusan lagi sama temennya? Jangan gitu dong, profesional!" Sebelum Deva sempat berkata lagi saking kagetnya, Brina lebih dulu bersuara. Lebih tepatnya menyemburkan kemarahan pada Alea. Tidak bisa dipungkiri, yang paling merasakan dampaknya adalah Brina, karena dia yang harus mencari pengganti Alea.

"Maaf Mbak Brina." balas Alea, mencoba memahami kemarahan atasannya.

"Maaf lo nggak ada gunanya!" sentak Brina.

"Bri, boleh kasih waktu gue ngomong sama Alea?" Deva menyela, membuat Brina semakin menajamkan matanya.

"Mas, yang kayak gini nggak usah dibaikin lah!" Protes Brina.

"Bri, tolong."

Dengan decakan sebal dan wajah yang sangat tidak bersahabat, Brina beranjak dari meja makan dan meninggalkan Deva dan Alea berdua. Deva masih memindai Alea yang dia tahu sedang tidak baik-baik saja. Matanya nampak sembab, sepertinya habis menangis semalaman. Kantung matanya pun menunjukkan kalau dia kurang tidur. Deva tidak bisa mengalihkan pikiran buruknya pada Andra karena ini bukan kali pertama Alea nampak kacau setelah pergi dengannya. Meski begitu, dia tidak ingin membuat perasaan Alea makin memburuk akibat rasa penasarannya.

"Boleh gue tahu alasannya, Le?" tanya Deva setelah memilih kata-kata.

"Saya.. merasa di sini bukan tempat saya, Mas Deva. Saya minta maaf kalau jadi merepotkan Mbak Brina juga Mas Deva."

"Lo mau jadi dokter lagi?"

"Saya belum tahu, Mas. Tapi, ada rencana."

Deva mengangguk paham. Satu sisi, dia ikut senang jika Alea bisa kembali ke tempat yang seharusnya. Namun entah kenapa Deva merasa akan ada yang hilang. Mungkin Deva sudah terbiasa dengan kehadiran Alea, mungkin juga dia harus mengakui kalau dia sudah menaruh hatinya pada perempuan ini. Perempuan yang membuatnya kagum secara perlahan tapi pasti. Tapi dia tahu, ada tembok tinggi yang dibangun Alea. Dan sayangnya seberapapun Deva menunjukkan perhatiannya selama ini, Alea seperti bergeming.

"Oke. Its sounds good. Tapi gue sama Brina minta waktu ya, Le. Mungkin satu minggu? Sambil nanti lo ajarin anak baru." Opsi yang bisa Deva tawarkan agar dapat 'menahan' Alea sementara waktu.

"Oke, Mas. Makasih ya." ucap Alea tulus. Tempat singgah yang diberikan Deva padanya selama beberapa tahun ini tentu sangat berarti baginya. Meski Alea tidak pernah menganggap apa yang dilaluinya belakangan ada artinya, namun tanpa kesempatan di sini, Alea tidak tahu akan seperti apa nasibnya.

"Le, boleh gue tanya sesuatu yang agak pribadi?" Deva bersuara lagi, yang dibalas anggukan Alea. "Andra ganggu lo?" Kerutan di kening Alea membuat Deva kembali melanjutkan. "Lo.. memang ada hubungan sama Andra?"

Deva dan Alea saling memaku tatapan. Deva ingin menebak jawaban Alea dari reaksinya, sayangnya seperti Alea biasanya, tidak dapat dibaca. Sedang Alea, justru sibuk mengulang pertemuannya dengan Andra yang sejak awal penuh perdebatan dan keributan. Andra yang pemaksa dan sering sekali membuatnya naik pitam. Tidak heran kalau Deva mengira dirinya kembali diganggu Andra, karena sejak awal Deva pun tahu karakter sahabatnya. Namun perlahan Alea juga menyadari kalau Andra telah banyak membantunya hingga berada di titik ini. Jadi jika Deva bertanya hubungannya dengan Andra, Alea tentu tidak bisa mengecilkan peran Andra bagi dirinya.

"Mas Andra banyak membantu saya. Dia yang mengenalkan saya sama salah satu psikolog kenalannya."

"Lo ke psikolog?" Deva tentu kaget mendengarnya. Meski dia tahu ada yang berbeda dengan sikap Alea, namun Deva sedikit tidak menyangka kalau Alea sampai membutuhkan bantuan profesional. Anggukan Alea membuatnya tersadar. "Eh, sorry. Gue nggak maksud apa-apa."

"Nggak apa-apa, Mas. Saya ngasih tahu Mas Deva biar nggak salah paham sama Mas Andra. Ya.. Mas Andra memang kadang annoying, tapi kayak yang pernah Mas Deva bilang, dia bermaksud baik." Deva mengangguk dengan rasa takjub saat Alea terdengar peduli pada orang lain.

"Jadi kemarin, dia beneran cuma nganterin lo?" Alea mengangguk setelah paham yang dimaksud Deva adalah saat Andra mengantarnya bertemu Asti. "Dia juga yang nganterin lo balik semalam?"

"Iya, Mas. Mas Deva keberatan?" balas Alea, karena melihat sedikit raut tidak suka di wajah Deva.

"Oh, enggak sama sekali. Tapi mungkin lain kali lo boleh kok minta diantar driver atau kalo kayak kemarin sebenernya gue juga bisa antar. " Penjelasan Deva membuat Alea nyaris mengangkat alisnya heran. Rasanya terlalu berlebihan jika meminta pekerja di rumah ini untuk ikut mengurusi hal pribadinya, jangan lupa kalau Alea juga pekerja di sini. Namun dia yang tidak ingin memperpanjang pembahasan akhirnya mengangguk saja.

Anggukan Alea menjadi penutup obrolan pribadi mereka saat itu. Karena kemudian Deva meminta Alea kembali memanggil Brina untuk melanjutkan briefing yang tertunda. Setelahnya Brina diberi tahu keputusan Deva mengenai Alea. Meski masih menatap kesal pada Alea, mau tidak mau Brina harus menerima kalau tugasnya bertambah yaitu mencari pengganti Alea secepatnya.

Hari itu dijalani Alea seperti biasanya. Yang tidak biasa adalah dia merasa sangat lelah dengan aktivitasnya padahal sebelumnya tidak terasa. Membuatnya semakin mempertanyakan apa yang sudah dilakukannya selama ini. Saat membayangkan dirinya yang masih hidup tapi tanpa gairah, benar-benar membuatnya merasa tidak berarti. Meski masih belum tahu apa yang akan dilakukan setelahnya, tapi Alea sudah yakin, mengundurkan diri adalah langkah yang tepat.

Alea juga sudah menyampaikan pengunduran dirinya pada Chris. Bagaimanapun, Chris adalah orang yang membantunya dulu dengan memberi pekerjaan. Meskipun jauh dari latar belakangnya, tapi Alea sadar Chris sangat berjasa baginya. Tentunya Chris cukup kaget dengan keputusannya yang tiba-tiba, tapi pada akhirnya ikut senang karena berharap Alea akan keluar dari persembunyiannya selama ini. Alea pun sangat menghargai Chris yang tidak mencecarnya dengan rasa penasaran, karena Alea pun pasti akan bingung jika ditanya.

Di perjalanan pulang setelah Deva selesai dengan beberapa panggungnya hari ini, Alea benar-benar menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil sembari memejamkan mata. Padahal ini baru jam sepuluh malam, tidak terlalu larut jika dibandingkan dengan hari biasanya, tapi energinya serasa terkuras. Dia bahkan mengabaikan Deva yang duduk di sebelahnya. Hingga saat ponsel di kantongnya terasa bergetar panjang, Alea berniat mengabaikannya. Siapa juga yang tidak tahu waktu menghubunginya selarut ituitu. Namun Alea terusik juga karena getarnya tidak berhenti. Setelahnya Alea tidak bisa menahan dengusan malas saat membaca nama yang terpampang di layar ponselnya, meski akhirnya menerimanya juga.

"Lagi dimana sih? Lama banget angkatnya."

Nah kan. Hanya Andra yang selalu mengomel lebih dulu sebelum Alea bersuara.

"Ada apa?" Alea bisa mendengar decakan Andra di seberang.

"Di apartemen saya ada unit kosong. Tipe studio, cocok buat kamu." Kali ini Alea mengernyit.

"Saya nggak nyari apartemen." balas Alea.

"Terus kamu mau tinggal dimana habis resign?"

Benar, Alea belum memikirkannya. Saat pindah ke Jakarta dan mengikuti pelatihan dokter relawan, Alea disediakan tempat tinggal oleh LSM yang mengadakan program tersebut. Lalu ketika akhirnya dia bekerja pada Deva sebagai asisten road manager, tempat tinggalnya pun sudah disiapkan. Begitu juga ketika akhirnya dia pindah ke rumah Deva. Jadi, sampai saat ini, Alea belum terpikir untuk tinggal dimana setelah ini.

"Belum kepikiran, nanti aja."

"Makanya saya bantuin, gimana sih?!" Andra dan desakannya membuat Alea menarik nafas panjang. Tidak pernah mudah bicara dengan Andra.

"Mas Andra, saya lagi capek banget. Kita bahas nanti aja ya?" mohon Alea.

Suara Alea yang memang terdengar lelah membuat Andra mengiyakan kemudian memutus sambungan telepon mereka. Sedang Alea kembali memejamkan mata, tanpa menyadari pandangan menyelidik Deva. Alea yang terdengar merajuk cukup membuatnya terpaku. Apalagi lawan bicaranya adalah Andra, teman dekatnya.

***

BAB 25

Dua pekan ini rasanya berjalan begitu cepat sekaligus melelahkan. Alea yang semula diminta menunggu pengganti selama satu minggu, ternyata harus bekerja lebih lama dari itu. Selain karena Brina kesulitan mencari penggantinya, jadwal Deva yang sedang padat membuatnya ikut sibuk. Dalam dua pekan ini, Alea mengikuti Deva ke dua negara berbeda di Asia. Meski masing-masing hanya dua hari dengan jarak tempuh yang tidak lama, tapi persiapan yang lebih dari biasanya membuat Alea harus bekerja ekstra.

Di tengah kesibukan itu, dia juga harus memberi arahan pada penggantinya yang benar-benar baru berada di dunia belakang panggung. Sehingga meski sama-sama pernah bekerja sebagai asisten artis, banyak hal yang harus Alea jelaskan. Dia tidak ingin Brina semakin murka karena penggantinya tidak sesuai harapan. Apalagi dia merasa Deva menjadi lebih banyak permintaan dibanding sebelumnya.

Belum lagi, Alea harus menyiapkan tempat tinggal setelah keluar dari rumah Deva. Bisa dibilang dia beruntung karena untuk urusan tempat tinggal, Andra banyak membantu. Tapi di satu waktu dia juga merasa gerah, Andra dan inisiatifnya kadang terasa berlebihan. Seperti saat Alea mencari kamar kos saja, Andra yang lebih memilih apartemen langsung mencecarnya dengan beragam kemungkinan buruk jika dia tinggal di kamar kos. Keamanan, fasilitas, dan privasi selalu menjadi alasannya.

Alea awalnya menolak dengan alasan terlalu mahal, namun langsung disanggah Andra dengan membahas isi rekening Alea yang dia yakini penuh. Entah bagaimana Andra bisa terpikir untuk menebak kalau Alea hampir tidak pernah menggunakan gajinya selama bekerja dengan Deva. Andra tidak tahu saja kalau Alea bahkan tidak berani mengecek rekeningnya. Karena dia tahu, selain ada gaji yang masuk ke sana, Alea rutin mendapat kiriman dari bagi hasil pendapatan klinik yang dibangun suaminya dan kini diurus keluarga suaminya. Namun karena benar-benar tidak punya waktu untuk mengurusnya, Alea akhirnya menurut saja. Toh hanya menyewa, dia bisa keluar dari sana kapan saja.

Untungnya disela itu semua, Asti mau menyediakan waktu khusus untuk Alea berkonsultasi meski di luar jam praktiknya. Sehingga Alea masih bisa melanjutkan proses pemulihannya pasca kejadian traumatis di hidupnya. Ya, perlahan Alea bisa menerima rasa sedihnya meski masih butuh waktu lagi menuju penerimaan utuh.

Tugas penutupnya di rumah Deva ternyata tidak kalah berat, dia harus kembali membantu Mami Deva menyiapkan acara rutin silaturahmi keluarganya yang berada di Jakarta. Kali ini, Alea menemani asisten baru yang akan menggantikannya sedang mengurus sisa makanan di dapur. Setelah acara tausyiah dan doa bersama dilaksanakan tadi, keluarga Deva menikmati sajian makan siang. Kemudian satu persatu nampak berpamitan pulang, menyisakan beberapa yang masih mengobrol.

Alea menatap kesibukan di hadapannya. Tidak terasa sudah enam bulan berlalu dari kali pertama Alea tinggal di rumah ini. Rencananya sore ini juga Alea akan resmi keluar dari rumah Deva. Meninggalkan semua kesibukan yang ada di sini. Kesibukan yang rasanya tidak berbekas karena Alea melewati semuanya begitu saja. Barangnya sudah dia siapkan sejak malam, tidak banyak memang. Hampir sama seperti pertama kali dia bekerja pada Deva, hanya berganti beberapa pakaian saja.

"Azalea." Alea menoleh pada sosok yang menyebut namanya. Andra. Sebagai teman dekat Deva, dia menjadi salah satu yang hadir dalam acara ini.

"Ada yang bisa dibantu, Mas Andra?" Andra nyaris berdecak mendengar sapaan formal Alea. Sering berinteraksi ternyata belum membuat Alea bersikap lebih manis padanya. Pilihannya hanya marah, protes, atau formal. Sesekali Andra mendengarnya merengek, yang sepertinya selalu berhasil digunakan Alea untuk memenuhi keinginannya.

"Kita pergi sekarang aja, biar nggak kesorean." kalimat Andra yang menunjukkan keakraban mereka, membuat orang-orang di sekitar Alea menaruh perhatian. Mereka, para pekerja di rumah Deva, jelas cukup mengenal Andra sebagai teman Deva yang cukup sering datang ke rumah. Apalagi Andra juga pernah menginap di sana.

"Acaranya belum selesai." Alea yang tidak ingin semakin lama diperhatikan, menarik Andra keluar dari sana.

"Udah, itu tinggal ngobrol-ngobrol aja. Kamu bisa sekalian pamit sama Tante Savitri." Andra menunjuk kerumunan di ruang tengah.

"Kalo Mas Andra buru-buru, saya bisa.. "

"Nggak. Tapi kita masih harus beresin kamar kamu. Kamu nggak mau kan saya masih di kamar kamu sampai malam?"

"Ya nggak usah, saya bisa sendiri kok kalo cuma beres-beres." Andra akhirnya benar-benar berdecak mendengar balasan Alea.

"Kamu nih.. Terserah lah!" Andra hampir berlalu dari hadapan Alea bersama kekesalannya, namun tangannya yang ditahan membuatnya terpaku.

"Setengah jam lagi ya?" pinta Alea. "Saya pamit dulu sama yang di dalam. Janji." lanjutnya saat melihat Andra diam saja.

"Oke." Balasan Andra membuat Alea melepaskan tangannya, yang dibalas Andra dengan usapan pelan di kepalanya.

Alea menyadari, interaksi keduanya berkembang pesat dua pekan ini. Pertemuan yang terbatas tidak menghalangi keduanya untuk tetap berkontak. Meski hanya membahas waktu konsultasi dengan Asti atau tempat tinggal baru Alea. Andra masih menjadi yang lebih sering menghubungi lebih dulu, tapi Alea pun tidak pernah merasa berat lagi menanggapinya. Alea tidak lagi banyak menolak bantuan Andra, seperti mengantarnya ke klinik hingga menemaninya menenangkan diri setelah bertemu dengan Asti. Termasuk membantunya pindah ke tempat baru hari ini.

Alea merasa lebih terbuka dengan niat baik Andra. Mungkin bukan hanya Andra, tapi saat ini memang hanya Andra yang tahu kondisinya. Sugesti dari Asti sangat membantu meringankan perasaan-perasaan sesak yang sebelumnya sering muncul. Dan Alea sangat bersyukur karenanya.

Alea segera mulai berpamitan pada rekan kerjanya yang berada di dapur. Asisten rumah tangga, asisten pribadi Deva, supir, dan tukang kebun yang kebetulan berkumpul di sana. Alea berterima kasih untuk kerjasama mereka selama bekerja di rumah Deva. Dengan sedikit basa-basi karena ada yang menanyakan alasan, Alea menjelaskan kalau dia akan bekerja di tempat yang lain. Jadi saat waktu setengah jam yang dia janjikan habis, Alea beranjak menemui Deva untuk berpamitan.

Deva masih duduk di karpet bersama dengan Andra juga Dara saat Alea menghampiri. Mendengar Alea yang berpamitan, justru si kembar Saphira dan Sophia yang terdengar kecewa. Mereka mengungkapkan kesedihan karena tidak bisa lagi bertemu Alea. Alea yang kali ini merasa iba dengan rengekan si kembar mendekat dan merangkul keduanya.

"Sasa sama Yaya masih boleh kok ketemu Tante Lea. Nanti Tante kasih tahu alamat Tante yang baru." janji Alea. Senyum yang tersungging manis dan lebih lebar dari biasanya membuat Deva dan Andra tidak bisa melepaskan tatap pada Alea. Deva bahkan tidak lagi mendengar balasan Saphira, hingga tepukan Dara di pahanya membuat Deva tersentak.

"Sasa bilang nanti Ompa antar ke tempat Tante Lea ya." Dara mengulang perkataan putrinya.

"Ah, iya. Boleh. Lo pindah kemana, Le?" tanya Deva. Dia memang belum tahu karena saat dia sempat bertanya, Alea masih belum mendapatkan tempatnya.

"Ke apartemen gue." Semua mata tertuju pada Andra yang justru menjawab. "Maksudnya, dia sewa unit di apartemen yang sama kayak gue." ralatnya saat melihat tatapan tajam Alea. Ya, tatapan yang sama juga ditujukan pada Andra saat Alea tahu kalau ternyata unit apartemen yang dimaksud Andra berada di gedung yang sama dengan miliknya. "Jadi gue juga ikut pamit ya, sekalian balik bareng."

"Gampang kalo gitu. Nanti Ompa sama twins main ke tempat baru Tante Lea ya." Deva akhirnya bersuara setelah terkejut sesaat.

Deva hendak mengantar namun ditolak Andra juga Alea. Alea pun segera mengambil barangnya setelah menyempatkan diri berpamitan dengan Mami Deva. Sedikit barang yang dibawa, membuat Alea tidak membutuhkan waktu lama untuk keluar dari rumah Deva.

"Itu si Andra deketin Alea? Dia bukannya punya suami?" Dara bertanya karena penasaran dengan kedekatan Andra dan Alea.

"Suami sama anaknya udah lama meninggal." jawab Deva, yang membuat Dara tidak menyangka. Namun membuat dugaannya terjawab.

"Dev, jangan sampe berantem rebutan cewek ya."

***

BAB 26

"Mila!"

Sapaan antusias ditambah pelukan kasual menyambut Alea saat memasuki sebuah ruangan yang beberapa tahun lalu menjadi tujuan utamanya datang ke Jakarta. Rumah Harapan. Nama itu tercetak tebal pada papan di samping gerbang depan tadi. Bangunan ini adalah tempat dimana sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat menyiapkan kegiatannya yang bergerak di bidang kesehatan. Dan seorang lelaki yang menyambut Alea tadi merupakan seorang dokter sekaligus pemimpin dari LSM ini.

"Apa kabar, Yan?" balas Alea.

Brian Abraham, lelaki tadi, adalah salah satu teman satu angkatan Alea saat kuliah kedokteran. Brian juga yang mengajak Alea bergabung dengan Rumah Harapan, lembaga yang berada di bawah naungan Rumah Sakit Mitra Harapan milik Ayahnya.

"Baik, La. Akhirnya ke sini lagi. Eh? Sama siapa?" Brian baru sadar kalau Alea tidak datang sendiri karena Andra mengikutinya di belakang.

Kemarin, tidak membutuhkan waktu lama bagi Alea untuk membereskan kamar barunya. Sebuah apartemen studio dengan furniture minimalis, sangat cukup untuk dirinya yang tinggal sendiri tanpa banyak barang. Sehingga setelahnya, dia masih sempat berdiskusi panjang dengan Andra tentang kelanjutan hidupnya. Dan hasilnya, Alea sepakat mencoba kembali ke profesi lamanya sebagai dokter. Jadi hal yang terlintas di pikiran Alea adalah menghubungi Brian. Untungnya niat baik Alea disambut suka cita oleh Brian. Sehingga keesokan harinya Alea segera menemui Brian yang kebetulan sedang mempersiapkan kegiatan di Rumah Harapan.

"Kenalin, Yan, ini Mas Andra. Dia pediatris." Alea mengenalkan Andra yang otomatis menjabat tangan Brian. "Kebetulan lagi ngambil MM di UI."

"Wah, luar biasa Dokter Andra, rajin banget sekolahnya. Silahkan duduk." Brian menempati satu kursi di balik meja dengan Andra dan Alea di seberangnya. "Gimana-gimana? Aku harap ada kabar bagus ya, La."

"Beresin STR sama SIP dulu kali ya." Alea meringis mengingat surat izin sebagai dokter miliknya hampir habis masa berlakunya. "Habis itu kalo kamu izinkan, aku mau coba lagi jadi tenaga relawan. Tapi kayaknya harus agak lama trainingnya. Aku udah lama nggak pegang pasien."

"Beneran kabar bagus ternyata. Jadi kamu udah resign dari Mas Artis?" Alea mengangguk canggung. Brian memang jadi salah satu orang yang tahu pekerjaan Alea satu itu. Saat Chris menawarinya dulu, Alea sempat beradu pendapat dengan Brian yang tentu saja tidak setuju dengan pilihan Alea. Namun mencoba mengerti beban Alea, Brian akhirnya menerima dan tetap menyimpan nama Alea sebagai salah satu dokter di LSMnya. "Nggak mau di Mitra Harapan aja, La? Gajinya bisa lebih besar." canda Brian.

"Makasih, uangku banyak." Alea balas berkelakar meski wajahnya datar, menghasilkan tawa Brian dan decihan Andra.

"Kata orang yang milih ngekos karena kemahalan." celetuk Andra. Alea seketika menoleh padanya kemudian mendaratkan cubitan di lengan Andra saat melihat ekspresi menyebalkan darinya. "Ih, galak!" Alea hanya balas mencebik. Interaksi itu tentu jadi perhatian Brian yang nampak membaca situasi.

"Jadi boleh nggak, Yan?" tanya Alea memastikan pada Brian.

"Boleh dong, La. Kapan mau mulai?"

"Aku harus siapkan apa aja? Kayaknya harus banyak ngejar ketinggalan buat perpanjang STR."

Setiap dokter memiliki kewajiban untuk memenuhi standar kompetensi jika ingin terus menjalankan profesinya, salah satunya diukur dari poin-SKP yang dihasilkan dari setiap pelatihan, pendidikan, atau pengabdian yang diikuti. Sedangkan Alea yang selama hampir lima tahun ini tidak pernah menyentuh lagi profesinya dan hanya beberapa kali mengikuti seminar online, tentu harus mengejar poin untuk dapat memenuhi syarat layak praktik.

"Kebetulan lagi ada penawaran dari Kementrian untuk jadi surveyor, La. Lumayan banget SKP-nya cukup buat perpanjangan. Tapi kerjanya beberapa termin selama dua bulan." Brian kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai program yang dimaksud beserta detail yang harus Alea penuhi. "Kamu bisa sambil belajar lagi di sini. Nanti Dania yang akan bantu." Alea mengangguk setuju dan berterima kasih, dia sangat membutuhkan SKP dalam waktu singkat.

"Maaf Dokter Brian, Alea sempat cerita kalau nantinya dia bisa dikirim ke seluruh Indonesia jika ada kegiatan. Apakah masih begitu?" tanya Andra.

"Bisa, kalau dia mau." Brian sedikit asing dengan sapaan pada Alea, namun mengabaikan.

"Apa kegiatannya selalu di luar Jawa?" tanya Andra lagi.

"Enggak. Sebetulnya sejak awal saya menawarkan sama dia untuk di sekitar Jakarta saja, Dok. Tapi waktu itu dia.. " Brian ragu melanjutkan, karena ini terkait masa lalu Alea. Namun saat melihat anggukan pelan dari Andra, Brian paham kalau dia sudah tahu. "Jadi lebih milih yang jauh."

"Kalau gitu boleh ya misalkan saya minta dia ditugaskan di sekitar Jakarta aja?" Balasan Andra membuat Alea menepuk pahanya.

"Kok jadi kamu yang minta?" protes Alea.

"Asti masih nunggu kamu." Andra mengingatkan jadwal konsultasi Alea yang masih berlangsung.

"Ya tahu, biar saya aja yang urus." tukas Alea.

"Kebiasaan, protes terus kalo dibantu."

"Bukan gitu.." Sepertinya berdebat adalah hal yang wajib mereka lakukan. Hingga Alea sadar kalau di hadapan mereka ada Brian yang jelas saja penasaran dengan interaksi mereka. Alea pun berdehem untuk menghentikan perdebatan mereka sekaligus mengalihkan perhatian Brian. "Dania hari ini datang, Yan? Aku lihat lagi ada kegiatan tadi."

"Datang. Kami lagi persiapan untuk program Visit Village pekan depan, jadi setengah jam lagi ada meeting sebentar. Mau gabung, La? Acaranya di Bogor aja kok." Alea tentu saja mengiyakan. "Dokter Andra mau gabung juga? Kebetulan banget sasaran kali ini anak-anak. Kami udah kumpulkan beberapa Pediatris, Pedodontis, Bedah Anak, sama Psikolog Anak." jelas Brian.

"Hari Minggu juga, Dok?" tanya Andra.

"Sabtunya, Dok."

"Oh, sepertinya bisa kalo Sabtu."

"Kalo gitu, mau lihat persiapannya? Urusan surveyor nanti aku infokan lewat email aja ya, La."

Brian mengajak keduanya menuju ruangan lain sembari menunjukkan beberapa kegiatan LSM mereka beberapa tahun terakhir. Kegiatan yang sempat Alea dengar rencananya, namun tidak sempat dia ikuti. Brian sendiri ternyata saat ini sedang menempuh Program Profesi Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Baru tahun pertama, tapi cukup membuatnya lebih banyak menyerahkan kepengurusan LSM pada orang-orang kepercayaannya, salah satunya Dania yang tadi namanya disebut Alea. Dania yang juga teman satu angkatan Alea dan Brian, sejak awal bergabung di sana. Bersama dengan Alea. Jadi saat Alea melihatnya di salah satu sudut ruangan, Alea langsung menyapa dan berbagi kabar dengannya. Sedang Brian mengajak Andra duduk di sudut lainnya yang masih kosong.

"Sudah lama jadi pacar Mila, Dok?" Pertanyaan Brian yang tiba-tiba membuat Andra mengangkat alis bertanya-tanya, kedekatan seperti apa yang dia tunjukkan hingga Brian menduganya sebagai kekasih Alea.

"Emang kelihatannya dia mau jadi pacar saya?" Tawa Brian tersembur karena jawaban Andra.

"Maaf, maaf." Brian segera meredakan tawanya. "Tapi sebagai lelaki yang ditolak berkali-kali sama Mila, saya bisa lihat kalau Dokter Andra masih punya harapan." Andra kembali tertarik dengan pernyataan Brian. Yang pertama dilakukannya adalah memindai sosok lelaki di hadapanya. Tampak sempurna untuk ditolak berkali-kali oleh Alea.

"Wah, menarik. Jadi kenapa saya kelihatan punya harapan?" Andra mencondongkan tubuh ke arah Brian. Bukannya tidak percaya diri. Untuk urusan penampilan dan kemapanan sebagai lelaki, sepertinya Andra bisa membanggakan diri. Tapi Andra tahu, semua yang berhubungan dengan Alea tidak akan sedangkal penampilan luar saja.

"Informasi mahal ini kira-kira akan dibayar dengan apa, Dok?"

"Nggak usah kalau gitu, saya tahu kok kalo saya memang punya harapan." Rasa percaya diri Andra membuat Brian kembali tergelak, kali ini lebih keras hingga membuat Alea menoleh. Namun setelah tawanya reda, raut wajah Brian berubah serius.

"Saya juga punya rasa percaya diri seperti itu bertahun-tahun lalu, Dok. Tapi asal Dokter tahu, semua yang Dokter punya nggak akan mempengaruhi Mila." Brian menjeda ucapannya sebentar hingga cukup menimbulkan rasa penasaran Andra. "Mila sudah melewati banyak hal berat. Saya bisa lihat kalau Dokter sudah tahu. Karena Mila bukan orang yang segampang itu melibatkan orang lain dalam urusannya, seperti hari ini. Jadi, kalau yang Dokter lakukan hanya untuk diri Dokter sendiri, sebaiknya mundur. "

"Dan kenapa saya harus mendengarkan Dokter Brian?"

"Karena saya nggak akan tinggal diam kalau Mila tersakiti lagi."

"Apa ini artinya saya punya saingan?" Tatapan tajam Andra dibalas kekehan Brian yang kemudian mengangkat tangan kanannya yang tersemat cincin.

"Tenang aja, Dok, saya sudah menikah. Tapi saya bisa pastikan kalau rasa peduli saya akan selalu ada."

***

BAB 27

Sudah satu pekan Alea mencoba kembali menjadi dokter. Bukan hal yang mudah ternyata, tapi dua kali pertemuan berturut-turut dengan Asti sebelum benar-benar mulai bekerja sungguh membantunya. Tiap pekan, Rumah Harapan membuka klinik gratis selama dua hari di tempat yang membutuhkan dengan relawan yang bergantian turun. Awalnya Alea hanya membantu di bagian konsultasi, namun perlahan dia mulai berani melakukan tindakan yang melibatkan penanganan luka. Hal yang membuatnya kabur beberapa tahun lalu.

Dan di akhir pekan, seperti yang sudah direncanakan jauh hari, mereka melakukan bakti sosial khusus anak di salah satu daerah di Kabupaten Bogor. Berbeda dengan sebelumnya dimana Alea pergi sendiri, kali ini Andra menemaninya. Andra menambah daftar dokter anak yang ikut sebagai relawan di sana.

Alea sempat memikirkan hal ini. Setelah melewati proses penyembuhan mentalnya, jika Alea boleh melabeli seperti itu, Alea baru sadar kalau belakangan Andra selalu ada di dekatnya. Bukan hal yang aneh karena sejak pertama kenal, Andra memang nampak selalu ingin merecokinya. Yang berbeda adalah penerimaannya pada kehadiran Andra. Lama kelamaan Alea justru sangat terbiasa dan tidak pernah lagi bertanya-tanya akan keikutsertaan Andra dalam setiap aktivitasnya. Seolah-olah semuanya memang hal yang wajar. Meski tidak benar-benar selalu ada, dalam artian harfiah karena Andra jelas punya kesibukan, tapi di momen penting Alea, Andra hampir selalu ada.

Seperti hari ini, mereka mulai keluar dari apartemen setelah sarapan bersama di kamar Alea. Kedua kalinya mereka lakukan setelah pekan lalu Andra mengantarnya bertemu Brian. Selama sepekan, Andra sibuk dengan perkuliahannya. Sampai di lokasi bakti sosial dua jam kemudian, mereka sibuk mengerjakan bagian masing-masing. Alea di pos screening, sedang Andra menangani kasus umum. Kegiatan mereka terjeda istirahat makan siang sebelum berlanjut kembali hingga sore hari. Luar biasa melelahkan sekaligus menyenangkan. Terutama bagi Alea yang mulai terbiasa.

Sore harinya, mereka membubarkan diri dari sana. Selain satu mobil Rumah Harapan yang membawa perlengkapan bakti sosial yang kembali ke kantor, yang lain langsung kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga Andra dan Alea yang saat ini sudah berada di tengah perjalanan Bogor-Jakarta. Obrolan mereka kebanyakan membahas kasus yang hari ini ditangani, mengisi kebosanan di tengah kemacetan akhir pekan sekaligus membantu Alea mengingat kembali kasus-kasus yang sudah lama ditinggalkan. Hingga tiba-tiba Andra beralih topik.

"Azalea, ikut saya sebentar ya?"

"Kemana?"

"Saya mendadak diajak makan malam bareng di sekitar Taman Mini, searah kan ini. Daripada bolak-balik, kamu ikut dulu ya?" Alea mengerut, merasa keberatan.

"Saya naik taksi aja dari Taman Mini." putusnya.

"Sebentar aja, please." Meski berdecak, Andra tetap memohon juga. Membuat Alea kesal karena jadi segan menolak.

"Kamu sengaja banget jebak saya, TMII di depan mata baru bilang. Kalau tahu dari awal saya kan bisa pulang sama Dania tadi." Dania memang menawarinya pulang bersama tadi, tapi karena sejak datang bersama Andra, dia jadi menolak.

"Mendadak, Azalea. Serius, nggak bohong. Padahal rencananya ketemu besok, tapi jadi pada ngumpul malam ini."

"Yaudah lah, cuma makan kan?" Andra mengiyakan. "Siapa sih? Teman-teman kuliah?"

"Bukan, keluarga saya."

"Hah?! Ngaco! Nggak, nggak! Saya naik taksi aja." Alea melotot horor, tidak habis pikir dengan pikiran Andra.

"Kenapa sih? Cuma makan aja, habis itu kita pulang." Jawaban santai Andra membuat Alea berdecak.

"Nggak pokoknya! Jangan aneh-aneh. Masa saya diajakin ke acara keluarga?!" tolak Alea.

"Kan ada Ayu juga, kamu kan kenal. Sebentar aja, habis makan pulang."

"Nggak." Alea bersikukuh.

"Ya udah, kita pulang aja kalo gitu." Keputusan Andra membuat mata Alea kembali menukik.

"Lho, kok gitu? Saya aja!"

"Nggak apa-apa. Besok juga ketemu."

"Mas Andraa.. "

"Nggak apa-apa, kita pulang aja."

"Males banget deh jadi ngambek. Saya bisa kok pulang sendiri."

"Nggak ngambek. Saya juga pulang aja."

Alea memicing untuk mengamati ekspresi Andra yang begitu santai. Andra sengaja membuatnya merasa bersalah. Dan kenapa juga dia jadi perlu merasa bersalah? Nafasnya berhembus keras, bisa-bisanya dia ikut memikirkan urusan keluarga Andra.

"Makan aja kan?" Alea menggigit pipi resah, ragu dengan pertanyaannya sendiri.

"Cuma makan. Yang penting saya setor muka." Seringai Andra nyaris terbit karena tahu Alea akan setuju.

"Ya udah." ujar Alea pasrah, menerbitkan senyum Andra terkembang lebar. Senang rasanya bisa membuat Alea akhirnya setuju. "Padahal udah lepek banget kita. Seharian ngerjain pasien. Nanti ada anak-anak nggak? Jangan banyak cium-cium lho." Selanjutnya yang dilakukan Andra hanya menanggapi setenang mungkin agar Alea tidak berubah pikiran.

Besok adalah hari ulang tahun keponakan Andra, anak bungsu dari kakak perempuannya yang tinggal di Jakarta. Rencana awalnya, malam ini Andra akan menginap di rumah kakaknya, bersamaan dengan keluarganya tiba dari Bandung. Namun ternyata, keluarganya merubah jadwal keberangkatan dari Bandung yang semula sore menjadi siang hari. Mereka ingin mengajak para anak-anak menghabiskan waktu di Taman Mini Indonesia Indah. Jadi acara makan malam ini juga sebetulnya mendadak.

Dan lima belas menit kemudian, mereka tiba di resto yang menjadi tempat keluarga Andra berkumpul. Sebelum turun dari mobil, Alea masih sempat meluapkan rasa kesalnya pada Andra sembari merapikan ikatan rambutnya yang sejak pagi menempel di sana. Andra lebih dulu keluar dari mobil kemudian membukakan pintu untuk Alea yang segera turun.

"Lain kali jangan gini, please. Beneran nggak enak tahu nimbrung di acara keluarga orang." gerutu Alea setelah mengucapkan terima kasih.

"Iya, Azalea. Lagian kenapa sih bawel banget?!" celetukan Andra membuat Alea menepuk lengannya kesal.

"Bukan kamu yang jadi stranger di acara keluarga orang."

Kali ini Andra berhenti dan menatap serius Alea. Tangannya meraih jemari Alea yang baru saja menepuknya untuk dikaitkan dengan miliknya sebelum membenamkan kecupan singkat di punggung tangannya.

"Kamu bukan stranger." ucapnya membuat Alea terpaku.

Andra kembali melangkah menuju pintu masuk, yang mau tidak mau diikuti Alea karena tangan mereka masih terkait. Alea masih tercenung dengan pikirannya sendiri hingga mereka masuk ke salah satu ruangan dalam resto. Sepertinya keluarga Andra memesan satu ruangan khusus disana, karena mereka butuh lebih dari sepuluh kursi untuk makan bersama. Riuhnya isi kepala Alea buyar saat sebuah sapaan riang terdengar di telinganya, terasa sangat familiar.

"Mila!" Sudah bisa ditebak kalau itu suara Ayu, tapi Alea masih bisa merasakan kegugupannya hingga pelukan Ayu menyambutnya. "Aah, seneng banget akhirnya beneran bisa ikut. Tadi pagi Mas Andra bilang kamu pasti nggak mau." ucapan Ayu membuat Alea menatap tajam Andra yang kepergok mengelabuinya.

Mendadak apanya kalau sudah dikabari sejak pagi? Andra jelas terlihat salah tingkah, meski sangat mampu menguasai diri dengan memilih bercanda dengan para keponakannya. Sepertinya meski nampak tengil, tapi Andra sangat dekat dengan mereka. Dan demi menghormati semua orang disana, Alea hanya bisa menanggapi dengan tawa kecil sebelum akhirnya menyapa yang lain di sana. Mama dan Papa Andra, juga keduanya kakaknya dan anak-anak mereka.

"Maaf ya Om, Tante, kalau saya ganggu acara keluarganya." kata Alea.

"Sama sekali enggak ganggu atuh! Tante malah seneng banget bisa ketemu sama temen Andra di sini. Temen Ayu juga ya? Mila ini kuliah bareng Andra?" Mama Andra yang bertanya.

"Bukan, Tante." Alea jadi bingung menjelaskan pertemanan jenis apa yang terjalin antara dia dan Andra. "Saya satu kelompok internship sama Ayu di Surabaya. " Mama Andra mengangguk.

"Dia temen satu apartemen Andra, Ma. Tadi habis baksos bareng di Bogor." jelas Andra, membuat yang lain kembali mengangguk.

Setelahnya Alea dan Andra ditawari makanan untuk dipesan tentunya sembari melanjutkan obrolan santai untuk mencairkan suasana. Sesekali terlihat perdebatan kecil di antara mereka, membuat Alea paham kenapa Andra nampak seperti yang selama ini dia kenal. Kehangatan di antara mereka terasa familiar bagi Alea. Karena dia pernah merasakan hal ini di tengah keluarga suaminya. Suasana menyenangkan yang hanya sebentar dia rasakan sebelum semuanya berubah mengerikan.

***

BAB 28

Alea kembali memandang layar ponselnya yang menyala sejak tadi karena panggilan berulang dari Andra yang tidak diangkatnya. Dua pekan ini, tepat setelah acara bakti sosial bersama Rumah Harapan sekaligus makan malam bersama keluarga Andra, Alea menghindari Andra. Pesannya dibalas seadanya, ajakannya selalu ditolak dengan berbagai alasan, dan yang akhir-akhir ini sering Alea lakukan adalah mengabaikan panggilan teleponnya. Termasuk kali ini. Meski hari ini Andra tidak mengirimi pesan sama sekali, namun panggilan telepon yang tidak berhenti sejak beberapa saat lalu membuat Alea gelisah hingga membalik layar ponsel agar tidak terganggu.

Hampir setiap malam Alea beralasan kelelahan dan ingin tidur cepat agar Andra tidak nekat datang ke apartemennya. Kebetulannya Andra memang sedang berada di akhir semester sehingga cukup sibuk dan di akhir pekan kemarin, Andra juga harus pulang ke Bandung sehingga Alea tidak perlu mengelak dari Andra di apartemennya.

Alea tidak memungkiri kegelisahannya. Bahkan kegelisahan ini juga dia sampaikan pada Asti dalam sesi konsultasi mereka. Meski tidak menyebut nama, karena Alea akan canggung membicarakan Andra yang juga teman Asti, tapi Alea meluapkan perasaannya dengan jujur. Dirinya ketakutan.

Alea tidak mengelak kalau dia sangat nyaman berada di dekat Andra. Entah sejak kapan, mungkin sejak awal meluapkan emosinya pada Andra, Alea justru secara tidak langsung menjadikan Andra sebagai tempatnya membuka diri. Bahkan sebelum dirinya bertemu Asti, Andra sudah lebih dulu tahu apa yang dia rasakan setelah kehilangan Fahmi dan Lila. Dan saat kesadaran itu hadir, Alea justru ketakutan.

Dia pernah merasa nyaman, bukan sekali, namun kemudian perasaannya hancur. Jadi dia tidak ingin memiliki perasaan nyaman itu jika akan mengancam hidupnya yang sudah susah payah dia usahakan baik-baik saja ini. Karena dia tidak yakin, saat hal buruk kembali terjadi, dia masih bisa bertahan.

Dia juga jadi mempertanyakan cintanya pada Fahmi yang tentunya jika masih ada tidak akan membuatnya nyaman dengan lelaki lain. Alea merasa mengkhianati suaminya dengan rasa nyaman yang dia punya. Untuk satu hal ini, dia belum bisa membukanya pada Asti.

Sehingga ketika kemarin hatinya tersentuh dengan perlakuan Andra yang selalu ada untuknya, saat bibir Andra yang menyentuh tangannya menghasilkan desiran di hari Alea, dan saat kehangatan keluarga Andra membuatnya nyaman, Alea tahu dirinya harus segera membangun batasan di sana. Di hatinya. Jadi secepat mungkin Alea berbalik sebelum nanti terlanjur jatuh.

Sayangnya, ternyata menjauhi Andra justru mengacaukan perasaannya sendiri. Hal ini juga sudah disampaikan Alea dalam pertemuan ketiganya dengan Asti dalam dua pekan ini. Dan tentu saja Asti selalu berusaha membantunya. Kali ini Alea disarankan untuk tidak kembali mengelak, karena hal itu hanya akan menumbuhkan rasa takut yang tidak perlu. Sayangnya Alea belum bisa menurutinya. Entah sampai kapan.

Tapi seperti sejak awal dia mengenal Andra, menghindari Andra bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Mungkin tidak akan bisa. Karena setelah mengabaikan teleponnya seharian ini, Alea harus menghadapi Andra dengan wajah kerasnya tengah berada depan pintu apartemennya. Tidak ada senyum tengil atau raut santai Andra seperti biasanya.

Rasa lelah Alea karena aktivitasnya seharian bertambah dengan kepenatan isi kepalanya. Dengan gugup Alea menarik senyum simpul dan menyapanya walaupun pasti terdengar canggung. Karena bahkan senyum dan sapaan Alea tidak dibalasnya. Meski begitu, Alea tetap mempersilahkan Andra masuk. Dia membuka lebar pintu apartemennya dan masuk lebih dulu sembari menyalakan lampu dan AC. Namun saat Alea berbalik, dia mendapati Andra bergeming di tempatnya. Alea kembali menghampiri dengan kegugupan yang semakin menjadi.

"Mas Andra, nggak mau masuk?" ucap Alea setelah mereka berhadapan di depan pintu.

"Kamu serius mempersilahkan saya masuk atau hanya formalitas? Basa-basi?" balas Andra tajam. Alea menghela nafas karena tahu kali ini dia harus menghadapi Andra.

"Kita bicara di dalam." Alea mundur satu langkah, berharap Andra mengikuti.

"Nggak perlu. Saya hanya perlu jawaban kamu. Kamu terganggu dengan kehadiran saya?" Andra bergeming.

"Mas, kita bisa bicara di dalam." Alea setengah memohon karena khawatir menarik perhatian orang lain.

"Jawab aja, Azalea. Karena kalau iya, saya nggak akan menggangu kamu lagi."

"Mas Andra.. " suara Alea mulai bergetar karena rasa takut. Takut akan kehadiran sekaligus ketidakhadiran Andra.

"Kalau kamu terganggu, saya bisa pastikan kamu nggak akan menerima pesan ataupun telfon saya lagi. Kamu juga nggak akan ketemu saya lagi." Tegas Andra. Nada suaranya yang begitu dingin membuat Alea terkesiap.

Rasa takut Alea berganti sesak saat membayangkan ketidakhadiran Andra. Sesak yang seakan meremas jantungnya, membuat nafasnya tersengal hingga tangan Alea terangkat menyentuh dadanya. Seketika bayangan kehilangan kembali memenuhi benaknya. Dia akan kehilangan Andra. Seperti dia kehilangan Fahmi dan Lila beberapa tahun lalu. Seperti dia kehilangan perhatian lengkap kedua orang tuanya. Matanya mulai berkaca. Satu tangannya yang lain mencari pegangan hingga menggapai daun pintu di dekatnya.

Semua gestur itu tertangkap di mata Andra dan seketika membuat wajah kerasnya berubah khawatir. Namun egonya masih membuat dia bertahan untuk tidak bergerak. Sampai akhirnya Alea bergerak pelan menutup daun pintu dengan sisa tenaga yang dimiliki bersamaan dengan matanya yang ikut tertutup.

Sepersekian detik Andra melihat mata Alea tertutup dengan tarikan nafas yang terdengar kasar, Andra segera menahan pintu itu dengan menyelipkan tangan disela-selanya. Mengabaikan rasa sakit yang terasa karena setelahnya Alea menyandarkan tubuh di balik pintu, membuat Andra meringis karena tangannya terjepit. Andra mendorong sedikit celah pintu agar dia bisa masuk untuk kemudian menemukan Alea yang meluruh di balik pintu.

"Azalea!"

Pekikan Andra yang langsung meraih tubuh Alea tidak membuat Alea merespon. Matanya masih terpejam dengan buliran air mata keluar dari sana. Nafasnya begitu cepat sampai Andra seolah merasakan rasa sesak yang dia rasakan. Andra tidak bisa menahan umpatan. Menyalahkan dirinya yang tidak bisa menahan ego sehingga menekan Alea. Seharusnya dia yang paling tahu kalau Alea sangat rapuh dan butuh banyak dimengerti. Termasuk saat Alea menghindarinya, harusnya Andra yang paling tahu kalau itu adalah respon sangat wajar dari Alea. Dia yang banyak memaksa. Dia yang terlalu tinggi meletakkan ekspektasi.

"Azalea, tenang. Azalea, saya di sini." ucap Andra setelah berhasil mengangkat tubuh Alea ke atas ranjang. Satu tangannya menggenggam salah satu tangan Alea yang dia sadari bergetar. Tangan yang lain mengusap pipi Alea yang terus berair. Damn. Andra akan mengingat hari dimana dia terus saja mengumpati dirinya. "Maaf, Azalea. Maaf."

"Ayah udah pergi.. " lirih Alea dengan mata yang masih terpejam. "Mas.. "

"Iya, saya di sini." balas Andra.

"Mas.. Jangan ikut pergi. " Air mata Alea mengalir deras disertai isakan. Suaranya makin melirih tapi masih bisa dipahami Andra.

"Iya, Azalea. Saya di sini, nggak kemana-mana." Andra memejamkan mata, menyesal sudah melanggar janjinya untuk tidak kemana-mana meski Alea menyuruhnya.

"Mas Fahmi, jangan ikut ninggalin aku."

Andra tertegun, usapannya pada pipi Alea berhenti. Namun genggamannya semakin erat karena tangan Alea yang semakin bergetar. Andra sudah melakukan kesalahan fatal. Dia sudah membangkitkan rasa sakit Alea akibat ditinggalkan. Tanpa berkata lagi, Andra ikut berbaring di sebelah Alea kemudian menarik perempuan itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Andra tidak ingin memikirkan resiko bahwa Alea bisa saja menganggapnya lancang. Tapi dia hanya ingin memastikan kalau dirinya tidak kemana-mana. Dia tidak akan kemana-mana, sesuai janjinya.

***

BAB 29

Jika Andra boleh mengibaratkan hidup Alea seperti catatan rekam jantung, sebelum bertemu dengannya Alea seolah berada pada kondisi asistol. Asistol adalah ketiadaan aktivitas elektrik jantung yang terekam dalam gambaran elektrokardiogram sebagai garis datar. Meski masih dinyatakan hidup, pasien dengan kondisi ini membutuhkan resusitasi jantung paru (RJP) segera. RJP harus dilakukan dengan tekanan yang adekuat juga minim interupsi sehingga bisa mengembalikan denyut jantung dan menghindari kematian. Namun yang terjadi pada Alea bukanlah asistol dalam arti sebenarnya. Bukan jantungnya yang berhenti, melainkan perasaannya.

Niat Andra untuk menyadarkan Alea selama ini memang dilakukan dengan cukup menyebalkan. Tapi ternyata akhirnya mampu membuahkan hasil, hari ini Alea bisa kembali pada hidupnya yang nyata. Seolah intervensi Andra merupakan tekanan adekuat yang ditujukan untuk mengembalikan denyut kehidupan Alea.

Tapi Andra sepertinya lupa, sekuat apapun tubuhnya saat memberi tekanan, dia perlu istirahat. Saat sudah melakukan RJP selama lima siklus, idealnya sang penolong harus istirahat untuk menghindari penurunan kualitas RJP. Sembari beristirahat, biasanya penolong melakukan pengecekan tanda vital pada pasien. Dan mungkin hal itu yang luput dari Andra. Dia terus menekan hingga kelelahan, tanpa menyempatkan diri untuk melihat kondisi Alea yang jelas masih sangat rapuh. Berakhir menyakiti dirinya juga Alea.

Harga diri Andra serasa terluka saat Alea tiba-tiba mengabaikannya. Setelah banyak yang sudah mereka lewati, tanpa penjelasan apapun Alea menghindarinya. Semua pesan, telepon, bahkan kedatangannya ditolak. Meski Andra sebetulnya bisa menebak alasan yang paling mungkin, tapi egonya menolak untuk mengerti. Di pikirannya, kedekatan mereka selama ini harusnya membuat Alea bisa terbuka dengan apa yang dia rasakan. Hingga dia begitu kesal dengan perlakuan Alea.

Andra kelelahan. Dia kelelahan dalam mengerti bahwa Alea masih belum pulih. Kalaupun denyutnya mulai kembali, Alea masih butuh banyak bantuan. Seperti oksigen dan obat-obatan lain yang harus diberikan pada pasien pasca kondisi asistol. Andra masih harusnya masih banyak bersabar. Sayangnya hal itu memang tidak mudah. Hingga yang tersisa hanya penyesalan. Terlebih saat Andra menatap mata Alea yang terpejam di pelukannya sekarang.

Setelah meraih Alea dalam pelukannya dua jam lalu, tangis Alea perlahan mulai reda berganti isak pelan hingga kemudian terdengar nafas yang beraturan. Alea nampak kelelahan, terlihat dari samar kantong mata di antara matanya yang sembab. Bibirnya sedikit terbuka, seolah setelah sesak yang panjang tadi dia butuh menghirup udara lebih banyak. Tidak ada yang bisa dilakukan Andra selain tidak berhenti mengusap punggungnya pelan, mengucapkan maaf berulang dalam hati, dan sesekali mengecup kepalanya. Begitu terus hingga terasa pergerakan dari wanita dalam pelukannya.

Andra menghentikan gerakan tangannya untuk mengamati Alea yang mulai membuka mata. Tatapannya menerawang sejenak sebelum beradu dengan milik Andra. Andra masih bisa melihat kekosongan di sana, membuat hatinya mencelos. Mengingatkannya pada tatapan Alea di awal bertemu dengannya. Tangan Alea yang semula bertumpu di dada, membuat Andra nyaris berjengit saat kemudian bergerak menyusuri wajah Andra. Seolah meneliti setiap jengkalnya.

Alea masih mengumpulkan kesadaran, memindai apakah yang terlihat oleh matanya adalah bayangan atau nyata, apakah dia bermimpi atau Andra memang ada di hadapannya. Alea memang tidak pernah melihat Andra sedekat ini. Rasanya jarak wajahnya dengan Andra begitu dekat sampai dia bisa melihat - juga menelusuri - tahi lalat kecil di pipi kanan dan bawah bibir Andra, bersamaan itu jarinya merasakan bakal cambang di sana. Seperti bukan bayangan, namun anehnya kenapa posisi mereka bisa sedekat itu? Padahal sebelum ini yang dia ingat adalah Andra akan pergi. Tepat saat tangannya kembali turun ke dada, Alea terkesiap. Seketika dia mendorongnya panik, namun segera ditahan Andra dengan mengeratkan tangan yang berada di punggung Alea.

"Hei, tenang, Azalea. Ini saya, Andra." suara Andra membuatnya kembali memindai.

"Mas Andra?" Alea masih tidak yakin dengan penglihatannya. "Kamu nggak jadi pergi?" Andra berusaha tersenyum di tengah rasa bersalahnya.

"Enggak, saya nggak akan kemana-mana." Andra mengusap pelan pipi Alea yang masih memerah dengan tatapan memaku. "Feeling better kalo saya di sini?"

Alea tidak tahu harus menanggapi apa. Satu persatu ingatannya sebelum ini menyeruak. Ketakutannya, penyangkalannya, hingga rasa sakitnya saat membayangkan Andra pergi membuatnya kembali berkaca.

"Hei, jangan nangis lagi, please." Andra mengusap ujung mata Alea yang mulai berair. "Saya nggak akan pergi. Tapi kalo kamu butuh waktu sendiri, nggak apa-apa. Saya nggak akan maksa untuk ketemu. Tapi saya janji nggak akan kemana-mana. Kapanpun kamu butuh saya, saya akan ada."

Bukannya berhenti, air mata Alea justru kembali mengalir. Ketakutannya yang tidak berdasar membuatnya menyakiti Andra. Padahal, Alea tidak lagi bisa menyangkal kalau dia sangat membutuhkan Andra. Jadi saat Andra meraihnya ke pelukan untuk memenangkan, Alea membalas dengan ikut melingkarkan lengan di tubuh Andra sama eratnya. Tangisannya kembali tumpah di sana untuk beberapa saat. Sampai ketika reda, Alea berusaha bicara mesti terbata.

"Aku takut." ucapnya dengan pelukan yang mengerat. "Ketemu keluarga kamu bikin aku ingat rasa nyaman yang pernah aku punya. Dan aku takut, akhirnya akan sama." Akhirnya dia bisa mengatakannya pada Andra. Pertemuannya dengan keluarga Andra memang seolah memanggil kembali kenangan buruknya.

"Maaf." balas Andra, jelas itu sepenuhnya kesalahannya. Dia terlalu memaksa Alea untuk lebih mengenal dirinya. Tapi Andra berkerut heran saat Alea menggeleng.

"Dua minggu ini aku tiga kali ketemu sama Mbak Asti buat bahas ketakutanku. Mbak Asti bilang, aku harusnya bilang sama kamu, bukan menghindar. Tapi aku nggak bisa, karena aku jadi kepikiran yang lain." lanjut Alea yang suaranya masih teredam di dada Andra.

"Nggak apa-apa, kalo kamu butuh waktu, saya.. aku bisa tunggu. Aku nggak akan kemana-mana."

Ketakutan akan rasa nyaman yang semula Alea rasakan, bertambah dengan takut kehilangan Andra. Alea belum bisa mendefinisikan arti Andra untuk hidupnya, karena hidupnya sendiri baru saja kembali. Tapi Alea sempat terpikir kalau yang dia punya saat ini tidak akan ada tanpa Andra. Alea menarik tubuhnya untuk menatap Andra.

"Mas, kenapa kamu mau buang waktu buat selalu nemenin aku?"

Tanpa ragu, Andra merangkum wajah Alea dengan sebelah tangannya. Sempat terbesit kekhawatiran sebelum dia berucap, tapi Andra merasa ini adalah kesempatannya. Karena bukan hanya Alea yang membuka diri, tapi dirinya juga.

"Aku sayang kamu, Azalea. Aku mau jadi orang yang bisa kamu andalkan. " Jeda beberapa detik untuk Andra menunggu reaksi Alea sebelum melanjutkan. "Aku tahu kamu mungkin belum berpikir ke arah sana, aku paham. Perasaanku juga bukan tanggung jawab kamu. Aku cuma mau kamu tahu, kenapa aku akan nunggu." Mata mereka saling memaku, seolah menyatakan apa yang ada dalam perasaan masing-masing.

"Mas, aku.. juga takut kehilangan kamu. Dan yang lebih menakutkan dari pemikiran itu adalah.. aku mengkhianati Mas Fahmi karena aku menginginkan lelaki lain." Penjelasan Alea membuat Andra cukup terkejut, tidak menyangka dengan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Alea. Namun bibirnya tidak bisa menahan lengkung karena senang yang membuncah.

"Azalea, aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi yang pasti, nggak ada yang salah dengan perasaan kita." Jelas, baik Andra maupun Alea sama-sama tidak terikat dengan siapapun. "Nggak perlu buru-buru. Kamu punya banyak waktu untuk memahami apa yang kamu rasakan."

Pasca kondisi asistol ditangani, pasien masih butuh penanganan intensif sebelum memperoleh kesembuhan yang sempurna. Yang utama adalah menangani faktor penyebabnya agar kondisi itu tidak terulang lagi, sembari fokus mempertahankan kondisinya agar selalu stabil hingga nantinya sembuh sempurna. Seperti Alea yang gairah hidupnya baru saja kembali, setelah ini dia harus benar-benar berdamai dengan sumber traumanya di masa lalu sebelum bisa beralih pada perasaan yang melibatkan Andra. Tapi dengan Andra di sampingnya, Alea akan memiliki dukungan untuk selalu baik-baik saja. Itu yang pada akhirnya dia terima sebagai hal yang harus disyukuri saat ini.

"Thank you, Mas Andra." ucapnya sembari menerbitkan senyum tulus yang dibalas Andra dengan senyum lebih lebar.

"My pleasure, Azalea." Andra kembali merengkuhnya kemudian membenamkan kecupan di kepalanya. Nafasnya terhembus lega. "Aku sebenernya seneng-seneng aja pelukan terus gini, tapi sekarang ada yang harus segera kita lakukan." lanjut Andra yang kemudian merenggangkan pelukan mereka dan mendekatkan wajahnya pada Alea. "Aku laper! Mau pesan makan dulu. Kamu juga harus makan! Nggak boleh nolak!" titahnya.

Kekehan Alea kontras dengan wajahnya yang sembab. Setelah sempat membuat pengakuan manis, Andra si Bungsu sudah kembali dengan mode perintahnya. Namun entah kenapa kali ini Alea sangat menikmatinya. Rasanya ingin terus menikmatinya. Jika selamanya terlalu lama, dia ingin menikmatinya dari sekarang hingga kapanpun yang dia bisa. 
 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Asistol(Ove)
Selanjutnya ASISTOL(OVE): STABILIZATION PHASE 1
3
0
Stabilisasi pasca resusitasi ditujukan untuk memelihara fungsi otak, menghindari kerusakan  sekunder dari organ lain, mendiagnosis dan mengobati penyebab penyakit. Penting juga untuk menilai kembali fungsi kardio-respirasi karena keadaan dapat tiba-tiba memburuk. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan