ASISTOL(OVE): ASISTOL PHASE 1

2
0
Deskripsi

Asistol adalah ketiadaan aktivitas elektrik jantung yang terekam dalam gambaran elektrokardiogram sebagai garis datar dan merupakan kegawatdaruratan jantung yang dapat mengancam nyawa.

BAB 1


"Astaga, ketinggalan lagi? Gimana sih, Mi?! Kemarin mic, untung aja Lea masih nyimpen cadangan. Sekarang botol minum. Kamu kan tau, Mas Deva lagi concern minimalisir sampah, dia menghindari pake air kemasan!"

Cecaran Brina menambah kebisingan backstage siang ini. Monolid eyes miliknya yang jika tanpa ekspresi saja sudah cukup membuat segan yang menatap, semakin menukik sehingga menciutkan nyali Mimi yang berdiri di hadapannya. Para kru yang sedang bersiap untuk penampilan Devanio Samudra, atau yang biasa mereka sapa 'Mas Deva', sore ini sebetulnya sudah biasa mendengar teriakan Brina, manager artist mereka. Namun menjadi semakin sering karena akhir-akhir ini Mimi, asisten pribadi Deva yang juga bekerja di bawah Brina, sering melupakan bawaan wajib sang artis.

Daripada ikut menonton kemarahan Brina, Alea lebih memilih kembali mengecek pekerjaannya sembari mencoba mencari botol minum milik Deva, siapa tahu ada yang terselip. Seperti saat mikrofon Deva tertinggal tempo hari, ternyata Alea menemukan cadangannya dalam equipment box pribadi Deva. Meski hal itu bukan tugasnya, namun masalah seperti tadi bisa membuat fokus kru lain teralihkan dan akan mengganggu jalannya acara yang berujung mengacaukan pekerjaannya.

Saat mendapati Brina dan Mimi datang lebih dulu, Alea tahu kalau tidak lama lagi Deva akan datang membawa mobilnya sendiri. Karenanya, Alea harus memastikan security menyiapkan parkiran khusus untuk Deva agar aman dari fans yang bisa membuat jadwalnya terhambat.

Alea sendiri sudah lebih dari empat tahun ini berkecimpung di belakang panggung musik. Lebih tepatnya di panggung dengan Devanio Samudra sebagai bintangnya. Empat tahun lalu, Alea diajak oleh salah satu kenalannya, Christopher, yang merupakan road manager Deva untuk bekerja dengannya sebagai asisten. Tugasnya adalah membantu Chris menyiapkan semua hal yang berhubungan dengan persiapan manggung Deva. Kurang lebih membantunya berkoordinasi dengan pihak-pihak yang bertanggungjawab dengan daftar dalam technical and hospitality riders, bila perlu memastikan ketersediaannya jika ada yang kurang.

Mereka semua memang bekerja untuk seorang Devanio Samudra. Penyanyi solo yang kini merambah sebagai bintang iklan dan mulai mencoba peruntungan di dunia acting sebagai pemain film. Jika  Brina dan Mimi hampir selalu ikut kemanapun kegiatan Deva, tidak dengan Alea dan Chris yang hanya mengurus aksi panggung Deva sebagai penyanyi saja. Tentunya di panggung mana saja, termasuk luar kota ataupun luar negeri.

Namun sepertinya rutinitas Alea empat tahun ini akan berubah setelah obrolan  Brina dan Chris di sore ini. Penyebabnya sesederhana Alea menemukan botol minum Deva di equipment box miliknya. Padahal sebetulnya siapapun bisa menemukannya jika mau mencari.

"Gue butuh yang cekatan kayak Lea, Chris. Lo tau sendiri kerjaan Mas Deva sekarang nggak cuma nyanyi, tapi banyak." ujar Brina setelah meminta Chris untuk menjadikan Alea asisten Deva dan bertukar tugas dengan Mimi.

"Lo pikir gue nggak butuh Lea?" ujar Chris sembari tanpa gentar membalas tatapan Brina.

"Kerjaan lo nggak sebanyak gue, Mimi aja cukup!" tukas Brina, yang dikatakannya memang tidak salah. Sejak Deva semakin banyak menerima pekerjaan selain bernyanyi, pekerjaan Brina jelas bertambah.

"Di rumah kan ada Aldi yang udah biasa ngurus Deva, kenapa nggak tarik dia aja sih?" Chris yang sepertinya keberatan, masih mencari cara untuk menawarkan opsi lain agar asistennya tidak diganggu gugat.

"Aldi nggak mau naik pesawat, menurut ngana?!"

Chris beralih menatap Alea, lalu kembali menatap Brina yang masih menunggu persetujuannya dengan tatapan intimidasi. Chris memang berat hati karena merasa bertanggungjawab atas Alea yang dia bawa ke dunia belakang panggung. Dia juga yang tahu latar belakang Alea dan sedikit banyak tahu kondisinya. Jika Alea menjadi asisten pribadi Deva, tentu dia tidak bisa mengawasi Alea secara langsung. Namun dia juga tidak bisa mengabaikan permintaan Brina, bagaimanapun Brina adalah manager utama Deva dan Chris bekerja untuk kepentingan Deva.

Sedang Alea sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan sama sekali, toh yang penting dia tetap punya kesibukan. Tidak nampak buruk dalam bayangannya. Apalagi sepertinya menjadi asisten pribadi Deva akan membuatnya lebih sibuk.  Jadi, dia hanya duduk tenang di antara kedua manager yang saling berargumen.

"Jatah libur Lea setiap Deva ke Surabaya. Itu perjanjian gue sama Lea." Chris akhirnya berkata lagi setelah beberapa saat menghela nafas lalu menyandarkan tubuh berisinya di sandaran kursi. Dia mengingatkan tentang kesepakatannya dengan Alea di awal bekerja padanya.

"Duh, aneh-aneh aja deh lo. Ya udah lah, nggak apa-apa. Daripada gue pusing terus gara-gara Mimi. Alea, mau ya ikut gue? Gaji pasti menyesuaikan kok."

Alea melirik Chris untuk meminta persetujuannya, bagaimanapun Chris  adalah orang yang membawanya bekerja di sini. Saat Chris mengangguk pasrah, Alea pun memberi anggukan pada Brina.

"Boleh, Mbak." jawabnya singkat, Alea memang tidak punya alasan menolak ataupun syarat untuk diajukan. Yang terpenting, Alea butuh kesibukan.

Brina yang kadung senang, berlalu begitu saja meninggalkan Chris dan Alea di dalam ruangan yang disedakan khusus untuk Deva. Saat ini, Deva memang sedang tampil sehingga Chris dan Alea bisa istirahat sejenak.

"Kalo ada apa-apa kamu bisa hubungi aku kapanpun itu." ujar Chris.

"Makasih, Mas. Mas nggak perlu khawatir, aku bisa jaga diriku." balas Alea.

"Aku harus bertanggung jawab karena aku yang bawa kamu ke sini."

"Aku sendiri yang setuju ikut Mas, jadi aku yang bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusanku. Mas nggak perlu terbebani dengan aku." tukas Alea dengan nada lebih dingin dari sebelumnya.

"Kamu bukan beban, La.."

"I'll be fine, Mas. No need to worry." lanjutnya dengan lebih bersahabat.

Alea sudah mengenal Chris sejak kecil, bisa dibilang Chris adalah salah satu teman mainnya sewaktu kecil karena rumah mereka di Surabaya berdekatan. Meskipun beberapa tahun lebih tua dari Alea, Chris termasuk yang cukup sering bermain bersama Alea. Hingga beranjak remaja, mereka akhirnya memiliki dunia baru masing-masing dan sudah jarang bertemu. Namun satu kejadian membuat mereka kembali berinteraksi dan berakhir bekerja bersama.

Selesai mengawasi konser Deva sore ini, Alea disibukkan dengan kepindahannya yang mendadak. Ternyata persetujuan Chris dan Alea tadi disambut dengan sigap oleh Brina yang segera mengatur kepindahan Alea ke rumah Deva malam itu juga. Alasannya, apalagi kalau bukan besok pagi jadwal Deva sudah menanti. Brina tidak ingin kembali mengeluarkan tenaga kalau-kalau Mimi kembali berulah. Sehingga, Alea yang semula tinggal di sebuah kamar kos - yang juga termasuk fasilitas dari Deva - segera diminta pindah ke rumah utama. Sedangkan kamarnya, akan digunakan Mimi yang kini mengambil alih pekerjaannya.

Rumah utama Deva memang bukan sekedar tempat tinggal baginya, lebih mirip disebut kantor yang beroperasi hampir 24 jam. Selain menyediakan kamar untuk pekerjanya yang memang butuh tinggal di sana, di dalamnya ada studio mini yang dibuat untuk memfasilitasinya berkarya. Bukan hanya karya di industri musik yang nantinya akan masuk ke dapur rekaman profesional, tapi juga karya lain yang berkaitan dengan kegiatan sosial yang dia geluti. Sepuluh tahun berkecimpung di dunia musik, tentu saja Deva sudah sangat banyak menghasilkan karya. Ditambah lagi kepeduliannya di bidang lingkungan, membuatnya aktif berkolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat.

Alea belajar dengan cepat seluk beluk ruangan di rumah Deva yang nantinya akan menjadi area kerjanya dari Aldi, yang juga merupakan salah satu asisten Deva. Jika Aldi bertugas mengurus rumah beserta isinya, termasuk studio dan ruang kerja lain, maka Alea hanya akan mengurusi kebutuhan Deva selama bekerja di rumah ataupun di luar.

Sudah lewat tengah malam saat Alea selesai merapikan kamar barunya serta mempelajari tugasnya besok. Untungnya, kegiatan Deva di esok pagi hanya interview dengan salah satu radio mengenai gerakan sosial minim sampah yang didukungnya, sehingga tidak banyak yang perlu disiapkan. Sebelum malamnya Deva kembali bernyanyi di salah satu hotel di Jakarta.

"Oh, selamat pagi! Alea, kan? Sarapan dulu yuk!" sapa Deva pagi itu saat baru turun dari kamar untuk sarapan dan melihat Alea berada di dapurnya.

"Pagi, Mas Deva. Terima kasih, saya tadi sudah sarapan duluan." jawab Alea.

Selama bekerja dengan Deva, Alea cukup jarang berinteraksi langsung dengannya karena sebelumnya dia lebih sering mengurus keperluan panggung. Dan saat mengobrol secara langsung dengan perhatian penuh seperti ini, Alea jadi paham kenapa Deva memiliki banyak penggemar. Selain suara dan karya yang berkualitas, penampilan Deva tidak bisa dibilang biasa saja. Mata yang tajam dengan garis wajah yang tegas, menjadi daya tarik tersendiri baginya. Apalagi selama ini Deva memang dikenal ramah pada siapa saja, termasuk pekerjanya.

"Bawaan Mas Deva udah siap semua, Le?" kali ini Brina yang bertanya sembari menyantap sarapannya di meja makan.

"Sudah, Mbak."

"Jadi udah siap jalan ya?" tanyanya lagi yang dijawab anggukan Alea. "Ah, gue suka nih kalo begini. Pastiin nggak ada yang ketinggalan ya!" Brina menekankan, membuat Alea kembali mengiyakan.

"Lo jangan galak-galak dong, Bri. Santai aja kali, Le. Ngapain dulu lah, masih banyak waktu kok kita." Deva kembali menimpali.

"Baik, Mas. Saya tunggu di depan aja ya. Permisi."

Alea beranjak dari dapur yang terhubung dengan ruang makan dan menuju teras rumah Deva sembari mengecek kembali keperluan Deva di mobilnya. Sedang dari meja makan, Deva menatap punggung Alea yang semakin menjauh dengan pandangan tidak biasa.

"Perasaan gue doang apa emang Alea agak murung gitu ya? Lo nggak paksa dia ke sini kan, Bri?" Mata tajamnya kini menatap Brina.

"Enggak. Emang orangnya agak lempeng gitu. Biar aja lah, yang penting kerjaannya beres, gak bikin gue pusing!" balas Brina santai.

***

BAB 2

Alea sedang duduk bersila dan fokus pada jejeran kotak berisi asesoris di hadapannya saat sebuah umpatan membuatnya mendongak. Namun seketika dia menunduk kembali dan mengucapkan kata maaf karena menemukan Deva yang hanya mengenakan handuk di bagian bawah tubuhnya memasuki walk in closet tempatnya merapikan barang-barang Deva. Alea masih menunduk untuk beberapa saat meski Deva langsung berbalik dan kembali lagi ke dalam kamar tidurnya. Area kamar tidur Deva yang memang terpisah oleh sebuah pintu dengan walk in closet-nya ditambah masing-masing yang memiliki pintu masuk sendiri membuat Alea tidak khawatir mendapati hal pribadi selama keluar masuk walk in closet. Selain karena memang sudah tugasnya mengurus keperluan Deva, di dalam kamar tidur sendiri sudah ada lemari khusus untuk pakaian harian Deva sehingga harusnya kejadian seperti tadi tidak perlu terjadi. Dia menarik nafas beberapa saat untuk menenangkan diri dari rasa kagetnya.

"Alea, maaf ya, gue kira nggak ada orang. Biasanya kalo gue libur, Mimi ikut libur dan nggak ke sini." ungkap Deva yang kembali masuk dengan pakaian yang lengkap, meski hanya celana pendek juga kaos rumahan.

"Saya yang minta maaf kalo gitu. Saya cuma mau beresin ini." Alea menunjuk tumpukan barang di hadapannya, membuat Deva mengangkat alis heran.

"Lo boleh banget kok kalo mau ikutan libur kayak Mimi."

"Saya akan ambil libur setiap Mas Deva ke Surabaya. Jadi nggak masalah hari ini tetep kerja."

Deva mengernyit, merasa aneh dengan asisten barunya. Semula dia berpikir kalau Alea tetap bekerja karena tidak tahu, tapi setelah Alea memilih tetap bekerja meski bisa libur, dia semakin heran. Ya, meskipun hanya membereskan barangnya itu termasuk bekerja, bukan?  Mungkin Deva baru menemukan orang yang begitu bersemangat bekerja seperti Alea atau memang semangat kerja Alea memang cukup tidak biasa? Namun, dia mencoba mengabaikan agar Alea tetap merasa nyaman bekerja dengannya. Bukannya malah bagus? Apalagi setelah diperhatikan, walk in closet-nya menjadi jauh lebih rapi dari biasanya.

"Ini lo yang susun sesuai warnanya?" tanya Deva sembari menunjuk gantungan kemeja yang tersusun dari warna terang ke gelap. "Ini juga?" lanjutnya menunjuk tumpukkan celana yang sudah tersusun berdasarkan bahan dan warnanya. "Lo OCD apa emang estetis, Le?" Deva memandang deretan pakaiannya takjub. Apalagi setelah memindai sekelilingnya, jam tangan dan sepatunya pun sudah tersusun lebih rapi. Sadar dengan tidak adanya tanggapan dari Alea karena Alea kembali berkutat dengan kesibukannya, Deva pun merasa pertanyaannya mungkin menyinggung Alea. "Eh, sorry, gue nggak maksud ngatain. I just feel amazed." lanjutnya dengan mata yang kembali mengitari semua sudut walk in closet.

"Biar lebih efektif aja, Mas, pekerjaan saya juga jadi lebih mudah." jawab Alea sembari tetap menunduk.

Deva mengangguk, sepakat dengan pemikiran Alea. Karena lebih rapi, barang yang tadi dia cari pun lebih mudah ditemukan. Dia juga menjadi nyaman berada di ruangan itu, bahkan bisa menemukan barang-barang yang sudah sangat jarang digunakan. Pemandangan ini membuatnya sadar propertinya mulai berlebihan. Meskipun untuk mendukung profesinya, memang sangat wajar dia mempunyai begitu banyak pakaian. Tapi setelah melihat dengan susunan yang lebih rapi, dia bisa melihat beberapa pasang pakaian yang model bahkan warnanya sama. Dia pun memikirkan ide untuk donasi atau mungkin giveaway.

"Its feels calming." lirih Deva menyuarakan yang ada di kepalanya.

"Organizing will simplify your life." celetuk Alea tidak lama kemudian.

Deva menoleh ke Alea yang ternyata masih fokus dengan barang-barang di hadapannya. Deva menyadari kalau asisten barunya ini memang berbeda dengan yang sebelumnya, baik sikap maupun kata-katanya. Mata tajamnya kemudian memindai Alea, dan tidak mendapati hal yang berlebihan darinya secara penampilan. Tidak kurus, tidak juga gemuk, warna kulit tidak mencolok terang maupun gelap, dengan rambut lurus yang lebih sering diikat, pakaiannya pun hanya kaos biasa dengan jeans saat bekerja dan celana kain jika di rumah. Jika kemarin dia menduga asistennya ini kaku karena mungkin masih gugup bekerja dengannya, hari ini dugaannya terpatahkan. Alea sama sekali tidak memperlihatkan kegugupan, tapi lebih tampak membatasi diri.

"Agree. Thanks, by the way. Lo bisa minta tolong Aldi atau asisten yang lain kalo kerepotan beresin ini semua. Mereka nggak libur kok harusnya."

"Terima kasih, saya nggak repot kok."

Dari jawaban-jawaban Alea barusan Deva menarik kesimpulan kalau asisten barunya ini juga tidak terlalu senang diajak bicara. Sehingga setelah selesai dengan urusannya mencari baju, dia segera berpamitan dan keluar dari ruangan itu karena dia memang sudah berencana pergi ke suatu tempat karena ada janji. Namun, belum sempat Deva keluar dari rumah, dia kedatangan rombongan Kakak perempuan beserta suami dan kedua anak kembarnya.

"Lah, Ompa mau pergi?" sapa Kakak perempuannya, Dara. Ompa adalah panggilan Deva dari dua keponakannya yang merupakan kependekan dari Om Deva dengan penyebutan yang lebih mudah bagi orang Bandung, tempat Deva berasal.

"Iya, aku ada janji jemput temen di Gambir. Tumben nggak ngabarin dulu mau ke sini?" Deva akhirnya memutuskan masuk kembali dan berjalan hingga ke ruang tengahnya setelah menggandeng tangan kedua keponakannya yang memang lengket dengannya.

"Ini juga ngedadak. Mas Haikal tiba-tiba ada undangan opening perusahaan temennya. Rencananya mau titip anak-anak, nggak enak soalnya acara resmi. Mimi juga libur ya?" Dara memang sudah biasa menitipkan anak-anak di rumah Deva karena lebih banyak orang dibanding rumahnya yang hanya diisi satu asisten rumah tangga.

"Mimi dipindah ke panggung sama Brina, jadi asistenku baru." Deva seketika menggaruk pelipis saat membayangkan jika menitipkan keponakannya pada Alea.

"Tapi ada?" Dara yang memang buru-buru, tidak menyadari kegelisahan adiknya.

"Ada, sih. Tapi.. coba aku tanya dulu ya. Tadi dia lagi beresin walk in closet di atas."

"Buruan atuh, takut Mas Haikal telat ini."

Deva segera naik kembali ke ruangan sebelah kamarnya, kali ini menyempatkan diri mengetuk agar Alea tidak kaget. Deva sempat melihat kernyitan di alis Alea, mungkin Alea bingung karena Deva kembali lagi, meski dia tidak bersuara dan hanya menunggu Deva bicara. Deva yang juga tidak ingin membuang waktu, segera menjelaskan secara singkat apa yang terjadi.

"Biasanya Mimi yang jaga, tapi kalo kamu nggak bersedia, aku coba minta yang lain." Meski membutuhkan bantuan, Deva juga tidak ingin dua keponakannya dijaga oleh sembarang orang. Apalagi jika Alea memang keberatan.

"Umur berapa?" tanyanya tanpa ekspresi, membuat Deva sedikit bingung dengan maksud Alea bertanya umur.

"Tujuh tahun."

"Oke."

Alea yang langsung beranjak dari duduknya di lantai membuat Deva mengangkat alis. Asistennya ini memang sedikit tidak terduga. Tapi mengingat Kakaknya sudah menunggu di bawah, Deva pun segera keluar ruangan itu dengan Alea mengikuti di belakangnya. Dara yang sudah pindah ke ruang tengah dan sedang mencari acara TV untuk anak-anaknya, seketika menoleh saat mendengar langkah kaki menuruni tangga.

"Gimana, bisa?" Dara langsung bangkit dari duduknya dan bertanya bahkan sebelum Deva sampai di lantai bawah, karena memang sudah diburu waktu. Senyumnya mengembang saat melihat anggukan Deva. "Halo, siapa ini? Dara, Kakaknya Deva." sapanya ceria sambil mengulurkan tangan pada Alea yang hanya dibalas senyum tipis Alea dan uluran tangannya.

"Alea, asisten barunya Mas Deva. Ada yang bisa dibantu, Bu?"

"Jangan Ibu, dong." Dara mengibaskan tangannya. "Ini, aku mau titip anak-anak sebentar, bisa Alea? Mungkin sekitar dua atau tiga jam?"

"Baik, Mbak. Ada alergi atau hal-hal yang harus dihindari?" pertanyaan Alea yang sedikit tidak biasa membuat Dara dan Deva saling melirik sesaat.

"Nggak ada sih kayaknya. Mereka habis makan siang, kayaknya sebentar lagi mereka tidur, diajak ke kamar kamu aja nggak apa kan, Dev?" Dara menoleh pada Deva yang langsung dianggukinya.

"Nyalain TV di kamarku aja, Le. Mereka kalo udah nonton, biasanya langsung ngantuk." tambah Deva.

"Harus tidur siang atau enggak?" tanya Alea lagi.

"Enggak juga sih, kalo lagi seru mereka suka nggak mau tidur." jawaban Dara membuat Alea mengangguk paham dan tidak bertanya lagi.

Dan karena sudah diburu waktu, Dara dan Haikal juga Deva segera berpamitan setelah mereka mengenalkan si kembar, Sophia dan Saphira, pada Alea. Dara dan Haikal lebih dulu keluar rumah, sedang Deva masih sempat memperhatikan Alea dan anak-anak menaiki tangga. Alea yang menggandeng tangan kedua keponakannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun hingga sampai di atas. Deva menjadi sedikit khawatir dengan pemandangan itu, dia meragukan kemampuan Alea menjaga keponakannya. Sayangnya, dia sudah kadung janji menjemput sahabatnya di stasiun kereta api dan dia sudah harus berangkat sekarang kalau tidak ingin sahabatnya menunggu. Akhirnya, setelah menghela nafas dan berusaha tenang, Deva meninggalkan rumahnya dengan mengendarai mobilnya sendiri.

***
 

BAB 3

"Bro!"

Sapaan juga pelukan singkat dari dua pria jangkung di stasiun kereta siang itu sedikit menarik perhatian orang-orang sekitarnya. Selain karena suara mereka yang cukup kencang, penampilan keduanya juga mampu membuat orang lain menoleh. Meski salah satunya menggunakan masker dan topi, tapi dada bidang dan tubuh proporsional yang nampak dibalik kaos hitamnya ditambah kulit kecoklatan membuatnya terlihat macho. Sedangkan pria satunya tidak kalah menarik perhatian karena kulitnya yang putih bersih untuk ukuran lelaki ditambah wajahnya yang memiliki tipe baby face. Meskipun cenderung kurus dengan tinggi badan lumayan, tubuh tegapnya membuat aura maskulinnya tetap nampak. Tidak ingin semakin menarik perhatian, mereka berdua segera menuju parkiran mobil dan masuk ke salah satunya.

"Edan, lah! Kalo ada yang tau penyanyi ngetop Indonesia gue suruh jemput di stasiun, bisa-bisa gue diserbu ribuan orang ini." kelakar si pria kulit putih yang membuat tawa mereka menggema dalam mobil.

"How's life, Pak Direktur?" balas pria satunya, yang adalah Deva, sembari mulai menjalankan mobil.

"Kagak ada Direktur di sini. Yang jadi direktur Kakak gue."

"Kak Adri, kan? Lha gue kira lo mau sekolah lagi karna mau jadi Direktur kayak dia." lelaki di sebelah Deva mengangguk.

"Nggak juga sih, tapi gue ngerasa butuh belajar buat ngurus klinik gue."

"Lo bikin klinik di luar Prama Corp?"

"Ya enggak, masih Prama. Tapi gue yang ngurusin dari awal."

"Mantap emang Dokter Arkandra ini."

"Masih merangkak lah gue mah, nggak kayak lo yang udah settled gini." Deva berdecak pelan karena kalimat Andra. "Boleh kali klinik gue lo promoin. Apa tuh bahasanya, endorse ya?"

"Bisa diatur. By the way kalo sekolah di sini lo mesti ninggalin klinik dong?"

"Iya, sementara diurus istrinya Kak Adri yang emang udah lama juga praktek di klinik gue. Malah Kak Adri yang nyaranin gue sekolah di luar kota, katanya biar lebih banyak pengalaman. Emang dasar pengen gue keluar dari rumah aja kayaknya." Tawa mereka kembali menggema.

"Emang cuma Andra si bungsu kan yang belom pernah keluar dari rumah Om Angga?"

Pertanyaan retoris sekaligus ledekan Deva hanya mampu dibalas umpatan oleh pria di sebelahnya yang disapa Andra tadi. Mereka memang berteman sejak kecil karena rumah orang tua Deva di Bandung berada satu jalan dengan orang tua Andra. Mereka melewati masa SD sampai SMA di tempat yang sama sehingga kedekatan keduanya bertahan hingga sekarang, meskipun jarang bertemu sejak belasan tahun lalu karena Deva yang memilih berkuliah salah satu Universitas di Jakarta dan menetap di sini hingga sekarang.

Berbeda dengan Deva yang mengambil jurusan desain grafis dan berakhir menjadi penyanyi, sejak awal Andra fokus di jurusan kedokteran umum hingga berlanjut mengambil spesialis anak. Karena latar belakang keluarganya yang memiliki perusahaan di bidang kesehatan, Andra yang semula tidak tertarik di dunia bisnis akhirnya ikut berkecimpung dalam perusahaan keluarganya lewat sebuah klinik anak yang dia dirikan. Karena klinik tersebut juga, Andra akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di bidang manajemen.

Dan keputusan Andra untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta membuatnya kembali terhubung intens dengan sahabatnya ini. Jika selama mengurus pendaftarannya Andra menginap di hotel, maka setelah tahu sahabatnya diterima di salah satu kampus yang tidak jauh dari rumahnya, Deva meminta Andra untuk menginap di rumahnya saja. Deva juga berjanji mengantar Andra mengurus keperluannya selama mempersiapkan perkuliahannya, termasuk menyediakan supir jika Deva harus bekerja.

Obrolan mereka terus tersambung selama perjalanan dari stasiun kereta ke rumah yang memakan waktu sekitar satu jam. Kekhawatiran Deva soal keponakannya sempat mereda saat mengobrol dengan Andra yang senang berkelakar, muncul kembali ketika mobilnya memasuki gerbang perumahannya. Sehingga saat tiba di rumah, Deva segera mengajak Andra masuk.

"Ndra, sorry, gue harus cek keponakan gue sebentar. Lo langsung istirahat dulu ke kamar di ujung sana, bebas mau yang mana aja. Nanti gue nyusul." ujarnya sedikit tergesa sambil menunjuk lorong di salah satu sisi ruang tengah yang terdapat dua pintu kamar tamu.

Andra yang menyadari raut tegang Deva segera saja menganggukkan kepala. Sehingga setelahnya, Deva langsung menaiki tangga menuju kamarnya sedangkan Andra mengikuti pesan Deva dan menuju kamar yang dimaksud dengan menarik koper kecil bawaannya. Karena tadi Deva membebaskannya untuk memilih, maka tanpa ragu Andra membuka pintu di sebelah kanan.

Namun dia menjadi tertegun saat melihat pemandangan di hadapannya. Bukan hanya karena tidak menduga kalau kamar yang dia pilih secara acak ternyata ada penghuninya, tapi entah kenapa senyum lebar perempuan yang sedang dicium terus-terusan pipinya oleh dua gadis kecil di dalam sana mampu membuatnya membeku. Senyum yang nampak lepas hingga membuat matanya menyipit atau mungkin malah terpejam. Bisa jadi efek cahaya matahari yang berada tepat di belakangnya sehingga membuatnya nampak magis atau memang hanya karena senyuman itu.

Sayangnya senyuman itu seketika lenyap saat mata perempuan itu menangkap kehadirannya. Bahkan dia yang semula duduk bersila di lantai, langsung bangkit berdiri sampai membuat kedua gadis kecil tadi kaget dan langsung menggandeng tangannya. Andra yang kembali tersadar, otomatis meringis canggung karena merasa tidak sopan.

"Maaf, maaf. Saya tamunya Deva, tadi disuruh ke kamar tamu ini. Saya nggak tahu kalo ternyata ada orang. Maaf banget ya.."

"Ndra?"

Belum sempat Andra memberi panjelasan lagi, dari arah tangga muncul Deva yang nampak sedikit panik bercampur bingung karena melihat Andra seperti berbicara dengan seseorang. Padahal seingatnya, kamar tamunya seharusnya kosong.

"Eh, Dev. Sini!" panggilan Andra membuat Deva bergegas mendekatinya dan menghela nafas lega setelah melihat orang yang dicarinya ada di dalam.

"Ompa!" seruan kompak dari kedua keponakannya membuat Deva melangkah masuk ke dalam kamar.

"Ompa tadi cari ke kamar Ompa di atas. Ternyata pada di sini." Deva mengusap kepala Sophia dan Saphira.

"Sasa sama Yaya mau lihat Memo." ujar Saphira sembari menunjuk ikan dalam aquarium kecil yang ada di kamar itu.

Deva baru ingat kalau mereka berdua memang menyimpan ikan kecil di kamar ini sewaktu mereka menginap. Matanya kemudian mengedar ke sekitar dan menemukan tiga kertas yang sudah berisi gambar mirip dengan ikan tadi beserta pensil warna di sana. Pandangannya terangkat dan bertemu dengan mata Alea, perempuan yang memang ditugasi menjaga kedua keponakannya.

"Maaf, Mas, tadi saya ambil beberapa kertas dan alat warna biar anak-anak nggak bosan." ujar Alea setelah menyadari tatapan Deva pada benda-benda di lantai.

"It's okay. Thank you udah jagain keponakan gue." kata Deva pada Alea sebelum beralih pada keponakannya. "Sasa sama Yaya sekarang main sama Ompa, yuk!"

"No!" Seru Sophia dan Saphira bersamaan, membuat Deva tercengang. Sedikit tidak menyangka dua keponakannya betah bermain dengan Alea. "Sasa mau colouring dulu sama Tante Lea." "Yaya juga."

Setelahnya Sophia dan Saphira menarik tangan Alea untuk kembali duduk di lantai dan melanjutkan aktivitas mereka. Sedangkan Deva yang sempat terdiam, menoleh ke arah pintu dan tersadar akan kehadirannya saat Andra yang masih berdiri di depan pintu memanggilnya. Deva akhirnya melangkah keluar kamar dan menutup pintunya setelah kembali menatap keponakannya yang tertawa-tawa meskipun Alea tetap dengan wajah datarnya. Mereka pun melangkah ke kamar di seberangnya.

"Make yourself at home, Ndra."

Deva menduduki salah satu sofa single di kamar itu. Sedangkan Andra langsung merebahkan diri di tempat tidur. Duduk selama beberapa jam cukup membuatnya pegal.

"Cewek tadi siapa, Dev?" Andra tidak mampu menahan rasa penasaran.

"Alea?"

"Alea?" Andra malah balas bertanya karena tidak paham.

"Lah, cewek yang tadi sama ponakan gue kan? Namanya Alea, asisten gue."

"Asisten rumah tangga?"

"Bukan, dia khusus buat bantuin gue kalo kerja aja."

"Whoo, asisten artis emang harus good looking gitu ya?" Bayangan penampilan Alea tadi tiba-tiba melintas di benak Andra. Meski hanya mengenakan pakaian rumahan, tetapi tidak bisa menyembunyikan daya tariknya. Apalagi senyumnya yang sempat membuat Andra seperti starstruck tadi.

"Naksir lo? Cewek-cewek Bandung nggak ada yang oke emang?" Kekehan Deva menular pada Andra.

"Emang sering jagain ponakan lo?" Andra mengalihkan pembicaraan agar ketertarikannya tidak terlalu kentara.

"Enggak, dia asisten baru. Makanya gue agak khawatir tadi ninggalin mereka sama Alea, lo liat kan dia rada kaku gitu?" Andra mengerutkan alis, mengingat lagi ekspresi Alea yang memang datar setelah menyadari kehadirannya juga Deva. Dan jadi paham ekpresi Deva saat baru tiba tadi. "Sempet takut mereka dijutekin, tapi kayaknya aman sih liat mereka milih dia daripada gue tadi." Andra mengangguk sepakat.

"Anak-anak pasti tau mana yang tulus." Deva gantian mengangguk, meski tidak bisa membayangkan apa yang mereka berdua lakukan dengan Alea yang berwajah sedatar tadi.

***

BAB 4

"Kenapa gambar Tante Lea sama Ompa lebih bagus dari punya Sasa?" tanya Saphira saat mereka sedang tiduran di ranjang setelah selesai mewarnai.

"Nanti kalo udah besar gambar kita juga akan sebagus itu. Iya kan, Tan?" timpal Sophia yang membuat Alea tersenyum tipis.

"Gambar Sasa sama Yaya pasti bisa lebih bagus dari Tante atau Ompa, asal kalian rajin latihan." jawab Alea yang duduk bersandar di kepala ranjang.

"Latihan sampai besar, Tan?" tanya Sophia penasaran, yang dijawab anggukan Alea.

"Sampai besar itu berapa lama?" pertanyaan Saphira membuat Alea tertegun karena mengingatkannya pada lintasan waktu yang pernah dilewatinya. Alea memejamkan matanya erat sampai kedua alisnya bertaut, berusaha menghilangkan bayangan itu. Dia kemudian menyesali keputusannya untuk menjaga kedua anak ini. Sejak awal, harusnya dia tahu ini jelas terlalu beresiko untuknya. Entah kenapa hanya karena usia anak-anak ini, dia jadi tergerak untuk menyetujui permintaan bosnya.

Keributan di benaknya yang sudah lama tidak terjadi, terhenti oleh ketukan di pintu. Kedatangan Deva yang mengajak anak-anak untuk mandi, karena ternyata orang tua mereka akan datang terlambat dari perkiraan, membuatnya lega. Meski begitu, ternyata membujuk si kembar tidak mudah.

"Aku mandi sama Tante Lea aja, Ompa." rengek Sophia.

"Aku juga!" timpal Saphira.

Rengekan dari Saphira dan Sophia berusaha Alea abaikan dengan alasan dirinya yang juga perlu mandi. Untungnya Deva tidak mempersulit dan justru membantunya membujuk si kembar untuk mandi dengannya. Karena Alea tidak tahu lagi apa yang akan terjadi jika terlalu lama bersama si kembar. Alea hanya perlu membuat jarak seperti biasa dan dia akan baik-baik saja.

"Nanti kita bisa main lagi kan, Tante Lea?"

Pertanyaan Sophia hanya dia jawab dengan senyuman tipisnya. Hal itu membuat Deva berasumsi kalau Alea tidak bersedia lagi menjaga anak-anak dan dia tidak ingin memaksa. Biasanya pun dia tidak keberatan sama sekali menghabiskan waktu bersama si kembar jika tidak ada pekerjaan. Karenanya Deva segera mengajak dua keponakannya naik ke kamarnya untuk membersihkan diri dan bersiap makan malam. Meninggalkan Alea yang termenung selama beberapa saat sebelum bergegas mencari kesibukan seperti biasanya.

Jika biasanya ruang makan rumah Deva diisi dirinya dan para pegawainya, malam ini sedikit berbeda. Selain ada dua keponakannya juga Kakak dan Iparnya yang baru saja datang, jangan lupakan Andra yang sore tadi baru saja tiba. Sahabatnya yang juga mengenal sang Kakak, membuat meja makan itu riuh dengan suara obrolan mereka. Apalagi Kakaknya dan Andra memang tipe orang yang tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.

"Kenapa sih cowok-cowok ganteng Bandung ini pada nggak laku-laku? Kirain Deva doang yang jomblo mulu. Ternyata kamu juga, Ndra. Itu yang bolak-balik Prama Medika nggak ada yang cakep apa?" cerocos Dara setelah si kembar beranjak menuju ruang tengah bersama Papanya.

Jika Deva hanya diam saja karena sudah terlalu malas membahas perihal pasangan yang bolak-balik dibahas di setiap kesempatan, maka berbeda dengan Andra yang meskipun bernasib sama, tapi masih mempunyai banyak tenaga menanggapinya.

"Santai aja lah, Kak, siapa tau nasibku sama Deva nggak jauh sama Kak Adri yang jodohnya masih dalam masa pertumbuhan." jawabnya santai.

"Emang Adri beda berapa tahun sih sama istrinya?"

"Tujuh. Coba kalo Kak Adri umur 25 udah kebelet nikah kayak Kak Dara, kan Ayu masih ABG."

"Heh! Gue nggak kebelet ya, enak aja!"

Tawa Deva tersembur puas karena Andra bisa membungkam pertanyaan keramat yang membuatnya malas. Mungkin dia harus banyak belajar dari Andra dalam hal seperti ini. Apalagi jika pertanyaan ini berasal dari Ibunya, yang tidak mungkin dia abaikan. Obrolan di meja makan semakin ramai dengan kedatangan Brina yang memang akan memastikan jadwal Deva besok.

"Eh, Dev, Alea kok nggak kelihatan? Gue mau bilang terima kasih nih, abis ini balik." ujar Dara.

"Ah, gue panggilin, Kak. Sekalian mau gue briefing buat besok." Brina menimpali sembari mengirim pesan pada Alea melalui ponselnya.

Tidak lama, Alea sudah berada di antara mereka karena kamarnya memang hanya berada di area belakang rumah Deva, bersama dengan asisten yang lain. Seperti tadi pagi, Alea masih dengan pakaian rumahannya. Bedanya kali ini ada kacamata yang bertengger di hidungnya, membuatnya nampak makin serius. Yang tidak mereka duga adalah reaksi si kembar saat melihat Alea tiba di sana. Mereka berteriak memanggil namanya sembari berlarian menghampirinya. Membuat semua orang cukup kaget, termasuk Alea sendiri.

"Tante Lea, main lagi yuk! Kita keep swimming keep swimming lagi!" ujar Sophia yang diangguki semangat oleh Saphira.

Alea yang diberondong ajakan dari si kembar dengan kedua tangan diguncang semangat, hanya mampu menipiskan bibir. Apalagi dengan tatapan semua orang di meja makan. Dara yang melihat gelagat tidak nyaman Alea, segera membujuk anak-anaknya untuk pulang dengan iming-iming membeli makanan kesukaan mereka di perjalanan nanti. Untungnya, makanan masih ampuh membuat mereka melepaskan tangan Alea.

"Alea, makasih ya udah mau jagain anak-anak tadi. Kayaknya mereka seneng banget tadi main sama kamu." ucap Dara saat akhirnya si kembar mau beranjak menuju mobil.

"Sama-sama, Mbak. Saya cuma nemenin aja tadi." balas Alea sopan.

Karena sudah ditunggu, Dara pun segera pamitan pada semua orang di sana. Menyisakan empat orang dewasa yang saling melirik setelah kehebohan mereda. Deva dan Brina masih heran akan Alea yang sebegitu datarnya ternyata bisa membuat si kembar menempel padanya. Sedangkan Andra yang merasa kehilangan ekspesi Alea siang tadi, masih mencoba merangkai situasi di hadapannya. Sampai deheman Brina memecah kecanggungan di antara mereka.

"Eh, gue cabut deh kalo pada mau kerja." Andra yang merasa tidak berkepentingan, bermaksud meninggalkan meja makan.

"Santai aja kali, Ndra, cuma ngobrol doang kok sebentar." tahan Deva.

"Iya, Mas Andra, gabung aja nggak apa." timpal Brina.

"Duduk, Le." Alea yang masih berdiri sejak tadi, mendekati salah satu kursi di sebelah Brina kemudian duduk di sana, yang otomatis membuatnya berhadapan dengan Andra. "By the way, kalian belum kenalan ya? Alea, ini Andra, sahabat saya dari Bandung. Dia akan di sini beberapa hari buat ngurus sekolahnya. "

Alea dan Andra saling mengulurkan tangan dan menyebutkan nama dengan ekspresi berbeda, Andra yang tersenyum lebar dan bersuara riang sedang Alea sedatar biasanya. Mengingatkan Andra pada pasien-pasiennya di pertemuan pertama yang begitu menjaga jarak. Sehingga membuatnya tertantang untuk meleburkan jarak tadi.

"Gue penasaran, tadi lo main apa sama twins sampe mereka ketagihan gitu?"

Pertanyaan Andra membuat Alea sedikit mengerutkan alis karena merasa kenalan barunya ini terlalu random. Ditambah lagi kekehan Deva membuatnya menoleh heran.

"Jangan bingung, Le, Andra ini Dokter Anak. Butuh amunisi baru kali buat naklukin anak-anak."

Mata Alea yang sempat membulat sekilas tidak luput dari mata Andra. Namun seperti sebelumnya, kilatan ekspresi itu menghilang secepat kilat. Dan entah kenapa membuat Andra semakin penasaran dengan asisten Deva yang satu ini. Meski tidak mencolok, secara fisik, Alea jelas sangat menarik. Apalagi saat memakai kacamata seperti ini. Ditambah sikapnya yang sangat minim ekspresi namun tetap sopan juga percaya diri, membuatnya memiliki daya tarik sendiri di mata Andra.

"Saya cuma ikut dalam imajinasi mereka aja, Dok. Anak-anak katanya nyaman kalau merasa dipahami. Sasa dan Yaya suka film Nemo, jadi tadi kami melakukan pretend play seperti di film Nemo." jawaban panjang Alea membuat semua orang di meja makan tercengang, karena tidak menyangka pertanyaan Andra benar-benar dijawab.

"Betul banget, kayaknya gue harus banyak belajar nih sama Alea. Jangan panggil 'Dok', please, lo kan bukan pasien gue."

"Lebih baik belajar langsung dengan ahlinya, Mas Andra. Psikolog Anak misalnya. "

Jawaban lugas Alea membuat Andra meringis diikuti Deva dan Brina yang mengulum bibir menahan tawa. Alea memang berbeda, membuat Deva dan Andra sama-sama melihatnya dengan tidak biasa.

***

BAB 5

Alea sedang membereskan kamarnya sebelum menyiapkan keperluan Deva saat ponselnya berbunyi. Dia melirik jam di sudut layar ponselnya saat nama 'Mas Chris' tertera sebagai si penelepon. Beberapa hari tinggal di rumah Deva, baru kali ini Chris menghubunginya karena secara pekerjaan mereka memang sudah tidak terhubung lagi. Tentunya membuat Alea langsung banyak menduga. Apalagi di waktu sepagi ini dimana hari ini tidak ada jadwal manggung untuk Deva. Karena itu juga, Alea ragu untuk langsung menjawabnya. Namun mengingat jasa Chris padanya selama ini, akhirnya Alea menggeser tombol hijau di ponselnya.

"Pagi, Mas. Ada yang bisa dibantu?"

"La, sorry banget. Ibuku nggak sengaja bilang ke Tante Dian kalo ketemu kamu di konser Deva kemarin. Kayaknya aku harus kasih tau kamu, kan?" Alea terdiam sesaat untuk menerima penjelasan Chris soal Ibunya dan Ibu Alea.

"It's okay, Mas. Makasih udah ngabarin."

Tidak banyak perbincangan lagi karena mereka sudah sama-sama mengerti. Mau tidak mau, Alea mulai membuka pesan yang masuk ke nomor lamanya yang sangat jarang dibuka. Dan benar saja, ada pesan yang berasal dari ibunya. Dia menjawab singkat seperti biasa dan seharusnya seperti biasa juga Ibunya sudah cukup dengan itu. Alea kembali menutup nomornya dan melanjutkan aktivitasnya.

Masih ada tiga jam lagi sebelum Deva harus berangkat ke beberapa tempat hari ini. Dia akan melakukan pemotretan untuk salah satu iklan dilanjutkan menjadi juri dalam salah satu event perlombaan menyanyi dalam rangka anniversary salah satu stasiun TV malam harinya. Kemungkinan besar Alea akan berada di luar rumah seharian ini. Jadi sejak semalam, dia sudah menyiapkan barang-barang yang harus dibawa Deva. Untuk persiapan terakhir, dia menuju walk in closet untuk mengeceknya kembali dan membawanya menuju mobil yang akan dipakai Deva hari ini.

"Pagi Mas Fikri, Mas Deva hari ini pake yang mana?" tanya Alea pada supir Deva.

"Camry ya, Le. Mau bawa sendiri dia. Gue disuruh nemenin Mas Andra ke UI. Luar biasa emang.. "

"Oke, nggak dikunci kan, Mas?" sela Alea sebelum Fikri lebih banyak bicara seperti biasanya. Hari ini mood-nya tidak terlalu bagus untuk mendengar celotehan orang.

"Enggak, kok."

"Makasih ya."

Tanpa bicara lagi, Alea memasukkan beberapa tas perlengkapan Deva hari ini ke bagasi mobil yang sedang dibersihkan Fikri. Setelahnya dia kembali ke kamar dan memastikan keperluannya siap dalam satu tas kecil sebelum ke dapur untuk mengambil sarapan. Alea membawa piringnya ke gazebo belakang rumah Deva, tempat dia biasa sarapan bersama pekerja rumah Deva lainnya. Di sana sudah ada Fikri lagi juga Pak Deni, tukang kebun Deva yang hanya datang seminggu sekali. Alea bergabung di sana tanpa canggung, meskipun dua orang itu nampak sedikit berdebat karena nada bicara Fikri yang meninggi.

"Kagak percaya aja! Nih, Le, coba liat Pak Deni, pucet banget kan dia?!" ujar Fikri saat Alea baru saja bersila di salah satu sudut gazebo, membuat Alea memusatkan perhatian pada wajah Pak Deni yang justru seperti menghindar.

"Pak Deni sakit?" tanya Alea.

"Katanya lemes dia dari semalem. Gue bilangin, izin aja. Mas Deva nggak akan tega juga kali sama orang sakit." Fikri yang menjawab.

"Iya, Pak. Izin aja kalau sakit."

Tanpa sempat menjawab, Pak Deni yang saat itu sedang duduk bersila malah kehilangan kesadaran dan terhuyung ke lantai gazebo. Fikri dan Alea tentu saja langsung kaget dan mendekatinya, mengabaikan makanan mereka masing-masing. Fikri memanggil-manggil Pak Deni untuk menyadarkan, suaranya yang kencang membuat Aldi dan Bu Mira yang kebetulan berada tidak jauh dari mereka bergegas mendekat. Alea meminta para lelaki merebahkan tubuh Pak Deni menjadi terlentang. Karena tidak ada respon, Alea menempatkan jemarinya di leher Pak Deni, menempelkan telinga di dadanya, kemudian membuka mulutnya dan mengecek di sana.

"Mas, rumah sakit terdekat berapa menit dari sini?" tanya Alea sembari memperbaiki posisi Pak Deni dan mengecek gazebo yang dia pijak.

"Lima menitan, Le."

"Mas Fikri tolong siapin mobil buat bawa ke rumah sakit, jangan yang dipake Mas Deva! Mas Aldi tolong ambil oksigen, cepet! Bu Mira tolong panggil Mas Andra, bilang code blue!"

Semua orang bergerak sesuai perintah, sedang Alea mulai menempatkan dirinya disamping Pak Deni dengan tangan berada lurus di atas dada dan telapak tangan bertumpu di sana. Alea melakukan pijat jantung dengan gerakan cepat dan tekanan yang adekuat karena tidak mendapati detak jantung juga nafas Pak Deni yang tidak jelas terdengar.

Tiga puluh kali menekan di sana, Alea memberi dua kali bantuan nafas pada Pak Deni. Dia mengulangnya terus sampai Andra datang disusul Fikri yang mengabarkan mobilnya sudah siap, juga Aldi yang membawa tabung oksigen bersama Deva dengan muka bantalnya menyodorkan oksimeter. Inisiatif yang patut diacungi jempol.

"Udah berapa kali?" tanya Andra sembari memasang oksimeter di jari Pak Deni dan menyiapkan selang oksigen, mengabaikan rasa terkejutnya melihat Alea sedang melakukan RJP.

"Empat." jawab Alea dengan terengah. "Lima." lanjutnya, yang berarti dia sudah menyelesaikan lima siklus pijat jantung, tandanya mereka harus mengecek respon tubuh Pak Deni.

"Udah panggil ambulance?" tanya Andra lagi setelah saling tatap dengan Alea saat melihat gambaran di oksimeter yang menunjukkan nadi dan nafas Pak Deni sudah kembali meskipun belum normal. Alea menggeleng.

"RS terdekat lima menit, bisa kita bawa aja pake oksigen?"

"Beresiko. Tapi lebih baik daripada lebih lama nunggu ambulance. Ayo!"

Para lelaki membopong tubuh Pak Deni ke mobil, sedang Alea dan Bu Mira mengurus tabung oksigen dengan selangnya yang segera di pasangkan begitu tubuh Pak Deni sudah direbahkan dalam mobil. Fikri langsung memegang kemudi, Andra dan Alea menyusul setelahnya kemudian kembali mengecek kondisi Pak Deni juga memastikan oksigen sudah masuk melalui hidungnya.

"Nanti gue kabarin bisa nyusul apa enggak." titah Deva sembari memberikan satu kartu pada Alea untuk mengurus administrasi rumah sakit nanti.

Perkataan Deva membuat Alea tersadar, seharusnya dia bersiap untuk mendampingi Deva bekerja hari ini. Bukan malah ikut ke rumah sakit. Kesadaran yang terlambat karena mobil yag mereka tumpangi sudah melaju, membuatnya gelisah sepanjang perjalanan dengan isi kepala yang penuh.

Tanpa terasa, mereka sudah memasuki UGD rumah sakit terdekat dan Pak Deni langsung diambil alih oleh petugas kesehatan di sana. Alea dan Andra mengurus administrasi rumah sakit, sedang Fikri menjemput keluarga Pak Deni. Hingga dua jam kemudian, Brina menghubungi Alea saat mereka selesai memindahkan Pak Deni ke ICU.

"Udah bisa ditinggal belum, Le?"

"Udah, Mbak. Sebentar lagi kami pulang."

"Oke, cepetan deh, takut telat gue."

Mereka mengakhiri telepon setelah Alea mengiyakan. Karena Fikri menunggu di mobil, hanya Alea dan Andra yang berpamitan pada keluarga Pak Deni dan berpesan untuk menghubunginya jika ada kesulitan. Setelahnya, mereka bergegas menuju parkiran karena mereka sudah ditunggu oleh agenda masing-masing.

"Ikut pelatihan BLS dimana, Le?" Andra melontarkan pertanyaan yang sejak awal ada di benaknya saat melihat Alea memberikan bantuan pada Pak Deni. Dari gerakannya, Andra yakin Alea bukan baru pertama kali melakukan atau hanya mengetahui dari google perihal resusitasi jantung paru yang dia lakukan tadi. Karena untuk seorang asisten artis, Alea terlalu tenang juga yakin saat melakukannya tadi jika belum pernah ikut pelatihan Basic Life Support.

"Di Surabaya, Mas." jawabnya singkat, sangat khas Alea. Meski begitu, Alea dan Andra sempat saling beradu tatap beberapa saat sebelum Alea akhirnya menjawab.

Andra mengangguk saja dan tidak melanjutkan bertanya meskipun rasa penasarannya belum tuntas. Sementara ini dia masih bisa menahan diri membuat Alea tidak nyaman. Meskipun tidak tahu sampai dimana batas ketahanan seorang Andra yang terbiasa ceplas-ceplos.

"Mila?"

Sebuah panggilan membuat Alea menghentikan langkahnya, diikuti Andra. Alea membulatkan mata, sedangkan Andra mengernyit heran dengan panggilan yang tidak dia kenal dari perempuan paruh baya di hadapannya. Andra sempat memindai penampilannya yang begitu rapi.

"Ibu." Alea menghampiri perempuan tadi dan mencium tangannya. "Lagi ada acara?" Meskipun kaget bisa bertemu Ibunya di sini, tapi dia tidak heran karena Ibunya memang biasa berkeliling kota.

"Ketemu temen Ibu, Direktur sini, ada proyek sama dia. Kamu lagi di Jakarta?" Ibu Alea melongok ke balik pundak Alea dan mendapati Andra melemparkan senyum sopan padanya. "Sama siapa?"

Alea yang tersadar sedang bersama Andra menjadi sedikit terbata, namun mau tidak mau membalikkan badan dan memperkenalkan mereka berdua.

"Bu, ini.. kenalanku, Mas Andra. Tadi kami nolongin yang kena serangan jantung. Mas Andra, ini Ibuku."

"Selamat pagi, Tante."

"Pagi. Dokter juga?" tanya Ibu Alea, yang membuat Alea semakin tergagap sedangkan Andra makin bingung karena Ibu Alea bisa mengira dirinya dokter.

"Betul, Tante. Kok..." belum sempat Andra melanjutkan ucapannya, Alea segera memotong.

"Bu, Mas Andra ini dari Bandung, mau lanjut S2 di UI. Jadi.."

"Oh, ambil apa?" sela Ibu Alea.

"MM., Tante." Meski bingung, Andra tetap menjawab.

"Nggak minat spesialis?"

"Eh? Kebetulan saya spesialis anak, Tante."

"Oh, begitu. Semangat sekali ya sekolahnya. La, bagus lho ini temennya."

"Bu, maaf. Mas Andra lagi buru-buru mau ke UI. Setelah ini aku hubungi Ibu ya." Tidak ingin semakin banyak percakapan di antara dua orang dihadapannya, Alea berusaha secepat mungkin pergi dari sana.

"Ya sudah. Kirim pesan aja nanti ya, khawatir Ibu lagi meeting."

"Iya, Bu. Ibu sehat-sehat, ya." Alea memeluk Ibunya sekilas.

"Kamu juga, sempatkan pulang." Alea mengangguk saja, terakhir dia pulang memang tiga bulan lalu. "Semoga lancar ya, Nak Andra. Kalau sempat, kasih semangat juga sama Mila biar mau lanjut sekolah. Kalo ke Surabaya bisa mampir ke RS Jaya Medika, Tante praktik di sana. Dianita, Dermatologis." pesannya saat menyalami Andra.

"Siap, Tante." Andra mengangguk pasti sebelum akhirnya mereka berpisah. "Mila?" tanya Andra disela langkahnya di sebelah Alea.

"Azalea Kamila. Ibu lebih suka panggil Mila." Andra mengangguk meski Alea menjawabnya tanpa menoleh.

"Dokter juga?"

***

BAB 6

Meski sempat penasaran, namun jadwal yang padat membuat Deva tidak sempat mengungkapkan keheranannya yang melihat Alea begitu sigap menyelamatkan salah satu pengurus rumahnya. Saat Alea tiba, mereka sudah harus berangkat menuju lokasi. Untungnya semua kebutuhan Deva sudah siap. Untuk hal ini, Deva mensyukuri keputusan Brina yang menjadikan Alea asisten pribadinya. Bukan hanya sangat cekatan menyiapkan segala kebutuhannya, Alea juga menularkan keteraturan padanya.

Brina memang selalu menjadwalkan kegiatannya dengan rapi, namun perlengkapan yang juga tersusun rapi membuat Deva makin nyaman menjalani jadwalnya. Mobil yang biasanya sudah berantakan di lokasi kedua, tidak lagi terjadi sejak Alea yang mengurusnya. Padahal cukup banyak asesoris yang Deva bawa sendiri hari ini. Sehingga meskipun cukup kelelahan setelah pengambilan gambar di dua lokasi, Deva masih bertenaga untuk meladeni keponakannya lewat panggilan video selagi menunggu persiapan di lokasi terakhirnya.

"Halo Sasa, kesayangan Ompa. Lho, kok sendiri? Yaya mana?"

Sapaan lembut Deva di keheningan ruang make up membuat Alea yang berada di dekatnya tertegun. Suara Deva sangat jelas bisa terdengar olehnya, namun suara lain yang muncul di kepalanya membuat balasan dari Saphira tidak terdengar lagi. Begitu juga gerakan tangannya yang sedang menyusun asesoris terhenti.

"Halo Ila, kesayangan Papa.." "Ila, sayangnya Papa.." "Papa sayang sekali sama Ila."

Nafasnya tiba-tiba tersendat, bahkan tangannya bergetar pelan. Meski berusaha mengendalikan diri, suara lembut yang senada dengan milik Deva tadi terus terdengar dan menyesakkan baginya. Alea memejamkan mata untuk mengatur nafasnya yang semakin terasa berat.

"Alea!"

"Hah?"

Panggilan Deva menyadarkan Alea yang nafasnya tersengal. Meski begitu, Alea bersyukur karenanya.

"Are you okay?" Deva mengerut heran dengan ponsel yang masih berada di depan wajahnya, membuat Alea berdehem menormalkan nafasnya kemudian menggeleng pelan.

"Maaf, Mas. Ada yang bisa dibantu?"

"Enggak. Ini Sasa nanyain karena lihat lo di kamera." Deva menyodorkan ponselnya pada Alea, yang membuatnya tersenyum kecil. "Sasa lagi bete nih, Tante Lea." sambung Deva, menjelaskan kenapa Saphira nampak bermuka masam dalam layar.

"Hai, Sasa. Kenapa?" Alea menerima ponsel yang akhirnya disodorkan padanya, mengurangi kecanggungannya karena harus berada terlalu dekat dengan Deva.

"Tante Lea.. Yaya tuh nyebelin banget. Maunya mandi duluan terus.." kemudian mengalirlah keluhan Sasa tentang saudara kembarnya yang selalu ingin lebih dulu memakai kamar mandi dalam kamar mereka. Pertengkaran khas anak-anak yang berujung saling ngambek. Sang Ibu yang berusaha membujuk Sophia pun tidak berhasil. Hingga akhirnya Saphira yang terlambat masuk kamar mandi terpaksa mandi di kamar mandi luar, membuatnya kesal dan mengungkapkannya pada Deva lewat ponsel ibunya.

"Ehm, memang bikin kesel sih kalo gitu." Reaksi santai Alea membuat Deva refleks menoleh dan mengerutkan kening.

"Tuh, bener kan! Yaya emang ngeselin! Semuanya bilang aku nggak boleh kesel, tapi Yaya tuh emang ngeselin!" Saphira berujar semangat, karena komentar Alea berbeda dari semua orang yang mendengar keluhannya.

Saat Deva nampak ingin menimpali, MUA yang sebelumnya keluar ruangan datang kembali untuk sedikit memperbaiki make up Deva karena pengambilan gambar selanjutnya akan dimulai.

"Sasa boleh kesel, tapi jangan lama-lama kalau nggak mau rugi." lanjut Alea lagi.

"Kenapa rugi, Tante?"

"Iya dong, kesel kan capek. Sasa capek kan cemberut gitu?"

"Iya sih.." Begitu saja, kerutan di wajah Saphira memudar.

"Jadi sekarang Sasa habisin keselnya."

"Gimana caranya?"

"Tarik nafas panjang, buang yang kenceng sampe Sasa lega. Habis itu, Sasa ajak baikan Yaya." Mengabaikan protes Sasa karena tidak ingin lebih dulu mengajak saudaranya baikan, Alea kembali melanjutkan. "Kalo Yaya udah mau main lagi sama Sasa, ajakin dia buat perjanjian jadwal mandi biar nanti gantian. Sasa bisa minta bantuan Mama untuk buat."

Meski masih nampak mencerna perkataan Alea, Sasa akhirnya mengangguk dengan wajah yang jauh lebih cerah dari sebelumnya. Selagi Sasa dan Alea melanjutkan obrolan lain seputar permainan, Deva memandangi ekspresi Alea yang tidak banyak berubah dari pantulan cermin. Biasanya, seseorang akan berubah lebih ceria saat mengobrol dengan anak-anak agar mereka merasa nyaman. Namun melihat Alea, Deva baru tahu kalau dengan wajah sedatar itu, Alea tetap bisa membuat keponakannya menempel. Dan senyum tipis yang terbit di wajah Alea saat harus mengakhiri panggilan mereka membuatnya terpaku selama beberapa saat.

Secara fisik, Alea memiliki kontur wajah yang tegas tapi manis di saat yang bersamaan. Membuat Deva menyadari kalau Alea cukup menarik, seperti yang Andra katakan tempo hari. Namun tentu saja Deva sering melihat melihat kecantikan fisik yang melebihi milik Alea, mengingat dunia kerjanya yang menuntut keindahan. Jadi, jika Deva bisa sampai memperhatikannya, tentu penyebabnya bukan sedangkal urusan fisik. Mungkin Alea yang cukup misterius membuatnya tidak biasa.

Persiapan pengambilan gambar yang sudah selesai membuat Deva juga Alea harus kembali bekerja. Namun sebelum keluar dari ruang make up, Deva menahan lengan Alea yang akan keluar lebih dulu dan membuatnya nampak kaget.

"Thanks udah nenangin Sasa, dia langsung ceria lagi habis ngobrol sama lo." ucapan Deva membuat Alea mengangguk saja dan berniat melanjutkan langkahnya namun Deva kembali menahan. "Tapi kenapa tadi lo biarin Sasa kesel sama Yaya?"

"Ini yakin mau dibahas sekarang? Mas Deva udah ditunggu."

Karena memang sudah ditunggu, Deva akhirnya mengikuti Alea keluar ruangan. Dan sesi terakhir pengambilan gambar untuk iklan kali ini pun berjalan lancar meski sedikit terlambat. Sehingga Deva harus terburu-buru menuju lokasi terakhir kegiatannya hari ini yang mungkin akan selesai cukup larut. Karenanya Brina mengingatkan Deva untuk menyempatkan tidur di perjalanan mereka. Namun saat sudah siap memejamkan mata, Deva kembali meneggakkan duduknya di kursi mobil dan menoleh pada Alea yang ada di belakangnya.

"Lo bisa jawab sekarang pertanyaan gue yang tadi." ujarnya, membuat Alea yang matanya sudah terpejam kembali terbuka.

"Yaya emang berbuat salah kan? Jadi wajar kalo Sasa kesal." jawab Alea setelah paham maksud Deva.

"Tapi apa kekesalannya harus dibenarkan?" Deva mengerut bingung, karena baginya, rasa kesal itu adalah emosi negatif yang tidak perlu dibiarkan tumbuh.

"Bukan dibenarkan, saya hanya menerima perasaan Sasa. Tanda kalau saya paham rasanya."

"Tapi nanti-nanti dia akan gampang kesal kalo gitu."

"Mas Deva mau nanti-nanti dia akan diam aja kalo marah? Percaya saya, itu akan jauh lebih mengerikan." Ada sorot yang berbeda saat Alea mengatakan itu. "Mas Deva sebaiknya segera istirahat." tutupnya sebelum kemudian memejamkan mata.

Sedang Deva masih memandangnya beberapa saat sebelum menurut. Sorot mata Alea membuat pikiran Deva mengulang kembali awal interaksinya  dengan Alea. Alea yang begitu tenang saat awal bekerja dengannya juga keteraturannya yang membuat Deva bisa lebih nyaman. Alea yang datar tiba-tiba bisa membuat dua keponakannya begitu menempel padanya. Alea yang sigap dan terampil menolong orang dari kematian. Dan sekarang, dia menemukan Alea yang penuh empati sekaligus dingin.

Tapi dari semua kelebihan yang Deva lihat pada Alea, ada satu hal yang membuatnya heran. Alea selalu nampak tidak memiliki emosi, seolah membangun dinding tinggi untuk membatasi orang lain agar tidak bisa membacanya. Padahal seharusnya dengan semua kelebihan yang dia miliki, tidak ada alasan baginya untuk membatasi diri. Hingga sejak saat itu, Deva menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya tentang Alea.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Asistol(Ove)
Selanjutnya ASISTOL(OVE): ASISTOL PHASE 2
1
0
Asistol adalah ketiadaan aktivitas elektrik jantung yang terekam dalam gambaran elektrokardiogram sebagai garis datar dan merupakan kegawatdaruratan jantung yang dapat mengancam nyawa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan