
Chapter;
41. Fauzan Kenapa?
42. Ketua Geng Yang Rapuh
43. Balasan
44. Masih Menjadi Misteri
45. Lo semua … mati!
41 - Fauzan Kenapa?
Metta masih memperhatikan Fauzan yang tengah berjalan ke sana kemari untuk merapikan pakaian dan barang-barangnya. Bukan, bukan ia yang tidak mau membantu. Namun, Fauzan melarang keras agar ia tidak ikut turun tangan. Entah apa alasannya.
"Aku bantuin, ya?"
Fauzan yang tengah sibuk mengatur ruangan kamarnya menggeleng seraya berdecak pelan. "Nggak usah. Duduk aja."
"Tapi kamu pasti capek."
"Laki, jadi wajar aja."
Metta menghela napasnya. Jujur, ia tidak tega melihat Fauzan yang sedari tadi sibuk mengatur ruangan kamarnya. Menata ini itu dengan caranya sendiri. Satu fakta yang baru ia ketahui, ternyata Fauzan adalah tipikal cowok yang rapi.
"Atau, aku beli makanan ke bawah, ya?"
Fauzan menghentikan kegiatannya. Ia menatap Metta kesal. "Bisa nggak, sih, kalau dikasih tau cukup sekali aja? Gue nggak suka dibantah orangnya. Sorry aja."
"Maaf."
"Gue juga."
Metta dibuat bingung dengan ucapan Fauzan. "Maksudnya?"
Fauzan menghela napas kemudian menghampiri Metta. Ia merebahkan tubuhnya di kasur. Kegiatan sore ini, benar-benar melelahkan.
"Omongan gue yang tadi."
"Emang kamu ngomong apa?"
"Ya, nggak tau. Cuma takut bikin lo sakit hati doang."
Metta mengangguk mengerti. Tidak apa, tidak ada yang salah dengan ucapan Fauzan. Semuanya benar, hanya saja dirinya yang terlalu banyak bicara.
"Mau kemana?" tanya Metta ketika melihat Fauzan kembali beranjak.
"Mandi."
Fauzan berjalan memasuki kamar mandinya. Meninggalkan Metta yang kembali menghela napasnya pelan.
Terkadang, ia merasa heran dengan sikap Fauzan. Selalu berubah-ubah. Bukannya apa, sikapnya yang terkadang perhatian bisa membuat hatinya lebih berharap. Semakin membuatnya nyaman. Namun, ketika sikapnya kembali seperti biasa, membuat hatinya kembali bimbang.
Berharap itu wajar, namun harus ada batasan. Lain lagi dengan mereka yang selalu memberi harapan tanpa berujung kepastian. Pasti menyakitkan. Karena pada dasarnya, perasaan memang butuh kejelasan, dari apa yang diharapkannya.
Metta kembali menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka. Ia mengernyit kala melihat Fauzan yang belum juga membersihkan tubuhnya.
"Kenapa?"
Fauzan menatap Metta tanpa ekspresi. Cukup lama, sampai akhirnya cowok itu menarik salah satu sudut bibirnya. "Nanti bawain handuk, ya. Nggak perlu ketuk, langsung masuk aja."
Fauzan kembali masuk ke dalam, meninggalkan seorang Mettani Amalia yang baru saja menelan ludahnya sendiri.
----
Fauzan memperhatikan Metta yang tengah makan tepat di hadapannya. Tidak ada yang aneh, sama seperti cewek yang lainnya ketika tengah makan di hadapan seseorang, maka akan sekuat tenaga menjaga sikapnya.
Pukul tujuh malam tadi, ia sengaja mengajak Metta makan di restauran yang berada tak jauh dari apartemennya. Selain tidak ada bahan masakan di rumah, mencari suasana baru adalah salah satu alasannya.
Tidak apa, sesekali ia mengajak cewek itu keluar dari rumah. Tidak perlu mewah, sederhana pun sudah cukup. Makan bersama sembari menikmati suasana malam, contohnya.
"Udah?" tanya Fauzan ketika melihat Metta baru saja minum dan mengelap mulutnya sendiri menggunakan tisu.
Metta mengangguk pelan. "Iya, udah kenyang."
Fauzan hanya mengangguk kemudian kembali melanjutkan makannya. Setelah pulang dari sini, ia akan kembali keluar untuk menyusul teman-temannya ke markas utama. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan.
"Mau langsung pulang?"
Fauzan baru saja selesai. Ia menatap Metta yang tengah menatapnya juga. "Emang mau kemana lagi?"
"Ya ... aku terserah kamu."
Fauzan menghela napas. "Pulang, udah malem. Katanya, bumil nggak baik keluar malem-malem."
Entah benar atau tidak, namun Metta lebih merasa itu hanya bentuk penolakan halus saja. Kalau pun benar, lalu kenapa Fauzan mengajaknya keluar sekarang?
"Sebelum pulang, aku mau nanya sesuatu. Boleh?"
"Nggak bisa di rumah aja?"
"Kamu buru-buru?"
Fauzan berdecak pelan. "Oke. Tanya aja."
Metta, sedikit menimbang-nimbang pertanyaannya, takut jikalau ia salah bicara. "Emm... Kamu ada masalah apa sama Arka?"
Fauzan mengernyitkan keningnya. Kenapa? Kenapa tiba-tiba Metta bertanya seperti itu?
"Kenapa? Risa ngomong apa aja?"
Metta sudah menduganya. Sudah pasti Fauzan tahu kalau ia mengetahui permasalahannya dengan Arka, sudah pasti dari Risa.
"Dia nggak bilang apa-apa."
"Terus?"
"Aku penasaran, tapi dia bilang aku harus nanya ke kamu langsung."
"Cuma pengen tau, atau ada maksud lain?"
"Maksud lain gimana?" tanya Metta yang bingung dengan ucapan Fauzan.
"Takutnya, lo disuruh Risa buat nanya-nanya ke gue."
"Enggak. Dia nyuruh aku nanya ke kamu karena dia pikir kamu yang lebih berhak ngasih tau aku."
Fauzan menghela napasnya pelan. Metta berhak tau, namun belum sekarang waktunya. Bukannya apa, bukan juga ia yang menundanya. Ini masalah waktu, selain sudah cukup malam, ia juga harus segera menyusul teman-temannya.
"Intinya ada masalah. Pulang."
Metta menatap Fauzan yang baru saja beranjak dari duduknya. "Masalahnya rumit banget, ya?"
"Kepo?"
"Bisa dibilang gitu."
"Udah berani juga, ya, sama gue."
Metta menghela napas dalam. Ia menundukkan kepalanya. "Maaf."
"Tapi bagus. Dengan lo yang udah mulai berani, tandanya lo udah nggak takut sama gue. Berarti, lo udah mulai nerima gue."
Metta merasa tidak paham dengan ucapan suaminya. Nerima? Sedari dulu, ia sudah menerima Fauzan. Perasaan takut itu timbul karena cowok itu sendiri yang seakan bersikap tidak menginginkan pernikahannya, lebih tepatnya, tidak menginginkan kehadirannya.
"Terkadang, rasa takut itu harus lo lawan. Karena kalau selamanya lo ngerasa gitu ke gue, gue lebih merasa nggak enak sama lo. Anggap aja gue sahabat. Sahabat satu rumah."
Sahabat ya? Menginginkan lebih dari kata sahabat, namun Metta harus lebih menyadarkan dirinya sendiri. Siapa dirinya?
"Oke, pulang." Metta beranjak dari duduknya namun, perkataan Fauzan kembali menghentikan pergerakannya.
"Duduk, gue mau cerita. Lo berhak tau. Tapi maaf, nggak bisa panjang lebar, gue buru-buru."
Baru saja ingin mendudukkan tubuhnya, Fauzan mengurungkan niat karena harus menerima panggilan dari Andra.
"Gue ngangkat telpon dulu."
Metta mengangguk. Matanya masih fokus melihat Fauzan yang sedikit melenggang jauh dari dirinya.
Tidak sampai lima menit, Fauzan sudah kembali. Namun, ada yang beda. Raut wajah dan gerak-geriknya benar-benar berbeda.
"Udah?" tanya Metta.
Fauzan mengangguk pelan.
"Jadi cerita?"
Fauzan menatap Metta dengan tatapan yang sulit diartikan. Terdiam cukup lama, sebelum akhirnya cowok itu menghela napasnya gusar.
"Ta, lo pulang sendiri bisa, 'kan? Gue buru-buru."
Metta tercengang. Ia menatap Fauzan dengan tatapan tak percaya. Sepenting itu? Sampai harus membiarkannya pulang sendiri? Malam-malam seperti ini?
Tampaknya, Metta memang benar-benar harus sadar diri.
----
Metta mendongak ketika pintu apartemennya baru saja terbuka. Ia mengernyit melihat Fauzan datang dengan penampilan yang benar-benar sulit dijelaskan.
"Kenapa belum tidur?"
Metta beranjak dari duduknya dengan mata yang masih benar-benar fokus kepada Fauzan.
Sekarang, memang sudah larut malam. Ia sengaja menunggu Fauzan pulang karena entah kenapa, semenjak kepergian cowok itu di restauran tadi, hatinya benar-benar merasa tidak tenang. Seperti khawatir yang berlebihan.
"Aku nunggu kamu."
Fauzan masih berdiri di ambang pintu. Raut wajah berikut penampilannya benar-benar acak-acakan. Entah kenapa.
"Tadi, pulang sama siapa?"
"Tadinya mau pulang sendiri, tapi kebetulan di jalan ketemu papa kamu."
Tatapan Fauzan berubah. Yang mulanya menatap Metta sendu, sekarang lebih dari itu. "Terus?"
"Ya ... aku ikut pulang bareng papa kamu."
Fauzan menelan ludahnya sendiri. Perlahan ia berjalan mendekati Metta, menatapnya dengan penuh rasa takut.
Sampai di depan Metta, Fauzan masih memfokuskan matanya kepada cewek yang akhir-akhir ini berhasil menguasai pikirannya. Ia menyentuh bahu Metta dengan kedua tangannya.
"Lo nggak apa-apa?"
Metta menggeleng pelan. Pikirannya benar-benar bercabang kemana-mana seakan bertanya ada apa dengan suaminya.
"Aku nggak apa-apa. Harusnya aku yang tanya, kamu nggak apa-apa? Kamu tadi keliatannya buru-buru banget. Aku ... khawatir, mangkanya aku nunggu kamu."
Rasa bingungnya semakin menjadi kala melihat Fauzan menghela napas gusar kemudian tanpa diduga cowok itu memeluknya. Benar-benar memeluknya.
"Kamu kenapa?"
Tidak ada jawaban, yang ia rasakan adalan Fauzan yang menjatuhkan kepala di bahunya. Bersamaan dengan pelukannya yang semakin mengerat.
Lagi-lagi, ia dibuat terkejut ketika tiba-tiba merasa bahu Fauzan bergetar. Sebenarnya ada apa? Fauzan kenapa?
Demi apa pun, Metta tidak mengerti dengan semua yang serba membingungkan ini.
Kali ini, ia menyadari kalau ternyata Fauzan menangis. Seorang lelaki menangis. Ketua geng yang banyak anak buahnya bisa menangis.
Fauzan, cowok yang selalu membuatnya merasa takut. Lelaki sangar yang sangat ia cintai sepenuh hati. Kini benar-benar terlihat lemah.
Entah apa penyebabnya.
42 - Ketua Geng Yang Rapuh
Pukul dua belas malam, Fauzan baru saja keluar dari rumah sakit yang cukup terbilang rumah sakit besar di Jakarta.
Sebenarnya, kondisi tidak memperbolehkannya pulang, ditambah lagi dengan anak-anak Zayeoune yang masih berada di sana. Namun, hati dan pikirannya menolak. Ia khawatir bagaimana dengan keadaan Metta sekarang. Mengingat ia yang meninggalkannya sendirian di restauran tadi.
Fauzan benar-benar membodohkan dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia meninggalkan Metta, sendirian, di restauran, dengan keadaan hari yang sudah malam.
Cowok macam apa dirinya?
Persetan dengan itu semua. Telpon dari Andra benar-benar membuatnya terkejut bukan main. Ia tidak bisa berpikir jernih saat itu. Pikirannya menginginkan bahwa ia harus cepat-cepat memastikan kebenaran apa yang Andra katakan.
Fauzan langsung ke lokasi, namun sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Setelahnya, ia mendapat kabar bahwa semuanya sudah berada di rumah sakit. Tidak mau membuang waktu, Fauzan langsung melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Dari kejauhan, ia sudah melihat anak Zayeoune tengah duduk sembari menunduk. Ekspresi semuanya benar-benar sulit dijelaskan.
Menghela napas gusar, Fauzan mempercepat langkahnya untuk menghampiri semua teman-temannya.
"Ada apa?"
Semua mata menoleh. Menyorot Fauzan yang tidak lain adalah bos besar mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Nggak ada yang mau jawab?" Fauzan menatap satu persatu temannya. "Ada apa?! Kenapa bisa kayak gini?!"
Andra yang tengah duduk di lantai, beranjak kemudian menghampiri Fauzan. "Tenang dulu, Bos."
"Gimana keadaannya?"
Andra menghela napas pelan. Ia menepuk bahu Fauzan beberapa kali seakan mencoba untuk menguatkan bos besarnya. "Odel kritis."
Fauzan menelan ludah. Napasnya sudah tidak teratur. "Kufa gimana?"
Andra berbalik kemudian meninggalkan Fauzan. Ia kembali duduk di tempat semulanya. "Kufa nggak selamat, Bos."
Fauzan terkekeh seraya menggeleng pelan. "Urusan ini nggak bisa dibecandain. Serius!"
"Kita serius, Bos. Odel kritis dan ... Kufa nggak selamat." Suara berat Regan menyahuti ucapan Fauzan. Cowok yang selalu terlihat ceria juga tidak pernah terlihat tunduk sekalipun, kini benar-benar terlihat layu. Duduk di lantai sembari memegangi kepalanya.
"Ini semua salah kita, Bos. Kita nggak tau kalau Kufa sama Odel tertinggal di belakang." Kido juga ikut menimpali. Cowok itu juga sama posisinya seperti Regan.
Berkali-kali Fauzan menyadarkan dirinya sendiri. Mencoba menarik logikanya, pikirannya, juga perasaannya untuk kembali ke dunia nyata jika semua ini hanya halusinasinya saja.
Sahabatnya, sahabat yang sedari dulu telah bersamanya, telah berpulang. Sedangkan satu sahabat cerianya, kini tengah terbaring lemah di dalam ruangan sana.
Fauzan mendudukkan tubuhnya di kursi. Mengusap wajahnya frustasi sembari menggelengkan kepalanya pelan. Ia tidak menyangka, ternyata, berita dari Andra yang mengabarkan bahwa Odel dan Kufa kecelakaan benar adanya.
Ada apa ini? Kenapa bisa terjadi?
Tidak peduli siapa kamu, bagaimana martabatmu, sekuat apa pun dirimu, sebanyak apa pun orang yang menakutimu. Jika sudah tidak kuat, maka lepaskan. Karena seorang laki-laki juga punya perasaan.
Fauzan menunduk bersamaan dengan air mata yang menetes begitu saja. Mungkinkan ia bersalah dalam hal ini?
Jika saja ia datang dan langsung ikut kumpul bersama teman-temannya, mungkin ini semua masih bisa dicegah. Ia tidak akan membiarkan teman-temannya saling meninggalkan seperti itu.
Sepertinya seorang Fauzan lupa kalau semua ini terjadi atas dalam kehendak-Nya. Dia sebagai manusia tidak bisa merubah, apalagi berusaha menentangnya.
Seorang ketua geng juga lupa kalau ia belum mengetahui asal mula semuanya. Hanya mengetahui kalau Odel dan Kufa kecelakaan saja.
Suara klakson mobil di depan sana menyadarkan Fauzan dari bayang-bayang saat di rumah sakit tadi.
Fauzan terkejut. Ia tidak bisa mengendalikan motornya sendiri karena mobil di depannya berkecepatan sama dengannya.
Kenapa mobil itu bisa berlawanan arah dengannya? Padahal, Fauzan yakin kalau ia sudah berada di jalur yang benar.
Tidak mau mengambil resiko, Fauzan memilih menghindar ke samping meskipun ia tahu kalau resikonya tetap sama. Ia akan terjatuh juga.
Meringis. Fauzan menarik kaki kirinya yang tertimpa motor. Beruntunglah ia karena tidak terjatuh terlalu keras, hanya menabrak trotoar dan berakhir menelungkup dengan motor yang menimpa kakinya.
Setelah membangunkan motornya, Fauzan duduk sebentar di trotoar. Mengusap wajahnya sembari berpikir keras kenapa ia bisa seperti ini.
Melirik ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapa-siapa. Mobil yang hampir bertabrakan dengannya pun tidak ada.
Secepat itu?
Fauzan memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. "Astaga, kenapa bisa gini? Gue kenapa?"
Setelah merasa cukup tenang, Fauzan kembali menaiki motornya kemudian segera melaju. Kali ini lebih lambat dari yang tadi. Tidak apa-apa, selain takut kejadian barusan terulang, ia juga harus menenangkan pikirannya.
Sampai di depan pintu apartemennya, Fauzan menghela napas kemudian segera membukanya.
Hal yang pertama ia lihat adalah Metta yang tengah duduk di sofa sembari tengah menatapnya. Hatinya merasa lega ketika melihat cewek itu baik-baik saja.
"Kenapa belum tidur?"
Ya, ini sudah larut malam, dan Metta masih belum tidur juga.
"Aku nungguin kamu."
Sebuah kebiasaan bagi Metta, selarut apa pun, ia akan tetap menunggunya pulang.
Fauzan masih berdiri di ambang pintu, menatap Metta dengan segala rasa yang ia rasakan. "Tadi pulang bareng siapa?"
"Tadinya mau pulang sendiri, tapi kebetulan liat papa kamu di jalan."
Fauzan menegang seketika. Ia mengernyit heran. "Terus?"
"Ya ... aku ikut pulang bareng papa kamu."
Fauzan menelan ludahnya sendiri. Pulang bareng papanya? Selain merasa takut, ia juga wajib merasa curiga dalam hal ini.
Perlahan ia berjalan mendekati Metta, menatapnya dengan penuh rasa takut.
Sampai di depan Metta, Fauzan masih memfokuskan matanya kepada cewek yang akhir-akhir ini berhasil menguasai pikirannya. Ia menyentuh bahu Metta dengan kedua tangannya.
"Lo nggak apa-apa?"
Metta menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa. Harusnya aku yang tanya, kamu nggak apa-apa? Tadi kamu keliatannya buru-buru banget. Aku ... khawatir, mangkanya aku nunggu kamu.
Lihat, cewek itu menunggunya sampai selarut ini hanya karena merasa khawatir dengan keadaannya.
Benar-benar baik kelewatan.
Menghela napas gusar, Fauzan menggerakkan tangannya memeluk Metta. Benar-benar memeluknya.
"Kamu kenapa?"
Menjatuhkan kepala di bahu Metta, Fauzan semakin mengeratkan pelukannya.
Berbagai rasa bercampur aduk di benaknya.
Ini semua sulit diterima.
Tentang Kufa, Odel dan ... sosok cewek yang tengah ia peluk sekarang, pulang bersama papanya tadi. Yang jelas-jelas, papanya ada rencana yang tidak baik untuk dirinya.
Bagaimana? Harus apa ia?
Bahunya bergetar, bersamaan dengan air mata yang kembali terurai. Masa bodoh dengan apa pun yang mereka atau Metta pikirkan, yang jelas keadaan sekarang benar-benar sulit.
Kehilangan sahabat, juga merasa khawatir yang berlebihan.
Sekarang, kalian semua tahu kalau Fauzan, seorang ketua geng yang banyak anak buahnya, selalu berekspresi sangar juga menakutkan, ternyata masih bisa rapuh juga.
----
Suasana haru di pemakaman Kufa masih terasa sampai sekarang. Dari keluarga, kerabat, teman, serta seluruh anggota Zayeoune ikut mengantar Kufa ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Semuanya masih tidak menyangka, Kufa---si cowok judes dengan otak yang mendukung, kini telah berpulang. Seseorang yang sudah menjadi 'ibu' kedua bagi anak-anak Zayeoune, kini ... hanya tinggal nama.
Mari doakan, semoga Kufa tenang di alam sana dan diterima di sisi-Nya.
"Gue nyesel, gue nyesel udah ejekin nama lo, Kuf." Dengan posisi yang menunduk, Bonek bersuara.
"Gue juga nyesel udah selalu bikin ulah sama lo." Kido ikut bersuara.
Regan yang berada tepat paling belakang, mundur secara perlahan. Tidak, ini semua masih belum bisa ia terima. Ia tidak bisa, ia masih belum siap kehilangan sahabat yang selalu ada bersama dirinya.
"Gue udah ngerasa aneh sejak Kufa sama Odel bilang pengen beli makanan bareng-bareng. Biasanya, mereka selalu jalan berdua sesuai jadwal, 'kan? Tapi semalem, minta kita semua ikut," ucap Adit.
Fauzan yang tengah duduk tepat di sebelah batu nisan Kufa, menoleh sekilas ke arah Adit. Ia menghela napasnya pelan. "Seandainya, gue ikut kumpul dari awal. Gue pasti ikut beli makanan, dan nggak mungkin saling ninggalin kayak kalian."
"Kita nggak ninggalin, Bos. Masih santai, cuman kita nggak nyadar kalau Kufa sama Odel masih di belakang," sahut Bonek.
"Terus, kenapa kalian bisa balik lagi?"
Kido menepuk bahu Bonek dan Fauzan yang berada di sisi kiri dan kanannya. "Satu jam kita nunggu, tapi nggak dateng. Itu sebabnya Regan mutusin buat balik lagi cari Kufa sama Odel."
"Bukannya Regan nggak ikut kumpul?"
"Regan nggak jadi ada urusan, dia tetep ikut kumpul."
Regan yang berdiri jauh di belakang, mengangguk meskipun keempat temannya tidak menoleh pada dirinya. "Gue liat banyak orang lagi berkerumun, ternyata ada kecelakaan. Pas gue liat, ternyata ...."
Regan tidak melanjutkan ucapannya. Hal itu membuat keempat orang yang masih berada di dekat gundukkan tanah, menoleh heran.
"Lo liat apa di sana?" tanya Fauzan.
"Gue datang Kufa udah nggak bernyawa, sedangkan Odel masih bisa dilarikan ke rumah sakit. Gue diem, nggak tau harus apa. Berkali-kali gue nampar pipi gue sendiri, takut kalau itu semua cuma ilusi. Tapi ternyata, ada seorang bapak yang nyadarin gue. Itu semua nyata, gue udah nggak bisa apa-apa selain nelpon Bonek supaya secepatnya datang."
"Jujur, Bos, kita semua nggak ada yang percaya, tapi semuanya nyata," sambung Kido.
"Kecelakaan tunggal?" Fauzan berpikir sebentar. "Atau ... tabrakan?"
Regan menghela napas kemudian berjalan mendekati teman-temannya. "Banyak yang bilang kecelakaan tunggal."
"Tapi anehnya, motor Kufa nggak rusak parah," sahut Adit.
"Di sana rame, 'kan? Nggak ada yang ngasih tau kronologinya kayak gimana?" Fauzan ikut berdiri, menatap Regan dengan serius.
"Nggak ada, mereka bilang, mereka udah liat Kufa sama Odel tergeletak dengan keadaan yang udah mengenaskan."
Tidak masuk akal. Fauzan merasa informasi semuanya kurang meyakinkan.
Kido ikut beranjak. "Bos, ini terlalu nggak mungkin. Gue rasa, ada yang nggak beres."
Ternyata bukan hanya Fauzan, Kido pun merasakan hal yang sama.
"Udah, lah, kita bahas ini nanti. Lagian, polisi juga udah bilang kalau ini murni kecelakaan," ucap Adit seraya beranjak dari duduknya.
"Murni atau pun ada yang lain, cuma Odel yang tau. Kita berdoa aja, semoga Odel selamat dan ngasih kejelasan semuanya." Bonek beranjak dari duduknya.
Fauzan mengangguk sembari menghela napas pelan. "Apa pun kebenarannya nanti, kita semua harus ikhlas. Berkurang satu jangan sampai bikin kita mati kutu."
----
Setelah pulang dari rumah sakit, Fauzan segera pulang menuju apartemennya. Sekarang tidak terlalu larut seperti kemarin. Bukan apa-apa, meninggalkan Metta sendirian itu bukanlah pilihan yang baik. Mengingat situasi yang sedang tidak baik-baik saja, sekarang.
Saat memasuki apartemennya, Fauzan mengernyit heran kala ia tidak menemukan siapa-siapa.
Beralih menuju kamar, tidak ada Metta di sana. Mengetuk kamar mandi kemudian membukanya, namun tidak ada juga.
Fauzan mulai panik. Berkali-kali ia memanggil nama Metta, tetapi tidak ada suara juga.
Rasa khawatirnya semakin menjadi ketika sambungan telponnya untuk Metta, tidak mendapat jawaban. Mencoba sekali lagi, namun ponsel Metta malah tidak aktif.
Ke mana Metta?
Jikalau pergi keluar, kenapa tidak izin kepadanya? Bukankah cewek itu selalu minta izin ketika akan bepergian?
43 - Balasan
Pernah merasa khawatir berlebihan? Bagaimana rasanya?
Menurut bos besar, rasanya sangat sulit dijelaskan. Satu jam ia ke sana-kemari mencari Metta, namun tidak ada. Entah kemana cewek itu.
Daripada harus kalut dengan pemikiran yang tidak-tidak, Fauzan memilih untuk membersihkan tubuhnya. Mencoba menenangkan dirinya. Semoga, saat ia keluar dari kamar mandi nanti, Metta sudah pulang, dan pikirannya kembali tenang.
Namun sayangnya, harapan Fauzan kandas begitu saja karena saat keluar dari kamar mandi, Metta masih tidak ada juga.
Sebenarnya ke mana dia?
Ingin rasanya mencari, namun tidak tahu harus kemana.
Menghela napas pelan, Fauzan memilih untuk menunggu di sofa. Menyandarkan tubuhnya, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, dan berusaha keras agar pikirannya bisa tenang.
Kasus kedua sahabatnya masih belum usai, lukanya masih terasa sampai sekarang. Dan jikalau saat ini kekhawatirannya mengenai Metta itu benar, Fauzan tidak tahu harus apa. Mungkin dirinya benar-benar lemah dengan fase yang sudah berada dalam titik terendah.
Pasalnya, seseorang yang saat ini menghilang entah kemana, adalah seseorang yang ... sangat ia sayang.
Fauzan menoleh seketika saat mendengar suara pintu terbuka. Dengan kening yang mengerut heran, ia beranjak kemudian mendekati pintu. Menghampiri dua orang yang baru saja datang.
"Kamu udah pulang?"
Fauzan memperhatikan Metta yang baru saja berujar dengan posisi berdiri tepat di hadapannya. "Dari mana aja?"
Metta terdiam. Kegugupan terpampang jelas di wajahnya. Ia sedikit menoleh ke belakang, menatap seseorang yang seharian ini sudah bersamanya.
"Em... anu, itu, aku tadi ...."
Fauzan melirik orang yang datang bersama Metta tadi. Setelahnya, ia menarik Metta ke sisinya.
Seseorang yang berdiri tepat di ambang pintu, tersenyum samar ketika melihat tindakan Fauzan. Ia mengerti dan sangat paham jikalau cowok itu tengah merasa khawatir dengan istrinya. Terlebih lagi ia sendiri juga tahu kalau Metta tidak izin terlebih dahulu.
"Ya, udah, Metta, mama pulang, ya. Itu suami kamu kayaknya udah khawatir banget."
Metta melirik Fauzan yang masih mencekal pergelangan tangannya, sekilas. "Em... Mama nggak mau mampir dulu sebentar?"
Sosok yang dipanggil mama itu tersenyum seraya menggeleng pelan. "Nggak, mama nggak mau ganggu kalian."
"Ya, udah, Fauzan, mama pulang, ya. Lain kali main ke rumah." Setelah berkata demikian, wanita itu berbalik kemudian berlalu pergi. Meninggalkan dua manusia yang masih berdiri di tempatnya.
"Kamu udah dari tadi pulang?"
Fauzan melepaskan cekalannya kemudian tanpa bicara sepatah kata pun meninggalkan Metta untuk menuju sofa.
Metta menghela napasnya. Resiko yang harus ia tanggung sekarang, Fauzan pasti marah kepadanya. Bagaimana tidak, ia pergi begitu saja, tanpa izin sama sekali. Ditambah lagi dengan keadaan ponselnya yang kehabisan baterai.
Sekarang harus apa dirinya?
Memilih untuk membujuk, Metta berjalan menghampiri Fauzan. Ikut mendudukkan tubuhnya di samping cowok itu.
"Kamu udah makan?"
Tidak menjawab. Fauzan malah mengambil remote dan menyalakan televisi di depannya.
"Mau aku masakin?"
"Nggak usah, laparnya udah hilang."
"Tadi kamu lapar?"
"Nggak."
"Tadi katanya lapar."
"Siapa bilang?"
"Kamu, tadi, 'kan, aku tanya mau dimasakin atau---"
Merasa tidak tahan, Fauzan menoleh. Menatap Metta dengan tatapan tidak suka. "Tadi ke mana aja?"
"Main."
"Kenapa nggak bilang?"
"Maaf. Aku kira aku bakal pulang sebelum kamu pulang."
Fauzan menatap Metta heran. "Jadi, kalau lo pulang lebih dulu dari gue, lo tetep nggak bakal bilang?"
Metta menelan ludah. Kalau Fauzan sudah seperti ini, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Rasa takut dan gugup begitu mendominasi sehingga ia sendiri bingung harus menjelaskan seperti apa.
Pengaruh cowok itu sangat besar. Auranya benar-benar selalu sukses membuat dirinya takut untuk berkutik.
"B-bukan gitu."
"Terus gimana?"
Metta menghela napas kemudian menundukkan kepalanya. "Maaf."
Melihat Metta seperti itu membuat Fauzan merasa serba salah. Ingin marah, namun tidak tega. "Kenapa bisa sama wanita itu?"
Metta kembali mendongak, memberanikan diri untuk menatap Fauzan perlahan. "Tadi mama ke sini, ngajakin aku jalan."
"Terus?"
"Aku terima karena kebetulan aku juga udah bosen diem di rumah."
Sekarang Fauzan yang merasa bersalah. Tindakan Metta yang seperti itu akibat dari kesalahannya juga. Mungkin, Metta memang bosan jikalau hanya berdiam di rumah saja. Terlebih lagi ia yang sering meninggalkannya.
Akhirnya Fauzan menghela napas pelan. Mencoba melupakan hal tadi. Biarkan saja, yang terpenting adalah keadaan Metta yang baik-baik saja.
Perihal kepergian Metta bersama Mama tirinya tadi, ia tidak mau terlalu ambil pusing.
"Dia nggak macem-macem, 'kan?"
Metta menggeleng pelan. "Nggak, mama baik. Dia ngajakin aku ke baby shop tadi, tapi aku tolak."
"Kenapa nolak?"
"Aku maunya bareng kamu aja, nanti. Itu pun kalau kamu mau."
Yang merasa bersalah kini semakin merasa bersalah. Mettani Amalia, kenapa cewek itu sering mengatakan hal yang bisa membuatnya tersinggung?
Sengaja agar dirinya peka, atau malah bentuk kepolosannya yang sudah tidak biasa?
"Terus, kenapa HP nggak aktif?"
"Tadi lowbat."
Fauzan terdiam. Lebih tepatnya memilih diam.
Metta yang melihat Fauzan terdiam kembali menghela napasnya pelan. "Maaf, ya. Kamu marah?"
Fauzan menggeleng. Hal gila yang sekarang ia lakukan adalah bergerak membaringkan tubuhnya di sofa. Menjadikan paha Metta sebagai bantalannya.
"Jangan diulangin."
Posisi seperti ini tidak baik untuk kesehatan jantung Metta. Ia gugup, sekaligus tidak tahu juga harus bertindak apa.
Dengan ragu Metta mengangguk kemudian mengalihkan pandangannya ke layar televisi. Demi apa pun, ia sadar kalau sekarang, Fauzan masih menatapnya dari bawah.
"Gue capek."
"Ng-ngapain aja?"
"Nggak tau."
"Mm... oh. Sahabat kamu udah siuman?"
"Belum."
"Semoga cepat sadar, ya."
"Aamiin."
Setelahnya hening kembali. Metta yang tidak tahu harus menjawab apa, dan Fauzan yang sibuk dengan pikirannya. Tentang semua hal yang membuat dirinya bisa berlaku aneh seperti ini.
"Ta?"
Metta menunduk, menatap Fauzan sekilas. "Y-ya?"
"Lo bahagia?"
"Bahagia kenapa?"
"Sama gue."
Ingin rasanya Metta fokus ke layar televisi saja, namun tidak enak jika tidak menjawab pertanyaan Fauzan. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena bohong dan jujur akan sama saja jawabannya.
"Kenapa diem?"
"A-aku bahagia."
"Kenapa bisa?"
Menelan ludah juga menguatkan dirinya agar tidak gemetar hebat. Metta benar-benar salah tingkah. "Karena aku bahagia."
Mendengus. Bukan itu jawaban yang Fauzan inginkan. Tetapi biarlah, ia tahu kalau Metta tengah gugup. Mungkin bingung harus menjawab apa.
Fauzan masih menatap Metta, meskipun cewek itu masih fokus dengan layar televisi sana. "Ta?"
"Y-ya?"
"Sorry."
"Kenapa?"
"Gue minta maaf."
"Buat apa?"
Fauzan terdiam sebentar sebelum akhirnya menghela napas pelan dan kembali melanjutkan perkataannya. "Karena kebodohan gue, masa depan lo jadi berubah."
Metta ingin menatap Fauzan, namun tidak bisa. Ia terlalu gugup untuk melakukannya. "Kamu nggak salah, tapi aku yang salah."
"Kenapa bisa lo yang salah?"
"Aku yang nyamperin kamu waktu itu."
"Terus?"
"Aku juga yang nggak mau pergi."
"Tapi gue juga salah. Gue nggak bisa nahan diri gue sendiri. Jadi, maaf."
Metta mengangguk perlahan dengan mata yang masih fokus ke depan. "Aku juga minta maaf."
"Lo nerima semua ini?"
Metta kembali mengangguk.
"Alasannya?"
"Y-ya karena aku nerima. Kamu sendiri yang sering bilang kalau yang terlihat buruk nggak selamanya buruk. Lagian, setiap kejadian pasti ada sisi baiknya. Percuma juga aku sesalin semuanya, nggak akan bisa berubah seperti semula. Dan satu-satunya jalan, ya, aku harus nerima semuanya. Menjalankan kehidupan seperti biasanya, meskipun banyak yang berubah."
Metta menghela napas pelan. "Tentang kondisi mental aku, sekolah, masa depan, fisik, dan semuanya."
Terdiam sebentar, sebelum akhirnya tersenyum samar. "Tapi aku nerima. Selalu berharap juga kalau pernikahan ini menjadi pernikahan satu-satunya di kehidupan aku. Tapi ... semuanya tergantung kamu."
Fauzan memejamkan matanya. Perlahan, ia mengubah posisinya menjadi menghadap perut Metta. "Intinya, gue minta maaf. Tapi gue lega kalau lo bahagia."
Kembali membuka mata, Fauzan menggerakkan tangannya menyentuh perut Metta. "Udah keliatan, ya, berapa umurnya?"
Sekarang, Metta benar-benar menunduk. Menatap Fauzan dengan kening yang mengerut dalam. "Kamu nggak tau?"
"Kalau tau, nggak bakal nanya."
"Empat bulan. Bentar lagi lima."
Fauzan mengangguk samar. "Besok ke dokter, ya, gue mau liat."
Meskipun merasa heran dengan segala perlakuan Fauzan malam ini, Metta tetap mengiyakan. Kembali menatap layar televisi, dan membiarkan Fauzan dengan posisinya.
Ia tidak pernah tahu kalau Fauzan akan bertindak semanja ini. Mungkin akibat lelah, atau banyak pikiran. Bisa juga karena kondisi cowok itu yang sedang tidak baik-baik saja.
"Ta?"
Tidak mau menunduk, Metta memilih membalas dengan dehaman saja.
"Perihal perasaan lo ke gue, masih sama?"
"Sama apanya?"
"Lo masih sayang sama gue?"
Rasa gugup yang mulanya sudah mulai terkondisi, kini kembali hadir. Metta tidak tahu alasan Fauzan menanyakan tentang perasaannya. Yang pasti sekarang, ia bingung harus menjawab apa. Terlebih lagi ia sangat yakin kalau sebenarnya cowok itu tau jawabannya.
"Y-ya gitu."
"Gitu gimana?"
"Masih."
"Masih apa?"
"Sayang."
"Oh."
Hanya itu? Dengan susah payah ia menjawab, dan endingnya hanya seperti itu? Jangan salahkan Metta yang sudah berharap lebih, karena pertanyaan Fauzan tadi memang sedikit aneh sehingga membuat hatinya menginginkan hal yang lebih.
"Kamu kenapa nanya gitu."
"Ya, mau tanya aja."
"Kok, gitu?"
"Mau gue bales soalnya."
Seketika tubuh Metta menegang. Rasa gugup yang semakin menjadi, detak jantung yang juga lebih cepat dari biasanya.
Apa ia salah dengar?
Atau ... memang ada maksud lain dari perkataan Fauzan barusan?
"Gue nggak tau sejak kapan mulainya, yang pasti, gue selalu merasa nggak tenang kalau gue belum mastiin bahwa keadaan lo baik-baik aja."
Fauzan tidak pernah memikirkan ini sebelumnya. Semuanya mengalir begitu saja. Tanpa ia sadari, tanpa ia rencanakan, tanpa sepengendalian dirinya sendiri.
"Gue ... sayang sama lo. Lo udah berhasil masuk tanpa gue sadar, akibatnya, gue nggak akan biarin lo cari jalan keluar."
44 - Masih Menjadi misteri
Ujian kelulusan telah selesai, kini kelas akhir hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan berikut acara perpisahannya.
Tidak terasa, setelah tiga tahun melewati masa-masa sekolah dengan berbagai rasa, akhirnya perpisahan akan tiba juga.
Setiap pertemuan, memang selalu ada perpisahan.
Apakah semuanya harus seperti itu?
Fauzan dan teman-temannya tengah berkumpul di markas utama mereka, merundingkan apa yang akan dilakukan ke depannya. Apakah acara sertijab akan tetap dilaksanakan atau tidak. Mengingat, mereka yang masih dirundung duka akibat kehilangan salah satu di antaranya.
Kepergian Kufa membuat anak Zayeoune terpukul, tidak hanya bos besarnya saja. Kepergian yang sangat tiba-tiba membuat mereka sampai sekarang masih merasa tidak percaya. Apalagi jika mengingat kecelakaan tidak wajar itu.
Sangat janggal dan sulit untuk dipercaya.
Berniat mau mengusut tuntas, namun semuanya masih bingung harus mulai dari mana.
Jalan satu-satunya adalah menunggu penjelasan dari Odel, tetapi entah kapan karena sampai sekarang, manusia dengan sikap konyol itu masih belum sadarkan diri juga.
"Gimana? Lo udah ke TKP?" ujar Bonek kepada Adit. Ya, kemarin Fauzan memang memerintahkan Adit agar mendatangi tempat kecelakaan itu.
Adit mengangguk. "Udah, nggak ada apa-apa di sana."
"Nggak ada CCTV, gitu? Atau orang-orang di sekitarnya?" tanya Kido. Ia memperhatikan seluruh gerak gerik Adit. Bukannya apa, cowok itu hanya merasa sedikit curiga karena semenjak kecelakaan itu, Adit terlihat berbeda.
"Nggak ada."
"Lah, pas kejadian rame banget yang liat kecelakaannya," sahut Andra.
"Kenapa bisa nggak ada? Bukannya pas Regan dateng, di sana udah banyak orang?" sambung Fauzan. Ia sedikit merasa aneh, Regan mengatakan saat cowok itu datang, Kufa sudah dikerumuni banyak orang. Sedangkan Adit bilang kalau di sana tidak ada orang-orang di sekitar.
Mana yang benar? Kenapa semua informasi tidak ada yang jelas menurutnya?
Regan yang tengah duduk menyendiri, berjalan menghampiri Fauzan dan yang lainnya. "Pas gue dateng emang rame, Bos, tapi di sekeliling emang nggak ada rumah, warung juga nggak ada."
"Terus, orang-orang itu dateng dari mana?" Bonek beralih menatap Fauzan. "Bos, ini, mah, udah bukan janggal namanya, tapi kecelakaan itu emang udah nggak bener. Kita harus liat ke lokasi lagi buat mastiin."
Fauzan mengangguk. Ucapan Bonek memang ada benarnya, ini semua harus segera diusut tuntas. "Sore ini, kita rame-rame ke sana. Cari apa pun yang bisa membantu kita menemukan titik terangnya."
Semuanya kompak mengangguk, menyetujui ucapan bos besarnya.
"Terus, gimana rencana acara kita, Bos?" tanya Bonar yang duduk bersebrangan dengan Fauzan.
"Ya ... kemungkinan diundur, tunggu masalah ini beres dulu," sahut Bonek.
"Mangkanya, kita usahain masalah ini cepat selesai," sambung Kido sembari berpindah tempat duduk mendekati Fauzan. "Ya, 'kan, Bos?"
Fauzan yang menjadi sorotan mata teman-temannya itu menarik napas dalam, kemudian mengembuskanya secara perlahan.
Hatinya masih kacau, pikirannya masih terlalu rumit untuk memikirkan apa yang mereka rencanakan kemarin. Rencana sudah matang, tempat sudah siap, momen-momen perpisahan sudah dipersiapkan. Tapi apa? Salah satunya malah pergi meninggalkan mereka.
Benar-benar sulit dilanjutkan, namun harus tetap diadakan.
Kalau tidak, pilihan terakhir adalah bubar.
Fauzan meraih jaket denimnya kemudian beranjak. Sebelum kumpul kembali bersama teman-temannya, ia akan pulang terlebih dahulu. Menemui Metta, menemui istrinya, menemui seseorang yang sejak kemarin, sudah mengetahui isi hatinya.
"Mau ke mana, Bos? Yang masalah acara kita gimana?"
Baru ingin membuka pintu, Fauzan kembali berbalik menatap seluruh temannya yang masih memfokuskan mata kepadanya. "Pulang dulu. Masalah rencana kemarin, kita liat nanti aja. Tergantung kondisi, kalau memungkinkan, ya, lanjut, kalau enggak berarti terpaksa ...."
"Terpaksa apa, Bos?"
"Bubar."
"Anjip, lu, Bos!"
Fauzan membuka pintu dan langsung melanjutkan langkahnya, meninggalkan teman-temannya yang saat ini mungkin tengah riuh memperdebatkan ucapannya barusan.
----
Bayang-bayang kemarin malam tidak pernah lepas dari kepala seorang Mettani Amalia. Selain itu, bibir juga detak jantung akibat kejadiannya masih bekerja sampai sekarang.
Fauzan membalas cintanya.
Seorang ketua geng yang dulu selalu ia lihat dari kejauhan, kemarin malam sudah mengungkapkan perasaannya. Dengan cara yang berbeda, dengan kata sederhana, namun sangat berarti baginya.
Metta tidak akan pernah melepaskan Fauzan, sampai kapan pun.
Cewek yang tengah duduk menonton televisi sembari menikmati semangkuk mie instan itu menoleh ketika mendengar pintu terbuka. Di sana, ia melihat Fauzan tengah berdiri sembari menatapnya heran.
"Kenapa?" tanya Fauzan seraya berjalan menghampiri Metta.
Metta merasa bingung, maksud perkataan Fauzan apa? Emang dirinya kenapa?
Fauzan yang mengerti akan gerak-gerik Metta menghela napas kemudian mendudukkan tubuhnya di samping cewek itu.
Resiko mempunyai istri lemot, apa-apa harus dijelaskan sedetail mungkin. Sejelas mungkin.
"Kenapa makan mie?"
"Emang kenapa?" tanya balik Metta.
"Nggak baik."
"Em... nggak sering, kok. Sekarang cuma lagi pengen aja." Metta berkata jujur, ia memang tidak sering memakan mie instan karena ia sendiri juga tau kalau itu tidak baik. Masalah pertanyaannya kepada Fauzan barusan, itu hanya bentuk ingin tahu apa alasan Fauzan melarangnya saja.
Catat, Metta menegaskan kalau dirinya tidak lemot, ia hanya merasa gugup saja ketika tengah berhadapan dengan Fauzan. Masalah polos, ia tidak mempunyai pembenaran sedikitpun.
Jadi, jikalau Qila, atau siapa pun yang menyebutkan dirinya lemot, tolong jangan didengarkan. Terkecuali suaminya, itu masih bisa ia pertimbangkan karena bagaimanapun, apa yang diucapkan cowok serem tapi perhatian itu selalu tidak bisa diganggu gugat.
Melihat Fauzan diam saja, membuat Metta sedikit merasa bingung harus bagaimana. Melanjutkan aktivitas makannya, atau berhenti karena bos besar sudah melarangnya. Akhirnya, yang Metta lakukan adalah melontarkan ucapan basa-basi.
"Kamu tumben jam segini udah pulang."
Fauzan terlihat menghela napas pelan, setelahnya tangan cowok itu bergerak mengambil alih mangkuk yang ada di tangan Metta. "Nggak kenapa-napa."
"Kamu sekolah?"
Baru saja ingin menyuapkan mie ke dalam mulutnya, Fauzan beralih menatap Metta heran. "Kenapa? Mau nuduh gue bolos?"
"B-bukan gitu."
"Terus?"
"Heran aja, 'kan, ini belum waktunya pulang sekolah."
"Kelas akhir udah nggak ada urusan lagi di sekolah."
"Jadi?"
"Gue milih memanfaatkan waktu buat kumpul sama temen."
Metta mengangguk ragu dengan matanya yang masih memperhatikan setiap gerakkan Fauzan yang tengah memakan mie sisa dirinya. "O-oh. Kamu mau aku buatin mie?"
Fauzan menggeleng. "Nggak usah, ini aja."
"Tapi, itu sisa aku."
"Emang kenapa?"
Metta merasa salah tingkah. Kelakuan cowok itu memang selalu sukses membungkam mulut sekaligus mematikan pergerakannya.
Fauzan meletakan mangkuk tadi di meja, kemudian meraih air minum yang hanya tinggal setengah gelas.
Metta yang melihat itu lagi-lagi tercengang. "I-itu bekas aku."
Setelah meletakkan gelas di meja, Fauzan kembali menatap cewek di sampingnya. "Kenapa, sih? Emang kalau bekas lo kenapa?"
"Y-ya, enggak."
"Ya, udah."
Metta mengangguk kecil, kemudian kembali menatap layar televisi yang tengah menayangkan sinetron kesukaannya.
"Habis ini, gue pergi lagi."
"Ke mana?"
"Ke rumah sakit."
"Oh, jenguk temen kamu, ya?"
Fauzan mengangguk kemudian menyandarkan punggungnya di kursi. "Sekaligus pergi ke tempat kecelakaannya juga."
Metta menoleh. "Ngapain?"
"Cari sesuatu."
"Oh. Tapi, emang kamu nggak capek?"
"Capek."
"Harusnya tadi kamu nggak apa-apa nggak pulang dulu, biar nggak capek bolak-balik."
Fauzan menatap Metta. "Kenapa? Nggak seneng gue pulang?"
"Ya, bukan gitu, takut nanti kamu kecapean aja."
Fauzan menghela napas pelan. Ucapan Metta memang benar, tetapi bagaimanapun ia akan tetap memilih pulang juga. "Capek, sih. Tapi mau gimana lagi."
"Emang kenapa?"
Berdecak. Fauzan tidak habis pikir dengan pemikiran Metta. Tidak peka? Atau sengaja pura-pura tidak peka?
"Ngerti kangen nggak, sih? Kalo ngerti, ya, itu, kalau nggak ngerti mending nggak usah tau."
Fauzan Reynalfiyandi, seorang ketua geng dengan ekspresi menyeramkan yang selalu menghiasi wajahnya. Lagi-lagi membuat Metta kembali bingung dengan ucapannya.
45 - Lo Semua ... Mati!
Rumah sakit dengan segala macam aromanya, Fauzan melangkah masuk dengan langkah pelan. Takut kalau lagi-lagi ia harus merasa kecewa dengan keadaan Odel yang masih belum ada kemajuan.
Selain tidak tega melihat teman sendiri terbaring tak berdaya seperti itu, Fauzan juga ingin semuanya cepat selesai. Tentang kecelakaan yang masih belum menemukan titik terangnya, juga mereka yang akan segera melaksanakan acara yang sudah dari jauh hari direncanakan.
Apalagi jika mengingat mereka yang sebentar lagi akan lulus dan mulai berpisah satu sama lain. Masa-masa sekarang harusnya mereka pakai untuk menghabiskan waktu bersama, bukan sibuk mencari kejelasan seperti sekarang.
Harusnya tidak seperti ini. Bukankah mereka sudah merancang angan-angan perpisahan dari jauh-jauh hari?
Fauzan mendengus dan semakin merasa pusing kala pikirannya mengingat permintaan papanya waktu lalu.
Tidak, jangan sampai. Kehidupannya yang sekarang sudah jauh lebih bisa ia terima daripada dengan kehidupannya yang sudah lalu.
Ia sudah menyayangi Metta, dan tidak akan lucu jika mereka harus berpisah begitu saja.
Perlahan Fauzan membuka pintu ruangan di mana tempat Odel berada. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah teman segengnya yang tengah duduk berikut dengan kedua orang tua Odel.
Mengalihkan pandangan, hembusan napas kecewa keluar ketika ia masih melihat Odel terbaring lemas, berikut dengan alat-alat yang terpasang di sekujur tubuhnya.
"Baru sampai, Bos?"
Fauzan mengangguk. Setelahnya ia berjalan menghampiri teman-temannya. "Belum ada kemajuan?"
Laki-laki paruh baya yang tengah duduk di samping Regan, mengembuskan napasnya lesu. "Dokter bilang, kemungkinannya sangat tipis, dan ada konsekuensi jika selamat."
Fauzan menatap heran Pak Doni yang tidak lain adalah papa dari Odel. "Konsekuensi gimana, Om?"
Doni tidak menjawab, yang mana hal itu membuat Fauzan penasaran dan langsung menatap satu persatu temannya.
"Kemungkinan Dino akan amnesia."
Atensi seorang Fauzan langsung beralih, menatap wanita paruh baya yang duduk sembari menunduk. Raut wajahnya tidak bisa terdefinisikan lagi, selain kelopak mata yang menghitam, keadaan hidung yang memerah juga menunjukan bahwa wanita itu tidak berhenti menangis.
Amnesia? Haruskah Odel mengalami itu? Jika iya, bagaimana dengan penjelasan kecelakaannya? Satu-satunya orang yang mengetahui semuanya, mengetahui kronologinya, tetapi kemungkinan akan amnesia jika bangun.
Bagaimana? Semuanya benar-benar rumit.
Fauzan terdiam sebentar sebelum akhirnya ia menatap satu persatu temannya, memberi kode mereka agar keluar dari ruangan sekarang juga.
"Om, Tan, kami pergi dulu, ya. Kabarin kalau ada apa-apa." Setelah mengatakan itu, Fauzan langsung beranjak kemudian diikuti oleh teman-temannya.
"Kenapa, Bos?" ujar Bonek ketika mereka sudah sampai di luar.
"Kita ke lokasi sekarang." Fauzan kembali menatap satu persatu temannya. "Kemungkinan Odel amnesia, dan itu artinya mau nggak mau kita harus cari tahu semuanya sendiri."
"Iya, Bos. Polisi juga udah nyerah. Semua saksi yang hari itu ikut berkerumun, nggak ada yang ngasih penjelasan. Semuanya diam," ucap Kido.
"Ini udah bener-bener gila, Bos. Gue yakin yang saat itu ikut berkerumun itu saksi bayaran. Ya, nggak, sih? Soalnya kecelakaan tunggal, motor nggak hancur parah, ditambah lagi saksi bisu yang kita pun nggak tau itu datangnya dari mana," sahut Bonek.
"Iya, sih. Semuanya janggal, bener-bener janggal. Kita harus cepat ke lokasi sekarang." Adit beralih menatap Fauzan. "Sekarang?"
Fauzan mengangguk kemudian mulai melangkahkan kakinya.
"Gue, nggak ikut."
Fauzan, Adit, Kido, dan Bonek yang sudah mulai berjalan kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar perkataan Regan.
Kido mengernyit heran. "Kenapa lu?"
Regan terdiam. Ia bingung harus memberi alasan seperti apa kepada teman-temannya.
"Jangan bikin gue nambah curiga sama lo, Gan," ujar Bonek.
"Ngapain lo curigain gue? Nggak percaya? Gue ada alasan kuat buat nggak ikut."
"Sejak malem kejadian itu, lo udah aneh. Tampang lo beda, kelakuan lo juga selalu bikin gue curiga. Apalagi penjelasan lo sama penjelasan Adit yang bertolak belakang, gue makin curiga."
Regan menatap Bonek heran. "Terus, lo cuman curiga sama gue? Lo nggak curiga sama penjelasan Adit?"
"Gue ngomong sesuai fakta, jadi, nggak ada yang perlu dicurigain," sahut Adit.
Regan mulai terpancing. Ia maju selangkah mendekati keempat temannya. "Lah, lo pikir gue nggak ngomong sesuai fakta?! Inget, gue duluan yang liat, gue duluan juga yang tau."
"Justru itu, Gan, gue curiga karena lo yang tau dari awal."
"Terserah percaya atau nggak, gue nggak rugi. Yang pasti, gue tetep nggak bisa ikut."
Bonek terkekeh sinis. "Makin kuat, 'kan, pikiran gue."
Regan mengeratkan rahangnya, kemudian mencengkram kerah baju Bonek. "Jangan bikin gue habisin temen gue sendiri."
"Udah!" Fauzan melerai. "Di saat seperti ini, harusnya kita makin kuat buat mecahin semua masalahnya. Bukan kayak gini!"
Regan melepaskan cengkeramannya. "Dia yang mulai, Bos."
Bonek merapikan bajunya yang terlihat kusut akibat cengkeraman Regan tadi. "Lo yang bikin curiga."
Kido yang melihat itu menghela napas pelan. "Heran gue, ada masalah bukannya makin kuat malah bikin ambyar kayak gini. Zayeoune, 'kan?"
"Udah, kita ke lokasi sekarang." Fauzan menatap Regan dan Bonek secara bergantian. "Laki, 'kan?"
Fauzan melangkah, diikuti Adit dan Kido di belakangnya. Sedangkan Regan dan Bonek yang mengerti dengan maksud ucapan Fauzan tadi, sama-sama menghela napasnya pelan.
Keduanya bersalaman sembari mengucapkan kata 'Sorry' secara bersamaan.
----
Sampai di lokasi, Fauzan menjauh dari teman-temannya karena ada panggilan dari Metta.
Tadinya tidak ingin ia angkat, namun mengingat situasi yang sedang kacau, ia berubah pikiran. Selain takut ada hal penting, ia juga takut kalau sekarang Metta tengah tidak baik-baik saja.
"Hallo?" Fauzan mulai bersuara.
"H-hallo?"
"Kenapa?"
"Mm ... aku mau minta izin."
Fauzan mengernyitkan keningnya. "Buat?"
"Mama mau main lagi ke rumah, boleh nggak? Kalo nggak boleh nggak apa-apa, aku tolak tawaran mama. Kamu lagi di mana? Baik-baik aja, 'kan?"
Fauzan menghela napasnya. "Harus, ya?"
"Kamu nggak ngizinin?"
Belum sempat membalas ucapan Metta, Fauzan dikejutkan dengan Adit yang tiba-tiba menepuk bahunya. Hal itu spontan membuat Fauzan menjatuhkan ponselnya.
Selain terkejut, ia juga takut kalau Adit mendengar percakapannya bersama Metta.
"Siapa, sih, Bos? Kaget amat liat gue."
Fauzan mengambil ponselnya yang tergeletak di aspal. "Biasa. Gimana? Ada sesuatu?"
Adit mengangguk. "Lo nggak akan percaya ini, Bos, tapi lo harus percaya."
Fauzan mengernyit. Tidak mau menunggu lama ia langsung memasukkan ponselnya ke saku kemudian berjalan menghampiri temannya yang lain.
"Ada apa?"
Bonek menoleh kemudian mengangkat sesuatu yang ada di tangannya. "Ini, Bos. Kenal, 'kan?"
Fauzan menyipitkan matanya. Seketika rahangnya mengeras kala ia menyadari siapa pemiliknya. "Sialan!"
----
Menuju satu tempat ke tempat yang lain, mencari seseorang yang tengah mereka cari. Tidak, bukan hanya seseorang, melainkan gerombolan.
Ini tempat terakhir, jika masih tidak ada juga, tidak ada pilihan lain selain balik ke rumah sakit. Menunggu Odel sadar, dan berharap semoga cowok itu tidak mengalami amnesia agar semuanya jelas.
Tidak harus uring-uringan seperti ini.
"Lampunya nyala, Bos, tapi nggak ada banyak motor di sini."
Fauzan mengangguki ucapan Bonek. Ia masih memperhatikan rumah yang sepertinya sudah tak terpakai, di depannya. "Iya. Nggak ada tanda-tanda---"
Belum sempat melanjutkan, Fauzan segera menginterupsi temannya agar bersembunyi. Pasalnya, ia melihat seseorang baru saja ke luar dari dalam rumah itu.
"Anjir, ternyata ada orang, Bos. Kita hampir ke tipu," ucap Kido dengan suara pelan.
Fauzan mengangguk. Matanya masih fokus kepada seseorang yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Tidak, lebih tepatnya mungkin menuju jalan raya.
"Bos?"
Fauzan menoleh menatap Adit. Ia mengangguk kecil ketika Adit menunjukan batu berukuran sedang yang ada dalam genggamannya.
Setelah merasa posisinya sudah pas, Adit langsung melempar batu itu ke arah orang yang baru keluar tadi. Sengaja, ia melempar batu itu tepat ke arah kakinya agar orang itu mengerang dan langsung terjatuh.
Tepat sasaran, seseorang ya dilempari batu tadi kini tengah terduduk sembari memegang kakinya.
Fauzan berikut temannya segera berlari menghampirinya.
"Eh, siapa lo?"
Fauzan mengernyit kemudian mengangguk pelan. "Nggak kenal gue? Berarti orang baru."
"Lo yang lempar batu tadi?" tanya orang itu.
"Gue yang lempar, kenapa?" Adit tersenyum miring melihatnya.
"Sialan! Ada urusan apa lo, hah?" Baru saja ingin melayangkan pukulan kepada Adit, orang itu sudah kembali mengerang karena Kido dan Bonek baru saja menendang kakinya.
"Apa mau kalian?"
Fauzan berjongkok. "Gampang. Buka HP lo."
Orang yang kini tengah dibekuk oleh Kido dan Bonek itu menatap Fauzan heran. "Ngapain?"
"Buka aja."
"Gimana caranya?"
"Bilang aja lo simpan di mana."
"Kantong celana belakang."
Adit tersenyum sinis kemudian bergerak untuk mengambil ponsel cowok itu.
"Udah, 'kan? Kalian pasti lapar nggak punya duit, mangkanya mau ngambil HP gue. Lepasin!"
Fauzan terkekeh. "Nggak level."
Fauzan beralih menatap Adit. "Cari kontak bosnya, dan telpon sekarang juga."
Adit mengangguk kemudian segera melakukan perintah Fauzan. Tidak sampai satu menit, panggilan sudah terangkat.
"Kenapa? Buruan! Lama banget. Nganuin banci dulu, lo?!" Suara cowok terdengar keras di ujung telepon sana.
Fauzan melirik cowok tadi. "Ngomong. Bilang, lo mau disamperin ke luar."
Seseorang tadi menatap Fauzan sinis. "Buat apa?"
"Ngomong aja."
Mungkin tidak ada pilihan lain, akhirnya cowok tadi melakukan apa yang diperintahkan Fauzan. "B-bos, gue mau lo samperin gue ke depan."
Suara gelak tawa terdengar. "Ngapain lo? Nggak bisa balik?"
"Ada lima orang yang jegat gue, Bos."
"Siapa?"
"Nggak tau, tapi mereka nyu---" Belum sempat melanjutkan, namun sambungan sudah dimatikan oleh Adit.
"Lo kelebihan, gue cuma nyuruh dia keluar," ucap Fauzan.
Tidak lama dari itu, seorang cowok keluar dari rumah tadi. Tidak, ternyata ada beberapa cowok lain yang mengikuti.
"Ngapain lo ke sini?"
Fauzan tersenyum sinis menatap cowok yang baru saja tiba di depannya. "Nyelesain sesuatu."
"Balapan?"
"No, tapi lebih asik dari balapan."
"Tawuran?"
Fauzan menggeleng pelan. "Gue nggak suka basa basi. Ngaku sekarang, atau gue seret lo ke kantor polisi sekarang juga."
"Apa, sih? Nggak ngerti gue."
Bonek berdecih. "Najis, jangan pura-pura bego. Lo penyebab utama kecelakaan Kufa sama Odel, 'kan?"
Fauzan merubah tatapannya. Ia sudah tidak ada waktu untuk basa basi seperti ini. "Aksa, ngaku sekarang atau gue seret lo ke kantor polisi."
Seorang Aksa Aditama, terkekeh mendengar ucapan Fauzan barusan. "Atas dasar apa lo nuduh gue? Ada buktinya?"
"Ini topi kebanggaan kalian, 'kan? Gue nemuin ini di lokasi," sahut Bonek sembari menunjukan apa yang ia temukan tadi.
Terlihat jelas kalau Aksa menegang di tempatnya. "Itu emang topi geng gue, mungkin kebetulan jatuh di jalan."
"Anjir, ya, lo nggak mau ngaku juga?" ujar Kido.
Regan Bagaskara. Cowok yang sedari tadi hanya diam saja itu menatap seseorang yang tepat berada di belakang Aksa. Ia kenal orang itu, sempat melihatnya juga.
Mengangguk sembari menarik sudut bibirnya, Regan melangkah maju mendekati orang itu. "Gue ... kenal sama lo."
Orang yang ditunjuk oleh Regan itu mengernyit heran. "Siapa lo?"
Regan menoleh menatap Fauzan. "Bos, pas kejadian, gue liat dia ikut ngerumunin Kufa juga."
"Nah, sekarang kalian udah nggak bisa ngelak lagi," ujar Bonek.
"Murahan banget, ya, cara kalian!" sahut Kido.
Adit menampilkan senyum kecutnya. "Nyawa dibalas nyawa."
Ingin rasanya Fauzan menghabisi Aksa sekarang juga, namun sekuat tenaga ia menahan dirinya. Tidak, nyawa dibalas nyawa hanya berlaku untuk dirinya yang dulu. Sekarang tidak harus seperti itu.
Jika memang Aksa yang bersalah, ada yang lebih berhak menghukumnya.
Aksa yang sudah tidak bisa mengelak lagi, akhirnya terkekeh sembari bertepuk tangan pelan. "Mantap! Gue udah yakin, kalian pasti tahu soal ini. Terus gimana? Puas sama permainan gue?"
Permainan? Permainan apa yang sampai melenyapkan nyawa seseorang? Ini jelas pembunuhan!
Fauzan mengepalkan tangannya. Hal serius seperti ini mereka anggap permainan.
"Sialan lo!" umpat Regan. Baru saja ia ingin melayangkan pukulan kepada Aksa, namun Fauzan menahannya.
"Jangan gegabah," ucap Fauzan.
Berada bukan dalam lingkungannya membuat mereka harus berhati-hati.
Aksa berikut antek-anteknya kembali tertawa, menertawakan Fauzan dan teman-temannya yang sampai saat ini belum bertindak apa-apa. "Nyawa dibalas nyawa? Tapi kalian cuma diem aja? Banci, bukan?"
Tidak bisa ditahan lagi, Fauzan melayangkan pukulan tepat di rahang Aksa. Keempat temannya langsung maju ketika anak buah Aksa mulai melawan.
Fauzan menatap tajam Aksa ketika cowok itu baru saja bangun. "Cara lo terlalu murahan. Ingin bersaing tapi ngambil jalan curang."
Aksa yang mendengar itu hanya terkekeh sinis. Tangannya bergerak untuk melayangkan tinjuan kepada cowok yang selama ini ia nantikan kekalahannya. Namun sayang, Fauzan menghindar dan lagi-lagi malah ia yang terkena pukulan.
Fauzan mencengkram kerah baju Aksa. "Kenapa? Takut kalah saing lagi sama gue?"
"Gue nggak takut!"
Terkekeh sinis, Fauzan menghempaskan Aksa secara kasar. "Nyatanya lo yang banci."
Kalah jumlah tidak membuat teman-teman Fauzan kewalahan. Nyatanya, anak buah Aksa yang jumlahnya lebih dari mereka, kini sudah terkapar di aspal.
Regan menghampiri Fauzan, menatap Aksa dengan tatapan tajam. "Sekarang lo sendiri? Mari, kita tuntaskan masalah ini."
"Nyawa dibalas nyawa!" teriak Regan sembari kembali memukul Aksa. Ingin menghabiskan cowok itu sekarang juga, namun Fauzan menariknya begitu saja.
"Dari dulu, lo emang nggak berhenti nyari masalah sama kita. Sebenernya kenapa, sih, lo? Sampai nyawa orang lo habisin gitu aja?" ucap Bonek. Tajam, sama seperti Regan, cowok itu juga sudah berambisi penuh ingin menghabisi Aksa sekarang juga.
Aksa menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Ia menunjuk Fauzan dengan tangannya. "Satu-satunya alasan, dia, bos kebanggaan kalian, udah ngerebut Bian dari gue. Dan gue, nggak pernah terima itu!"
Manusia semacam Aksa memang pantas untuk ditertawakan. Fauzan melakukannya. "Harusnya sadar diri, dulu dia depresi gara-gara lo ninggalin dia."
"Gue terpaksa!"
"Sayangnya itu bukan urusan gue."
"Ck, udahlah, langsung habisin aja, tangan gue udah gatel," ucap Regan.
"Iya, Bos, nggak usah basa-basi lagi."
Fauzan menggeleng pelan. "Kita nggak perlu ngotorin tangan kita buat balas semuanya. Bawa ke kantor polisi aja."
Mendengar itu, Aksa malah tertawa keras. "Bukti lo kurang kuat buat laporin gue ke polisi."
Adit melangkah mendekat, tersenyum miring menanggapi ucapan Aksa tadi. Ia menunjukan ponsel yang ada dalam genggamannya. "Kita nggak sebodoh kalian. Gue udah rekam semuanya di sini."
Aksa mundur perlahan.
"Nggak bisa ngelak lagi, 'kan, lo?" ucap Bonek seraya tersenyum sinis.
Salah satu teman Aksa yang berada di belakang kembali berdiri. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri bosnya. "Bos, dia udah sampai."
Aksa menerima ponsel yang disodorkan oleh anak buahnya. Setelahnya, ia kembali menatap Fauzan kemudian tertawa kecil. "Bagus."
Fauzan yang sudah tidak mau membuang waktu langsung memerintahkan Bonek dan Regan agar menahan Aksa. Secepatnya ia harus membawa cowok gila itu ke kantor polisi. Namun, perkataan Aksa kembali menghentikannya.
"Gimana kalau Tiger dan mamanya berkunjung ke apartemen lo, apa yang akan terjadi?"
Fauzan merasa ada yang tidak beres, namun ia harus tetap tenang. Berjaga-jaga kalau semua ini hanya jebakan saja.
"Istri sama calon anak lo kira-kira gimana?"
Fauzan tidak percaya. Ia kembali maju dan memerintahkan teman-temannya agar segera menahan Aksa.
Aksa yang melihat itu semakin tertawa. Ia mengangkat ponsel dalam genggamannya ke atas. "Nggak percaya, ya? Coba denger, ini suara siapa?"
"Kalian ngapain ke sini? Gue udah ngasih semuanya, jangan ganggu gue lagi."
Napas Fauzan tercekat ketika menyadari kalau suara dari telepon itu memanglah suara Metta. Ia menggeleng pelan, mengepalkan tangannya dan menatap Aksa dengan tatapan membunuh.
Metta, istri dan calon anaknya dalam bahaya. Bagaimana kalau Tiger mencelakai Metta? Bagaimana kalau mereka memanfaatkan Metta untuk semakin menjatuhkannya?
Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja. Fauzan tidak mau itu terjadi, dan ia harus segera memastikannya.
Melihat Aksa yang semakin tertawa melihatnya, Fauzan benar-benar berjanji tidak akan meloloskan Aksa begitu saja jika Metta sampai kenapa-napa.
Dengan napas yang mulai memburu, Fauzan mundur secara perlahan. "Sampai dia kenapa-napa, lo semua mati di tangan gue!"
Setelahnya Fauzan berlari menuju motornya. Meninggalkan teman-temannya yang tengah berteriak memanggil dan bertanya-tanya tentang istri dan calon anak siapa yang dimaksud Aksa tadi.
Masa bodoh dengan semuanya. Fauzan tidak peduli kalau setelah ini, semuanya akan tahu tentang pernikahannya.
Tidak ada yang lebih penting sekarang selain keadaan Metta.
Ia berharap kalau Metta, cewek polos yang sudah sabar dengan segala sifat sikapnya, sekarang dalam keadaan ... baik-baik saja.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
