
Chapter;
31. Sayang
32. Mulai Lancar
33. Super Sibuk
34. Siapa Dia?
35. Sebuah Kesamaan
31 - Sayang?
Metta berdecak. Ia tidak berhenti mondar-mandir memasuki kamarnya, memastikan apakah suaminya sudah bangun atau masih tidur. Dan sampai sekarang, ternyata masih belum bangun juga.
Ia bingung, di saat seperti ini otaknya benar-benar blank. Sekarang sudah pukul delapan, dan Fauzan belum bangun dari tidurnya. Apakah cowok itu tidak ada niat untuk pergi ke sekolah? Atau malah sengaja bangun kesiangan?
Yang jadi masalahnya, Metta tidak berani untuk membangunkannya. Benar-benar istri yang tidak berguna. Untuk membangunkan suaminya saja ia tidak berani.
Metta beranjak dari duduknya, ia akan mencoba memberanikan diri untuk membangunkan Fauzan.
Dari dapur ia berjalan menuju kamar. Perlahan ia membuka pintu, dan lagi-lagi, Fauzan masih tidur nyenyak di atas kasurnya.
Ya, sejak malam memalukan itu, mereka memutuskan untuk tidur di atas kasur yang sama. Dan tentunya, atas kesepakatan bersama juga.
Metta mendekat. Meskipun sudah berkali-kali, ia tidak pernah bosan memandangi wajah suaminya yang tengah tertidur pulas. Tenang dan sangat menenangkan. Seandainya ekspresi Fauzan selalu seperti itu, mungkin ia tidak akan merasa takut.
"Udah lima kali lo bolak-balik kamar terus, nggak capek? Nggak bosen liatin gue terus? Atau mau tidur lagi? Kalau iya, ya, udah sini tidur lagi."
Metta tersentak. Mata Fauzan masih terpejam, tapi kenapa menyadari keberadaannya? Demi apa pun ia tidak habis pikir kenapa akhir-akhir ini ia selalu bertindak memalukan di depan cowok itu.
"Ngapain?"
Setelah berkata dengan mata yang terpejam, Fauzan membuka mata dan menatap Metta. Yang mana hal itu semakin membuat Metta salah tingkah di tempatnya.
"Kenapa?"
Metta menelan ludahnya. Ia menggaruk tengkuknya sendiri karena gugup. "A-anu, itu, kamu nggak ke sekolah?"
"Emang udah jam berapa?"
"Delapan." Ia sudah pasrah kalau nantinya Fauzan akan memarahinya. Tubuh Metta semakin menegang kala tatapan Fauzan berubah, cowok itu menatapnya lekat.
"Kenapa lo nggak bangunin?"
Sial beribu sial. Metta benar-benar merasa bodoh. Kalau sudah seperti ini, ia harus menjawab apa? Berkata sejujurnya? Itu bukan pilihan yang tepat karena ia yakin, Fauzan akan tidak habis pikir dengan rasa takutnya yang tidak masuk akal itu.
"Jawab, Tania." Tidak membentak, tetapi terkesan sangat tegas.
Metta terperanjak. Tania? Siapa?
"Maksudnya, Metta," lanjut Fauzan.
Metta mengalihkan pandangannya. "Aduh, gimana, ya, itu ... aku takut."
"Takut kenapa?"
"Banguninnya."
Fauzan menghela napas pelan. Ia mendudukkan tubuh seraya meregangkan ototnya. Untungnya Metta sedang menunduk, kalau tidak, entah seperti apa perasaannya ketika melihat pergerakan Fauzan barusan.
"Aneh, ya, ada cewek yang takut sama orang yang bahkan udah tinggal serumah sama dia." Fauzan menuruni kasurnya kemudian mendekati Metta. "Lain kali nggak usah takut, bangunin aja."
Fauzan meninggalkan Metta yang masih terdiam ditempatnya. Tolong, lain kali ingatkan Metta kalau ia sedang berada di jalan yang salah. Seperti matanya yang tidak bisa berpaling menatap tubuh suaminya. Itu kebiasaan buruk. Meskipun tidak bisa ditinggalkan, setidaknya harus dikurangi.
----
Sekarang, di sinilah Metta. Duduk berdua dengan Fauzan seraya menyantap sarapan yang ada. Momen manis, tetapi benar-benar terasa sangat menegangkan.
"Nanti malem nggak usah nungguin, mungkin gue pulang malem."
Metta mengangguk pelan. "Oke. Maaf, ya."
Fauzan mengernyit heran. "Ngapain minta maaf?"
"Gara-gara aku nggak bangunin kamu, kamu jadi nggak sekolah."
Fauzan meneguk air dalam gelas. Setelah meletakan kembali gelasnya, ia menatap Metta seraya menghela napas pelan. Entah sampai kapan cewek itu bersikap sebaik ini kepadanya.
"Sebenernya gue sengaja bangun kesiangan."
Metta mengernyit heran. "Kenapa?"
"Gue mau renovasi kafe. Bikin suasana kayak yang lo saranin waktu itu. Kalau udah beres, mungkin gue bakal jadiin tempat tongkrongan Zayeoune. Dan lo nggak bisa ke sana, kecuali lagi nggak ada temen gue."
Metta mengangguk. Tentunya sadar diri. Ia bisa menikah dengan Fauzan karena sebuah kesalahan, Fauzan juga terpaksa menikahinya. Ia tidak boleh berharap lebih, apalagi sampai dikenalkan kepada seluruh teman dan anak buah suaminya. Itu tidak mungkin.
"Renovasinya sama siapa?"
"The seven core. Tau, nggak?"
Lagi, Metta menganggukkan kepalanya. "Tujuh inti Zayeoune?"
"Tepat sekali."
"Berarti kamu bolos?"
Fauzan beranjak dari duduknya. Ia harus segera berangkat, teman-temannya pasti sudah menunggu di sana. "Bukan bolos. Nggak sekolah karena udah nggak ada pelajaran itu namanya memanfaatkan waktu."
Metta mengikuti Fauzan dari belakang. Sampai di ruang tengah, ia berhenti tepat di dekat kursi. Ada yang mau ia tanyakan, tapi malu.
Fauzan sudah akan membuka pintu. Metta bingung di tempatnya. Ia bergerak gusar, tidak tahu harus manggil Fauzan dengan sebutan apa.
"Em ... Fa? Nanti malem mau makan di kafe atau mau makan di rumah?" Dengan penuh keberanian, akhirnya ia bisa mengucapkannya.
Belum sempat membuka pintu, Fauzan kembali berbalik dan menatap Metta heran. "Lo panggil gue dengan sebutan papa?"
Metta menggeleng cepat. Bukan itu maksudnya. "B-bukan gitu. Nama kamu, 'kan, Fauzan, jadi aku panggil kamu, Fa, bukan, Pa."
Fauzan terdiam. Ia masih menatap Metta yang bergerak tak nyaman di hadapannya. "Ganti. Gue nggak suka dipanggil gitu."
Metta meringis. Ia menggaruk tengkuknya karena bingung. "T-terus apa? Aku bingung. Kalo dipanggil, Mas, kamu mau?"
Metta memang benar-benar polos. Polos ke oon-oonan.
"Nggak. Apalagi itu, bukan gue banget."
"Terus harus gimana?" tanya Metta bingung.
Menghela napas. Fauzan membuka pintu dan keluar begitu saja. "Dipanggil sayang kayaknya keren juga."
Setelahnya, ia menutup pintu dan segera pergi dari sana. Sebenarnya ia masih ingin melihat Metta salah tingkah, tetapi waktu benar-benar mengharuskannya segera pergi. Selain itu, ia malu karena secara tidak langsung ingin dipanggil sayang oleh Metta. Istri polosnya.
----
Alunan musik dari lagu despacito menemani ketujuh sosok cowok yang tengah sibuk bekerja di bagiannya masing-masing.
The seven core of Zayeoune.
Mereka kompak mengenakan celana selutut dengan kaus hitam bertuliskan 'Zayeoune Crew' di dadanya.
Hari ini, ketujuhnya tidak masuk sekolah. Tidak apa-apa, selain sudah tidak ada jam pelajaran tambahan, mereka ingin memanfaatkan waktu juga. Membantu Fauzan selaku bos besar mereka untuk mengubah suasana kafenya, sekaligus meresmikan tempat itu sebagai tongkrongan dan basecamp baru untuk anggota Zayeoune yang lain.
Fauzan sengaja menutup kafenya full hari ini.
Sebenarnya banyak anak Zayeoune dari angkatan kelas sepuluh juga kelas sebelas yang ingin ikut serta membantu bos besar mereka, tetapi Fauzan melarangnya. Mengingat mereka masih harus belajar seperti biasa.
Fauzan memang nakal, tapi sebisa mungkin ia tidak mau membawa seseorang untuk sama seperti dirinya.
Fauzan dan Kufa tengah sibuk menggambar kepala Harimau yang tengah mengaum, tidak lupa dengan tulisan Zayeoune di bawahnya. Persis seperti logo kebanggan mereka.
Regan dan Kido sibuk mempercantik dinding polos yang ada di ujung---bersebrangan dengan Fauzan dan Kufa. Mereka menuliskan berbagai grafiti dan gambar-gambar keren lainnya.
Odel dan Bonek tengah mengecat kembali kursi dan meja kayu yang ada di sana. Dari warna putih diganti menjadi warna coklat tua, tidak lupa memberikan sedikit kata-kata menarik dengan letak yang tak tentu arah. Seperti coretan biasa, tetapi memiliki makna jika dibaca.
Sedangkan Adit? Cowok itu tengah memasang lampu-lampu kecil di setiap sudutnya. Menambahkan pigura-pigura menarik di setiap dinding kosongnya. Tidak lupa menempelkan stiker-stiker khas Zayeoune yang tak kalah keren dan menarik dari hiasan yang lainnya.
Terkesan seperti basecamp pribadi Zayeoune. Namun, terbuka untuk umum. Siapa pun pengunjungnya, mereka pasti akan menerima. Terlebih lagi, setelah diubah konsep seperti ini, mereka yakin kalau pengunjungnya sudah pasti banyak dari kalangan kaum muda. Sama seperti mereka.
Despacito
Quiero respirar tu cuello despacito
Deja que te diga cosas al oído
Para que te acuerdes si no estás conmigo
Bonek ikut menyanyikan lirik lagu dengan kepalanya yang sudah bergerak ke sana-kemari. Sedangkan tangannya masih sibuk mengecat.
"Lo tau, nggak, arti dari lirik yang lo nyanyiin tadi?" ujar Adit seraya menatap Bonek.
Bonek menggeleng pelan. "Lo, 'kan, tau kalau gue bego bahasa Inggrisnya."
"Sinting! Buka google, cari arti lagu despacito. Gue yakin lo geleng-geleng nantinya."
"Nggak, ah. Saya masih ada job, Mas."
Adit menggeleng aneh. "Gila!"
"Ngapain capek-capek cari di google, tinggal puter aja versi Indonesianya," ujar Regan ikut menimpali.
Bonek menatap Regan yang tengah menatapnya juga. "Emang ada, ya?"
"Banyak kali. Cari aja."
"OTW cari. By the way, versi Indonesianya mantep, nggak?"
Regan tertawa kecil. "Gue yakin lo bakal ketagihan dengernya."
Adit yang mendengar itu kembali menggeleng pelan. "Si Agan otaknya bener-bener udah rusak."
Regan menatap Adit kesal. "Sekali lagi lo panggil gue Agan, gue seret lo, mau?"
"Siapa takut!"
"Ke kamar mandi, siap? Kayak Odel sama Kido kemarin," ucap Regan dengan tampang andalannya.
Adit mendengus jengah. "Najis!"
Regan tertawa keras. Ia beralih menatap Kido dan juga Odel secara bergantian. "Del, Do, kemarin lo ngapain aja di kamar mandi sampai lama gitu?"
Odel memutar bola matanya malas. "Jangan ngeres! Gue sama Kido lama di kamar mandi karena ngintip."
"Tuh, 'kan! Apa gue bilang, mereka berdua pasti ngelakuin yang enggak-enggak!"
Kido berdecak kesal. "Apaan, sih?! Kita ngintip si ketos sialan itu."
Regan menggelengkan kepalanya tak percaya. "Ini lebih parah, kalian ngintip sesama jenis? Punya kalian masih kurang?"
"Bukan gitu, Asu!"
"Ngaku aja!"
Odel menggeleng heran. Ia berdecak lalu menatap Fauzan yang terlihat tidak ikut campur dengan lelucon teman-temannya. "Bos? Lo tau, nggak? Kemarin gue sama Kido ngintipin si ketos gila itu lagi ngerokok di kamar mandi."
Fauzan yang masih fokus dengan kegiatannya hanya menghela napas pelan. "Baru tau lo?"
"Lah, lo udah tau, Bos? Gila, ya, si Alga, dulu ngelaporin kita gara-gara ngerokok, taunya dia juga malah ikut-ikutan." Odel menggeleng tak percaya.
"Udah biasa, kali. Gue udah sering liat," ucap Fauzan santai.
"Lo nggak mau laporin balik?" tanya Bonek.
Fauzan beralih menatap teman-temannya. "Ngapain?"
"Bales dendam, lah. Gue masih ingat kita dijemur di lapangan selama tiga jam gara-gara dilaporin sama dia," sambung Kido.
Fauzan menghela napas kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. "Percuma. Buang-buang waktu. Nggak akan ada yang percaya sama laporan kita. Ketos gila itu punya muka banyak soalnya."
Regan mengangguk setuju. "Yoi. Lo, 'kan, tau kalau satu sekolah mandang kita sebelah mata. Apalagi guru-guru."
Fauzan menghentikan kegiatannya. Ia kembali menatap teman-temannya. "Kita emang pendosa. Tapi setidaknya kita itu nyata. Nggak palsu atau bersandiwara, apalagi bermuka dua."
32 - Mulai Lancar
Metta tersenyum melihat layar ponselnya yang menampilkan salah satu foto dari postingan akun Instagram yang tengah ia kepoi.
Sosok cowok yang tengah duduk dengan gagahnya sembari tersenyum kecil ke arah kamera. Fauzan memang semenarik itu.
Metta bukan lagi mengkepoi akun Ig suaminya, tidak sama sekali karena cowok itu tidak memiliki akun Instagram. Yang ia kepoi adalah akun resmi milik Zayeoune. Tidak memiliki banyak followers. Namun, sudah cukup banyak postingannya. Isinya tidak lebih dari; kata-kata, vidio, dan juga foto-foto dari tujuh inti mereka. Berikut dengan coretan tangannya.
Postingan terakhir mereka yaitu dua foto tempat yang ia yakini adalah kafe milik suaminya, dengan caption 'this is our basecamp'. Ber-filter sedikit gelap, tetapi ia sudah melihat perbedaannya. Sudah jauh berbeda dari kafe yang ia datangi hari Minggu lalu.
Rasa senang merambat. Namun, rasa takut ikut menyapa. Takut kalau ia tidak berkesempatan untuk mengunjunginya lagi karena mengingat, kafe itu sudah menjadi tongkrongan khusus anak Zayeoune.
Metta menghela napas. Ia harus menerima itu. Demi suaminya.
Ngomong-ngomong soal suaminya, ia jadi teringat dengan sikap cowok itu yang terlihat berbeda semalam. Lebih sedikit bicara, meskipun biasanya seperti itu. Lebih tepatnya, Fauzan seperti mendiamkannya.
Metta bingung. Ia berasumsi kalau Fauzan itu tengah kecapean atau malah ... marah karena perihal ia yang tidak memanggilnya dengan sebutan sayang?
Tidak mau berpikir lebih keras lagi untuk mendapatkan jawabannya, Metta memilih untuk meminta pendapat kepada temannya saja.
Metta : Pee
Qilaa
Qil
The Qil?
Qila : Apacih, Bumil?
Metta : Mau minta pendapat, lagi sibuk nggak?
Qila : Sibuk, sih, endorse-an gue lagi banyak. Tapi nggak masalah, mau apa?
Metta : Kemarin, Fauzan nyuruh gue manggil dia dengan sebutan sayang, tapi gue nggak turutin.
Qila : Kenapa? Pamali! Jangan nolak keinginan suami.
Metta : Gue malu.
Qila : Terus?
Metta : Semalem dia kayak cuekin gue gitu.
Menurut lo dia kenapa?
Qila : Itu tandanya dia marah.
Metta : Terus gue harus gimana?
Qila : Ya, udah, turutin, Oon!
Panggil dia sayang.
Metta : Emang gue Oon?
Qila : Banget.
Metta : Nggak, kok.
Qila : Iya. Kalau nggak oon, lo mana mungkin mau nyamperin Fauzan waktu itu yang jelas-jelas dia lagi dikendalikan obat. Sekarang lo kena imbasnya, 'kan?
Metta : Itu bukan oon. Gue nolongin dia, kasian. Kalau nggak gue tolongin, katanya, dia bakalan nggak selamat.
Qila : Siapa yang bilang gitu?
Metta : Ya, yang ngasih tau gue, lah, kalau waktu itu Fauzan lagi butuh pertolongan.
Qila : Lo ditipu!
Metta : Masa iya, gue ditipu?
Qila : Nggak tau, lo emang oon kebangetan.
Metta : Gue oon cuma sama Fauzan.
Qila : Sinting!
Udah, lah, gue mau nge-Job dulu.
Besok gue ke rumah, ya, siapin sesuatu buat gue!
Metta menghela napas kemudian meletakan ponselnya di meja. Mengungkit kejadian itu semakin membuatnya merasa pusing sekaligus penasaran secara bersamaan.
----
Fauzan menghela napas lega. Tidak ia duga sebelumnya kalau suasana kafe yang baru seperti ini ternyata benar-benar menarik banyak pengunjung. Khususnya anak muda yang mungkin seumuran dengan dirinya dan juga temannya.
Dalam hati ia berterimakasih kepada Metta. Namun, ia tidak mau mengatakannya. Seperti biasa, dengan alasan yang tetap sama. Gengsi.
"Fauzan nyamperin anak-anak dulu, ya, Om?"
Wiryo mengangguk seraya tersenyum. "Baik, Tuan muda, yang sebentar lagi jadi papa muda."
Fauzan terkekeh kemudian segera berjalan menuju kumpulan teman-temannya. Malam ini ia begitu sibuk, mengurus kafe dan kumpul dengan temannya secara bersamaan. Sepertinya, ia akan pulang larut lagi malam ini.
"Aduh, yang udah jadi double bos, sibuk banget kayaknya," ujar Bonek. Semua yang duduk di sana menatap kedatangan Fauzan.
"Biasa aja." Fauzan ikut duduk bersama mereka.
"Oh, ya, Bos, studio lo kenapa nggak dipindahin ke sini aja?" tanya Odel.
Fauzan menatap Odel heran. "Maksud lo alat musik di kamar gue?"
Odel mengangguk.
"Sekalian alat DJ-nya juga," sambung Adit.
Menghela napas. Fauzan tampak memikirkan usul dari teman-temannya. "Boleh, sih. Tapi nanti kafe gue jadi klub, dong?"
"Itu yang bikin seru. Kita udah lama juga nggak main ke klub, 'kan?" timpal Regan yang duduk di sebelah Kufa.
"Iya, Bos. Asal jangan ngadain minuman aja," sambung Bonek.
Fauzan setuju. Sudah lama juga ia tidak bermain dengan alat-alat menyenangkan itu. Yang jadi masalahnya, semua alat musik itu ada di rumah lamanya, lebih tepatnya, rumah laki-laki yang sudah mengusirnya. Apa ia mau menginjakan kaki ke rumah itu lagi?
Sekarang, kalian mengetahui fakta baru tentang Fauzan. Jadi, menurut kalian apa alasan Fauzan suka pergi ke tempat bising, atau lebih tepatnya pergi ke klub?
"Seru, tuh, Bos. Gue kangen liat lo nge-DJ lagi," ujar Kido seraya membuka cangkang kacang yang ada di tangannya.
"Bagus, sih. Asal kita bisa jaga aja," kata Kufa.
Fauzan menghela napas seraya mengangguk kecil. "Nanti gue pikirin."
Keenam temannya bersorak heboh kemudian mereka kembali menikmati kacang kulit yang ada di meja. Sedangkan Fauzan merogoh ponsel yang ada di sakunya ketika baru saja terasa bergetar.
Metta : Kamu pulang malam lagi, ya?
Maafin aku, ya.
Kamu marah, 'kan, perihal kemarin?"
Fauzan mengernyit heran. Belum sempat ia balas, pesan baru kembali muncul.
Metta : Maaf, ya.
Mulai sekarang iya, deh, aku bakalan panggil kamu sayang.
Tapi kamu jangan cuek lagi, ya?
Demi apa pun, Fauzan tidak habis pikir dengan sikap Metta. Ingin rasanya ia tertawa kencang kalau saja tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Cewek itu benar-benar aneh. Tanpa sadar ia mengangkat kedua sudut bibirnya.
Metta : Ya, udah. Sayang pasti lagi sibuk, ya?
Pulangnya hati-hati.
Oh, ya, aku udah masak buat sayang. Nanti di makan, ya. Takutnya aku ketiduran❤
Sekarang Fauzan benar-benar terkekeh pelan. Ia tidak menyangka kalau Metta akan menuruti perkataannya. Padahal ia hanya bercanda. Perihal semalam, ia memang tidak banyak bicara. Bukan berarti marah, ia hanya merasa terlalu lelah saja. Siapa sangka kalau cewek itu malah salah menanggapinya.
"Cewek gila. Bawelnya cuma di HP doang." Tanpa kesadaran, Fauzan mengucapkannya.
"Ya, elah, Bos, siapa, sih? Cewek mana lagi yang mampu mengisi kekosongan hatimu?"
Seketika Fauzan tersadar. Ia mendongak dan langsung mendapati tatapan heran dari teman-temannya.
Mampus.
----
Bangun malam sudah menjadi kebiasaan Metta akhir-akhir ini. Entah kenapa, selain merasa haus, ia juga ingin memastikan keberadaan suaminya. Sudah pulang atau belum.
Metta tidak melihat keberadaan Fauzan di kamarnya, itu berarti suaminya belum pulang. Padahal, sekarang sudah menunjukan pukul dua belas malam.
Menghela napas. Metta beranjak menuruni kasurnya. Ia akan mengambil minum ke dapur dan setelahnya akan mencoba menghubungi Fauzan.
Ia takut suami galaknya itu kenapa-napa.
Belum sempat membuka pintu dapur, cewek itu kembali menoleh ke kursi yang ada di ruang tengah. Lagi, ia melihat Fauzan tengah tertidur dengan posisi duduk. Sebenarnya ada apa? Sedang sakit, atau malas tidur dengannya?
Setelah berdecak pelan, Metta melangkah menghampiri Fauzan. Segala asumsinya yang tadi lenyap begitu saja ia kala melihat raut wajah suaminya yang tampak kelelahan.
Metta menghela napas pelan kemudian duduk di sebelah Fauzan. Memandangi wajah suaminya yang terlihat begitu nyenyak dalam tidurnya. Posisi duduk dengan tangan yang dilipat di dada. Kadang Metta heran, posisi tidur seperti itu apakah tidak membuat tubuhnya pegal?
"Kamu kecapean, ya? Kasian banget. Kalau aku bisa, pasti aku bantu."
Sebelum melaksanakan aksinya, Metta memastikan terlebih dahulu apakah Fauzan benar-benar tidur atau hanya pura-pura seperti waktu itu. Ia menggerakkan telapak tangannya di atas wajah Fauzan, tepat di atas matanya.
Tidak ada pergerakan, berarti aman. Merasa belum puas, Metta menggerakkan telunjuknya menusuk-nusuk pipi Fauzan. Dan tidak ada pergerakan. Berarti aman.
Metta menghela napas pelan. "Aku emang cepu. Beraninya cuma ketika kamu lagi nggak sadar, atau bahkan cuma berani di HP doang."
"Maaf, ya. Sekarang aku bukan mau curhat. Tapi ...." Metta terkekeh pelan. "Mau elusin rambut kamu, boleh?"
Sadar, Fauzan tidak akan membalas ucapannya, Metta langsung mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut yang sudah cukup panjang. Tangannya bermain di sana. Ia mengelus rambut Fauzan dengan penuh kasih sayang, seakan menyalurkan perhatiannya yang terkadang tidak bisa ia sampaikan.
"Lain kali aja, ya, gue lagi capek. Nggak mau di ganggu."
Awalnya terkejut. Namun, Metta mengernyit heran kala Fauzan berbicara dengan mata yang terpejam. Ia menghela napas ketika menyadari kalau ternyata Fauzan hanya mengigau saja.
Tidak merasa was-was sama sekali, Metta kembali melanjutkan aksinya. Tidak apa-apa, ini kesempatan baginya.
"Kalau anak kita cowok, aku mau mukanya mirip kamu. Tapi sikapnya jangan, aku nggak mau kalau anak kita nantinya sangar kayak kamu." Metta tersenyum samar. "Eh, tapi, gak apa-apa deh. Lebih baik tegas kaya kamu dari pada lembek kaya aku."
Metta melihat pergerakan Fauzan. "Udah gue bilang, gue capek."
Detik itu juga tubuhnya menegang. Fauzan tidak tertidur? Seraya menggeleng pelan, Metta kembali memastikan apakah cowok itu beneran tertidur atau tidak. Takut kalau ini hanya bentuk dari halusinasinya saja.
"Kamu bangun?" Dengan bodohnya Metta bertanya seperti itu.
"Nggak ada yang tidur."
Tidak ia sangka, Fauzan menjawab pertanyaannya. Dengan jantung yang sudah berdetak tak beraturan, Metta kembali bertanya. "T-tapi, tadi aku udah pastiin, kamu tidur."
Fauzan membuka kelopak matanya kemudian menatap Metta. "Sengaja. Mau tau lo bisa bermain sampai mana."
Demi apa pun, Metta kelimpungan ditempatnya. Tidak mau mengambil resiko, lebih baik ia pergi dan mengurung diri di kamar mandi. Ya, itu lebih tepat dari pada harus melihat Fauzan marah-marah didepannya.
Metta berdiri kemudian berbalik. Baru dua langkah ia maju, suara Fauzan menghentikan pergerakannya.
"Diem disitu."
Metta berhenti namun tidak berbalik menatap Fauzan. Ia takut, sekaligus malu juga. Apapun nantinya, ia harus menerima konsekuensinya. Salahkan dirinya juga yang sudah lancang menyentuh Fauzan.
Belum selesai memikirkan apa yang akan menimpanya, lagi-lagi Metta dibuat menegang dengan keberadaan dagu Fauzan yang bersandar tepat di bahunya.
"Mau kemana?" Serak dan terdengar sangat pelan.
Metta memberanikan diri untuk menjawab. "K-kamar mandi."
"Jangan macem-macem kalo gak mau gue macem-macemin."
Metta memejam dengan kening yang mengerut dalam. Bersamaan dengan itu, detak jantungnya mulai tidak bekerja dengan normal. Tubuh Metta semakin melemas saja ketika merasa kecupan singkat di lehernya.
"S-s-sayang mau ngapain?" Metta bergetar takut. "Aduh, maaf ya maaf. Aku udah lancang banget sama kamu. Plisss... S-sayang maafin aku ya. Dan soal kemarin, aku juga minta maaf. Sekarang janji, pasti bakal manggil kamu sayang terus."
Entah kenapa, mengucapkan kata 'sayang' saja susahnya sudah seperti move on dari seseorang.
Metta kembali membuka matanya ketika merasa Fauzan sudah tidak menempatkan dagu di bahunya. Ia masih belum bisa bernapas lega karena cowok itu masih berada di belakangnya.
"Gak asik. Baru segitu aja udah gempa." Fauzan menghela napas pelan sebelum ia melangkah memasuki kamarnya. "Hati-hati dikamar mandinya. Udah malem, lo harus tidur."
Metta menelan ludah susah payah. Tangannya bergerak untuk memegang dadanya sendiri. Demi apapun, mulai detik ini, menit ini, jam ini, malam ini, dam mulai dari sekarang, ia tidak akan bertindak bodoh lagi dihadapan Fauzan.
Menyesal rasanya ia sudah menuruti perkataan Qila yang katanya, kalau suami sedang kelelahan, sebisa mungkin istri harus bisa lebih perhatian.
Nyatanya, pernyataan itu tidak berlaku bagi Fauzan. Suaminya benar-benar menakutkan dan membuat tubuhnya tak berkutik sama sekali.
Untuk kali ini Metta membenarkan perkataan Aqila Queenata kalau dirinya memang benar-benar oon kebangetan.
33 - Super Sibuk
Metta menggeleng heran ketika melihat Qila yang sedang makan satu mangkuk mie di depannya.
"Selebgram cara makannya kayak gitu, ya?"
Sembari mengunyah mie dalam mulutnya, Qila mengangguk pelan. "Kalau gue, sih, gini, nggak tau yang lain."
"Lo rakus, Qil."
"Nggak tau, ya, Met, emang kalau makanan gratis itu enaknya kebangetan."
Metta berdecak pelan. "Cuma mie, Qil, goceng juga udah kenyang. Segitu lo masih ngarepin yang gratisan?"
Semangkuk mie yang baru tersaji sekitar sepuluh menit yang lalu itu kini sudah tandas, hanya tinggal menyisakan sedikit kuahnya saja. Qila meneguk satu gelas air kemudian menatap Metta heran. "Selagi masih ada yang gratisan, kenapa enggak?"
"Lo udah gila, Qil."
Qila menghela napas pelan. "Terserah. Yang penting gue suka."
Ia beralih memperhatikan sekeliling dapur rumah Metta. "BTW, lo tiap hari masak apaan?"
"Tergantung."
"Ketua geng suka ngasih lo duit?"
Metta mengangguk pelan. "Tiap hari dua ratus ribu. Tapi nggak pernah gue pakai, gue simpan."
Qila mengernyit heran. "Itu gede lho, Met. Terus lo beli kelengkapan pakai uang mana?"
"Iya gede, mangkanya sayang kalo gue pakai. Apalagi pemberian Fauzan. Beli perlengkapan gue, ya, pakai duit gue, lah."
"Om lo masih ngirim lo duit?"
Metta menggeleng pelan. "Ya, enggak, lah. Dia, 'kan, tau kalau gue udah nikah. Tadinya Om Adji mau tetep ngasih gue bulanan, tapi gue tolak. Kata Fauzan, nggak perlu. Dia masih bisa biayain gue."
Qila menggeleng tak percaya. "Gila, ketua geng idaman juga ternyata."
Metta menghela napas pelan. "Ya, gitu, deh, kadang emang nyenengin. Tapi lebih banyak nyereminya."
Qila terkekeh pelan. "Nanti juga biasa. Terus lo pakai duit dari siapa?"
"Lo lupa kalau gue kaya? Uang gue di mana-mana."
"Sombong mode on," ucap Qila seraya memutar bola matanya malas.
Metta tersenyum. "Nggak apa-apa, yang penting gue suka."
"Terserah bumil, deh."
"Iya, Qil, lo harus turutin gue terus. Kalau enggak, gue gampang kesel soalnya. Nggak tau kenapa." Metta menunduk dan mengusap perutnya yang kini sudah tidak rata. "Mungkin bawaan dedek bayinya kali, ya?"
Qila mengangguk mengiyakan. Ia tidak tahu, perubahan Metta memang tampak sekali. Dulu, sebelum Metta mengandung, posisi yang suka marah-marah itu Metts. Dan ia mengakui kalau saat itu yang bersikap oon itu dirinya.
Tapi sekarang sudah beda. Yang oon adalah Metta, dan ia selalu kesal menyikapinya.
"Sama ketua geng lo suka kesel?"
Metta menatap Qila heran, setelahnya ia menggeleng pelan. "Mana ada, yang ada bawaannya gue pengen manja terus sama dia. Tapi ... ya, gitu, gue takut. Fauzan orangnya nyeremin."
"Nggak apa-apa kali, sekali-kali lo harus berani. Gue yakin, Fauzan pasti nurutin apa yang lo mau. Dan percaya sama gue, lambat laun dia juga ada perasaan buat lo."
Metta menghela napas pelan. "Nggak, ah, gue nggak berani lagi nurutin apa kata lo. Kapok. Kemarin gue keteteran banget."
Qila mendengus pelan. "Itu elo-nya aja yang nggak tau situasi, atau malah lo yang nggak tau tata caranya. Emang kemarin dia ngapain lo? Nggak minta jatah, 'kan?"
"Enggak. Dia cuma ngomong 'jangan macem-macem kalo nggak mau dimacem-macemin'."
"Gitu doang? Cemen banget."
Metta berdecak pelan. "Dia bilang gue nggak asik karena gara-gara dicium leher doang, gue udah gempa."
Qila melongo, namun setelahnya ia tertawa. "Gila! Kalau gue bukan gempa lagi, mungkin udah longsor. Ngakak banget, sih, kisah kalian? Jadi gemoi gue."
Menghela napas. Metta menyesal sudah bercerita kalau tanggapan Qila hanya menertawakannya saja. "Bodo, lah. Mulai sekarang gue nggak mau berani-berani lagi sama dia."
Qila menghentikan tawanya. "Nggak usah gitu, lanjutin aja terus aksinya. Percaya sama gue, sebenernya Fauzan juga suka digituin sama lo."
"Enggak. Semalem udah fatal banget."
"Lembek. Gitu aja nyerah." Qila menghela napas pelan. "Eh btw, lo main, dong, ke rumah gue. Masa gue terus yang ke sini."
"Takut, Qil. Fauzan pasti gak ngizinin."
Qila menggeleng heran. "Gila, ya, Met. Sekarang lo cemen banget, perasaan dulu lo savage-nya minta ampun, deh."
"Sekarang sama dulu keadaannya udah beda, Aqila."
"Gue yakin, si bos pasti ngizinin."
Metta menghela napas sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, deh. Kalau di izinin, besok gue ke rumah lo."
Ya, semoga saja Fauzan mengizinkannya. Bagaimanapun, ia butuh suasana baru. Bosan rasanya kalau setiap hari ia hanya berdiam di rumah.
----
Fauzan baru saja menghampiri teman-temannya. Kali ini tidak hanya tujuh inti Zayeoune, ada Andra dan juga teman yang lainnya.
"Bos? Hubungan lo sama Metta apaan?"
Fauzan yang baru saja memejamkan mata seraya bersandar di kursi, kembali menegakkan tubuhnya seraya menatap Odel heran. Ia terkejut. Kenapa Odel bertanya seperti itu? Atau jangan-jangan, mereka sudah tahu?
"Si bucin tadi grepe-grepe HP lo, Bos."
Kali ini ia melirik Bonek. Odel membuka ponselnya? Itu gawat. Bagaimana kalau temannya itu melihat-lihat isi pesan WhatsApp-nya?
Fauzan tidak bisa berpikir jernih, ia tidak tahu harus menjawab apa jikalau teman-temannya memang sudah mengetahui kebohongannya.
"Iya, Bos, sorry, ya." Odel menatap Fauzan seraya cengengesan. "Gue bajak HP lo bentar, niatnya mau cari nomor cewek."
Dengan tubuh yang semakin menegang, Fauzan masih mendengarkan perkataan Odel. Ia tidak ingin menyela sebelum Odel menjelaskan semuanya.
"Terus? Ada?" tanya Andra.
Semua mata menyorot Odel dengan rasa penasaran. Sedangkan Odel, cowok minim keberuntungan itu hanya menghela napas seraya menggeleng pelan saja. "Nggak ada. Di HP Bos cuma ada nomor satu cewe doang, Metta. Gue baru ngeh kalau Bos baru ganti HP."
"Lo ganti nomor juga, Bos?" tanya Regan, dan Fauzan menganggukinya.
"Tadinya gue mau liat isi WA-nya, eh, digembok. Gue jadi kepo status hubungan lo sama Metta, Bos. Dia cewek yang disekap Aksa waktu itu, 'kan?"
Fauzan mengangguk membalas perkataan Odel barusan.
"Terus hubungan lo apa, Bos? Temen? Adek kakaan? Atau udah pacaran?" tanya Kido yang duduk bersebrangan dengan Fauzan.
Cowok yang masih mengenakan topi hitam bertuliskan 'Zayeoune Crew' itu menghela napas pelan. Fauzan nyerah, mungkin ini sudah waktunya untuk ia bercerita.
Ia menatap semua mata teman-temannya yang juga tengah menatapnya. "Belum jadian, sih. Masih dalam proses."
"Anjir! Gila! Si Bos sekarang doyannya sama yang polos-polos, ya," sorak Bonek girang.
"Kalau jadi, jangan lupa ngopi," sahut Regan seraya menatap Fauzan dengan senyum penuh artinya.
"Resmiinya mau pakai instrumen, nggak, Bos? Kalau mau, gue siap disewa," sambung Adit seraya terkekeh pelan.
"Gila, ya, Bos, tadinya mau gue gebet," keluh Odel.
"Tapi dia udah nggak sekolah, 'kan, ya? Gue denger-denger, sih, pindah. Bener, Bos?" tanya Kido.
Fauzan terdiam. Namun, setelahnya ia mengangguk pelan.
"Mentok sama yang ini, jangan pisah-pisah lagi," ucap Kufa yang sedari tadi hanya diam menyaksikan teman-temannya.
"Sukses, ya, Bos!" ujar Andra.
Dengan ragu Fauzan mengangguk pelan. Astaga ... kebohongan apa lagi ini?
"Lo ngapain cari nomor cewek? Udah move on dari Kelly?" ujar Regan seraya menatap Odel.
Odel mengangguk cepat. "Gue udah lelah jadi bucin dia tapi nggak kesampean terus. Gue mau berubah. Ia want to be a fakboi."
Semua menatap Odel heran. Cowok yang tidak pernah mengejar cewek lain selain Kelly itu ingin berubah? Jadi fakboi? Semuanya menggeleng secara bersamaan. Kecuali Fauzan dan Kufa.
"Eling, maneh, teh!"
"Jangan gila, Del. Yang ada nanti lo dibenci sama kaum betina."
"Inget, Del, lebih baik mencintai tanpa dicintai dari pada dicintai tapi malah menyakiti," ujar Adit.
Odel berdecak pelan. "Kalian munafik, Njir. Sok-sokan ngomong gitu padahal kelakuan fakboi semua."
"Gue dukung, Del." Semua mata menyorot Regan. Sedangkan cowok itu hanya tersenyum menyeringai. "I want to be a fakboi. Capek disakitin mulu sama cewek."
Bonek menggeleng heran dengan ucapan Regan. "Si Agan kalau ngomong suka nggak ngaca dulu. Bukannya situ yang sering mainin cewek?"
Regan mengangkat bahunya. "Iya, sih. Tapi jarang."
Kufa yang tidak tertarik dengan obrolan teman-temannya lebih memilih menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya. Sedangkan Fauzan, cowok itu sudah biasa. Sesekali ia menggeleng pelan kala obrolan teman-temannya begitu aneh untuk didengar.
Malam ini kemungkinan ia akan menginap di kafe. Menyelesaikan tugas yang sedari tadi sudah menunggunya. Tumpukan laporan pengeluaran juga pemasukan semakin bertambah di mejanya. Satu lagi, ada hal lain yang ingin ia bicarakan dengan Om Wiryo. Kebetulan laki-laki itu juga akan menginap bersamanya.
Sekarang kafe semakin ramai, ia semakin sibuk, dan kemungkinan tidak akan punya banyak waktu lagi. Namun, di balik itu semua, ia merasa bersyukur. Pemasukan semakin bertambah, dan besok, ia sudah bisa mewujudkan salah satu keinginannya.
Membeli motor baru, meskipun tidak akan sama seperti yang dulu.
Tidak apa-apa, yang penting itu bisa bermanfaat baginya.
Tadi siang Metta mengirimkannya pesan. Cewek itu mengatakan kalau hari ini akan ada Qila---temannya Metta---berkunjung ke rumah.
Entah kenapa, akhir-akhir ini ia lebih sering tersenyum. Contohnya seperti tadi ketika ia membaca pesan dari Metta.
Metta : Sayang? Hari ini Qila mau main ke sini. Boleh, ya?
Fauzan terkekeh membacanya. Namun, setelahnya ia membalas pesan itu. Tidak lupa memberitahu cewek itu kalau malam ini ia tidak akan pulang. Sekalian, menganjurkan Qila untuk menginap dirumahnya, untuk menemani istri polosnya.
Fauzan : Iya. Sekalian ajak nginep juga.
Gue nggak pulang malem ini.
----
Pukul setengah enam, Metta sudah bangun dari tidurnya. Pagi ini ia tidak akan membuat sarapan karena suaminya tidak pulang semalam.
Metta khawatir, tentu saja. Fauzan hanya memberitahu tentang tidak kepulangannya saja, tanpa memberitahu alasannya.
Ingin ia bertanya lebih. Namun, ponsel suaminya sudah tidak bisa dihubungi lagi. Hal itu tentu saja membuat rasa cemasnya semakin menjadi.
Qila semalam menginap, dan sampai sekarang, teman anehnya itu masih belum bangun juga.
Qila sudah bilang kalau cewek itu tidak akan masuk sekolah hari ini. Selain ia yang akan berkunjung ke rumahnya, selebgram gadungan itu juga beralasan kalau mood sekolahnya sedang tidak stabil. Padahal, akan lebih simpel kalau Qila langsung menjawabnya dengan kata 'malas sekolah'.
Metta tengah duduk di kursi seraya menonton televisi. Kali ini bukan sinetron, melainkan tontonan kartun kuning kesukaannya.
Mata yang tadinya fokus ke televisi, sekarang beralih ke arah pintu yang baru saja terbuka. Ternyata suaminya pulang. Dengan masih merasakan sensasi malu akibat kejadian kemarin malam, ia memberanikan berdiri dan menatap Fauzan.
"Baru pulang?" Metta berbasa-basi.
Fauzan mengangguk pelan.
"Semalem kenapa nggak pulang?"
Fauzan menatap Metta heran. "Kenapa? Kangen?"
Metta menggeleng ragu karena demi apa pun, apa yang dikatakan suaminya itu memang benar adanya. Selain khawatir, ia merasa kangen juga. "E-enggak."
"Ngaku aja."
Metta mengalihkan pandangan seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Aku enggak, tapi nggak tau kalau bayinya."
Fauzan menggeleng kemudian menghela napas pelan. Bukan hanya dirinya, ternyata cewek polos itu juga mempunyai rasa gengsi yang sama besarnya. Entah mendapat ide dari mana, Fauzan berjongkok dan mensejajarkan wajahnya dengan perut Metta yang terhalang oleh balutan baju tidur bermotif bunga.
Ia sedikit mendongak menatap Metta sebentar. "Sorry."
Setelahnya, Fauzan mengusap perut Metta yang sudah terlihat perubahan bentuknya. "Maafin Papa, ya, Sayang. Semalam Papa nggak pulang karena sibuk kerja. Buat kita, sekaligus buat mama juga."
Metta yang diperlakukan seperti itu benar-benar tidak bisa berkutik dengan napas dan debaran jantungnya yang sudah tidak bekerja dengan normal.
Belum sempat mencerna ucapan Fauzan yang tadi, lagi-lagi tubuhnya dibuat menegang dengan gerakan cowok itu yang tiba-tiba mencium perutnya.
"Astaga! Tontonan delapan belas plus! Gue nggak liat, gue tutup kuping soalnya."
Sontak Fauzan segera berdiri dan menatap seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya. Sial. Kenapa ia bisa lupa kalau semalam ada Qila menginap di rumahnya?
Persetan dengan Fauzan yang merasa malu tujuh turunan. Metta lebih merasa kesal sampai ke lubuk hati yang paling dalam.
Demi apa pun, Metta merutuki Qila yang sudah mengganggu momennya bersama Fauzan.
34 - Siapa Dia?
Metta baru saja tiba di rumah milik Qila. Rumah minimalis perpaduan antara warna abu dan putih tulang. Letaknya strategis, dekat dengan rumahnya, juga dekat dengan sekolahnya.
Sudah lama ia tidak mampir ke rumah ini, rumah yang selalu penuh dengan kasih sayang, meskipun di dalamnya tidak ada sosok seorang ayah. Qila hanya tinggal dengan ibu dan kakaknya saja.
"Mau minum apa?"
Metta yang tengah duduk itu menoleh menatap Qila yang baru saja kembali dari kamarnya. "Yang ada aja."
Qila mengangguk. "Oke. Otw dapur."
Metta menghela napas pelan. Ia menyandarkan punggungnya di kursi yang ada di sana. Baru saja memejamkan matanya, tetapi kembali terbuka ketika mendengar kedatangan seseorang.
Metta tersenyum kikuk ketika melihat kakak kembarnya Qila yang ia ketahui bernama Jeno, tengah berdiri sembari menatapnya.
"Temennya Qila, ya?"
Metta mengangguk pelan.
"Yang udah nikah itu?"
Menelan ludah susah payah. Kenapa kakaknya Qila sudah tahu?
"Udah, deh, Bang. Jangan godain Metta, dia udah bersuami."
Metta melirik Qila yang baru saja kembali dari dapurnya dengan nampan yang ada di tangannya.
Qila meletakan dua gelas minuman di meja, kemudian ikut duduk di sebelah Metta. "Minum, Met."
Metta mengangguk kemudian meminum satu gelas minuman yang ada di meja. Netranya ikut melirik Jeno yang baru saja duduk di seberangnya.
"Gue nhgak nyangka lo udah nikah, udah mau punya debay pula. Tadinya lo mau gue gebet, tau."
Metta kembali tersenyum kikuk. Ia gugup, sekaligus malu juga dengan kenyataan hidupnya. Ia dan Jeno satu sekolah, satu angkatan juga. Namun, mereka beda kelas.
Seakan mengerti perasaan Metta, Qila menatap Kakaknya dan mencoba mengalihkan topik pembicaraannya. "Lo nggak sekolah, Bang?"
Jeno menggeleng pelan. "Lo liat gue di sini, berarti gue nggak sekolah."
"Udah kelas tiga masih aja jarang sekolah."
Jeno mendengus kesal. "Situ nggak nyadar, Neng?"
Qila menghela napas. "Gue kelas dua belas."
"Lah, apa bedanya?"
"Nggak tau," ucap Qila seraya mengangkat bahunya.
Jeno mendengus, kemudian cowok berambut sedikit gondrong itu beranjak dari duduknya. "Dah, lah, pusing ngomong sama lo. Nanti kalau Ibu pulang, bilangin kalau gue pergi ke tempat biasa."
Qila menatap kakaknya. "Sama temen kaku lo itu?"
"Kaku gitu lo demen, 'kan?"
"Gak."
Jeno mendengus kemudian beralih menatap Metta yang sedari tadi terdiam. "Mulai saat ini, kita udahan, ya. Maksudnya udahan deket antara gebetan dengan gebetan. Gue takut suami sekaligus ketua geng itu marah. Nyeremin soalnya."
Metta tersenyum kikuk menanggapinya. Matanya ikut bergerak mengikuti langkah kaki Jeno yang baru saja keluar dari rumahnya.
"Jangan tegang gitu. Dia bisa jaga rahasia, kok."
Metta beralih menatap Qila. Perasaannya masih tak karuan, malu, takut, sedih semuanya bercampur aduk. "Lo tega banget sama gue."
Qila mengernyit heran. "Tega kenapa? Ngasih tau si Jeno maksudnya?"
Metta mengangguk.
"Ya, elah, nggak apa-apa kali. Sans ae. Dia nggak mungkin sebar-sebar gossip, kok, mana berani dia. Bisa-bisa dipenggal sama suami lo."
Metta menunduk. "Gue malu sama kenyataan hidup gue, Qil."
Qila berdecak seraya mendengus pelan. Ia beranjak dari duduknya kemudian menatap Metta kesal. "Biasanya juga malu-maluin."
Menahan napas. Demi apa pun, Qila benar-benar tidak tau suasana. Rasanya Metta ingin mencekik cewek gila itu kalau kenyataannya ia tidak tengah mengandung.
Sabar. Tarik napas, kemudian hembuskan. Metta kembali menunduk, ia mengusap perutnya sendiri. "Amit-amit jabang bayi. Kamu jangan sampai kayak dia, ya. Kasian papa, bisa gila nantinya."
-----
Seluruh anggota Zayeoune mulai dari kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas tengah kumpul di belakang sekolah. Seperti biasa, jikalau sudah berkumpul seperti ini, itu tandanya akan ada hal serius yang akan dibicarakan.
Tidak usah berpikir yang tidak-tidak. Mereka tidak bolos karena sekarang, waktu istirahat kedua tengah berlangsung.
"Ekhem. Mulai aja, ya. Gue sebagai wakil bos besar akan mengumumkan waktu pelaksanaan sertijab sekaligus tentang baju couple terbaru kita." Regan berdiri tepat di samping Fauzan, mereka menghadap anggota Zayeoune yang tengah duduk menghadap mereka.
"Tolong itu ucapannya diralat, ya, Mas. Kekar-kekar gini, kok, bahasanya baju couple, sih?" seru Bonek.
Regan melirik Bonek tajam. "Tolong, diem dulu, ya, A. Mamas lagi ngejalanin tugas dulu."
"Geli, Njir. Gue jadi curiga lo berdua ada hubungan khusus," cibir Odel.
Fauzan berdecak kesal mendengarnya. Waktu istirahat kedua itu sangat singkat, jadi, sebisanya mereka harus memanfaatkannya. "Lanjut."
Regan menarik napas dalam. "Oke. Bos besar memilih Andra untuk menggantikan posisinya setelah angkatan kami lulus nanti. Dan untuk angkatan kelas sepuluh, bos memilih Bonar. Salam hormatnya buat mereka."
Semuanya bertepuk tangan, termasuk deretan inti Zayeoune yang ada di depan.
"Acaranya nanti, setelah angkatan gue selesai UN. Ready?" ujar Regan lagi.
Kompak semuanya menjawab, "ready!"
"Sip. Oh, ya, nanti kalian semua datang ke kafenya bos, ya, ngambil seragam baru kita."
Semuanya kompak berseru riang.
Regan mengangguk. "Oke, segitu aja. Gue undur, bos maju."
Regan kembali duduk sedangkan Fauzan berdiri. Kini giliran dirinya yang berbicara.
"Udah jelas, ya ,apa yang Regan omongin tadi. Good luck to the next big boss. Kalian harus amanat, akur, rukun, no ribut-ribut, tawurannya kurangin. Sebisanya kalo nggak ada yang cari masalah duluan, kalian jangan cari masalah. Yang paling penting, kesolidannya harus tetap dijaga. Satu lagi, jaga nama baik Zayeoune."
Dengan gagahnya Fauzan berdiri, menatap semua anggota gengnya. Ekspresi khas dirinya begitu terpampang, berbicara penuh wibawa, ringan, namun penuh ketegasan. Tidak lupa kedua telapak tangannya yang dimasukan ke dalam saku celana abunya. Hal itu semakin membuatnya benar-benar terlihat seperti penuh pendirian.
"Lengsernya gue, bukan berarti gue keluar gitu aja. Gue tetap Zayeoune, cuma beda angkatan. Gue selalu buka pintu lebar kalau kalian butuh. Jangan sungkan, jangan malu-malu juga."
Fauzan mengangguk kecil seraya menghela napas pelan. Tidak terasa, sekitar dua tahun lalu ia mendirikan geng ini. Dari anggotanya yang hanya berisi sebelas orang saja, kini sudah lumayan banyak. Dan sekarang, ia sudah akan lulus. Tadinya ia tidak mau menurun temurun kan geng ini, tetapi kasian dengan mereka yang begitu antusias.
Tidak apa, yang penting mereka bisa membawa perubahan dari masa ke masanya. Jujur saja, selama ini ia masih belum membawa perubahan besar bagi dirinya, teman-temannya, dan juga seluruh anggota gengnya.
Ya, tidak semua geng itu buruk, sekalipun banyak orang yang menganggap kalau masuk geng-gengan itu bahaya dan tidak benar. Selagi masih dalam zona aman, kenapa tidak? Selain banyak teman, anggap saja berkumpul dan melakukan sesuatu bersama teman segengnya itu sebagai pengalaman.
Karena yang terlihat buruk tidak selamanya salah, dan yang terlihat baik tidak selamanya benar.
"Dah, ya. Kalian dateng aja ke kafe, kalau gue belum ada, tunggu aja. Boleh ditutup, kalian masuk kandang masing-masing."
"Oke, Bos!" seru mereka semangat.
Fauzan mundur dan kembali ke teman-temannya. Sedangkan anggota yang lain mulai bubar dan kembali ke kelas masing-masing karena bel masuk baru saja terdengar.
"Gila, Bos, perubahan lo makin keliatan aja," ujar Bonek.
Fauzan menghela napas pelan. "Setidaknya, sebelum kalian, gue dulu yang harus berubah. Bos besar sebagai contoh untuk anak buahnya. Gitu, 'kan?"
Keenam temannya menggeleng tak percaya. Namun, setelahnya berseru senang. Mereka membenarkan perkataan Fauzan.
"Oh, ya, nanti kalian atur aja, ya. Gue agak telat ke kafenya," sambung Fauzan.
Kompak semuanya kembali menatap Fauzan.
"Lah, mau ke mana dulu emangnya, Bos?" tanya Odel.
"Ada urusan," jawab Fauzan.
"Tumben, penting emang?" sahut Bonek.
Fauzan menghela napas kemudian mulai berjalan untuk kembali ke kelasnya.
"Bos? Penting banget, ya?" ujar Kido.
Fauzan tetap berjalan di depan, sedangkan teman-temannya mulai mengikuti dari belakang.
"Tumben, Bos, mau ngapelin calon pacar, ya?" Sekarang Adit yang ikut berujar.
"Palingan tidur di rumah dulu," sambung Regan.
"Iya, lah, dia butuh istirahat," timpal Kufa.
Fauzan menghela napas, tebakan teman-temannya tidak ada yang benar satu pun. "Gue mau beli motor. Nggak sama kayak yang kemarin, sih, paling mentok scoopy."
"Anjir, elah, jadi ceritanya putar haluan, nih, Bos?" seru Bonek.
"Enggak, lah. Itu sementara."
"Okelah, cemungut Boskuh!" ujar Bonek.
"Beli motor nggak sampai berjam-jam, kali, Bos," ucap Kido.
Fauzan memutar bola matanya malas. "Iya, 'kan, setelahnya gue mau jemput seseorang dulu."
Terdiam sebentar, Fauzan berdecak kemudian mempercepat langkahnya ketika keenam temannya kompak mengatakan kalau seseorang yang akan ia jemput adalah Metta.
Berlagak cuek, padahal sebenarnya memang itu kenyataannya. Bos besar memang perlu di rukiah sebentar.
----
Metta dan Qila tengah duduk di kursi kayu yang ada di sebuah taman dekat rumah Qila. Mereka sudah sampai di sana sejak lima belas menit yang lalu.
"Kalau udah lahir, lo pengen cowok atau cewek?" tanya Qila seraya memperhatikan perut Metta.
Metta berdeham sebentar sebelum akhirnya menjawab, "apapun jenis kelaminnya, gue terima. Yang penting sehat dan selamat."
Qila mengangguk pelan. "Gila, ya, lo udah mau jadi mama muda aja."
"Iya, nih, lo kapan nyusul?"
"Gue pengen jadi wanita karir."
Metta menghela napas pelan. "Bilang aja belum ada calon."
Qila cengengesan. "Bumil tau aja."
"Ekhem."
Keduanya menoleh ketika mendengar suara lain selain suara mereka. Qila mengernyit heran dengan sosok cowok yang baru saja datang, ia tidak kenal siapa dia. Sedangkan Metta, cewek itu menyorot orang itu tidak suka.
"Ngapain?" tanya Metta sinis. Ia beralih menatap Qila. "Pulang, yuk, Qil."
Qila menggeleng pelan. Ia masih setia menatap sosok cowok yang ada di depannya. "Nggak, Met. Mungkin ini jodoh gue. Tuhan ngirim dia setelah kita ngomongin jodoh gue. Berarti fiks, ini jodoh gue."
Metta menggeleng seraya berdecak kesal. "Please, Qil! Jangan bego dulu. Ayok, pulang!"
tar lagi jemput, 'kan? Kalau kita pergi, dia nanti ke sini kitanya nggak ada."
Metta menelan ludah. Qila tidak tau orang itu siapa, tidak tau juga hubungannya dengan dirinya. Ia menggeleng cemas, kenapa Qila semudah itu mengatakan suami di depan orang yang baru saja datang?
Ya, memang benar. Beberapa menit yang lalu, Fauzan mengirimkan pesan kepadanya. Cowok itu menanyakan keadaan dan keberadaan dirinya sekarang. Ia jujur, mengatakan kalau sekarang ia tengah berada di taman yang ada di dekat rumah Qila. Dan apa tanggapan cowok itu? Tidak bisa ia sangka sebelumnya kalau Fauzan mengatakan akan menjemputnya ke sini.
Sulit dipercaya. Namun, memang itulah kenyataannya. Metta merasa senang dan tidak henti-hentinya mengucapkan syukur. Akhirnya, Fauzan seperti sudah menerima kehadiran dirinya.
Metta mulai menarik lengan Qila untuk pergi dari sana karena mau bagaimanapun, cowok yang baru saja datang itu benar-benar bahaya. Namun, perkataan cowok itu kembali menghentikannya.
"Oh, jadi sekarang lo udah nikah? Bukannya lo masih sekolah?"
Metta berbalik menatap cowok itu. "Bukan urusan lo."
Cowok itu menyeringai bersamaan dengan matanya yang meneliti tubuh Metta dari atas sampai bawah. "Tunggu, itu perut lo?" tanyanya heran.
"Oh, gue ngerti. Lo jual diri, ya, setelah pergi dari rumah?"
Metta menatap orang itu sinis. "Bukan urusan lo!"
Ia segera menarik lengan Qila, namun lagi-lagi cowok itu menghentikan pergerakannya.
"Lepas!" ujar Metta ketika salah satu lengannya di cekal.
"Tunggu, kalian berdua kenal? Dia siapa, sih, Met?" tanya Qila heran.
"Dia bahaya, Qil, kita harus pergi," jawab Metta.
Cowok itu kembali menyeringai. "Jadi ini alasan lo nolak gue dulu? Lo nikah sama cowok lain? Lo MBA?"
Mengangguk kecil. "Lo murah, dulu gue ajak lo baik-baik tapi lo nggak mau. Sekarang?"
Metta berusaha melepaskan tangannya dari cekalan cowok itu. Namun, tetap tidak bisa. Tenaganya terlalu lemah. Sedangkan Qila yang melihat itu menggeleng keras, sepertinya cowok itu memang bahaya.
"Lo harus ikut gue!" ujar cowok itu kepada Metta.
Metta menggeleng cepat. "Gak sudi! Lepasin, atau gue teriak."
"Teriak aja, gue nggak takut. Tapi lo harus siap kehilangan kalau saat ini juga gue tendang perut lo."
Qila berusaha menarik Metta. "Eh, gila! Lo dateng nggak diundang, tiba-tiba mau bawa Metta gitu aja? Lo nggak tau kalo gue selebgram? Gue bisa viralin tindakan ini, ini penculikan!"
"Nggak peduli. Yang pasti cewek ini harus ikut gue sekarang."
"Tolong?" Qila mulai berteriak, sedangkan Metta mulai panik dengan ancaman cowok itu.
"Qila, jangan! Dia bisa nyelakain kita kalau kita main-main," ucap Metta seraya menggeleng cepat.
"Nggak! Dari pada lo ikut dia, mending kita teriak aja."
Cekalan di lengannya semakin mengerat. Metta meringis, namun ia tidak boleh terlihat lemah. "Tay! Lepasin!"
"Nggak. Lo ikut gue. Atau temen lo suruh teriak dan gue tendang perut lo sekarang juga." Cowok itu semakin menjadi dengan ekspresi yang benar-benar mengerikan.
"Eh, Tay Tay?! Gue teriak lagi, nih! Tolong?" Qila kembali berteriak yang mana hal itu membuat si cowok tadi semakin mengeratkan cekalannya di lengan Metta.
Metta meringis. Ini tidak bisa dibiarkan, tetapi ia tidak mau juga jikalau harus ikut dengan cowok brengsek di depannya. "Lepas, lo udah dapet segalanya. Ngapain lo ganggu gue lagi?"
"Gue belum puas. Gue maunya elo, Metta!"
"Gue nggak mau!”
Cowok itu kembali menyeringai dan menghempaskan lengan Metta begitu saja. Ia mendekat, senyum jahatnya semakin terlihat kala ia melihat Metta dan juga temannya bergerak panik di depannya.
Qila sudah menarik Metta ke sisinya. Mereka merutuki keadaan taman ini yang entah kenapa, ramai pengunjung, tetapi tidak ada satu pun yang membantu mereka.
"Lari, Qil, lari." Metta berbisik.
"Gila, perut lo gimana?"
Metta menggeleng seraya memejamkan matanya ketika cowok itu sudah bersiap menariknya kembali. Tidak merasa ada pergerakan, ia kembali membuka matanya.
Terkejut bukanlah hal satu-satunya yang Metta rasakan ketika melihat cowok itu sudah tergeletak di tanah, ia juga merasa takut. Takut melihat Fauzan yang tengah memukuli cowok tadi.
"Gila, suami lo penyelamat," ucap Qila. Ia menarik Metta untuk menjauh dari sana.
"Lo sendiri. Jadi, mau lanjut atau pergi?"
Metta mendengar perkataan Fauzan, cowok itu benar-benar terlihat menakutkan.
"Gue tegasin sekali lagi. Lo lagi sendiri, anak buah lo nggak ada. Jadi, mau lanjut atau pergi?" Fauzan menatap cowok yang sudah mengganggu Metta tadi dengan tatapan yang tidak bisa didefinisikan.
Cowok yang sudah terkapar di tanah itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Ia menatap cowok yang sudah memukulnya itu kemudian beringsut mundur. Ia sadar, saat ini ia bukanlah tandingan Fauzan. Cowok bringas ketua dari Zayeoune, musuh bubuyutanya.
"Lo nggak ada urusan, dia cewek gue."
Fauzan tersenyum sinis. "Dia cewek lo? Tapi perlakuan lo ke dia nggak nunjukin kalau lo pacar dia."
"Nggak usah ikut campur." Cowok gila itu tetap keras kepala.
Fauzan menatapnya sinis kemudian menghela napas pelan. "Kembali ke pilihan awal. Lanjut atau pergi?"
Lama terdiam, akhirnya cowok itu pergi juga. Fauzan yang melihat itu terkekeh sinis. "Banci."
Setelahnya, ia menghampiri Metta dan Qila yang berdiri tak jauh darinya.
"Nggak kenapa-napa?"
Metta menggeleng pelan.
"Gue syok banget. Gue nggak biasa liat orang jotos-jotosan kayak tadi," sahut Qila.
Fauzan melirik Qila sebentar. "Sayangnya gue nggak nanya elo."
"Galak bener."
Fauzan kembali menatap Metta yang kelihatannya masih syok akan kejadian tadi. Ia menyentuh bahu cewek itu. "Liat gue."
Metta menurut. Ia memberanikan diri menatap Fauzan yang tengah menatapnya dengan tatapan menyelidik. Ia takut, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit senang dengan tindakan Fauzan yang menyelamatkannya.
"Metta?"
"Y-ya?"
Fauzan menyadari ketakutan cewek itu. Ia menghela napas pelan. "Siapa dia? Apa hubungannya sama lo? Kenapa dia maksa? Ketemu di mana? Kenal dari mana?"
Metta menelan ludah. Ia tidak mampu menjawab deretan pertanyaan itu.
"Gila! Istri lagi ketakutan gitu bukannya dipeluk malah di interogasi tanpa jeda," cibir Qila.
Fauzan tidak memperdulikan ucapan Qila, ia tetap fokus kepada Metta. "Ta, lo denger gue, 'kan?"
Metta kembali mengangguk.
Mendengus pelan. Mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk Fauzan menanyakan perihal cowok tadi. Ia tahu, cewek yang sudah beberapa bulan tinggal bersamanya itu sedang takut.
Fauzan menatap Metta sebentar sebelum akhirnya ia menarik lengan cewek itu untuk ikut bersamanya. "Pulang."
35 - Sebuah Kesamaan
Berada di atas motor berdua bersama Fauzan, benar-benar membuat perasaan Metta gugup bukan main. Meskipun ini bukan untuk pertama kalinya, tetap saja, rasa gugup bercampur senang tetap menguasai pikirannya.
Ia tidak bisa menduga hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Fauzan akan menuntut penjelasan? Atau memarahinya?
Apapun yang terjadi nanti, Metta harap Fauzan tidak akan bertindak menyakitinya. Bukan menyakiti fisik saja, yang paling ia takutkan adalah menyakiti perasaannya. Di samping itu semua, bagaimanapun tanggapannya, ia harus tetap menjelaskan semuanya kepada Fauzan.
Cowok itu berhak tahu tentang kehidupan Metta yang sesungguhnya.
"Langsung pulang?"
Meskipun terhalang kaca helm, Metta tetap mendengar ucapan suaminya. Ia tidak tahu, ingin rasanya berkeliling sebentar. Namun, takut untuk mengatakannya. Alhasil, ia hanya menjawab dengan anggukkan kepala saja. Ia yakin cowok itu bisa melihat karena baru saja ia beradu tatap dengannya lewat kaca spion.
Momen romantis, tapi sangat terasa menegangkan.
Metta benar-benar tidak mengira kalau hidup bersama ketua geng akan terasa menegangkan seperti ini.
"Yakin?"
Dengan ragu Metta menjawab, "iya."
Tidak ada percakapan lagi karena setelahnya, Fauzan sedikit menaikkan kecepatan motornya. Perlu diingat, sampai rumah, Metta harus menanyakan perihal motor ini. Motor suaminya, atau motor hasil pinjaman dari teman-teman segengnya.
Sibuk memikirkan kehidupannya bersama Fauzan membuat Metta tidak sadar akan tepukan di pahanya. Ia menatap Fauzan yang juga tengah menatapnya lewat kaca spion.
"Nggak mau turun?"
Metta gelagapan. "E-emang udah nyampe?"
"Mikirin apa, sih, sampai motor berhenti aja nggak nyadar?"
Metta mengalihkan pandangannya. Ia gugup sekaligus merasa malu juga. "I-itu."
"Yang tadi jangan dipikirin."
Metta mengangguk kecil. "Iya."
Setelahnya ia menuruni motor, melepaskan helm kemudian menyodorkannya kepada Fauzan dengan bibirnya yang tersenyum samar. "Makasih, ya. Kamu mau langsung ke kafe?"
Fauzan membuka helmnya kemudian turun dari motor. "Mau makan dulu, lapar."
Metta menatap Fauzan yang berjalan memasuki rumah. Seharian ini ia bersama Qila, tidak sempat masak di rumahnya. Metta benar-benar merutuki dirinya sendiri karena lupa akan kewajibannya sebagai istri.
Menghela napas pelan. Metta berjalan memasuki rumahnya. Ia mendapati Fauzan yang tengah duduk seraya bersandar di kursi. Melihat suaminya kelelahan seperti itu, membuat hatinya merasa semakin tidak tega. Ingin rasanya membantu, tetapi apa daya, sampai saat ini ia masih belum menemukan hal apa yang harus ia lakukan agar bisa sedikit saja mengurangi beban cowok itu.
"Kamu lapar, ya? Maaf aku nggak sempet masak tadi."
Fauzan yang mulanya terpejam, kini membuka mata dan melirik Metta sekilas. "Oh."
"Tapi aku bisa masak dulu, kok, kamu nggak lagi buru-buru, 'kan?"
"Nggak usah. Mending lo duduk sini, gue tau lo capek."
Metta tersenyum kecil. Ia mengangguk kemudian ikut mendudukkan tubuhnya di samping Fauzan. "Maaf, ya."
"Nggak masalah."
Metta menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata. Pikirannya tidak lepas dari kejadian di taman tadi. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan cowok bajingan itu lagi.
Setelah sekian lama ia bersembunyi, kenapa harus bertemu kembali?
Persetan dengan itu, ia merasa senang bukan main kala Fauzan datang menolongnya. Ingin rasanya ia memeluk cowok itu. Namun, lagi-lagi ia menjadi pengecut karena tidak berani untuk mengatakannya.
Kalau ia meminta, apa Fauzan akan mengizinkan?
Metta menggeleng pelan. Ia harus menepis jauh keinginannya. Takut kalau kejadian yang membuat tubuhnya gempa itu terulang kembali.
"Gue mau ke kafe."
Metta menolah. "Kapan?"
Fauzan beranjak dari duduknya. "Sekarang. Tapi mau ganti baju dulu."
Metta menatap Fauzan yang tengah menatapnya juga. Entah kenapa, tatapan cowok itu terlihat beda dari biasanya.
Kebegoan Metta kembali muncul. Ia menelan ludah susah payah, memastikan kalau ia harus kuat menerima konsekuensinya. "Tadi aku syok sekaligus takut banget."
Fauzan mengernyit bingung. "Terus?"
Metta memejam sesaat sebelum akhirnya ia kembali menatap cowok itu. Ia harus berani, apa pun yang akan terjadi nantinya. "Kalau aku peluk, boleh?"
Konsekuensinya adalah kecewa. Ia harus menguatkan hatinya karena sampai sekarang, Fauzan masih belum merespon ucapannya.
Metta menyesal. Kenapa ia selalu bertindak bodoh seperti ini?
Demi apa pun, tatapan Fauzan lebih berlipat lipat menakutkannya. Sampai ia tidak berani untuk menatapnya.
Baru saja ingin mengatakan 'tidak apa-apa', Metta urungkan karena melihat Fauzan menganggukkan kepalanya.
Seakan mendapatkan kesempatan yang tidak akan lagi ia dapatkan, Metta segera beranjak dan langsung memeluk tubuh suaminya. Rasanya ini tidak mungkin, ia tidak mempercayainya.
Benar-benar seperti mimpi. Nyamannya mengalahkan seribu kasur yang ada di Nusantara.
Tidak apa pelukannya tidak terbalas, yang penting, pelukan suaminya sudah ia dapatkan sekarang.
Meskipun tidak rela dan merasa belum puas, Metta terpaksa harus melepaskan pelukannya karena mengingat cowok itu yang akan segera pergi ke kafe.
Baru saja bergerak mundur, tubuhnya dibuat menegang kala tiba-tiba Fauzan membalas pelukannya. Ini sulit di percaya, apalagi dengan tangan cowok itu yang tengah bergerak mengelus punggungnya.
Rasanya benar-benar menyenangkan. Metta kembali mengeratkan pelukannya. "Makasih."
Fauzan mengangguk pelan. "Lo hutang penjelasan ke gue. Tapi nanti aja, ya, mau ke kafe dulu soalnya.
----
"Bos? Kok, tubuh lo bau parfum cewek? Gue curiga, deh."
Andra yang mendengar perkataan Odel barusan, terkekeh pelan. "Abis melukin doi, kali, Bang."
Kido yang tengah duduk dengan posisi kaki yang ada di atas meja itu menatap Fauzan penasaran. "Bener, Bos?"
Regan berdecak pelan mendengar obrolan teman-temannya. "Ya, elah. Ya, iyalah, pastinya. Si bos, 'kan, abis jemput doi, pasti pelukan, lah, di motor. Mantep, tuh, atas bawah semuanya kebagian."
Adit melempari Regan dengan kulit kacang. Ia tidak habis pikir dengan ucapan cowok mesum itu. "Bahasa lo ambigu, Mas!"
Regan mendelik kesal. "Apa, sih, Beb?"
Odel kembali menatap Fauzan. Ia penasaran dengan kebenarannya. "Bener, Bos? Kalau iya, bagi pengalaman, dong."
Fauzan menghela napas pelan. Ia membenarkan perkataan Regan karena tadi ia sempat berpelukan dengan Metta. Hanya saja, bukan di motor, melainkan di rumahnya.
"Nggak," jawabnya.
"Nggak salah lagi, ya, Bos?" ujar Kido.
Odel mengangguk cepat. "Iya, tuh, pasti bener, 'kan? Coba sini gue pastiin lagi."
Fauzan menjauhkan tubuhnya dari Odel. Cowok itu sudah gila, dan ia sedikit kesal dengan kelakuannya. "Lo nyari kesempatan buat ngendus-ngendus tubuh gue?"
Odel menggeleng polos. "Enggak, Bos, enggak."
"Waria emang gitu," cibir Kufa.
Odel kembali menjauhkan tubuhnya seraya mendengus kesal. "Kufa irit ngomong, sekalinya ngomong jleb banget sampai ke hati."
Kompak semuanya tertawa melihat kelakuan Odel yang dramatis seperti itu. Cowok itu memang sudah menjadi pelengkap bagi mereka, leluconnya selalu sukses membuat humor mereka goyah.
"Bos?! Ayam kombek!"
Semua mata menatap Bonek yang baru saja datang. Cowok itu habis dari kamar mandi, mau buang air kecil, katanya.
"Abis dari kamar mandi ngapain manggil, Bos? Mau laporan di kamar mandi habis ngapain aja?" ujar Odel.
Bonek ikut duduk di sebelah Fauzan. "Apa, sih, elah, pikiran lo kotor terus heran."
"Ngaku aja, sebelum gue bongkar semuanya," sambung Regan.
Bonek menatap Regan kesal. "Kok, Mas Regan, gitu, sih? Nggak suka."
Cowok itu beralih merangkul bahu Fauzan. "Padahal, 'kan, cuma kangen sama si Bos."
Fauzan melepaskan rangkulan Bonek dari bahunya. "Jijik."
"Pamali, Bos, pamali! Nanti kalau udah perpisahan, lo siap nahan rindu sama gue?"
Fauzan memutar bola matanya malas. Lebih baik ia diam. Meladeni ucapan Bonek tidak akan ada ujungnya karena semakin panjang, makan akan semakin rumit untuk dijawab.
"Eh, iya, gila ini, mah, gila! Tiger gila banget. Sumpah, ini gila! Gue nggak tau, ya, tuh, orang gilanya kayak orang gila. Intinya dia gila melebihi orang gila!" seru Bonek. Selepas mengatakan itu, ia mendapati tatapan aneh dari teman-temannya.
"Kalau ngomong yang bener, Bang. Pusing gue dengernya," ucap Andra.
Adit menatap Bonek sinis. "Lo nggak tau, Dra? Abang lo yang satu itu udah sinting."
"Bonek yang udah gila." Kufa tersenyum sinis seraya menatap Bonek kesal. "Saraf sadarnya udah belok."
Bonek berdecak kesal. "Ya, elah. Padahal gue mau ngasih info. Jangan julid, napa!"
"Info apaan? Info kalau si Tiger mau boking elu?" sahut Regan.
Bonek memutar bola matanya malas. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sesuatu kepada Fauzan. "Gila, ya. Tiger nantangin balap lagi. Udah tau nggak sebanding, masih aja ngeyel."
"Nggak usah diterima, lah, Bos, nggak ada untungnya juga, 'kan?" ujar Adit.
"Kali ini dia tawarin motor buat jadi taruhannya." Bonek kembali menatap Fauzan. "Gimana, Bos?"
"Terima, Bos, terima, lumayan tuh," ucap Kido.
"Iya, Bang, lumayan. Motor, loh, ini. Sport lagi," sahut Andra.
Fauzan menghela napas pelan. "Bilang ke dia, besok malam gue tunggu di tempat biasa."
"Diterima?" tanya Kufa memastikan.
Fauzan mengangguk mantap. Bukan karena hadiah motornya, tetapi ada yang lebih menarik dari itu.
----
Belum sepenuhnya masuk ke alam mimpi membuat Metta kembali membuka mata ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ia mendapati Fauzan yang baru saja masuk, dengan setelan seperti biasa. Hanya mengenakan kaus dalam dan celana selutut saja.
Malam ini Fauzan pulang tidak terlalu malam. Entah karena apa, yang penting, Metta senang akan hal itu.
Dengan masih ragu, ia membalikan tubuhnya ketika Fauzan baru saja berbaring di sampingnya. Cowok itu menatap ke atas kamarnya, dengan tangan yang dilipat di bawah kepalanya.
Akhir-akhir ini, keadaan seperti itu sudah biasa. Namun, Metta tetap gugup melihatnya.
"Kamu mau aku cerita?" Metta memberanikan diri untuk memulai percakapan.
"Terserah."
Metta dengan posisi menyamping menatap suaminya, ia menghela napas pelan ketika mendengar respon Fauzan yang seperti tidak mau mendengar ceritanya. Alhasil, ia hanya terdiam, tidak melanjutkan ucapannya.
Fauzan yang tidak lagi mendengar suara Metta menghela napas pelan. "Siapa dia?"
Metta tersenyum samar. Ternyata Fauzan ingin tahu juga. "Siapa?"
"Yang di taman."
Metta terdiam sejenak sebelum akhirnya ia kembali berkata. "Kaka tiri aku."
Terkejut bukanlah hal satu-satunya yang Fauzan rasakan. Cowok itu heran, sekaligus penasaran juga. Merasa kalau obrolan ini akan serius, ia mengubah posisinya untuk menghadap ke arah Metta. Dengan tangan kanan yang menopang kepalanya.
"Kaka tiri?" ulangnya memastikan. "Sorry, bukannya lo udah nggak ada siapa-siapa selain Om Adji?"
Metta gugup. Posisi suaminya benar-benar memancing sifat gilanya. Dengan susah payah ia menelan ludah, kemudian menjawab ucapan Fauzan. "I-iya. Kalau yang kandung cuma Om Adji, Tay, 'kan, kakak tiri."
"Gimana ceritanya?"
"Apanya?" tanya Metta yang bingung dengan pertanyaan Fauzan.
"Ceritain sedetail-detailnya."
Menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan. Metta harus siap menceritakan semuanya.
"Jadi, sebenernya aku berasal dari keluarga berada. setelah mama meninggal, ayah nikah lagi. Sayangnya dengan perempuan yang salah."
Metta mulai bercerita, sedangkan Fauzan hanya diam mendengarkan.
"Mama tiri aku nggak kayak mama Rima. Dia jahat banget, dia pengen nguasain seluruh harta ayah. Dia juga punya anak, dan anaknya cowok yang di taman tadi."
Fauzan memperhatikan Metta yang sedang bercerita. "Terus? Kenapa dia kayak tadi?"
"Tay pernah bilang suka ke aku, tapi aku tolak. Dia marah, dan berusaha buat nyelakain aku. Bahkan, dia hampir ngelecehin aku."
Fauzan merasa tersindir dengan kalimat terakhir Metta. Ia benar-benar cowok terburuk yang pernah ada. Sekalipun itu semua bukanlah kesengajaan dirinya, tapi tetap saja, tindakannya menghancurkan masa depan cewek yang tengah ada di sampingnya ini.
"Sorry."
Metta mengernyit heran. "Sorry buat apa?"
Fauzan tetaplah Fauzan. Cowok yang sedari dulu sampai sekarang, selalu gengsi mengakui kesalahan. "Enggak. Om Adji tau?"
Metta menggeleng pelan. "Enggak. Sengaja, kalau Om Adji tau, bisa lebih rumit urusannya. Aku nggak mau ribet, nggak mau masalahin uang juga. Aku biarin mereka nguasain semua harta ayah, dan aku pergi dari kehidupan mereka. Aku berhasil pergi, tapi sayangnya mereka bisa nemuin keberadaan aku. Mereka masih ngincer aku karena harta warisan ayah, semuanya jatuh ke aku."
Metta menghela napas pelan. "Waktu itu aku masih kelas sebelas, aku pindah sekolah dan nyembunyiin diri gitu aja. Sengaja juga aku pilih kehidupan sederhana kayak gini. Padahal, kalau aku mau, aku ada apartemen pemberian dari ayah."
Metta menatap Fauzan yang juga tengah menatapnya. "Sampai sekarang, aku berhasil sembunyi dari mereka. Tapi nggak nyangka banget kalau tadi bisa ketemu Tay di taman. Aku jadi takut dia tau keberadaan aku sekarang, apalagi dia udah tau kenyataannya."
"Nggak nyangka, hidup lo rumit juga."
Metta mengangguk. "Iya. Padahal aku selalu berusaha supaya hidup simpel."
"Kamu nggak mau?" tanya Metta ragu-ragu.
Fauzan menatap Metta heran. "Mau apa?"
"A-anu."
Terdiam sebentar. Fauzan benar-benar tidak menyangka kalau Metta bisa sepolos itu. Ia mengubah posisinya, membelakangi Metta dan berusaha memejamkan matanya. Ia berdeham sebentar. "Nggak, gue lagi capek. Lagi nggak ada tenaga."
Metta menatap Fauzan bingung. "Emang ngomong perlu pakai tenaga, ya?"
Demi apa pun, tolong bawa Fauzan hilang dari sini. Ke mana saja, asal jangan di bawa ke rawa-rawa.
Cowok itu merasa malu dengan dirinya sendiri. Kenapa ia bisa berpikiran jauh seperti itu? Padahal maksud 'anu' dari Metta itu adalah ia yang menceritakan kehidupannya.
Fauzan berdeham kembali. Ia harus menutupi rasa malunya serapi mungkin. "Emm... emang lo mau tau apa dari hidup gue?"
"Apa aja."
"Lo tanya dulu, baru gue jawab." Posisi Fauzan yang sekarang adalah berbaring menatap ke atap kamarnya seraya melipat tangannya di belakang kepala.
Metta masih ragu-ragu untuk bertanya. "Emm... itu, kamu kenapa bisa benci sama mama Rima?"
"Kalau benci enggak, cuma nggak suka aja."
"Kenapa?"
Fauzan menghela napas pelan. "Dulu, bunda gue meninggal karena sakit. Dan lo tau? Papa gue nggak sebaik yang orang-orang kira. Dan wanita itu juga nggak sebaik yang lo kira."
Metta mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Gue anak yang nggak diinginkan. Bunda sama papa dulunya dijodohin, nggak saling sayang, apalagi cinta. Mereka nikah terpaksa. Dan gue, salah satu hasil dari ketidaksengajaan mereka."
Fauzan tidak mau mengungkit ini, tapi cewek itu berhak tau semuanya.
"Awalnya gue nggak nyangka, tapi emang udah kenyataannya. Papa nikahin wanita itu, karena dia mencintainya. Dan kenyataan yang paling gue benci sampai saat ini, mereka nikah ketika Bunda sedang butuh-butuhnya." Fauzan menghela napas. "Udah, sampai sini lo pasti ngerti."
Metta tidak menyangka jikalau kehidupan Fauzan akan serumit itu. "Maaf, ya, udah bikin kamu keinget lagi. Makasih udah mau cerita juga, meskipun cerita kamu simpel banget."
"Iya, simpel, tapi nginget rasa sakitnya nggak sesimpel itu."
Metta menatap Fauzan dari samping. Semua pikirannya tentang Fauzan ternyata benar, kalau cowok itu tidak seburuk apa yang mereka kira. "Kamu kenal sama Tay?"
Fauzan mengangguk singkat. "Iya. Dia Tiger, musuh bubuyutan. Gue nggak nganggap dia musuh, sih, dianya aja yang selalu cari masalah."
"Kamu nggak takut dia tau kenyataan ini?"
Fauzan mengerti maksud pembicaraan Metta. Ia menggeleng pelan. "Nggak ada kata takut di hidup gue, Ta."
"Kalau dia kasih tau temen-temen kamu, gimana?"
Fauzan menghela napas pelan. "Itu urusan nanti."
Metta tersenyum senang. Akhirnya, ia dan Fauzan bisa sedekat ini. Menceritakan kehidupannya masing-masing. Ia berharap, semoga ini awal dari semuanya. Semua kebaikan yang akan hadir ke depannya.
"Emm... kamu ... nggak cemburu sama ucapan Tay tadi?" Entah kenapa, Metta malah mengucapkan pertanyaan itu kepada Fauzan.
"Nggak."
Metta menghela napas. Tingkat kebodohan dirinya memang sudah mengkhawatirkan. "Iya, ya. Kamu, 'kan, nggak ada rasa, mana bisa cemburu."
Fauzan terdiam sebentar sebelum akhirnya ia kembali mengubah posisinya untuk menghadap Metta. Ia menatap cewek itu lekat. Baru ia sadari sekarang, kalau ternyata, ia mempunyai istri secantik Metta.
Gila. Fauzan harus menepis pikiran itu sebelum nantinya, ia malah hilang kendali.
Fauzan menghela napas pelan. "Ngapain harus cemburu? Dia bilang kalau lo cewek dia, tapi itu nggak bener, 'kan?" Sedangkan gue, lebih dari yang dia omongin. Gue suami lo, dan emang gitu kenyataannya."
Kalau saja Metta punya sayap, mungkin saat ini juga ia sudah terbang melayang.
Cowok itu selalu ada cara membuat hatinya senang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
