
Chapter One
**Tanah Melayu 4 juni 1973**
Dermaga Tanah Melayu
Klakson kapal berbunyi sekali, Fengying sudah setengah jalan di atas jembatan kapal. Yusuf berlari-lari mengejarnya.
“Jangan pergi kawan. Apakah menurut engko dengan jarak bise menghapus luke tu?” Yusuf berusaha menahan langkah Fengying. Dia menyayangi Fengying dan fatimah lebih dari apapun didunia ini.
“Setidaknya kami tahu Fatimah ada di tangan yang tepat.” Fengying...
*** Tanah Melayu, 1967 (( Chapter One )) ***
Preambule
Fengying lahir dan besar di tengah-tengah suku Melayu pemeluk Islam yang taat, itu membuatnya berbeda dan menjadi minoritas, tapi kondisi itu tak membuat keluarga Fengying lantas dikucilkan. Keluarga itu malah hidup membaur dan diterima baik oleh warga sekitar.
Ketika memasuki bulan Ramadhan, keluarga Fengying akan menyediakan berpuluh nasi bungkus halal dan kue-kue jajanan pasar gratis untuk berbuka warga sekitar atau siapapun orang yang membutuhkannya yang akan diletakkan di mesjid Kampung Kalapa di Tanah Melayu tempat mereka tinggal. Subuh datang, Koh Abun ayah Fengying dipastikan sudah bersiap-siap untuk berangkat ke pasar mengendarai motor bebeknya ditemani Fengying kecil untuk berbelanja kebutuhan lauk berbuka puasa.
Siangnya Ahlam ibunda Fengying dan Baoyu neneknya yang kerap dipanggil warga sekitar Apoh akan terlihat sibuk memasak di dapur mereka. Menggunakan panci dan semua alat masak khusus yang hanya akan dikeluarkan setiap bulan Ramadhan tiba, itu semua demi menjaga masakan yang mereka masak benar-benar halal untuk dimakan warga muslim.
Di Akhir Ramadhan Koh Abun akan membagi-bagikan sirup dan roti kaleng gratis untuk semua tetangganya. Semua diambil dari toko kelontongnya. Dan ketika tiba Hari Raya Idul Fitri, pagi-pagi koh Abun akan membangunkan Fengying untuk bersiap-siap mandi, karena ketika orang-orang pulang dari shalat Idul Fitri, koh Abun dan keluarganya akan berkeliling kampung, silaturahmi dengan warga muslim. Adalah Fengying yang paling bersemangat ketika hari itu tiba, karena rumah pertama yang akan mereka kunjungi adalah rumah Kyai Azim Al Firash.
Fengying kecil amat suka lakse kuah dan roti belauk buatan Nyai Tsuraya istri Kyai Azim, selain itu Fengying kecil juga amat suka minuman es laksamana mengamuk yang hanya tersedia saat lebaran di rumah Kyai Azim.
Dibalik namanya yang sangar, es laksamana mengamuk memiliki citarasa yang nikmat sebagai pelepas dahaga. Konon katanya es ini tercipta dari cerita rakyat di zaman dahulu, tersebutlah seorang laksamana yang mengamuk karena istrinya dibawa lari saudagar perkebunan kuini. Si laksamana mengamuk dan menebas semua pohon kuini milik saudagar tersebut. Ketika amarahnya usai, maka diapun pergi meninggalkan kuini-kuini yang banyak berserakan di tanah. Warga sekitar yang awalnya takut berebut mengambil kuini-kuini yang berserakan itu. Lantas terciptalah es laksama mengamuk hasil dari wanita-wanita setempat yang merasa kebingungan untuk mengolah kuini yang banyak itu.
Kembali ke rumah Kyai Azim, es laksamana mengamuk buatan Nyai Tsuraya selalu dibuat dari kuini pilihan yang manis berpadu dengan santan dan gula merah kualitas nomor satu akan membuat Fengying berlomba balapan rebutan dengan Yusuf sahabatnya untuk mengambil pertama kali es laksamana mengamuk itu di atas meja panjang Nyai Tsuraya. Siapa yang berhasil menyentuh sendok es pertama kali akan menang, dan yang kalah akan mendapatkan hukuman membantu mencuci piring dan gelas kotor di rumah Kyai Azim bekas para tamu.
Seringnya Fengying akan menang, karena dia akan dibantu Fatimah yang menyodorkan sendok ke arah Fengying alih-alih ke arah Yusuf. Lantas dapat dipastikan Yusuf akan ada di tempat pencucian piring di sore hari membantu Nyai Tsuraya. Tapi dapat dipastikan juga tak lama Fengying dan Fatimah akan datang ikut membantu Yusuf, lalu setengah jam kemudian ketiga anak itu bukannya membantu Nyi Tsuraya tapi malah asyik bermain busa piring sambil tertawa-tawa senang dibawah tatapan Nyai Tsuraya yang ikut tertawa melihat tingkah 3 anak konyol itu.
Sebaliknya ketika Tahun Baru Imlek tiba, warga akan berbondong-bondong membantu Koh Abun membersihkan halamannya yang luas dan membantu memasak kue keranjang. Koh Abun selalu bilang kalau kue keranjang punya filosofi tersendiri. Terbuat dari dodol yang lengket dan melekat melambangkan keakraban tak hanya dengan keluarga tapi dengan seluruh warga. Warga akan ikut bahu membahu mengaduk adonan kue keranjang untuk besoknya ketika masak mereka nikmati bersama juga.
Sepanjang ingatan Fengying, keluarga mereka sangat bahagia ditengah statusnya yang minoritas itu. Tak ada batasan dari orangtuanya untuk Fengying bermain menghabiskan waktu bahkan belajar bersama Fatimah dan Yusuf di rumah keluarga Kyai Azim. Begitu pula dengan Fatimah dan Yusuf, tak ada larangan bagi kedua bocah itu untuk bermain bersama Fengying di rumah keluarga Koh Abun. Nantinya ketika mereka bertiga dewasa, tak ada satupun dari mereka yang berpindah akidahnya. Bahkan Fengying kecil hafal bacaan dan tata cara shalat, karena acapkali melihat Fatimah dan Yusuf beribadah bahkan menemani mereka mengaji. Begitupun sebaliknya, Fatimah dan Yusuf pun tahu semua dewa dewi Fengying dan tata cara ibadahnya. Anak-anak itu bermain belajar bersama ditengah perbedaan dan tak menjadikan itu halangan untuk mereka bersahabat erat.
Disekolahpun sama, Fengying diterima seluruh anak-anak melayu. Bahkan tak jarang guru-guru disekolah dasar mereka membanggakan Fengying karena anak itu kepintarannya di atas rata-rata anak seusianya. Fengying selalu berhasil membawa nama sekolah mereka harum di banyak perlombaan tingkat sekolah dasar antar Provinsi. Ketika Fengying akan berlomba maka suporter terbaiknya adalah Yusuf dan Fatimah. Bila mana Ahlam Ibunda Fengying tak memiliki waktu menemani anaknya mengikuti kompetisi makan, Nyai Tsuraya Ibundanya Fatimahlah yang menemaninya.
Begitu pula bila Yusuf yang terkenal jago dalam ilmu bela diri dan sepak bola ikut bertanding dan Nyai Tsuraya atau Kyai Azim tak memiliki waktu untuk mendampingi, maka tak segan Ahlam atau Koh Abun yang berganti peran sebagai pendamping Yusuf. Menurut Yusuf suporter paling oke diseluruh dunia adalah Koh Abun. Ketika Yusuf berhasil mencetak gol atau berhasil menjatuhkan lawan dalam bela diri, Koh Abunlah orang yang bertepuk dan berteriak paling keras. Dengan tubuh tambunnya, Seluruh pipi dan perut Koh Abun akan ikut bergoyang ketika pria baik hati itu bersorak sorai melihat kemenangan Yusuf.
Pernah pula suatu ketika, Yusuf kalah telak dalam pertandingan pencak silat. Dia menangis karena merasa gagal membuat orangtua angkatnya, Kyai Azim bangga. Adalah Koh Abun yang menemaninya saat itu yang menjadi penghiburnya. “Tak payah menangis nak, kalah menang itu biasa lo. Percayalah Kyai tak akan merasa kecewa. Asuk percaya Yai Azim malah sudah bangga lebih dulu karena kamu bertanding dengan kesungguhan jiwa.” Ya anak-anak disana memanggil Koh Abun dengan panggilan Asuk, menurut Koh Abun, Asuk artinya paman dalam bahasa Tionghoa Hakka. Lalu diperjalanan pulang dari tempat bertanding, mereka singgah di kedai kopi Pak Ngah yang terkenal itu. Lantas Yusuf ditraktir sepiring penuh nasi lemak dan es air mata pengantin kesukaannya.
Tak hanya bagi Fengying, bagi Yusuf kecilpun dia merasa sangat bahagia. Ditinggal Ibu meninggal saat dia baru lahir dan disusul Ayahnya setahun kemudian membuat Yusuf tumbuh sebagai anak yatim piatu, hidupnya tidaklah mudah, penuh siksaan oleh adik Ayahnya dan kemudian dijual kepada saudagar kelapa diusia 5 tahun, hidupnya bukan semakin mudah malah sebaliknya. Bertemu Kyai Azim di saat umur 8 tahun. Lalu diangkat anak Kyai Azim, mendapat perhatian penuh layaknya anak kandung. Disayangi keluarga Koh Abun pula, itu adalah nikmat dunia bagi Yusuf. Sungguh dia tak pernah akan melupakan Rabbnya yang begitu baik mengabulkan doa-doanya selama ini. Tapi diantara semua yang paling disyukuri Yusuf adalah persahabatannya dengan Fengying dan Fatimah.
Sore itu Fengying dan Yusuf berjanji bertemu di lapangan sekolah. “Apa hal ni? telat sekali engko datang. Kami sudah hampir satu jam menunggu disini.” Yusuf tertawa melihat Fengying yang berlari-lari menghampirinya di bawah pohon delima halaman sekolah mereka. Layaknya masyarakat setempat, Kami disini digunakan Yusuf sebagai kata ganti orang pertama tunggal yang merujuk pada kata kami atau kami.
“ Maaf, tadi kami bantu Baba dulu. Ini kami bawakan permen.” Fengying menyodorkan permen yang dibawanya dari rumah.
“Heleh, tak nak la. Engko suap kami ye, hemm jangan-jangan permen ni pun hasil ko curi jualan Papa engko. Helehhh, tak baik tu kata Mualimah Tusa'diah. Haram Fengying. Dosa engko dua kali lipat, nanti engko masuk neraka.” Yusuf pura-pura menolak.
“Baiklah Yai, besok lusa tak kami ulangi.” Fengying pura-pura tertunduk bersalah seperti murid-murid yang biasa dimarahi Mualimah Tusa'diah guru Agama Islam mereka dikelas. Demi melihat itu semua tawa Yusuf berderai. Satu tonjokan pelan pun mendarat di perut Fengying, dibalas Fengying dengan pura-pura terguling di tanah terkena tonjokan Yusuf.
“Jadi engko mau diajarkan bagian mana dulu?” Yusuf mengunyah permennya dengan suara berisik.
“Hem, makan tak boleh bersuara , tak baik.. tak baik...” Fengying menggoda Yusuf sambil pura-pura menggeleng- gelengkan kepalanya percis Pak Ridwan guru matematika mereka ketika mendapati muridnya yang nakal.
“Beribu maaf ya Pak, tak akan kami ulangi lagi.” Yusuf pura-pura menyatukan sepuluh jarinya ke depan dahi dan menyembah Fengying sambil tertawa. Yusuf memutar-mutar bola kaki dengan jarinya. Fengying membulatkan matanya, baginya segala keahlian Yusuf dalam bermain sepak bola atau seni bela diri selalu keren.
“Bagaimana bisa engko melakukannye?” Fengying masih terpesona, menunjuk bola yang berputar cepat di jari tengah tangan kanan Yusuf.
“Gampang, tinggal letakkan bola di jari engko seperti ini. Gerakkan kekanan kekiri.” Yusuf memperagakan, lalu melemparkan bola ke Fengying. “Ini, engko cobalah sendiri.” Fengying gelagapan menerima lemparan bola Yusuf.
Susah payah Fengying menjaga keseimbangan saat memutar bola di jarinya. Tapi ibarat gaya tolak menolak, sekuat tenaga dia menjaga agar bola berputar dan tidak jatuh sekuat tenaga pula bola itu ingin menggelinding jatuh dari jemari putih Fengying. Berkeringat Fengying berusaha. Yusuf tertawa melihatnya. “Kurasa jari jemari kami ni tak berjodoh dengan bola ni.” Fengying menghembuskan nafas kesal.
“Pelan-pelan Fengying, bagai engko sedang mengerjakan soal matematika yang dengan mudah engko kuasai, maka inipun begitu. Bayangkan saja kalau memutar bola di jemari engko tu.. ya segampang engko menemukan jawaban dari soal-soal rumit tu lah” Yusuf menyemangatinya.
“Ini berbeda Yusuf. Sulit.” Fengying mengeluarkan suara puh pelan.
“Ayolah, engko pasti bisa.” Yusuf tak putus asa. Fengying terus mencoba, hal yang terlihat gampang di mata Yusuf justru sebaliknya bagi Fengying. Sejak bayi Fengying memang sering sakit-sakitan. Terkena panas sedikit, maka dia akan mimisan. Capek sedikit besoknya dia akan demam. Berenang lama sedikit di tepi laut dapat dipastikan malamnya Fengying kecil akan bersin-bersin ratusan kali sampai tak bisa tidur seisi rumah dibuatnya. Karena alasan itulah Fengying kecil tak pernah diperbolehkan ibunya berkegiatan diluar rumah seperti anak sebayanya. Ketika teman-teman sekampungnya asik bermain bola, maka Fengying akan duduk menonton di pinggir lapangan di tempat yang teduh bersama Fatimah. Bila anak-anak sebayanya berlatih pencak silat, maka dia tetap akan jadi penonton setia dipinggir lapangan.
Berbeda dengan Yusuf, 3 tahun sebagai buruh di perkebunan kelapa membuatnya mahir bermain sepak bola. Berawal dari seringnya dia melihat anak saudagar pemilik perkebunan yang memainkan bola bundar, kecintaannya pada permainan itu lahir. Adalah Pak Amir, sesama buruh kasar di perkebunan kelapa yang mengenalkan dia pada sepak bola pertama kali. Mengajarkannya tekhnik-tekhnik dasar sepak bola. Tapi tentu saja bukanlah bola bundar seperti milik anak perkebunan yang mereka pakai untuk bermain, tapi sabut kelapalah yang menjadi bolanya.
“Di kampung Bapak di Manggar sane, ade permainan unik namanya Sipak Bula Kelapa Boi. "
“Macemane cara mainnya Pak?” Yusuf tertarik.
“Yang pertame sekali engko harus belajar perihal keseimbangan. Kaki engko dipakaikan potongan batok kelapa, yah..seperti memakai sepatu. Dibatok kelapa tu dipasangkan tali, talinye tu nanti engko pegang. Nah, tali itu gunanye untuk mengendalikan si sepatu batok tadi agar engko dengan mudahnye bias menendang bola atau mengoper bola ke kawanmu.” Pak Amir menjelaskan.
“Bolanye tu, jangan pula engko fikir seperti bola si Ahmad.” Pak Amir menggigit mangga yang baru dia kupas. “Bolanya dibuat dari sabut kelape ni lah.” Demi mendengar itu mata Yusuf membulat. Bagaimana pula bola dibuat dari sabut kelapa itu?
Beberapa Waktu kemudian disaat sedang senggang, Pak Amir membuatkan bola dari sabut kelapa untuk Yusuf, mengajarkannya teknik-teknik dasar permainan sepak bola. Sampai Yusuf menguasai permainan itu. Bagi Yusuf sepak bola satu-satunya hiburan baginya.
Dua tahun kemudian ketika dia diangkat anak oleh Kyai Azim, disitulah dia bisa menyentuh bola yang sebenarnya. Ketika dibawa Kyai Azim ke rumahnya dari perkebunan kelapa, hanya 3 barang yang dibawa Yusuf. Kaos lusuh yang sudah robek disana sini sampai bingung menyebutnya kaos karena lebih pantas untuk dijadikan kain lap, celana pendek yang tak kalah lusuh tapi belumlah robek hanya saja warnanya sudah sama percis seperti muntahan kucing serta bola dari sabut kelapa pemberian Pak Amir.
Melihat Yusuf yang mahir bermain bola sabut kelapa membuat Kyai Azim terpana. Saat bermain bola, Yusuf kerempeng yang tulang dadanya menonjol semua itu menjelma menjadi Andy Gray idola sang Kyai. Esoknya tak ambil tempo, Kyai membawa Yusuf kepasar. Membelikannya baju koko dan sarung untuk shalat, buku dan alat tulis. Tapi diatas semua itu ada yang sangat berarti bagi Yusuf, benda yang amat diidam-idamkan Yusuf selama ini, bola sepak. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Kyai, Yusuf menangis sambil memeluk bola itu.
Sejak hari itu bola itu tak pernah lepas dari Yusuf. Ketika mandi bola itu dia mandikan, ketika makan bola itu dia pangku, ketika shalat bola itu tak pernah jauh dari sajadahnya, ketika tidur bolalah temannya, hanya ketika jam pelajaran dan mengaji saja Yusuf terlihat berpisah dari bolanya, walau sebenarnya bola itu ada di dalam tasnya. Pernah sekali Waktu Yusuf iseng memangku bolanya ketika jam pelajaran Pak Ridwan. Hadiahnya, Yusuf disuruh menyikat WC sekolah lepas jam pelajaran.
Lantas kemudian Yusuf jera, karena sejatinya tak ada yang lebih horor dari dihukum menyikat WC sekolah. Bau pesing dan aroma busuk membuat Yusuf mual dan tak berselera makan sampai 2 minggu lamanya. Bahkan ketika Nyai Tsuraya memasak nasi lemak gesek kesukaan Yusuf, semua itu tak mampu membangkitkan seleranya.
“Kenapa engko tiba-tiba ingin belajar bermain bola?” Yusuf menaikkan alisnya sambil bertanya pada Fengying.
“Kami kepengen seperti anak laki-laki lain di kampung kite ni.” Fengying tertunduk.
“Engko ini aneh, anak lain teringin sangat menjadi engko, engko malah teringin menjadi anak lain. ” Yusuf mengeluarkan suara berdecak sambil tertawa menggoda Fengying.
“Kami bosan jadi bahan tertawaan Ahdan dan kawan-kawannye.” Fengying mendengus kesal.
“Tak penting itu Boi, jangan engko perdulikan mereka. ” Yusuf menepuk-nepuk bahu Fengying. Ahdan Rahmat Kartolo memang terkenal si pembuat onar disekolah mereka. Anak itu tak punya harapan kalau kata Pak Ridwan.
Setiap tahun selalu tinggal kelas. Rekor terbaiknya 3 tahun mendekam di kelas 5. Jangankan anak kelas satu, anak kelas 6 saja takut dan tunduk padanya. Umurnya sudah 16 tahun, badannya bongsor, kulitnya hitam, kumisnyapun sudah tumbuh di atas bibir tebalnya itu. Bahkan menurut rumor yang beredar bulu ketiaknya pun sudah lebat dan panjang-panjang.
Setiap akhir bulan Ahdan akan membeli pisau silet cap tiger di toko kelontong keluarga Fengying. Memang toko Koh Abun layaknya mini market dizaman sekarang. Toko paling lengkap, tersedia barang-barang dalam negeri bahkan dari negeri tetangga, Singapura dan Malaysia.
Bila melihat Ahdan datang ke toko, maka Fengying akan menyingkir kedalam rumah. Si tukang Bully itu memang paling suka mengganggu Fengying. Si kulit pucat, si anak emak, si lemah, si bau ketek mak dan segudang julukan penghinaan selalu terlontar dari mulut Ahdan untuk Fengying.
Bila Yusuf ada di dekat Fengying saja barulah Ahdan tak berani menggodanya. Satu tahun yang lalu, Fengying dijegal kakinya oleh Ahdan ketika akan keluar kelas. Bibirnya robek dan berdarah. Tangannya patah, lantas Fengying harus menjadi pasien Paklong si tukang urut tak berbelas kasih itu.
Bagaimana tidak orang menyebutnya tak berbelas kasih, dia tak akan segan menarik memutar apa-apa saja bagian tubuh kita yang patah ataupun terkilir. Kalau pasien menjerit kesakitan, dia akan terkekeh senang sambil berkata “Hoiiii..Jangan manja begitu engko, macamane pula nak sembuh, sedikit-sedikit menjerit. cih!" Tapi biar begitu pasiennya selalu ramai, bukan hanya dari kota mereka, tapi dari luar kota bahkan dari negara tetangga Malaysia dan Singapore. Ajaib tiga kali pegang, bahkan kasus patah tulang yang paling rumitpun akan sembuh.
Ketika Fengying jatuh dan dibawa pulang kerumah oleh ibunya, Yusuf tak menemani. Dia sibuk berkelahi dengan Ahdan di kebun pisang belakang sekolah. Hasilnya Ahdan dibuat KO tak berdaya. Iya, Ahdan yang berbadan besar itu megap-megap di bawah pitingan Yusuf yang kerempeng. Tak ada yang mengira hal itu akan terjadi, tidak Ahdan sekalipun. Sejak saat itu jangankan berpapasan, menatap Yusuf saja Ahdan sudah ketar ketir hatinya.
Tapi dasar anak bengal, hal itu tak membuat Ahdan kapok menggoda Fengying. Ketika Yusuf tak ada, Fengying tetap menjadi bahan olok-olokannya, yang berubah hanya dia tak lagi berani main fisik kepada Fengying yang dianggapnya lemah itu.
Hal ini yang membuat Fengying ingin sekali menjadi anak lelaki seperti teman-teman lain. Dia ingin bisa bermain bola, ingin bisa jago ilmu bela diri seperti halnya Yusuf.
“Hoiii, ape pasal. Becakap pun engko tidak.”
“Tak de. Bermimpi jadi seperti engko.” Jujur Fengying sambil nyengir lebar.
“Heleh, anak lain mau jadi engko, engko nak jadi anak lain. Dunia ni memang aneh.” Yusuf menggelengkan kepalanya lalu menepuk jidatnya pelan.
“Apa hebatnya kami sampai anak lain ingin menjadi seperti kami?” Fengying menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Engko bertanya?” Yusuf tergelak sementara Fengying masih dilanda kebingungan.
“Engko ni kalau kata guru agama manusiye tak pandai bersyukur.”
“Ha?” Mulut Fengying ternganga.
“Engko punya keluarga utuh yang menyayangi ko. Keluarga ko termasuk keluarga terhormat di kota ini. Kaya raya. Engko pintar, terkenal di kota karena sering memenangkan perlombaan. Engko pun ganteng, lihat kulit engko yang putih bersih ni.” Yusuf Menggoda Fengying dengan mengelus tanganya sambil tertawa.
“Pakaian engko selalu bagus, alat sekolah lengkap, buku - buku tak pernah pinjam sana sini. Nikmat Tuhan yang mane lagi yang hendak engko dustakan Fengying.” Yusuf menarik nafas sambil tersenyum. Tak ada satu nada iri saat dia menyebutkan segala kehebatan Fengying. Kebalikannya, mataYusuf berbinar, bangga akan segala kelebihan sahabatnya itu.
Sementara Fengying mendengus. Yusuf kembali tertawa. “Tak ade manusia yang sama atau bisa disama-samakan di dunia ni kawan. Tak kami, tak juga engko. Jadi banggalah pada diri engko sendiri. Tak perlulah menjadi orang lain atau memimpikan bise menjadi orang lain.” Yusuf menepuk-nepuk pundak Fengying.
“Kalau engko nak belajar ilmu bela diri atau sepak bola dengan senang hati kami ajarkan, tapi niatmu rubahlah dulu.”
“Ape?” Fengying menggaruk kepalanya lagi.
“Belajar bela diri ya untuk membela diri ketika suatu waktu nanti engko diganggu orang, diancam. ” Yusuf mengunyah permennya santai.
“Sepak bola agar engko lebih sehat.” Fengyingg mengangguk anggukkan kepalanya mendengar ocehan Yusuf.
“Sepakat kawan?” Yusuf mengulurkan tangannya, disambut Fengying dengan gembira.
Maka sejak hari itu jadilah Fengying murid Yusuf yang setia. Dengan penuh kesabaran Yusuf mengajarkan Fengying semua yang dia tau tentang bela diri dan Sepak bola.
Tak jarang Fatimah ikut menonton mereka. Memberi semangat sambil membawakan camilan dan minuman buatan Ibunya. Fatimah senang sekali melihat cara Yusuf mengajarkan Fengying Ilmu bela diri. Dimatanya itu keren sekali. Yusuf yang dengan sabar mengajari Fengying membuatnya bercita-cita menjadi guru dikemudian hari.
“Banyak betul jurus pencak silat yang engko kuasai.” Fatimah menyodorkan gelas berisi air limun pada Yusuf. Sore ini dia melihat dua sahabatnya itu berlatih di halaman samping rumah Kyai Azim.
“Terimakasih Fatimah. Bismillah.” Yusuf menerima uluran gelas dari Fatimah, duduk dan meneguk isinya.
“Takde la, yang kami tau ni hanya seujung kuku. Ayahlah yang jago.” Yusuf kembali meneguk isi gelasnya.
“Tapi Ayah bilang engko muridnya yang paling Top.” Fatimah mengacungkan dua jempolnya.
“Takla, Ayah tu suke sangat berlebihan.” Yusuf tertawa.
“Heleh, jangan terlalu merendah kawan.” Fengying menepuk bahu Yusuf. “Kalau Yai Azim bilang begitu, artinya itu yang sesungguhnye. Tak mungkin Yai berbohong. ” Fengying mengambil kue bangkit dari piring disamping Fatimah.
" Hei, baca la doa tu dulu, sebelum engko makan, setidaknya makan tu sambil dudok. Isss tak ade adab." Fatimah mengomel melihat Fengying makan sambil berdiri, sementara yang ditegur hanya meringis sambil menggaruk kepalanya.
“Sedap betul kue bangket buatan Ibu engko ni Fatimah. Terbaik.” Fengying mengacungkan jempol kanannya tepat di depan hidung Fatimah. Fatimah semakin sewot. Yusuf tertawa melihat ulah dua sahabatnya itu.
“Isss kalian ni, macam kucing dan tikus. kejap-kejap berkelahi. Riboot saje.” Yusuf menunjuk dua sahabatnya.
“Macemana kami tak berang, Fengying ni selalu lupa apa-apa yang seharusnya dilakukan. Semue serba asal saje.” Fatimah bersungut-sungut.
“Hoii dek Fatimah, jangan benci berlebihan nanti engko jatuh cinte la pade kami.” Fengying berkelakar, Yusuf tertawa. Tapi tak lama, karena sepasang sendal jepit Fatimah sudah terbang dan mendarat telak di jidat keduanya.
Yusuf dan Fengying hanya mampu meringis menahan geli melihat Fatimah bersungut-sungut masuk kedalam rumah. Tak berani menggoda lebih. Panjang urusannya bila anak bontot Kyai Azim itu sudah marah. Dua sahabat itu tahu betul, lebih baik diam. Karena kalau mereka diam, tak akan lama Fatimah akan kembali keluar, bermain seperti tak terjadi apa-apa.
Sepeninggal Fatimah, Yusuf dan Fengying lebih banyak diam sambil menghabiskan limun dan kue bangkit yang tadi disediakan Fatimah untuk mereka. Diam-diam mereka berdua berhitung dalam hati, dalam hitungan keberapa Fatimah akan kembali bergabung bersama mereka.
“Paling dalam hitungan ke 20.” Yusuf berkata.
“Kami rasa tak sampai.” Fengying tertawa.
Tapi kali ini mereka salah, sampai mau Maghrib Fatimah tak kunjung datang. Akhirnya Fengying pamit pulang. Yusuf masuk membawa gelas kotor dan piring bekas kue. Ketika melewati ruang keluarga dia tertawa geli. Bagaimana mau datang, ternyata Fatimah sudah asyik tertidur sambil mendengkur di kursi malas ruang keluarga. Ah, anak Kyai yang satu ini memang berbeda. Untung saja mukanya manis kulitnya putih bersih, Tapi kelakuannya seperti anak laki-laki.
Bersahabatnya saja dengan Yusuf dan Fengying. Gemarnya bermain bola dan gundu. Terkadang sangatlah lucu melihat Fatimah yang gesit berlari berebut bola dengan Fengying dan Yusuf. Gamis panjang dan jilbabnya tak menghalanginya bermain bola.
Bila ada Kyai Azim sajalah tingkahnya lebih seperti anak wanita pada umumnya
“Astagfirullah, nak bangun. Sudah mau Adzan Maghrib. ” Nyai membangunkan Fatimah. Tapi yang dibangunkan tak bergeming sedikitpun. Malah suara dengkurannya semakin keras terdengar.
Yusuf yang baru selesai berwudhu dan bersiap-siap ke mushola samping tertawa geli melihat Fatimah.
“Nak, ayo bangun. ” Nyai Tsuraya lembut menyentuh pipi Fatimah. Tapi yang dibangunkan malah semakin nyenyak tidurnya.
“Umma biar kami saje yang bangunkan Fatimah.” Yusuf menawarkan diri, dibalas anggukan Nyai Tsuraya. Dengan senyuman nakal Yusuf membuat corong dengan kedua telapak tangannya di dekat telinga Fatimah dan berteriak sekuat tenaga “SAHURRRRRRRR Hoiiii SAHURRRRRRR!!!!”
Bukan hanya Fatimah yang terkejut, Nyai Tsuraya pun kaget dan mengusap dadanya “Astaghfirullah Yusuf.” Lembut nyai Tsuraya menjawil telinga Yusuf. Yusuf nyengir lebar.
Fatimah sudah jatuh terduduk dilantai sangkin kagetnya. Mukanya pucat, tapi kemudian ketika sadar akan ulah Yusuf muka cantik itu berubah sangar, bersiap-siap melemparkan sendalnya ke arah Yusuf. Yusuf lekas bersembunyi dibelakang Nyai Tsuraya sambil tertawa dan menjulurkan lidahnya ke arah Fatimah. Jelas ini membuat Farimah semakin sewot dan ingin menimpuk Yusuf dengan semua sendal yang ada dirumah itu.
“Yusuf, ayo pergi Adzan di mushala." Kyai Azim tiba-tiba muncul di ruang keluarga. menghentikan segala kegaduhan. Nyai Tsuraya tertawa bahagia sambil bersyukur. Dulu dia selalu berdoa penuh harap agar rumah mereka ramai dengan gelak canda anak-anak. Dia ingin sekali memiliki sepasang anak yang terlahir dari rahimnya.
Allah maha baik, selalu maha baik, doanya terkabul karena sekarang rumahnya tak pernah sepi dari segala tingkah laku dan gelak tawa Fatimah dan Yusuf.
Walaupun ada sesuatu yang berat mengganjal jauh di dalam lubuk hati Nyai Tsuraya. Ah biarlah itu diurus nanti-nanti, ketika saatnya mereka besar.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
