Agape (PART 1)

3
0
Deskripsi

Abu-abu…..

Kamu seperti warna abu-abu buatku

Tidak putih tidak juga hitam


 

Bagaimana bisa kamu meninggalkanku disaat kita berdua masih sangat bahagia, atau itu semua ilusi yang aku buat sendiri dan hanya aku yang sangat bahagia memilikimu di sisiku? Bagaimana denganmu? Setiap hari aku mencari alasan untuk membenarkan sikapmu, namun tidak ku temukan. Namun bagaimanapun juga aku tetap berterima kasih padamu, berkatmu aku menemukan hal yang sangat berarti buatku.

    Aku selalu menunggu hari esok akan segera tiba. Jika kamu bertanya siapa manusia paling bahagia di dunia, aku akan menjawab dengan pasti itu adalah aku. Bagaimana tidak, aku memiliki pacar yang sangat tampan, lembut, dan juga penuh dengan kasih sayang. Dia orang yang mengerti aku. Tidak ada satupun kenangan bersamanya yang buruk. Dia sangat sempurna. Aku terkadang bertanya-tanya apakah ini semua hanya mimpi. Pria sempurna tersebut adalah Brian Deswara, pria berdarah Indonesia - Kanada. Kami bertemu di sebuah pameran lukisan di New York. Aku yang merupakan kurator lukisan pada saat itu, melihat dia berdiri lama di satu lukisan. Aku mendekatinya dan berbincang-bincang. Aku Violet Arabella gadis berdarah Indonesia – Amerika yang tinggal di New York demi mengejar impiannya menjadi kurator seni. Disitulah awal kami bertemu dan dekat.

    “Babe, hari ini kamu ngapain?” tanyaku pada Brian melalui telepon.

   “Kayanya aku hari ini ke studio deh. Kenapa babe?” tanyanya padaku. Ya, studio, dia merupakan bassist di group band indie disini. Walaupun belum sebesar dan seterkenal 5 Seconds of Summer tapi bandnya memiliki fans yang tidak bisa dibilang sedikit.

   “Ah okay. Aku kangen banget nih sama kamu. Boleh gak aku main ke studio?” Sudah seminggu kami tidak bertemu karena kesibukan ku. Aku baru kembali dari Prancis untuk menghadiri pameran lukisan disana.

   “Boleh kok. Aku tunggu ya,” katanya. Aku langsung mematikan telepon dan langsung bergegas siap-siap untuk bertemu dengannya.

   Ini pertemuan pertama kami setelah berjauhan, aku membuka lemari dan mencari baju yang cantik. Tapi layaknya perempuan kebanyakan, aku merasa tidak memiliki baju yang pas. Setelah mencari dan mencoba mix-and-match baju yang ada, aku memilih skinny jeans dengan tank top dan leather jacket milik Brian yang dia tinggalkan disini beberapa waktu lalu. Aku memakai make up tipis dan menyemprotkan parfum kesukaanku. Setelah siap semuanya aku pakai boots yang biasa aku pakai dan segera bergegas keluar apartemen. Aku tidak sabar bertemu dengannya. Aku merindukan hangat tubuhnya saat memelukku. Aku merindukan bibir lembutnya mendarat di wajahku. Ah, dengan membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdegup kencang. Aku sangat merindukannya.


 

   Aku sampai di depan studio tempat biasa Brian latihan bersama teman satu bandnya dan melakukan rekaman. Aku sering datang kesini untuk menemaninya latihan. Aku pun masuk kedalam dan melihat dia sedang melakukan rekaman bersama teman-temannya. Aku masuk dengan pelan-pelan dan berusaha tidak membuat suara. Aku letakkan kopi yang sudah kubeli saat berjalan kesini, ke meja di studio tersebut. Aku memandang dia dengan seksama. Dia sangat mencintai musik dan di bandnya dia berperan sebagai produser yang membuat lagu juga. Lagu-lagu yang diciptakannya semua indah. Aku dapat merasakan betapa dia mencintai musik dan pekerjaannya. Setelah aku menunggu 30 menit, dia melihat kearah ku dari dalam studio rekamannya. Dia melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum lebar. Aku tidak pernah bosan untuk memuji ketampanannya. Aku bersyukur dia memilihku untuk menjadi kekasihnya, disaat aku memiliki banyak kekurangan. Aku membalas lambaian tangannya. Tidak lama setelah itu dia keluar dan menghampiriku.

   “Babe, udah lama nunggu disini?” tanyanya sambil memelukku.

   “Gak kok. Ah aku kangen kamu pake banget,” kataku sambil memeluknya dengan erat. Aroma tubuhnya yang ciri khas ini membuat ku semakin mendekapnya dengan erat dan menenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Tubuhku yang mungil sangat pas di pelukannya. Dia meletakkan dagunya di atas kepalaku. 

  “Aku juga kangen banget sama kamu. Gak ada yang gangguin aku selama seminggu ini jadi sepi deh,” ujarnya menggodaku sambil melepaskan pelukan kami. Matanya menatapku sambil tersenyum.

   “Ih kamu nih,” kataku sambil mendengus kesal. Dia tertawa dan mencium pipi kananku dan kami pun tertawa bersama sambil bergandengan tangan.

   “Ehem…ehem….” Seseorang berdehem di belakang Brian. Kami pun langsung melihat ke arah suara tersebut. Teman-teman bandnya keluar dari studio dan mencoba menggoda kami berdua.

   “Get a room you two,” kata Jeffrey pemain gitar di group mereka.

    “Jangan iri dong,” timpal Will yang berada di sebelahnya. Will merupakan pemain synthesizer dan keyboard.

   “Kelamaan single sih. Makanya cari cewe dong,” saut Delvin, pemain drum dan merupakan anggota paling muda di grup tersebut.

    “Udah… udah jangan gangguin si Jeff nanti dia minum sambil nangis lagi,” kata Sam yang menyusul mereka keluar dari studio. Sam di grup ini sebagai pemain gitar melody dan juga berperan sebagai leader.

   “Hai hai. Gimana si Bri pas aku tinggal? Ada liat-liat cewe lain gak?” tanyaku pada mereka semua. Brian yang berada disampingku merangkul pinggangku sambil menghela napas panjang.

   “Mana berani dia. Dia selalu di studio, buat lagu mulu. Kami ajak ke club juga dianya gak mau tuh,” jawab Jeff sambil duduk di sofa.

  “Gak mungkin aku lirik perempuan lain. Pacarku yang paling cantik sedunia,” jawab Brian. Aku yang berada di sampingnya, memukul lengannya pelan. Brian orang yang manis dan selalu mengatakan hal-hal yang selalu ingin aku dengar dengan caranya sendiri. Dia bisa memujiku tanpa membuat hal tersebut terdengar menggelikan. Dia selalu memiliki caranya sendiri untuk bisa membuat jantungku berdegup kencang dan menimbulkan kupu-kupu kecil di perutku. Sudah 5 tahun kami bersama, dia selalu memberikan hadiah-hadiah yang tidak terduga. Bukan cincin, kalung, atau benda-benda mahal. Dia memberikan hadiah yang sering kali membutuhkan usaha untuk membuatnya. Sikapnya yang manis dan tanpa di duga tersebut yang membuatku semakin jatuh cinta padanya. Hadiah yang paling buat aku berkesan salah satunya adalah album foto yang dia buat sendiri dengan beberapa pesan manis di dalamnya.

  Saat aku sedang menonton penampilannya. Aku berdiri di depan panggung. Dia tersenyum ke arahku sambil menyanyikan part nya. Setelah konser nya berakhir, aku menjumpai nya di belakang panggung dan kami menghabiskan waktu bersama. Malam itu dia menginap di apartemenku. Keesokan paginya saat aku bangun dari tempat tidurku. Aku melihat dia sudah tidak ada di sampingku. Aku mencarinya dan dia sedang duduk di dekat jendela sedang menatap keluar dengan segelas kopi di tangannya. Aku menghampirinya dari belakang dan memeluknya.

    “Morning babe,” kataku sambil memeluk punggungnya yang bidang.

   “Ah mi Bella udah bangun. Morning,” balasnya sambil meletakkan gelasnya di meja dekatnya, lalu menarik tanganku agar dia dapat mendekap tubuhku dari depan. Saat semua orang memanggilku Vio hanya dia yang memanggilku Bella. Dia bilang dia ingin menjadi orang spesial dengan memanggil namaku dengan nama tersebut dan aku menyukainya. Saat dia memanggil Bella itu terdengar sexy di telingaku.

   “Ah iya. Tadi aku kira kamu udah pulang, ternyata disini,” kataku sambil melepas pelukannya dan pergi ke dapur untuk membuat kopi. Dia pun mengikutiku ke arah dapur dan duduk di kursi bar yang ada disana. Dia memandang setiap gerak-gerik ku dengan tatapannya yang tajam seperti singa yang ingin menerkam mangsanya.

  “Bella kenapa kamu sungguh mempesona. Kamu tetap cantik walaupun baru bangun tidur,” godanya sambil tetap memandangku. Aku membalas pandangannya dan tersenyum kecil mendengar perkataannya. Hal-hal kecil seperti itu yang membuat diriku semangat menjalani hari.

    “Kamu ini, masih pagi loh udah gombal aja deh. Mau aku buatin sarapan sekalian gak?” tanyaku sambil mengambil roti untuk di panggang. Saat aku balik badan, tiba-tiba saja tangan lembutnya sudah memelukku dari belakang. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Dia mengecup ujung kepalaku.

   “Bel, aku punya hadiah buat kamu. Tunggu disini ya,” katanya sambil melepas pelukan tersebut dan pergi meninggalkan ku sendiri disana. Aku memasang wajah kebingungan sambil berusaha mengingat apakah hari ini adalah hari penting. Aku melihat kalender yang menempel pada kulkas dan tidak ada yang spesial hari ini. Setelah aku berdiam diri disana sambil menyelesaikan sarapan yang ku buat, kuletakkan piring yang sudah tersedia makanan tersebut di meja makan yang menghadap langsung ke jendela. Aku duduk disana sambil menyeruput kopi pagiku sambil melihat jalanan New York yang sudah ramai untuk melanjutkan aktifitas mereka pada hari itu. Saat aku sibuk melihat orang-orang yang sedang berlalu-lalang di jalanan, tiba-tiba saja Brian datang sambil meletakkan sebuah bingkisan di depanku. Aku memandangnya dengan bingung.

    “Ayo dibuka,” katanya sambil tersenyum. Aku pun membuka bingkisan tersebut. Bingkisan tersebut berbentuk persegi dan cukup berat. Aku bertanya-tanya apa isinya saat membukanya. Aku melihat foto album di dalamnya. Aku melihat ke arah Brian yang sedang menyantap roti yang telah ku buat untuknya lalu aku kembali melihat foto album tersebut dan membukanya. Aku lihat disana ada kumpulan foto-foto selama 5 tahun kami bersama. Dia menyusun foto-foto tersebut dengan catatan kecil di setiap fotonya disertai dengan tanggal kapan diambilnya foto tersebut. Disana ada foto saat pertama kali kami liburan bersama di Paris. Foto tersebut diambil saat kami sedang berciuman di depan Eiffel Tower. Dia menuliskan catatan disana,

“25 Sept ‘20”

This beautiful lady always mesmerizing me

How can I not love her?

Her presence is mean the world to me

She’s the one that I love the most

  Semakin kubuka album foto tersebut, hatiku semakin terenyuh. Hadiah yang diberikannya sangat indah. Momen-momen kebersamaan kami yang sudah kami lalui bersama menjadi memori indah yang tergambar disana. Seperti pasangan pada umumnya, kami juga punya saat-saat up and down. Tapi dibandingkan kesedihan dan amarah, kebahagiaan yang diberikannya lebih besar. Dia orang yang paling aku cintai.

   “Babe ini sangat indah,” kataku sambil membalikkan setiap halaman album foto tersebut.

  “Kamu tau kan, aku sangat mencintaimu Bella.” Dia menadahkan dagu di tangannya sambil menatap ku. Aku memandangnya dengan penuh haru sambil mengucapkan, “I love you so much”. Pagi itu kami habiskan waktu bersama dengan penuh cinta.


 

                                       *************************************************************************


 

   Sekarang hari Senin dan aku seperti biasa harus bangun pagi untuk berangkat ke galeri lukisan tempatku bekerja. Hari ini aku ada janji dengan seseorang klien yang sedang mencari lukisan untuk café dan restaurant nya. Kami berencana bertemu dan membahas beberapa hal di galeri sebelum berencana mengunjungi café dan restaurant tersebut untuk melihat suasananya bagaimana untuk memilih lukisan yang cocok dengan suasana disana. 

   Aku selesai mandi dan sedang mencari baju apa yang bagus untuk dikenakan. Setelah mencoba beberapa baju, aku akhirnya memilih untuk mengenakan kemeja oversized berwarna putih dan skinny jeans hitam dan memutuskan untuk memakai sepatu boot hitamku. Setelah siap semuanya, aku menyiapkan sarapan dan kopi untuk aku bawa. Setelah semua aku rasa sudah lengkap di dalam tasku, aku mengambil kunci mobil dan meninggalkan rumahku. Aku lebih suka mengendarai mobil pribadi dibandingkan menggunakan transportasi umum atau jalan kaki, apalagi pada saat jam kerja. Selain galeri dan apartemen ku berjarak lumayan jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, menggunakan transportasi umum disaat hari kerja bukanlah pilihan yang tepat karena ramainya penumpang. Selama perjalanan ke gallery aku menghidupkan lagu di Cadillac kesayangan ku ini sambil memakan sandwich yang ku bawa.  

   Aku suka berkeliling kota New York dengan mobilku terutama di malam hari. Kota ini selalu hidup bahkan saat di malam hari kota ini masih saja ramai. Entah mereka hangout bersama teman di club, baru saja selesai beraktivitas, atau bahkan baru melakukan pekerjaan mereka. Melihat lampu-lampu gedung yang hidup di malam hari dengan menghidupkan musik di mobilku, begitu caraku menikmati waktu ku sendiri. Pikiranku dan perasaanku sedikit lebih tenang dan membaik jika aku melakukan hal tersebut. Aku sangat suka suasana di malam hari terutama di tengah malam.

    Aku pun sampai di galeri lukisan tempatku bekerja. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Aku pergi ke ruanganku dan menyiapkan beberapa foto lukisan yang ingin aku tunjukkan kepada klien dan memastikan stock di komputerku. Setelah aku menyelesaikan beberapa berkas yang diperlukan, aku pergi keluar ruangan dan mulai memeriksa kondisi lukisan-lukisan yang terpajang disana. Aku memperhatikan satu per satu lukisan disana dengan seksama, namun aku selalu berhenti lama di satu lukisan. Setiap aku melihat lukisan tersebut aku selalu bertanya-tanya pesan apa yang ingin disampaikan sang pelukis. Mengapa wanita tersebut tidak memiliki wajah. Lukisan tersebut memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang yang melihatnya. Disaat orang yang melihat lukisan tersebut sedang sedih maka lukisan tersebut terkesan menyedihkan. Jika yang melihat lukisan tersebut sedang bahagia lukisan tersebut juga menampilkan kesan bahagia, seperti wanita tersebut ikut merasakan kebahagiaan bersama orang yang melihatnya. Itulah mengapa pelukis membuat wajah wanita tersebut abstrak agar orang yang melihatnya bisa mengartikan sesuai dengan interpretasi mereka masing-masing. Aku terpesona dengan indahnya lukisan tersebut. Tanpa terasa aku sudah lama memandangi lukisan tersebut, sampai asistenku memanggil namaku. 

     “Vio…” Aku mengalihkan pandanganku ke arah suara tersebut. 

    “Ya Irish? Kenapa?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya.

    “Ada yang mencarimu. Katanya dia ada janji denganmu untuk melihat lukisan,” jawabnya.

    “Ah iya. Dimana dia?”

    “Aku menyuruhnya untuk tunggu di depan sih tadi.”

    “Yuk kita kesana,” jawabku sambil berjalan ke depan galeri tempat tamu tersebut menunggu.

   Saat aku tiba di lobby depan galeri, aku lihat disana seorang laki-laki berpakaian kaos berwarna putih dengan jaket kulit dan celana berwarna hitam. Laki-laki tersebut sedang sibuk memperhatikan hpnya. Aku berdehem kecil untuk menunjukkan kehadiranku disana. Laki-laki tersebut langsung memasukkan hp nya kedalam kantong jaketnya dan mengedarkan pandangannya mencari asal suara. Aku pun menghampiri dari belakangnya. “Morning,” sapaku saat sudah berdiri disampingnya. Dia pun bangkit dari tempat duduk dan mengulurkan tangannya. 

   “Morning. Halo namaku Malvin Lee.” Dia menyodorkan tangannya sambil memperkenalkan diri. Aku membalas jabatan tangannya, “Hi. Aku Violet Arabella, manajer di gallery lukisan ini.”

  “Hi Bella,” jawabnya sambil tersenyum lebar. Aku sempat terkejut saat dia memanggilku Bella. Selama ini hanya Brian yang memanggilku dengan nama tersebut. Bahkan kedua orang tuaku memanggil aku dengan Vio. 

   “Eh sorry aku salah sebut nama kamu ya?” tanyanya. Sepertinya terpampang jelas di wajahku kalau aku terkejut.

   “Oh gapapa haha. Benar kok, cuman biasanya orang-orang manggil aku Vio. But it’s okay. Aku panggil kamu Malvin?” kataku lebih seperti ragu menyebutkan namanya dengan benar.

  “Haha iya kamu bisa memanggilku Malvin,” jawabnya dengan tertawa kecil, sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.

   “Ini kamu mau liat daftar lukisan yang ada di galeri atau mau pergi ke café dan restaurant kamu dulu?” tanyaku langsung ke topik pembahasan alasan mengapa kami bertemu saat ini.

   “List lukisannya ada berkas atau bisa di akses lewat laptop gak ya?” tanyanya padaku.

   “Ada kok. Kenapa?”

  “Aku berencana mau ngajak kamu duduk di cafeku sambil membahas lukisan-lukisan tersebut. Biar sekalian ada gambaran lukisan mana yang cocok,” jawabnya sambil melihat jam tangannya. Belum sempat aku jawab dia menambahkan, “Sekalian ini udah mau dekat jam makan siang, jadi kita sekalian makan siang.”

  “Hm okay. Tunggu aku ambil barang-barang aku dulu ya,” jawabku. Dia mengangguk dan kembali duduk untuk menungguku. Aku pun meninggalkannya dan mengambil berkas yang sudah kusiapkan, laptop, dan tasku. Sebelum aku meninggalkan ruanganku, aku menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan ke Brian. “Babe aku makan siang diluar ya sama client. Have a great day and don’t forget to eat xx.” Aku pun keluar dari ruanganku dan menemui Malvin. “Yuk,” kataku. Dia pun langsung berdiri dan mengeluarkan kunci mobil dari kantong celana, lalu kami berjalan menuju mobil miliknya.

     Awalnya aku kira berdua di dalam mobil bersama Malvin akan terasa awkward dan asing. Namun entah mengapa aku tidak merasa begitu. Kami tidak berbicara banyak, hanya music di mobilnya yang mengisi keheningan. Aku melihat ke luar jendela. Tiba-tiba saja lagu You are The Reason dari Calum Scott terputar. Salah satu lagu kesukaanku.

There goes my hands shaking

  And you are the reason

  My heart keeps bleeding

  I need you know

 And if I could turn back the clock

 I’d make sure the light defeated the dark

 I’d spend every hour, of every day

 Keeping you safe

 

  And I’d climb every mountain

  And swim every ocean

  Just to be with you

  And fix what I’ve broken

  Oh, ‘cause I need you to see

  That you are the reason

   Aku menikmati lagu hingga tanpa sadar menyanyikan lagunya. Namun aku tidak menyanyi sendirian. Malvin juga ikut menyanyi bersamaku. Setelah sadar, kami langsung melihat satu sama lain. Lalu kami tertawa bersama. “Haha kok bisa kita nyanyi nya barengan haha,” katanya sambil tertawa.

    “Iya haha. Pas banget. Ini lagu kesukaan ku,” jawabku sambil melihatnya.

    “Sama!” ujarnya semangat. Lalu kami tertawa.

    “Kamu udah lama tinggal di New York?” tanya nya padaku.

    “Lumayan. Kira-kira udah 8 tahun deh. Kamu sendiri gimana?” balasku.

   “Hm aku baru aja pindah untuk bisnis aku ini,” jawabnya sambil menatap lurus ke jalan. Aku memperhatikannya dari samping. “Kamu aslinya dari mana?” tanya nya sambil mengalihkan pandangannya kepadaku walaupun hanya sekejap.

   “Ah aku dari Indonesia. Aku campuran Indonesia – Amerika. Sebelum aku pindah kesini aku tinggal di Jakarta, lalu memutuskan lanjut kuliah disini. Kamu dari Korea kan ya?” balas tanyaku basa-basi.

    “Haha iya. Aku dari Korea. Aku tinggal di Seoul.”

   “Tapi untuk ukuran orang Korea, bahasa Inggris kamu termasuk bagus loh. Aku punya teman orang Korea pas aku kuliah dan dia bahasa Inggrisnya masih kental banget aksen Koreanya,” ujarku padanya.

   “Haha iya soalnya aku juga di Korea sekolahnya yang internasional. Jadi sering pakai bahasa Inggris. Aneh ya?” tanya nya sambil menggaruk punggung tengkuknya.

   “Gak kok. Bagus.” Saat aku menjawab Malvin, tiba-tiba saja hp ku berdering.  Aku segera mengangkat telepon tersebut tanpa melihat siapa yang meneleponku.

   “Halo?” tanyaku. Malvin yang disampingku langsung mengecilkan suara radio mobilnya. Dia melakukannya tanpa aku suruh. “Wah gesture tubuhnya lumayan juga,” pikirku.

   “Halo babe. Kamu masih diluar ya?” tanya Brian di ujung telepon.

   “Ah iya. Ini aku masih di mobil sama client mau liat lokasi lukisan yang mau di pasang, kenapa babe?” tanyaku awkward sambil melihat ke arah Malvin. Berbicara dengan pacarku di mobil seorang client, membuatku sangat canggung. “Semoga dia fokus ke jalanan dan tidak mendengar percakapanku,” harapku. 

    “Oh aku ada mau bahas sesuatu. Tapi nanti aja deh paskamu senggang. Okay hati-hati ya babe.”

    “Okay,” kataku mematikan telepon dan memasukkan hp ke dalam tas.

   “Pacar kamu?” tanya Malvin. Pupus sudah harapanku. Dia mendengar obrolan kami ternyata. Padahal aku berusaha sebisaku berbicara dengan suara kecil.

    “Iya hehe. Maaf ya. Tadi aku angkat teleponnya gak liat dulu namanya. Aduh jadi canggung banget,” jawabku sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Malvin tertawa disampingku.

   “Haha. Gapapa kok. Santai aja,” ucapnya santai dan membuatku lebih tenang. Aku pun mengangguk dan selama perjalanan kami hanya mendengarkan lagu yang terputar di mobilnya.


 

                                                 *******************************************************

 

   Sesampainya kami di restaurant dan café milik Malvin, aku sedikit terkejut. Tempat ini sering aku lewati karena sangat dekat dengan apartemen ku. Tempat ini berada di Lexington Ave. Termasuk lokasi yang sangat strategis untuk membuka café dan restaurant karena lokasinya yang banyak orang lewati karena dekat dengan Central Park di New York. Posisi café nya bersebelahan dengan restaurant. Pertama-tama dia membawaku ke restoran. Disana suasananya seperti restaurant fine dining pada umumnya tapi ditambah dengan beberapa perabotan klasik yang kental, seperti pemutar piringan hitam dengan model Gramophone dan lampu-lampu hias antik. Setelah selesai berkeliling di restorannya, kami berjalan ke gedung sebelah tempat café nya berada.

   Saat pertama kali aku masuk ke dalam café, aku langsung jatuh cinta dengan suasana café nya. Konsep dari café ini sendiri memiliki tema vintage. Dindingnya berbentuk batu bata di sekelilingnya. Di beberapa sudut cafenya tergantung bunga-bunga kering yang disusun secara indah. Café ini memiliki konsep Bay Window yang sangat aku suka. Di satu sisi dinding cafenya terdapat rak yang terisi penuh dengan buku-buku. Café ini besar namun sangat cozy bagiku dengan tata letak dan desain interiornya yang baik membuat café ini tidak terlalu kosong dan juga tidak terlalu penuh dengan segala perabotan dan aksesoris yang ada. Ini sudah sempurna. Saat kami datang café ini ramai dengan pengunjung, namun tidak berisik. Sepertinya orang-orang disini menikmati waktu mereka disini dengan alunan music classic yang di putar. Walaupun ada beberapa orang yang bercengkrama namun suara mereka hampir tidak terdengar.

    “Makan dulu yuk?” tanya Malvin membuyarkan lamunan ku.

   “Ah boleh,” jawabku sambil mengikutinya ke arah kasir untuk memesan. Aku melihat daftar menu yang berada di belakang kasir. Ternyata pilihan makanan dan minuman disana cukup beragam. Saat aku sedang melihat-lihat daftar menu, Malvin sudah berada di balik meja kasir.

    “Ah ada yang bisa di bantu lady?” tanyanya sambil tersenyum kepadaku. Dia bersiap untuk menerima pesananku.

   “Hmm can you surprise me?” tanyaku  padanya. Jujur saja melihat menu disana aku tidak bisa memilih. Makanannya cukup beragam dan aku sudah sangat lapar untuk memikirkan apa yang harus aku pesan.

    “Okay then. Duduk gih biar nanti aku antar pesanannya,” jawabnya sambil mencatat sesuatu.

    “Loh? Aku belum bayar tapi. Berapa totalnya?” Aku mengeluarkan dompet dalam tasku.

   “Gapapa. Kamu gak inget ini café punyaku? Haha gapapa it’s on me. Udah kamu cari tempat duduk aja ya,” katanya. Belum sempat aku membalas perkataannya, dia sudah berjalan ke arah dapur. Aku memasukkan kembali dompet ke dalam tas dan melangkah pergi dari sana. Aku keliling untuk mencari meja kosong. Namun sepertinya seluruh meja dan tempat duduk disana sudah terisi penuh. TIba-tiba saja ada 2 orang pelanggan yang menyelesaikan urusan mereka dan beranjak pergi dari tempat duduk mereka. Aku pun jalan ke arah meja tersebut. Pas sekali mejanya di bagian Bay Window. Tempat favoritku di café ini. Aku meletakkan berkas dan tas yang ku bawa di kursi disamping ku. Pramusaji café tersebut mendatangi mejaku untuk membersihkannya. Setelah dia selesai melakukannya dia menanyakanku apakah aku sudah memesan apa belum.

    “Sudah kok. Aku sudah memesan tadi,” kataku kepadanya. 

  “Okay. Mohon ditunggu pesanannya,” ujarnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya, lalu dia kembali melakukan pekerjaannya. “Service di café nya juga bagus. Aku pasti akan sering menghabiskan waktuku disini,” pikirku.

    Di lihat dari kedua bisnisnya, aku bisa melihat bahwa Malvin tahu benar apa yang dia mau. Dari konsep yang berbeda di kedua bisnisnya dan perabotan yang dia pilih untuk café dan restaurantnya. Nama café nya adalah Agora dan restaurant nya bernama Agape. Aku sendiri tidak tau makna di balik nama-nama tersebut, tapi aku yakin pasti mereka punya makna yang dalam. Aku mengeluarkan laptopku dan meletakkannya ke atas meja. Aku menghidupkannya sekaligus membuka berkas yang sudah aku siapkan. Aku melihat-lihat list lukisan yang ada disana untuk menyesuaikan dengan tema kedua bisnis Malvin. Aku telah memilih beberapa lukisan yang menurutku sangat sesuai untuk dipasang di café dan restaurantnya. Saat aku tenggelam dalam berkas-berkas, tiba-tiba saja ada seseorang yang mengetuk mejaku

     “Tada…,” katanya sambil meletakkan makanan dan minuman yang dia bawa. Aku pun mengenyampingkan laptop dan membereskan berkas yang berserakan di atas meja. 

    “Wah thank you.” Makanan yang ada di depanku semuanya terlihat sangat indah dan harum. Aku tidak sabar ingin langsung memakannya.

      “Ini signature dish disini. Namanya Kimchi Bokkeumbap. Nasi goreng yang dimasak pakai kimchi. Ayo dicoba,” ujarnya sambil menunggu ku mencoba makanannya. Aku menyendokkan nasi yang ada di piring dan memasukkannya ke dalam mulutku. Aku mengunyah dan menyipitkan mataku. Dia menunggu responku dengan memasang ekspresi ragu.

       “Hmmm,” gumamku menggodanya.

       “Gimana? Enak gak?” tanya nya dengan penuh gairah.

     “Enak kok haha. Kenapa kamu kok jadi ragu gitu? Kalau kamu udah buat ini jadi signature dish disini artinya udah yakin enak dong haha,” jawabku sambil memasukkan suapan lainnya ke dalam mulut.

     “Gatau nih kenapa kok tiba-tiba jadi deg-degan. Okay deh. Itu minumannya aku pilihin yang Blue Moon. Semoga kamu suka ya.” Dia pun menyantap makanannya. Aku menyeruput minumanku, dan aku sangat menyukainya. Minumannya tidak begitu manis namun segar. Aku tidak tahu campuran apa saja yang dipakai namun minumannya sudah masuk ke list minuman kesukaan ku. 

     Kami pun menyelesaikan makanan kami dan langsung membahas pekerjaan. Aku memberikan beberapa daftar lukisan yang telah ku pilih dan sisa daftar lukisan lainnya. Beberapa lukisan yang ku pilih untuk restaurantnya memiliki konsep klasik dan abstrak sedangkan untuk cafenya aku memilih konsep naturalism karena sesuai dengan tema konsepnya sendiri vintage dengan adanya sentuhan bunga segar dan bunga kering sebagai hiasannya. Dia membuka daftar lukisan lainnya sebelum akhirnya memilih beberapa lukisan yang menurutnya sesuai dengan kedua bisnisnya. 

     “Apakah lukisannya ada di galeri? Apakah aku bisa melihatnya hari ini?” tanyanya sambil memainkan hpnya. Aku membereskan berkas dan menutup laptop lalu memasukkan semuanya ke dalam tas.

       “Sebagian ada yang di galeri. Mau dilihat langsung?”

      “Boleh deh. Sekalian aku nganter kamu balik yuk. Nanti kalau kesorean anter kamu aku nanti pacarnya nyariin lagi,” candanya sambil tertawa renyah. Dia memasukkan hp nya ke dalam kantongnya dan berdiri dari tempatnya duduk. 

        “Haha,” tawaku sambil mengikutinya berdiri. Dia jalan ke arah kasir sambil berbicara pada salah seorang disana. Setelah dia menyelesaikan urusannya, dia kembali ke tempatku berdiri. “Yuk.” Ajaknya sambil berjalan keluar. Dia membuka kan pintu café nya untukku lalu menutupnya kembali. Kami masuk ke dalam mobil dan kembali ke galeri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Agape
Selanjutnya Agape (PART 2)
1
0
Part 2 kali ini mengandung unsur konten 18++ keatas.Mohon pengertiannya bagi yang membaca..Dear Bella,Kamu adalah perempuan yang paling aku cintai.Aku harap kamu dapat mengetahui itu dan tahu betapa besar rasa cintaku padamu.Terimakasih atas waktu yang telah kita habiskan bersama.Aku akan selalu mengingat momen-momen indah tersebut.Terima kasih sekali lagi Bella.Aku cinta padamu.Jaga dirimu baik-baik dan maafkan aku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan