Bila Jodoh Bab 1-3 (Gratis)

8
9
Deskripsi

Bismillah. Cerita ini dipublish juga di KBM app dengan judul “Dijodohkan dengan Adik Suamiku / Ipar Posesifku" dan mendapat lebih dari LIMA BELAS RIBU unlock.

Bab 1-3 Free. Bab selanjutnya berbayar mulai dari 4K-10K. Kalau mau lebih murah beli Paket Bila Jodoh Full Part. Khusus paket full part ada diskon tambahan 5K dengan memasukkan kode voucher BilaJodoh5K

Testimoni:

Awalnya berpikir, cerita ini seperti halnya cerita-cerita bertema serupa yang hanya seru di awal. Tapi ternyata salah duga. Malah nagih...

Bab 1. Menikah Lagi

 

“Mama, kenapa Papa tidur di sana?” tanya Rania sambil menunjuk gundukan tanah dengan papan nisan bertuliskan nama Arya Wiratama bin Sunaryo.

Aku menghela napas, kupandangi wajah Rania dengan iba. Belum genap tiga tahun usianya dan harus menjadi yatim.

“Karena Allah sudah memanggil Papa, Nak.” Aku menjawab sambil menabur sisa bunga yang masih dalam genggaman. Setelah suamiku meninggal, baru kali ini aku datang ke makamnya, usai masa iddah. Di daerahku, tak lazim wanita ikut datang ke prosesi pemakaman meskipun ke pemakaman suaminya sendiri.

Rania masih memandangi makam papanya. Kupeluk ia dengan erat. “Ran, kangen Papa?” 

Anggukan kepala Rania menjawab pertanyaanku.

“Kalau begitu kita doakan Papa, yuk, supaya kita bisa ketemu Papa lagi nanti di surga.”

“Kita bisa ketemu Papa lagi?” Kedua mata anak semata wayangku itu seketika berbinar.

“Bisa, dong. Yuk kita berdoa!” Kubimbing ia menengadahkan kedua tangan mungilnya. 

Robbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaa nii shoghiiroo.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Aku menengadah, menengok langit yang terlihat muram, tertutup awan gelap. Padahal sewaktu berangkat dari rumah Mama tadi masih cerah, sehingga tak terpikir olehku untuk membawa payung. Sejurus kemudian hujan turun. Langsung deras. Aku berusaha melindungi kepala Rania dengan tanganku.

“Ayo, Ran, kita pulang.” Buru-buru aku menggendong Rania. Kepalanya kulekatkan ke dadaku.

Namun, baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba saja hujan berhenti. Aneh. Kembali aku menengok langit. Alih-alih menemukan bentang cakrawala di atas kepala, aku justru melihat payung terkembang sempurna melindungi kami dari derasnya hujan.

“Pamaan!” teriak Rania begitu melihat pamannya, Arman, datang dengan membawa dua buah payung. Satu payung terbuka di atas kepala kami, dan satunya masih terlipat rapi.

“Bukankah sudah kubilang, tunggu aku pulang,” katanya datar namun terdengar marah. 

Aku tidak terlalu kaget dengan sikap Arman. Selama ini, adik suamiku memang dingin dan irit bicara. 

Selama hampir empat tahun aku menjadi kakak iparnya, kami hanya berbicara seperlunya, bahkan cenderung saling menghindar. Sebenarnya aku tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain, tetapi melihat pembawaan Arman yang seperti ini, aku jadi sungkan beramah tamah dengannya.

“Bukannya sudah kubilang juga, tak perlu repot menjemputku. Aku bisa, kok  pergi sendiri,” jawabku ketus. Aku tahu maksudnya baik, tetapi lancang sekali dia marah padaku, mantan kakak iparnya.

“Bagaimana kalau Rania sakit karena kehujanan? Ceroboh!” Arman membuka payung yang masih terlipat rapi lalu menyerahkan padaku.

“Ayo, Ran, ikut Paman,” katanya lagi sembari mengambil alih Rania dari gendongan.

Sampai di depan mobil, Arman menurunkan Rania kemudian membuka pintu. “Masuk!” 

Meski lebih terdengar seperti memerintah, aku menurut saja, malas berdebat dengannya.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Beruntung ada Rania yang mencairkan suasana. Sambil tetap fokus menyetir, Arman ikut bernyanyi bersama Rania dan selalu menanggapi ocehannya yang lucu. Aneh memang. Sedingin-dinginnya adik iparku ini, entah mengapa jika bersama Rania, sifatnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat.

“Hei kita mau ke mana?” tanyaku ketika menyadari Arman salah mengambil jalan. Jalan ini berlawanan arah dengan jalan menuju rumahku.

“Ke rumah Mama.”

“Tapi, baru sejam yang lalu, kan, aku berangkat dari rumah Mama ke makam. Aku juga sudah pamitan pada Mama. Kenapa ....”

“Ada yang mau Mama sampaikan. Setelah itu, kuantar pulang.”

Ada yang mau disampaikan? Kenapa tiba-tiba? Apakah serius? “Apa, Mama masih bersikeras mengajakku dan Rania tinggal di rumah?” tanyaku pada Arman. 

Beberapa kali Mama membujukku untuk tetap tinggal di rumahnya. Beliau bilang akan kesepian jika kami pindah.

“Atau ....” Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Oh iya, apa mungkin untuk membicarakan acara lamaranmu yang tertunda dengan Sheila?”

Sheila adalah teman kantor sekaligus calon istri Arman. Acara lamaran mereka seharusnya sudah dilakukan beberapa bulan lalu, tapi karena berpulangnya Mas Arya, acara itu ditunda dan sampai sekarang, belum dijadwalkan ulang.

“Aku sampai lupa belum menjahitkan kain seragam dari Mama. Ah, coba kuhubungi tukang jahit langgananku dulu, ya,” ocehku sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas.

Arman merebut ponselku dan memasukkan ke kantong kemejanya. “Sok tahu! Jangan bahas soal itu lagi!”

“Eh? Kalian lagi ada masalah? Hmmm, kena sindrom pranikah ya?” Aku menoleh ke arahnya, kepo, kenapa dia semarah itu. Tanpa menunggu jawabannya aku melanjutkan bicara, “Oh itu, sih, biasa. Dulu aku sama Mas Arya pas mau nikah juga sempet gitu, tiba-tiba adaa aja yang bikin ragu. Kita pernah-”

Kalimatku terhenti ketika mendadak Arman menginjak rem mobil. “Hah, ada apa? Kamu mau mampir ke minimarket?”

“Sudah ngomongnya?” Arman bertanya tanpa sedikit pun melihat ke arahku. “Sudah kubilang, aku lagi tidak ingin membahas tentang pernikahan. Titik!”

Aku mendengkus. Dia sama sekali tak menghargai upayaku untuk mendekatkan diri dengannya sebagai adik suamiku.

“Paman sama Mama kok berantem, sih?” Pertanyaan Rania yang polos dengan nada suaranya yang lucu meredakan kesalku.

“Nggak berantem, kok, sayang,” jawabku. “Pamanmu aja, tuh, kalo ngomong sukanya ngegas. Lembut dikit, napa?” sambungku lirih, tapi aku yakin dia pasti mendengar.

 

☕☕☕

 

Mobil menepi di depan rumah Mama. Saat aku turun, kulihat Mama tergopoh-gopoh keluar rumah, menyambut aku dan Rania dengan raut muka bahagia seperti biasa.

“Rania ..., cucu Oma ....” Mama membentangkan tangannya begitu melihat Rania turun dari mobil. Bocah kecil itu ikut berteriak girang menyambut pelukan omanya.

“Assalamualaikum, Ma,” sapaku sambil mencium punggung tangan Mama.

Mama mencium pipi kanan kiriku. “Waalaikumsalam. Ayo masuk, Nadia. Maaf ya, Mama suruh Arman bawa kamu ke sini lagi.”

Usai memarkir mobil, Arman menaikkan Rania ke bahunya. “Ayo, Ran, kita kasih makan ikan di belakang.”

Rania bersorak gembira menyambut ajakan Arman.

“Lihat Nadia, Arman begitu sayang pada Rania,” kata Mama sambil membimbingku masuk ke dalam rumah. Aku hanya tersenyum. Dari dulu, Arman yang kaku, yang pelit senyum dan kata-kata itu memang sangat dekat dengan Rania.

“Mama ingin bicara denganmu,” kata Mama ketika kami sama-sama sudah duduk di ruang tengah. “Dan Arman,” lanjutnya. Bi Inah lalu menggantikan Arman menemani Rania.

“Mama memanggilku?” tanya Arman.

“Ya. Nadia, Arman, Mama ingin bicara.” Ucapan Mama kali ini terdengar tak biasa, serius dan sangat berhati-hati. “Bagaimana, kalau kalian ....” Mama menatapku dan Arman bergantian. “MENIKAH?”

 

Bab 2. Lamaran Kerja

 

Aku dan Arman menikah? Aku tercekat. Sama sekali tidak menyangka ini yang akan dikatakan Mama. Kulirik Arman. Dari matanya aku melihat, ia sama terkejutnya denganku. Hening sempat terjadi diantara kami selama beberapa detik. Aku lantas mencoba mencairkannya dengan tawa kecil.

“Mama ada-ada saja. Nadia belum kepikiran, Ma, soal menikah lagi.”

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu lantas menggeser posisi duduknya mendekatiku. “Kamu masih muda, Nadia,” katanya sambil mengusap-usap punggungku. “Sah-sah saja mempunyai pendamping hidup lagi.”

“Kamu dan Arman, kan, sudah mengenal lama, keluarga kita juga sudah dekat,” sambung Mama lagi.

“Tapi Ma, bukannya Arman juga sudah ada calon-”

“Ah, soal itu bisa dibicarakan,” sambar Mama. “Toh, Arman juga belum melamar Sheila. Sudah, tak perlu dijawab sekarang. Tapi paling tidak, kamu dan Arman pertimbangkan permintaan Mama ini, ya.”

Mama beranjak, kemudian memanggil Rania yang masih asik bermain dengan Bi Inah di dekat kolam ikan.

 

☕☕☕

 

Di mobil, saat perjalanan pulang, aku menanti-nanti reaksi Arman, tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Aku melihat ke arah Arman yang masih fokus menyetir, menerka-nerka apa yang kira-kira ada dalam pikirannya. Aku tahu Arman selalu sulit menolak permintaan Mama. Dulu, ia pernah dapat promosi naik jabatan dari kantor, dengan syarat harus pindah ke kantor pusat di Jakarta. Akan tetapi, karena permintaan Mama, ia tidak mengambil kesempatan itu. Mama berat melepas Arman. Kata Mama, beliau akan kesepian. Apalagi jika nanti aku dan Mas Arya sudah pindah ke rumah sendiri.

Bahkan, saat Mama menjodohkannya dengan Sheila, rekan kerja yang juga merupakan anak dari teman lama Mama, ia pun tak menolak. Lalu sekarang, Mama mau membatalkan perjodohan itu begitu saja? Ah, kasihan sekali Arman.

“Man ....” Tak sabar, aku mencoba membuka obrolan. “Nanti kita cari cara, ya, supaya kamu tetep bisa nikah sama Sheila,” kataku seolah memahami kegundahan hatinya.

“Siapa yang mau nikah sama Sheila? Sok tau!” Ia malah menjawab ketus. Rasanya ingin kujitak kepalanya dengan ponsel yang kugenggam, tapi, ah sayang ponselnya.

“Ish, mau dibantuin juga!” gumamku. Setelah itu aku memilih diam tak melanjutkan obrolan, takut sakit hati dengan jawabannya. Lantas, hening menemani perjalanan kami sampai ke rumah.

Rania tertidur ketika kami tiba di rumah. Arman menggendongnya turun dari mobil dan membaringkannya di sofa ruang tamu, kemudian pamit pulang.

Aku merebahkan tubuh di sofa, melepaskan jilbab dan meletakkan sekenanya di atas meja. Kupandangi Rania yang tidur nyenyak. Masih tak menyangka, ia akan kehilangan papanya di usia sekecil ini. Aku tahu rasanya menjadi yatim. Ayahku - kakeknya Rania - meninggal dunia saat aku SMP kelas dua. Setelah itu Ibu bekerja membanting tulang demi memenuhi kebutuhan kami. Membuat kue dan menitipkannya di warung tetangga, termasuk ke kantin sekolahku. Ibu juga membuka usaha jahit kecil-kecilan. Ibu ingin, aku, anak satu-satunya, bisa menjadi sarjana.

Tiga bulan setelah aku menikah, saat mengandung Rania, Ibu pergi menyusul Ayah. Akan tetapi aku bersyukur, wanita yang sangat kucintai itu, masih bisa melihatku wisuda, menikah, bahkan masih sempat mengelus-elus calon cucunya di perutku.

Ditinggal Mas Arya merupakan kehilangan terberat yang kurasakan karena semua berlangsung secara tiba-tiba.

Ayah dan Ibu sakit cukup lama sebelum meninggal, sehingga aku sedikit banyak sudah menyiapkan hati untuk kehilangan. Sementara Mas Arya, pagi hari masih terlihat sehat dan ceria seperti biasa. Tak ada sama sekali pertanda. Setelah sarapan nasi goreng buatanku, ia pamit berangkat kantor. Ia hanya bilang, hari itu tak akan pulang ke rumah karena ada keperluan dinas di luar kota. Mas Arya mencium keningku dan bercanda sebentar dengan Rania sebelum pergi. Sore harinya aku mendengar kabar Mas Arya kecelakaan.

Arman ada di samping Mas Arya ketika aku, Mama, dan Rania, tiba di ICU rumah sakit diantar tetangga sebelah rumah. Kulihat Arman membisik-bisikkan sesuatu di telinga Mas Arya sambil menggenggam sebelah tangannya.

Mas Arya membuka mata beberapa saat setelah aku menangis sambil memanggil-manggil namanya kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Mataku kembali basah mengingat itu semua.

Move on, Nadia, move on!” Aku menyemangati diriku sendiri.

Lalu tiba-tiba, notifikasi pesan Whatsapp di ponselku berbunyi. Rupanya pesan dari Erna, sahabatku semenjak SMA, yang masuk.

“Hey ada lowker yang cocok nih buat kamu.”

Ia mengirimkan sebuah link. Beberapa waktu lalu aku memang meminta Erna untuk mencerikan pekerjaan yang cocok buatku. Aku membaca dalam hati informasi dari link yang diberikan Erna.

 

Walk in Interview. Kafe Mentari membutuhkan marketing communication. Syarat, laki-laki atau perempuan, menguasai sosial media, punya pengalaman minimal setahun di bidang markom, belum menikah.

 

Aku berhenti membaca sampai di situ. Lalu membalas pesan Erna.

 

“Apaan cocok? Di persayaratan keempat aku auto gugur.”

“Lho, kan, kamu emang belum menikah. Belum menikah lagi :D :D :D”

“Sialan!”

“Tahu nggak, kafe itu punya siapa?”

“Punya siapa? Punya bapakmu?”

“Aaamiin Ya Allah. Punyanya Galang tauk!”

“Galang siapa? Galang penjual gado-gado depan rumah kamu itu?”

“Yeee, itu, mah, Tarjo. Galang. Galang artis itu, lho, yang main sinetron Aroma Cinta.”

       “Ah, nggak kenal.”

“Makanya sesekali nonton inpotainment kek, lambe murah kek, biar nggak kudet. Masih punya fotokopian KTP kamu yang lama?”

“Masih. Kenapa?”

 

☕☕☕

 

Aku tiba di mall pukul sepuluh pagi. Tepat ketika pintu mall dibuka, aku masuk. Mungkin hari ini aku adalah pengunjung pertama mereka.

Secepat kilat aku masuk ke toko sepatu. Siang ini aku harus datang untuk wawancara kerja. Sialnya, baru semalam aku tahu, kalau sepatu pantofelku yang sudah lama menganggur dan kusimpan rapi dalam dus, sudah tidak layak pakai lagi, bagian kulitnya sudah banyak yang mengelupas.

Aku nekat juga melamar lowongan kerja yang diinfo Erna semalam dengan menggunakan fotokopian KTP lamaku saat masih lajang.

“Kalau nanti kamu keterima kerja, tunggu beberapa saat sampai mereka tahu kamu karyawan yang bisa diandalkan. Nah, saat itulah kamu bisa jujur dengan statusmu.” Begitu saran Erna kemarin melalui pesan WhatsApp.

Awalnya aku enggan. Aku orang yang paling tidak bisa berbohong, tetapi penasaran juga, apakah kira-kira aku bisa lolos tes wawancara kerja? Selain itu, aku butuh  uang, tentu saja. Mau sampai kapan aku hanya hidup mengandalkan uang santunan kematian Mas Arya? Rania semakin besar dan akan masuk sekolah. Biaya yang dibutuhkan juga pasti semakin banyak.

Setelah mendapatkan sepatu yang cocok, aku bergegas keluar mall. Ternyata hujan turun seperti ditumpahkan dari langit. Pantas saja berulangkali aku coba order taksi online dari sebelum keluar mall tadi, tidak ada satu pun yang nyangkut.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, barangkali ada taksi lewat. Nasib baik sedang berpihak padaku. Sebuah taksi berwana biru melaju. Lampu di bagian atas menyala, tanda taksi itu tidak berpenumpang.  Aku melambaikan tangan dan bergegas membuka pintu ketika taksi berhenti tepat di depanku. Namun, pada saat bersamaan, seorang lelaki bertopi, masuk dari sisi pintu yang lainnya. “Lho?”

“Ehm, maaf, saya yang memberhentikan taksi ini,” kataku berusaha sopan.

“Saya juga.” Si lelaki bertopi menjawab ketus lalu duduk dan menutup pintu taksi.

“Jalan Pak,” katanya lagi tanpa sedikitpun memperhatikanku yang masih terbengong-bengong dengan separuh badan masuk ke dalam taksi.

“Eh tunggu-tunggu, enak aja!” Aku mulai hilang kesabaran. Namun, rasanya sia-sia bicara pada laki-laki yang tidak punya sopan santun ini.

“Pak, saya tanya, siapa yang memberhentikan taksi ini duluan?” Aku pun memilih bertanya pada sopir taksi.

“Aduuh, kalian ini bikin ribut di taksi saya. Sebenarnya kalian mau ke mana sih?” Pak Sopir malah balik bertanya.

“Kota Lama,” jawabku dan si lelaki bertopi hampir berbarengan.

“Oalah, tujuan kalian sama, tho. Ya sudah bareng saja. Hujan-hujan gini susah dapat taksi. Ayo, Mbak, masuk. Tutup pintunya.”

Aku tidak punya pilihan lain. Daripada telat wawancara, biarlah satu taksi dengan orang asing menyebalkan ini. Toh, Kota Lama tidak terlalu jauh dari sini. Jadi, hanya sebentar aku duduk bersebelahan dengannya.

“Mbaknya mau ke mana?” tanya Pak Sopir memecah keheningan kami di dalam taksi.

“Kafe Mentari, Pak,” jawabku.

“Lho kafenya, kan, belum buka, Mbak?”

“Iya saya ada tes wawancara kerja di sana.”

“Oh gitu. Moga sukses, ya, Mbak, tesnya.”

“Makasih, Pak,” jawabku sembari tersenyum.

“Kalo masnya, mau ke mana?”

“Kafe Mentari.” 

Jawaban dingin si lelaki bertopi sontak membuatku kaget. Sementara ia masih bergeming, sibuk dengan ponsel di tangannya.

“Lho, sama lagi? Wawancara juga?” tanya si Bapak.

Lelaki bertopi tidak menjawab. Diam-diam aku mengamatinya, penasaran juga apa benar dia mau melamar kerja di tempat yang sama? Sebagai apa? Tempo hari aku lihat ada beberapa lowongan kerja lagi di Kafe Mentari selain sebagai markom. Waduh gawat, aku bisa punya rekan kerja semenyebalkan dia kalau kami sama-sama diterima.

“Sepertinya, kalian memang berjodoh,” seru Pak Sopir diikuti tawa yang cukup keras, membuyarkan lamunan dan membuat hatiku semakin kesal.

Tidak lama kemudian, taksi menepi di depan Kafe Mentari. Aku mengulurkan uang seratus ribu pada Pak Sopir. “Mbak, uang pas saja ada? Tiga puluh delapan ribu saja. Saya baru narik,  nih, nggak punya kembalian.”

“Eh? Aduh, nggak ada, Pak.” Hanya tinggal selembar itu uang di dompetku.

“Ini saja, Pak.” Si lelaki bertopi meletakkan selembar uang ke tangan Pak Sopir.

“Yah, sama saja. Seratus ribu juga. Saya, kan, sudah bilang nggak ada kembalian,” kata Pak Sopir begitu melihat nominal uang yang ada di tangannya.

“Kembaliannya buat Bapak.” Lelaki bertopi menjawab lalu meninggalkan taksi tanpa menunggu respons Pak Sopir.

Aku terperangah. Rasanya, apa yang baru saja dia lakukan mencabik-cabik harga diriku.

“Wah, makasih, Mas,” kata Pak Sopir setengah berteriak sambil melambaikan selembar uang merah di tangannya.

Sialan! Baru juga mau melamar kerja, sudah songong begitu. Setelah mengucapkan terima kasih pada sopir taksi, segera aku melangkah masuk ke kafe.

Di dalam, suasana sudah cukup ramai. Usai mengisi daftar hadir, aku bergabung dengan para pelamar kerja yang lain. Mencoba mengobrol basa-basi dengan beberapa dari mereka. Tapi ngomong-ngomong, di mana si lelaki bertopi ya. Lho, kok aku malah nyariin dia sih?

Satu setengah jam berlalu. Aku menunggu panggilan wawancara dengan gelisah karena  memikirkan Rania. Ia kutitipkan di TK sekaligus daycare milik ibunda Erna, dan mulai khawatir ia rewel. 

“Nadia Putri Wijaya.” 

Aku menarik napas lega ketika akhirnya namaku dipanggil. Sesuai perintah, aku masuk ke sebuah ruangan. Seorang lelaki berpakaian rapi dengan kemeja berwarna biru muda dan celana panjang hitam tersenyum dari balik mejanya. Kutebak, usianya sekitar tiga puluh lima tahunan. Tapi, hey, mengapa ada lelaki bertopi di sebelahnya? Duduk santai sambil memainkan ponsel. Dengan gesture seperti itu, rasanya mustahil jika ia sedang diwawancara juga.

“Selamat pagi, Pak.” Aku mencoba mengabaikan rasa penasaranku terhadap lelaki bertopi, tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala pada si lelaki berkemeja biru.

“Oh, selamat pagi. Silakan duduk.” Lelaki itu menunjuk kursi yang ada di depan mejanya.

“Nadia Putri Wijaya?” Ia menyebut namaku.

“Iya, Pak.”

“Sebelumnya perkenalkan, saya Wira, manajer dari Kafe Mentari,” katanya sambil tersenyum ramah.

“Lalu ini ....” Tangan kanan Pak Wira mengarah pada si lelaki bertopi.

“Ini Galang, pemilik Kafé Mentari.”

 

 

Bab 3. Selamat Kamu Diterima

 

Aku melongo, tetapi berusaha bersikap sewajar mungkin untuk menutupi rasa kagetku. 

“Oh i-iya, Pak Galang, halo.” Aku memaksakan diri untuk tersenyum padahal sebenarnya masih jengkel dengan kejadian tadi di taksi.

Galang membuka topi yang sedari tadi dikenakannya. Kini wajahnya terlihat sangat jelas. Ternyata tampan juga calon bosku ini. Sepintas mirip Dikta, mantan vokalis Yovie and Nuno.

“Baik, Nadia, pertanyaan pertama, kenapa kamu melamar kerja di sini?” 

Pertanyaan Pak Wira yang tiba-tiba membuatku gelagapan. Pikiranku masih menerawang, bertanya-tanya apakah kejadian di taksi tadi akan memengaruhi penilaian Galang terhadapku.

“Karena butuh duit, Pak!” jawabku spontan. Aku menelan ludah. Bahkan aku kaget dengan jawabanku sendiri, bagaimana Pak Wira. Sungguh, ini bukan jawaban yang kurencanakan. Padahal aku sudah tahu pertanyaan ini pasti akan keluar dan sudah merancang jawabannya tadi di rumah.

Aku melirik ke arah Galang. Ia tampak tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala, seolah berkata, “Matre banget, nih, orang.” Namun, Pak Wira malah tertawa. “Jawaban yang menarik,” ujarnya.

“Dari sekian banyak pelamar tidak ada yang menjawab sejujur kamu.”

“Iyalah, Pak. Kalo saya nggak jawab begini, nanti saya nggak digaji lagi.” Aku mencoba berkelakar menanggapi perkataan Pak Wira supaya perasaan gugupku hilang.

“Oke. Seandainya kamu diterima kerja di sini sebagai markom, apa yang akan kamu lakukan?”

Aku lantas mempresentasikan hal-hal yang ingin aku lakukan untuk mempromosikan Kafe Mentari. Aku juga menceritakan pengalaman kerjaku sebagai markom di sebuah hotel beberapa tahun silam. Di situlah aku bertemu dengan Mas Arya yang bekerja sebagai manager hotel. Tentu saja perihal Mas Arya ini tidak kuceritakan pada Pak Wira.

Pengalamanku sebagai micro influencer selepas resign dari hotel dan sudah bekerjasama dengan berbagai brand juga tak ketinggalan kupamerkan. Siapa tahu bisa jadi nilai tambah.

“Wah, menarik.” Tanggapan Pak Wira membuatku bernapas lega.

“Kamu berpengalaman sebagai markom juga influencer sehingga bisa melihat dari kedua sisi ketika akan menjalankan tugasmu nantinya. Boleh saya tahu akun instagram kamu?” tanya Pak Wira.

At nadia underscore putrii, dobel i, Pak,” jawabku.

Pak Wira nampak mengetikkan sesuatu di ponselnya. “Oh, ini, ya.” Ia menunjukkan akun instagramku yang sudah ia buka. Untung saja aku sudah mengarsipkan foto-foto bersama Mas Arya dan Rania di sana.

“Iya, betul, Pak.”

“Foto-fotonya bagus, follower kamu juga cukup banyak. Follower saya ketinggalan jauh,” serunya lalu tertawa lepas.

Sesaat kemudian, lelaki itu berdiri dari tempat duduknya. “Baiklah.” Aku menarik napas lega karena sepertinya wawancara telah berakhir. 

“Terima kasih, Nadia.” Tangannya terulur menyalamiku. “Selamat, ya, kamu diterima.”

“Hah?” Aku kaget, tidak menyangka secepat ini diterima. Rupanya, Galang pun menunjukkan ekspresi yang serupa tapi tak sama. Jika aku terkejut gembira, ia sebaliknya, nampak tidak setuju Pak Wira menerimaku bekerja di kafenya.

“Tunggu, Bang. Kenapa-”

“Bukannya kamu bilang aku berhak seratus persen menentukan siapa yang akan kuterima?” Pak Wira dengan cepat memotong ucapannya.

“Iya. Tapi, kan, kita harus pikirkan baik-baik. Nggak bisa secepat ini, dong.”

Sialan, si Galang ini merusak kebahagiaan orang aja!

“Lang, kita tak punya banyak waktu. Minggu depan kafe ini sudah harus buka. Dari semua calon karyawan yang sudah kita wawancara tadi, aku paling sreg dengan jawaban Nadia. Jadi, mari kita coba bekerjasama dengannya.” Pak Wira mencoba meyakinkan.

Galang nampak pasrah dengan keputusan Pak Wira, meski terpaksa. Aku tidak peduli. Sepertinya aku tidak akan terlalu sering bertemu dengannya. Ia pasti sibuk syuting di Jakarta dan menyerahkan urusan kafe sepenuhnya pada Pak Wira.

“Nadia, kamu akan digaji sesuai UMR dan akan mendapatkan bonus jika ada lembur atau menunjukkan kinerja yang memuaskan. Kita akan bekerja mulai hari Senin. Apakah kamu bersedia?” tanya Pak Wira.

“Bersedia, Pak!” jawabku mantap. “Saya pasti akan bekerja sebaik-baiknya, Pak Wira. Terimakasih,” kataku dengan senyum mengembang sambil menganggukkan kepala, berusaha tak peduli dengan sikap Galang yang masih terlihat tak bersahabat.

“Alhamdulillah. Kamu bisa pulang sekarang. Sampai jumpa Senin depan, ya!” Pak Wira nampak lega mendengar jawabanku.

Setelahnya, aku berjalan menuju pintu dan melewati Galang.

“Mari, Pak Galang.” Meski enggan, aku tetap harus berpamitan dengan sopan pada makhluk satu ini. Bagaimanapun juga, dia bosku. Kebutuhanku akan uang lebih mendesak daripada gengsiku.

Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Bergegas kuambil ponsel di tas untuk memesan taksi online. Sambil menunggu taksiku datang, aku mengirim pesan pada Erna, memberitau bahwa aku akan segera pulang dan menjemput Rania.

Tiba-tiba sebuah mobil menepi di depanku. Eh, apa taksiku sudah datang? Kenapa cepat sekali? Aku melihat dengan seksama mobil yang ada di hadapanku. Seketika mataku membulat dan mulutku ternganga melihat siapa yang ada di balik kemudi.

“Arman?” Nampak sosok dingin adik iparku ketika ia menurunkan kaca mobil.

“Masuk!” Ucapannya terdengar ketus.

“Aku sudah memesan taksi, kamu tidak perlu-”

“Batalkan!” Lagi-lagi ia memerintahku seenaknya. Daripada ribut di pinggir jalan, segera kubatalkan taksi yang kupesan. Nanti, setelah masuk ke dalam mobil, akan kuomeli dia.

“Apa-apaan sih? Kasihan driver yang ku-cancel tadi, tahu nggak!” protesku setelah duduk dan memasang sabuk pengaman di mobil Arman.

“Mana Rania?” 

Ia malah bertanya. Ah bukan, lebih terkesan seperti menginterogasi. Sama sekali tak memedulikan omelanku rupanya.

“Kutitipkan di tempat Erna,” jawabku ketus.

“Tega sekali kamu, ya. Setelah ia kehilangan ayahnya, kau buat juga dia kehilangan ibunya?”

Darahku seketika mendidih mendengar ucapan Arman. “Apa maksudmu? Ia kutitipkan karena aku harus tes wawancara kerja. Kau pikir buat apa aku kerja? Buat menghidupinya juga, kan?” kataku dengan suara tinggi.

“Aku pamannya. Paman yang harus bertanggung jawab pada ponakan yatimnya.”

“Tapi mau sampai kapan, Man? Kalau kamu sudah menikah nanti, apakah istrimu tidak keberatan berbagi harta dengan orang lain? Kamu nggak mikir sampai ke situ, ya?”

“Oh, baiklah. Kalau begitu, aku tidak akan menikah.”

“Apaa?”

“Aku tidak akan menikah sebelum memastikan ada orang yang bisa menjaga dan menghidupi kalian dengan baik,” ucapnya penuh penekanan. Ia lantas menginjak pedal gas, melajukan mobil dengan kecepatan cukup tinggi.

❤️❤️❤️ BERSAMBUNG ❤️❤️❤️

Lanjut baca yuuk, yang mau beli versi cetak juga sudah tersedia, ya. Harga 89K, free ongkir se-pulau Jawa. Subsidi ongkir 10K untuk luar Jawa. 
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Bila Jodoh
Selanjutnya Bila Jodoh Bab 4-8
7
0
Part ini bisa dibaca Gratis di wattpad ya gaess.Untuk membacanya di KaryaKarsa bisa dengan memebri dukungan 4K untuk 5 bab. Atau bila mau membeli FULL PART, pilih PAKET FULL PART BILA JODOH (hemat 10K)Dapatkan diskon tambahan sebesar 5K dengan memasukkan kode voucher (jumlah voucher terbatas) BILAJODOH5K Beli paket duo cerbung BILA JODOH dan MERAWAT ISTRI SANG CEO hanya dengan 60K (hemat 28K) 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan