
Halo temans, sambil menunggu lanjutan Dear, Sugar Enemy, baca cerbung teman saya Shofie Widdianto berjudul “Babang Ojol” yuk.
“Jangan kenceng-kenceng meluknya, awas nanti jatuh cinta!”
Baca fullpart langsung bisa ke sini, ya 👇👇
BABANG OJOL
Bab 1 Angkutan
“Duh, gimana nih! Udah telat, mana dosen kiler pula.”
Aku mondar-mandir menunggu angkutan umum. Gerakan kakiku sudah seperti setrika yang melicinkan baju. Perjalanan ke kampus membutuhkan waktu selama lima belas menit, jika telat sedikit saja aku bisa mendapatkan nilai C. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat hingga setengah jam angkutan tidak kunjung datang.
Aku mulai resah menunggu hingga datanglah angkutan warna orange. Kulambaikan tangan hingga ia menepi. Hanya ada dua penumpang di dalamnya, seorang perempuan membawa pisang beberapa tundun dan satunya lagi nenek tua yang sudah tertidur.
“Jalan, Bang!”
“Ngetem dulu, Neng. Nunggu penumpangnya banyak,” jawab Pak Supir.
“Ya Allah ... ini hari Sabtu, Bang. Gak bakal ada anak sekolah. Udah siang, nih, aku bisa telat!”
Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi angkutan tidak kunjung melaju.
“Sabar, Neng. Orang sabar disayang pacar.”
“Gak punya pacar, Bang. Jomlo lillahi ta'ala.”
“Mau jadi pacar Abang, nggak?” ucapnya sambil mengerlingkan mata.
“Idih, sorry, Bang!” Aku bergidik ngeri.
Dasar nggak tahu malu, tidak ingat sama anak dan istri di rumah.
“Ayo, Bang! Buruan jalan. Aku turun, nih.”
Aku sengaja mengancamnya agar angkutan segera jalan. Akhirnya angkutan melaju dengan pelan. Pelan, pelan dan sangat pelan. Pedagang pisang yang sedari tadi duduk di sampingku sudah tidur. Mungkin mengantuk karena terlalu lama menunggu.
Sudah sepuluh menit tetapi baru jalan sekitar satu kilo meter. Ini niat jalan apa enggak, sih?
“Bang, cepetan jalannya. Mau nunggu sampai kiamat juga ngak bakal ada yang naik kalau angkutannya lelet kayak siput!”
Pasalnya, di zaman sekarang ini banyak orang yang sudah memiliki kendaraan pribadi. Hanya orang-orang sepertiku yang masih menggunakan angkutan umum. Aku tidak memiliki kendaraan pribadi. Jangankan motor, bahkan sepeda pun tidak punya.
“Kalau mau turun, ya, turun aja, Neng!” Pak Sopir menepikan angkutan di jalan yang sangat sepi. Sepertinya dia sengaja mengerjaiku. Dia pikir aku takut? Tidak! Aku hanya takut sama Allah.
Mau naik apa kalau aku turun? Setengah jam lagi kelas dimulai, aku bisa terlambat.
“Kenapa bengong? Nggak berani turun, kan?” ejek Pak Supir.
“Siapa yang bilang takut? Oke, aku turun di sini!”
Aku menundukkan kepala kemudian turun dari angkutan.
“Dasar supir gila!”
Tega sekali dia meninggalkan gadis cantik sepertiku di jalanan sepi seperti ini. Kalau aku diculik gimana? Sekarang lagi musim penculikan dan pembunuhan. Organ tubuhku akan dijual dan mayatku dimutilasi.
Tidak ada rumah ataupun orang di sekitar sini. Hanya ada pepohonan yang rindang dan gelap. Sinar matahari tidak mampu menembus celah dedaunan. Benar-benar gelap. Dasar tukang angkutan sialan! Kutendang udara kosong di depanku sampai aku jatuh terjungkal. Benar-benar sial.
Aku berdiri dan melambaikan tangan kepada semua kendaraan yang lewat. Entah bagaimana caranya, aku harus bisa sampai kampus. Namun tidak satupun kendaraan yang berhenti. Aku mulai putus asa, tertunduk lemah di pinggir jalan. Hingga sebuah motor honda astrea berhenti di depanku.
“Ojek, Neng?”
Aku menoleh ke arah asal suara. Kulihat seorang lelaki tampan memakai helm dan jaket dengan warna senada ala ojol zaman now. Oh, tidak! Senyumnya membuat duniaku runtuh. Ya Allah, mungkinkah dia jodohku, malaikat penolong yang Kau kirimkan untukku?
“Kok bengong?”
“Eh, anu, maaf. Bisa antarkan saya ke kampus Anak Negeri?”
Untung aku segera sadar. Tatapannya mampu menghipnotisku. Dia menyerahkan helm kemudian memintaku duduk di belakangnya.
“Bisa, Neng.”
“Ngebut, ya, Mas. Saya terlambat ini, gara-gara naik angkutan umum. Angkutannya jalannya pelan banget, sampai penumpangnya pada tidur.”
“Harusnya sudah sampai dong kalau naik angkutan dari tadi.”
“Nah, Mas lihat angkutan yang di depan itu? Pelan banget ‘kan jalannya, saya omelin dari tadi. Hingga akhirnya diturunin di jalanan sepi. Emang dasar nggak punya perasaan.”
“Kok malah saya yang diomelin, sih, Neng?”
“Eh, iya, lupa. Maaf ya, Mas. Saya terlalu laper. Eh, baper.”
Aku rasanya ingin memberi pelajaran kepada supir angkutan itu. Dia udah bikin aku terlambat. Udah gitu sampai kampus kudu ketemu Bu Endang. Bisa-bisa aku mengulang tahun depan. Oh tidak, aku bisa kelamaan lulusnya. Nanti jadi perawan tua. Amit-amit, deh.
“Mas, cepetan jalannya. Kita salip angkutan itu. Biar dia tahu rasa, nanti pas deketan sama supirnya saya mau kasih sesuatu buat dia.”
“Jangan macam-macam, Neng. Bahaya kalau ugal-ugalan di jalan.”
“Udah, Masnya nurut aja! Saya pasti bayar. Biar begini saya sudah kerja, dan bisa menghasilkan uang sendiri untuk biaya kuliah.”
“Keren, deh. Pegangan, Neng! Siap, ya.”
Motor melaju dengan cepat, karena kaget, aku memeluk Babang ojol dari belakang. Duh, kenapa jantungku berdebar seperti ini?
“Jangan kenceng-kenceng meluknya, awas nanti jatuh cinta!”
“Ih, dasar!” Aku mencebik kesal dan melepaskan pelukan.
“Siap-siap, udah dekat dengan angkutan!”
Aku sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk si supir angkutan yang rese. Tepat di samping kemudi supir, motor berjalan pelan seperti slowmotion. Sengaja aku meminta si Babang ojol agar mengklakson dengan kencang.
“Bye-bye, Pak! Aku duluan, ya! Ha ha ha.”
Aku tertawa puas melihatnya. Sepanjang perjalanan, aku mengobrol dengan Mas Ojol ini. Tanpa terasa aku sudah tiba di kampus. Aku segera turun dan berlari menuju kelas. Namun suara seseorang dari belakang menghentikanku.
“Tunggu dulu, Neng!”
Aku menoleh sejenak ke belakang. Ada apa lagi, sih?
Bab 2 Helm
Sesampainya di kampus, aku segera turun dan berlari menuju kelas. Namun suara seseorang dari belakang menghentikanku.
“Tunggu dulu, Neng!”
Aku menoleh sejenak ke belakang. Ada apa lagi, sih?
Babang ojol berlari mendekatiku. Dag dig dug jantungku berdegup kencang saat melihatnya, dia terlihat begitu manis setelah membuka helmnya. Duh, bisa diabetes ini, Mas.
“Ada apa, Mas? Aku ‘kan udah bayar!”
Lagi, dia tersenyum kepadaku. Ya Allah, meleleh hati ini. Dia mengulurkan tangan kanannya, apakah dia mau kenalan? Tahan senyum, Syifa! Jangan bertingkah bodoh.
“Helmnya, Neng,” ucapnya sambil tersenyum.
Sial, pipiku sudah semerah kepiting rebus. Rasanya aku ingin mengubur diriku hidup-hidup ke dalam tanah.
“Maaf, Mas, kelupaan.” Aku segera melepas helem dan mengembalikannya.
“Meskipun jelek begini, harganya mahal, Neng. Lebih mahal daripada gaji saya sehari.”
Aku melihat helm hitam dengan kaca bening itu, di belakangnya ada tulisan ‘H * N D A' yang sudah sangat familiar. Dasar tukang bohong, helm gratisan aja bilang mahal. Dikiranya aku bohoh? Heh!
“Iya-iya, maaf, Mas. Saya kan udah bilang kalau lupa. Saya buru-buru, dosennya galak banget!”
“Neng, tunggu!”
“Ada apa lagi, Mas?”
Dia tersenyum lagi, please kuatkan hatimu, Syifa.
“Lipstiknya sampai jidat.”
“Apa?”
Aku segera membuka tas dan mengambil ponselku. Aku hendak membuka kamera dan melihat wajahku. Namun, jam di ponsel menyadarkanku akan hal yang lebih penting. Kumasukkan kembali ponselku. Aku sudah membayar dan mengembalikan helmnya. Yang terpenting aku harus segera sampai di kelas sebelum jam delapan.
Aku berlari secepat kilat meninggalkan babang ojol dan mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap heran. Mungkin mereka terpana melihat wanita cantik lari terbirit-birit seperti dikejar induk ayam. Apa jangan-jangan lipstikku memang sampai jidat?
Aku berhenti sejenak mengambil napas dalam-dalam. Aku baru ingat, aku ‘kan nggak pernah memakai make up? Aku menepuk jidat seketika. Dasar babang ojol sialan! Awas saja kalau sampai ketemu dia lagi.
Sesampainya di depan kelas, aku memelankan langkah. Keadaan sangat sepi dan sunyi. Aku berjalan menunduk agar tidak terlihat dari jendela. Mengapa tidak ada suara sama sekali? Apa jangan-jangan mereka dihukum Bu Endang?
Ya Allah selamatkan hambamu ini. Semoga selamat dari amukan Bu Endang. Aku merapalkan berbagai doa sebelum masuk kelas, berharap diperbolehkan masuk. Aku mulai melafalkan doa mau makan sampai doa sapu jagat.
“Robbana aatina fid dunya hasanah, wafil aakhiroti hasanah, waqina adzabannar. Aamiiin.” Kutangkupkan kedua tangan ke wajah.
Kuketuk pintu pelan, tetapi hening tidak ada jawaban. Masuk tidak, masuk tidak. Aku mulai bingung, masuk nggak, ya?
Bismillah, aku harus masuk. Kuputar gagang pintu ke arah kanan. Kulihat meja dosen masih kosong. Huft, aku bernapas lega. Namun baru selangkah masuk, aku dikejutkan dengan suara terompet dan balon meletus.
“Happy birthday, Syifa!” Ya Allah, aku kena prank! Bagaimana aku bisa lupa dengan hari ulang tahunku?
Mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun, sambil membawa kue. Brownis kecil dengan lilin berbentuk angka 19 menghiasinya. Aku terharu hingga menitikkan air mata, ingusku pun juga ikut keluar.
“Ini tisunya, Fa. Sudah aku siapkan.” Mizka memberikan sekotak tisu kepadaku.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya.
Tiup lilinnya sekarang juga.
Sekarang juga, sekarang juga.”
“Make a wish dulu, Fa,” ucap Nabil.
Aku segera menyampaikan semua harapanku di usiaku yang ke-19 ini. “Semoga Allah menunjukkan jalan yang lurus kepada kita semua, aamiiin.”
Setelahnya teman-teman ikut mengamini doaku. Aku meniup lilin hingga apinya padam. Mereka bersorak bergembira, kemudian menumpahkan kuenya tepat di wajahku. Mereka melemparkan tepung dan telur ke tubuhku. Aku hendak berlari, tetapi dua teman memegangi tanganku. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Mereka terlalu kuat.
“Ampun, please! Bajuku kotor semua ini.” Aku berteriak kencang, tetapi mereka tidak menghiraukan.
“Ini buat kamu.” Ibrahim, ketua kelas kami memberikan sebuah kado. Dia pernah menyatakan perasaannya kepadaku beberapa waktu yang lalu, tetapi auk menolaknya. Aku harus harus waspada. Cinta ditolak, dukun bertindak.
“Apa ini?”
“Buka saja! hadiah kecil dari kami. Tenang aja, ini patungan, kok.”
Aku hendak menolak, tetapi tidak enak. Lumayan daripada tidak mendapat apa-apa sama sekali. Mereka memberikanku gamis warna pink dengan jilbab senada. Padahal aku tidak suka memakai jilbab. Dengan terpaksa aku berganti baju.
Kali ini aku harus berhati-hati ketika masuk kelas. Ruangan ini memang sudah dibersihkan, tetapi bisa jadi mereka akan memberikan kejutan lagi. Kudengar Bu Endang sedang tidak enak badan, alhamdulillah selamat. Aku sedikit lega.
Dengan santai aku memasuki kelas, tetapi betapa terkejutnya ketika kulihat ada seorang laki-laki berdiri tepat di samping meja dosen. Aku mengucek mataku berulang kali, aku tidak salah lihat, ‘kan?
Bab 3 Kenalan
Aku mengucek mataku berulang kali, aku tidak salah lihat, ‘kan? Aku segera memakai kacamata minus agar penglihatanku tidak buram. Ngapain dia masuk ke sini.
Aku melihat lelaki yang pagi ini sudah menolong sekaligus membuatku naik darah. Dia sudah terlalu membuat hati ini baper, eh, langsung dijatuhkan gitu aja. Udah gitu aku habis ditipu sama dia. Aku harus memberikan pelajaran padanya.
Aku melipat lengan gamisku hingga ke siku. Bersiap memberikan sebuah pelajaran kepada babang ojol. Aku tidak boleh terpesona dengan ketampanannya. Pelan tapi pasti, aku berjalan dengan berkacak pinggang hingga sampai di sampingnya. Dia menoleh ke arahku.
“Heh, ngapain kamu ke sini? Bayarannya kurang?”
“Udah lunas, kok. Tenang aja.”
Dia tersenyum lagi, tapi maaf, aku tidak akan terpengaruh. Aku sudah menutupi mataku dengan tahu dan tempe.
“Lalu? Kamu buntutin aku, ya? Apa jangan-jangan kamu naksir sama aku? Heh, jangan mimpi!”
“Aku cuma—“
“Cuma apa? Mau modus, atau tebar pesona?”
Kulihat penampilannya sudah berbeda. Dia tidak lagi memakai jaket ojol warna hijau. Semua mahasiswi di kelas ini menatapnya tanpa berkedip. Dia sudah menghipnotis semua temanku. Ini bisa bahaya.
“Aku ke sini mau—“
“Mau bohongi aku lagi?” Aku tersenyum sinis melihatnya tak bisa berbicara.
“Ehem, Syifa!” Ibrahim memanggilku. Suara Ibrahim menyadarkan lamunan anak-anak.
Mereka memelototiku seketika. Ada apa? Mengapa wajah mereka mendadak ketakutan? Aku melirik ke arah Nindi, teman sebangkuku. Dia menyuruhku segera duduk kembali. ‘Ada apa?’ tanyaku dengan gerakan bola mata yang melirik ke babang ojol.
Dia meletakkan sebuah jari telunjuk di depan mulutnya, mengisyaratkanku untuk diam. Kemudian memintaku segera duduk. Aku masih mencerna dengan apa yang terjadi di kelas ini. Otakku terlalu lola jika sedang emosi.
“Saudari Nurus Syifa, silahkan kembali ke tempat!” ucap si babang ojol dengan suara yang tegas.
Dari mana dia tahu namaku? Kulihat dia membawa buku absen mahasiswa. Mampus aku. Jangan-jangan dia ....
Aku segera meninggalkannya dan duduk di samping Nindi.
“Oke, cukup, ya perkenalan hari ini. Langsung saja kita mulai mata kuliah pagi ini.”
Kenalan? Aku bahkan melewatkannya. Ternyata dia adalah dosen pengganti Bu Endang, betapa bodohnya diriku. Aku sudah mempermalukan diriku sendiri di depan banyak orang. Aku harus meminta penjelasan kepada Nindi, tetapi sepertinya dia sedang asyik menikmati wajah ganteng si Babang ojol.
Semua mahasiswa menyimak materi yang disampaikan si babang ojol. Lebih tepatnya dosen, ya! Oke aku ralat, ternyata dia dosen. Dia menyampaikan materi dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Lebih selow dan santai. Suasana di kelas ini cukup kondusif, tidak tegang seperti kelas Bu Endang.
“Ada yang ditanyakan?” tanyanya setelah menyampaikan materi.
Ya elah, semua cewek masih pada bengong. Dia memang memesona. Hidung mancung, kulit putih dan bersih, matanya sipit seperti oppa korea, badan tegap, tinggi dan so perfect. Tanpa sadar aku menatap matanya, begitu juga dengannya.
Mengapa jantungku berdebar seperti ini? Aku sudah sarapan, tidak mungkin aku kelaparan. Aku segera mengalihkan pandangan darinya.
“Jika tidak ada yang bertanya, saya akhiri mata kuliah hari ini. Sampai jumpa minggu depan.”
Dia sudah berdiri hendak pergi meninggalkan ruangan ini, tetapi aku segera mengacungkan jari.
“Silakan saudari Syifa!”
“Bapak udah punya pacar?”
“Huuu !” Terdengar riuh suara teman satu kelas. Nindi sampai mencubit pinggangku.
Beberapa mahasiswa mentertawakanku, hanya dua lelaki yang diam, Ibra dan babang ojol.
“Maaf, sepertinya saya tidak perlu menjawabnya. Saudari bisa menemui saya di ruangan setelah jam istirahat!”
“Saya juga, Pak?” tanya Nindi.
“Cukup yang terlambat ke kelas. Saya harus laporan sama Bu Endang.”
Fix, satu kelas kicep semua. Dia memang kalem, tetapi juga berwibawa. Duh, kenapa mesti pakai dilaporin ke Bu Endang segala, sih.
“Ada lagi yang ditanyakan?”
“Nggak ada, Pak,” jawab kami serempak.
“Baik kalau begitu,saya permisi dulu. Wassalamu’alaikum.”
“Tunggu, Pak!” Thalita berdiri dan mengejar Pak Dosen ganteng.
“Iya, ada apa?”
Bab 4 Hukuman
“Tunggu, Pak!” Thalita berdiri dan mengejar Pak Dosen ganteng.
Nah, mau ngapain juga Thalita?Dasar ganjen! Kemarin dia udah deketin Ibra dan sekarang beralih ke babang ojol.
“Iya, ada apa?”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
“Ehem, jangan menatap saya seperti itu, nanti kamu naksir!”
“Maaf, Pak. Saya mau minta laptop saya yang Bapak pinjam tadi.” Thalita menunjuk sebuah laptop yang dibawa babang ojol.
Hening, namun aku tidak kuat menahan tawa. Akhirnya aku kelepasan dan tertawa hinge tubuhku berguncang.
“Oh, iya maaf, saya lupa karena mendadak jadi dosen. Makasih, ya.” Dia menyerahkan laptop Thalita kemudian berbalik menghadapku.
Heh, apa dia bilang? Mendadak jadi dosen? Aneh sekali.
“Saudari Syifa bisa ikut saya ke ruangan sekarang juga!”
“Tapi, Pak—“
“Sekarang atau kamu mengulang tahun depan!”
“Ish, menyebalkan.”
“Kamu ngomong apa barusan?”
“Bapak ganteng, deh.”
“Mutlak, saya emang ganteng dari lahir.”
Ya Alah, sumpah aku menyesal telah memujinya. Tingkat kepercayaan dirinya begitu tinggi. Aku segera mengikutinya daripada mengulang kuliah tahun depan.
Sampai di ruangan dosen ternyata tidak ada siapapun. Mungkin mereka masih mengajar di kelas karena pergantian jam masih 10 menit lagi.
“Ngapain kamu berdiri di sana?”
Ngapain? Tentu saja aku takut. Di ruangan ini hanya ada kami. Dua manusia berlawanan jenis. Aku takut ada orang ketiga. Apalagi aku sudah mempermalukannya di kelas. Bahaya jika sampai dia mengerjaiku seperti cerita di novel online warna hijau.
“Kita bukan muhrim, Pak. Tidak diperbolehkan dua orang lawan jenis berduaan di dalam ruangan yang sepi.”
“Kalau aku halalin, mau nggak, Neng?”
What? Aku melotot dibuatnya. Baru sekali bertemu dan dia langsung ngajak nikah? Buset deh.
“Maaf, saya bercanda. Silakan duduk.”
Sial! Kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Rasanya mau loncat dari tempatnya.
Aku duduk di kursi berseberangan dengannya. Ada sebuah meja di antara kami. Cukup aman dengan jarak radius 100 sentimeter. Kulihat sebuah papan nama di meja, ‘Arshaka Bumi' nama yang indah, sesuai dengan orangnya.
“Pak ...” Aku bingung harus memanggilnya siapa. Arsya, Shaka atau Bumi?
“Panggil saja Arfan, bukankah kamu mengenalku sebagai mas ojol?” dia bertanya masih dengan senyum mautnya.
Lah, meja siapa yang dia duduki? Dasar aneh! Mengapa dia selalu tersenyum seperti itu, sih? Makin menjadi-jadi nih jantung.
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu.”
“Bu Endang izin selama satu bulan, beliau mau menjenguk anaknya di Kalimantan. Jadi, saya akan menggantikannya untuk sementara waktu. Namun, saya akan tetap memberikan hukuman karena kamu terlambat.”
Apa? Sontak aku menggebrak meja di depanku. Bisa-bisanya dia memberikanku hukuman. Enak saja main hukum sembarangan.
“Karena saya orang yang baik hati dan tidak sombong, hukuman kamu jadi ringan.”
“Tunggu dulu, Bapak kan juga terlambat, kita berangkatnya barengan loh, Pak.”
“Justru itu, kamu yang membuat saya terlambat. Saya mau minta tolong antarkan ke kelas Bu Endang, tetapi kamu malah lari. Jadilah saya terlambat karena harus mencari kelas.”
“Maaf, saya kira Bapak tukang ojek.”
“Saya memang tukang ojek. Jadi dosen itu gajinya sedikit. Nggak cukup untuk membiayai anak dan istri.”
Oh, ternyata dia sudah punya istri. Aku memegangi dadaku, kenapa hati ini rasanya sakit? Sepertinya bakal ada yang rombongan patah hati.
“Silakan kembali ke kelas, kamu bisa melanjutkan kuliah. Nanti sore temui saya di sini!”
“Baik, Pak. Saya permisi.”
Syukurlah, aku bernapas lega. Paling hukumannya merangkum materi yang disampaikan.
Mata kuliah kedua berjalan dengan lancar. Sesekali aku mengibaskan jilbabku. Rasanya panas sekali seperti dioven. Apalagi di kelas ini tidak ada AC-nya. Aku heran mengapa Nindi betah menggunakan jilbab setiap hari. Berbeda denganku cewek tomboi yang selalu memakai celana dan kaos oblong lengan pendek.
Namun aku selalu memakai pakaian yang sopan ketika kuliah. “Ajining raga saka busana.” Seperti pagi tadi sebelum aku memakai gamis pinky ini. Aku mengenakan hem kotak-kotak abu dan jeans biru.
“Gimana tadi? Pasti seneng banget diajak ke ruangan dosen ganteng,” tanya Mizka.
Mereka pikir aku bebas dari hukuman. Aku heran mengapa temanku tak henti-hentinya memuji dosen itu.
“Seneng apanya? Aku dapat hukuman bukan dapet lotre. Padahal ini hari ulang tahunku. Bukannya dapat jodoh malah dapat hukuman. Dasar dosen sialan!”
“Eh, jangan gitu, Fa. Nanti jodoh, loh!” ucap Tasya.
“Jodoh? Heh, nggak mungkin. Jangan ngadi-ngadi” Aku tertawa hambar.
“Kenapa nggak mungkin? Nggak ada yang nggak mungkin bagi Allah. Kun fayakuun.” Nindi mengeluarkan mauidlo hasanahnya.
“Kalian nggak tahu, kan? Ternyata dia itu ....”
“Ternyata apa?”
Bab 5 Ternyata
“Kalian nggak tahu, kan? Ternyata—“
“Ternyata apa?” tanya Mizka penuh selidik.
“Ternyata dia udah punya anak dan istri.”
Byur! Nindi menyeburkan minumannya tepat di mukaku. Apes banget hari ini. Mulai dari angkutan sialan, kejutan ulang tahun, dan sekarang disembur air. Belum lagi nanti pulang kuliah masih ada hukuman yang menantiku.
“Kurang asem! Kenapa cuma disembur, nggak sekalian bacain doanya? Biar aku terbebas dari kesialan.”
“Ha ha ha! Habisnya kamu bercandanya nggak lucu.” Tasya menimpali.
“Eh, aku serius. Beneran dia ngomong sendiri tadi di ruangan dosen.”
“Kamu aja yang nggak tahu. Tadi dia udah perkenalan di kelas. Kamu ‘kan lagi ganti baju. Aku aja udah catat nomornya, nih.” Nindi memperlihatkan sebuah kontak di ponselnya, ‘Pak Dosen Arfan' hanya sebuah nama tetapi mampu membuat hatiku bergetar.
Baru melihat namanya kenapa aku gelisah sekali. Perasaan apa ini? Sepertinya aku kena guna-guna.
“Beneran, ya . Aku nggak bohong. Dia tuh punya sampingan selain dosen. Dia ternyata tukang ojek.”
“Duh, mau banget aku kalau ojeknya ganteng gitu, lumayan bisa peluk dari belakang.” Mizka memegang tangan Nindi sambil tersenyum. Aku bergidik ngeri. Geli banget aku melihat kelakuan sahabatku.
“Dasar omes! Memangnya apa, sih, istimewanya tuh dosen?”
“Sepertinya kamu perlu lepas kacamata, deh, Fa. Kacamatamu dah rusak kali,” ucap Nindi. “Ganteng iya, body keren, dan pinter lagi. Duuuh, idaman wanita pokoknya.”
“Tapi dia dah punya istri, woy! Tadi dia bilang ngojek tuh buat sampingan. Gaji dosen cuma sedikit.”
“Gapapa, deh. Aku mau dijadikan istri keduanya.” Mizka mulai mengkhayal lagi.
“Sya, selain Nindi siapa lagi, ya, yang bisa rukiah? Sepertinya otakku sedang tidak waras!”
“Memangnya sejak kapan kamu waras?” Nindi berucap sebal.
“Dah, ah. Aku mau keluar. Gerah banget ruangan ini gara-gara kalian.” Aku segera bangkit dan ke luar kelas mencari udara segar. Terlalu lama di kelas membuatku benar-benar gila.
***
Siang ini udara di kota kretek terasa sangat panas. Aku duduk dan bersandar di bawah pohon menikmati setiap oksigen hasil fotosintesis alami dari dedaunan. Hawa sejuk ini membuatku tenang dan hampir terlelap. Namun, sebuah tangan memegang pundakku, aku sontak menoleh ke belakang dan menyiapkan tinju di tangan. Ternyata Ibrahim, ketua kelas kami.
Tanpa meminta persetujuan, dia duduk di sampingku dan membawa sebotol air mineral alami yang ada manis-manisnya.
“Ini buat kamu.” Ibra menyodorkan sebuah botol kepadaku.
“Apa ini? Nggak ada guna-gunanya ‘kan?”
“Astaghfirullah, Syifa!” Sontak Ibra menoyor kepalaku.
Aku memang harus waspada. Lelaki zaman sekarang suka nekat. Cinta ditolak, dukun bertindak.
“Ini air mineral, Fa. Lihat deh masih ada segelnya. Masih perawan, belum aku apa-apain,” jawabnya sambil membukakan tutup botol milikku.
Kenapa aku jadi suuzonan begini, ya? Mungkin karena kebanyakan membaca novel online. Otakku jadi tercemar.
“Maaf, aku nggak bermaksud—“
“Lupakan saja soal kemarin. Aku terlalu terbawa perasaan. Kamu mau ‘kan berteman denganku?”
“Teman?”
“Iya, kita bisa berteman. Aku janji, aku nggak akan membawa perasaan dalam pertemanan kita.” Ibra mengulurkan satu jari kelingkingnya. Dia seperti anak kecil saja.
Aku mengerutkan dahi. Pasalnya tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan dewasa. Apalagi aku sudah mengetahui jika dia menyimpan perasaan kepadaku. Bagaimana ini?
Belum sempat aku menjawab, dia sudah memegang tanganku dan menautkan jari kelingking kami. “Sekarang kita berteman.”
Aku bingung harus menjawab apa. Aku bahkan belum menyetujuinya dan dia mengambil kesimpulan sendiri.
“Nanti sore aku anterin pulang, ya, Fa. Kita ‘kan berteman.”
“Maaf, aku nggak bisa. Aku udah pesan ojol.”
“Kamu lucu. Pulangnya masih nanti sore dan sudah pesan ojol sekarang?” Dia tersenyum hambar.
“Kamu tahu sendiri, kan, gimana galaknya Ayah. Aku nggak berani diantar teman lelaki. Bisa digorok leherku kalau sampai ketahuan Ayah.”
“Aku jadi penasaran dengan Ayah kamu.”
“Nggak usah penasaran, nanti bisa kebawa mimpi. Nggak lucu dong laki mimpiin laki juga.”
Sebenarnya Ibra pria yang baik. Aku sering melihatnya salat ketika jam istirahat siang. Begitu juga ketika sore hari, dia salat Asar dulu sebelum pulang. Bacaan ngajinya juga fasih. Aku sempat terpesona olehnya, tetapi kehadiran Thalita membuatku mundur.
Jika jodoh adalah cerminan diri, aku yakin 100% kami bukan jodoh. Dia terlalu baik untukku. Kepribadiannya bertolak belakang denganku yang selengekan.
“Balik ke kelas, yuk! Bentar lagi jam terakhir dimulai.”
Setelah mata kuliah terakhir, aku harus menemui Pak Arfan. Masih ada satu masalah yang harus kuselesaikan. Aku bisa dikeluarkan dari KK jika terlambat pulang. Suasana di luar kelas cukup ramai, bisa dipastikan aku tidak akan berduaan dengan dosen itu. Aku merasa sedikit lega.
Pintu ruangan dosen terbuka, aku masuk setelah mengucapkan salam dan meminta izin bertemu Pak Arfan. Aku segera menuju ke meja tempat kami bertemu tadi siang. Sepertinya dia bukan dosen baru, nyatanya dosen di sini sudah mengenalinya.
Astaga ...! Aku memekik melihat adegan di depanku.
Benarkah yang aku lihat saat ini?
Bab 6 Suka Jajan
Astaga ...! Aku memekik melihat adegan di depanku.
Benarkah yang kulihat saat ini? Aku segera memalingkan wajah, mataku bisa ternodai. Tidak sepantasnya aku melihatnya. Dua anak manusia dalam satu ruangan, dan dosen itu tidak memakai baju. Baru kali ini aku melihat aurat lelaki selain Ayah dan adik lelakiku. Ada yang menggelitik di hati ini hinge membuat bulu kudukku meremang.
Meja yang tadinya rapi menjadi berantakan. Buku berjatuhan di lantai, botol air mineral berceceran. Sungguh kotor dan penuh sampah.
Aku hendak keluar, tetapi tanpa sengaja menabrak seseorang saat aku berbalik.
Grompyang!
Barang bawaan Bu Tika jatuh semua di lantai. Sebuah plastik warna putih bergambar minimarket sobek. Isinya keluar dan berceceran di lantai. Aku membantu membersihkannya.
Ada beberapa obat masuk angin, minuman kaleng untuk mengobati sakit tenggorokan, snack dan camilan. Ternyata Bu Tika suka jajan.
“Maaf, Bu Tika, saya tidak sengaja.” Dua orang lelaki yang sedari tadi mengacuhkanku langsung terperanjat. Pak Arfan langsung mengambil bajunya yang tergeletak di meja.
“Kamu ngapain ke sini, Fa?” tanya Pak Lucky sambil menutup botol berwarna hijau
“Eh, anu ... itu, Pak. Saya dipanggil sama Pak Arfan.”
“Oh, iya. Silakan masuk! Maaf saya lupa,” ucap Pak Arfan sambil mengancingkan baju.
Ya Allah, aku datang di saat yang tidak tepat. Hampir saja aku khilaf melihat roti sobek Pak Arfan. Sepertinya aku harus ganti kacamata hitam.
“Aku balik dulu sama Tika, ya, Fan. Ini aku kembalikan milikmu.” Pak Lucky menyerahkan sebuah koin emas dan botol minyak telon berwarna hijau.
“Makasih udah dikerokin, lumayan udah lega.”
“Ini obat tolak anginnya jangan lupa diminum. Segera pulang sebelum hujan. Mendadak mendung, nih!” ucap Bu Tika sambil menggandeng mesra tangan Pak Lucky.
“Makasih, ya! Kalian juga buruan nikah. Nggak baik kelamaan pacaran.”
Uwuw! Ada gosip baru, nih. Ternyata mereka pacaran. Bakal seru kalau sampai anak-anak tahu. Mereka selama ini tidak pernah terlihat bersama, tetapi di ruang dosen sudah terang-terangan pegangan tangan. Mataku melihatnya tanpa berkedip hingga mereka lenyap di balik pintu.
“Udah selesai lihatnya?”
“Ya Allah! Bapak ngagetin aja.” Sangking kagetnya, aku menabok punggung Pak Arfan. Entah sejak kapan dia berdiri di sampingku.
“Aduh, duh, duh! Sakit, nih, punggungku habis kerokan. Kamu mau hukumanmu kutambah?”
“Ampun, Pak. Maaf! Saya tidak sengaja!”
“Mau hujan, buruan bantu saya beresin ruangan Pak Bumi. Saya bisa dipecat nanti.”
“What?”
“Yah, hukuman kamu bantuin saya beresin ruangan ini. Habis itu kamu boleh pulang.”
Ternyata Pak Bumi adalah seorang Rektor di kampus ini. Namun beliau jarang sekali berangkat. Ruangannya full AC dan nyaman, tetapi sayang ruangan ini bak kapal pecah karena ulah dosen yang tidak bertanggung jawab.
“Kenapa Bapak bisa berada di ruangan rektor? Saya curiga sama Bapak.”
“Curiga apa? Nih saya dapat pesan disuruh ambil dokumen Pak Bumi. Makanya berantakan.” Dia menyodorkan ponselnya di depanku. Sebuah pesan dari ‘Pak Rektor'.
Alhamdulillah, aku bernapas lega. Ternyata hukumannya cukup ringan. Aku akan melakukannya dengan cepat karena sudah terbiasa membantu Ibu membersihkan rumah.
Aku mulai membereskan buku-buku di meja, kemudian menyapu dan membuang sampah pada tempatnya.
“Saya sudah selesai, Pak. Boleh saya pulang?”
“Silakan. Makasih, ya, ingat jangan ulangi kesalahan yang sama!”
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku mulai kesulitan mencari angkutan. Kampus sudah sepi, tinggal beberapa dosen dan mahasiswa semester akhir yang masih di kampus. Aku tidak mengenal mereka sama sekali. Nindi sudah pulang, biasanya dia yang selalu mengantarkanku.
Aku mulai resah karena gerimis mulai turun, tidak ada payung ataupun jas hujan. Aku segera berteduh di halte agar bajuku tidak basah. Ribet sekali memakai gamis, bahaya jika terkena angin bisa terbang. Aku menyesal karena harus berbohong kepada Ibra dan menolak tawaran pulang bareng.
Sepertinya aku harus membeli motor sendiri. Gajiku sebagai penjaga toko tidak cukup untuk membeli motor, aku harus cari sampingan supaya bisa mendapatkan uang tambahan. Namun bagaimana caranya?
Sebuah angkutan berhenti di depan halte. Beberapa mahasiswa langsung berebut masuk. Aku kalah cepat karena terlalu banyak melamun.
“Maaf, udah penuh, Neng.” Kulihat memang penumpangnya sudah penuh dan berdesakan. Akhirnya aju kembali duduk di halte.
Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda angkutan datang. Seorang wanita di sebelahku akhirnya memesan ojol. Kulihat uang di dalam dompetku, isinya tinggal 5 lembar uang gambar orang membawa piring. Mana cukup buat ngojek?
Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku ....
Bab 7 Sekarat
Cuaca semakin buruk, angin berembus kencang dan hujan semakin deras. Tinggal aku sendiri di tempat ini hingga sebuah truk besar berhenti di dekat halte.
Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Mereka memakai baju hitam dan penutup muka. Hanya terlihat matanya saja. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku.
Mereka berjalan mendekat hingga membuatku sangat panik. Bagaimana kalau aku diculik, diperkosa lalu dibuang ke waduk Logung? Ya Allah, ampunilah segala dosaku. Salah satu di antara mereka membawa senjata tajam. Jantungku berdebar, tetapi bukan jatuh cinta.
“Berteduh, Neng? Mau Abang anterin, nggak?” tanya lelaki yang membawa senjata. Dia berjalan menuju ke arahku.
“I–iya, Bang. Eh, nggak usah. Makasih tawarannya.”
Cuacanya sangat dingin, tetapi tubuhku terasa panas. Keringat bercucuran di keningku. Aku menggeser tubuhku kala lelaki yang satunya mendekat.
“Jangan jauh-jauh, Neng! Nanti jatuh. Di sana licin.” Tatapan matanya menelisik dari ujung kepala sampai ujung kakiku.
Aku menelan ludah dan semakin mundur kala lelaki di sampingku semakin mendekat.
“Ya Allah, kirimkanlah malaikat penolong untukku. Jika perempuan, aku akan menjadikannya saudaraku, jika laki-laki aku bersedia menikah dengannya,” ucapku lirih.
“Ngomong apaan, sih, Neng? Hujan-hujan begini nggak bakal ada orang lewat!”
Aku semakin ketakutan dibuatnya. Dia mengangkat senjata ke arahku. Aku berteriak sekencang-kencangnya dan menutup mataku. “Aaa ... tolooong!”
“Permisi, Neng. Kami mau ambil sampah. Dari tadi si Eneng halangin terus.”
Aku membuka mataku perlahan kemudian berdiri. Kulihat sebuah tong sampah besar berada di belakangku. Heh? Aku gagal fokus. Aku mengambil kacamataku dari dalam tas. Setelah memakainya, terlihat jelas tulisan di atas truk tersebut, ‘Mobil Pengangkut Sampah.’ Pantas saja mereka sangat bau.
Aku kembali duduk di kursi panjang, masih setia menanti angkutan lewat. Sebaiknya aku mengabari Ilham, adik lelakiku supaya Ayah tidak mengkhawatirkanku.
“Assalamu’alaikum, Ham. Kakak telat, nih, terjebak hujan di halte. Tolong sampaikan sama Ayah, ya!”
Hujan mulai reda. Kembali kumasukkan ponsel ke dalam tas ransel. Rasanya begitu berat menggendongnya. Ada sepasang baju basah yang bercampur tepung dan telur. Baunya sungguh tidak sedap, untung sudah kumasukkan ke dalam kantong kresek.
Terlihat dari ujung jalan ada sebuah angkutan yang hendak ke mari. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa pulang. Aku segera berdiri dan melambaikan tangan supaya angkutan berhenti, tetapi ternyata sudah penuh.
Sudah setengah jam berlalu, tetapi tidak ada kendaraan yang lewat. Perutku lapar, aku harus mengganjalnya dengan sesuatu. Di seberang jalan ada penjual bakso. Pasti nikmat hujan-hujan begini makan bakso. Tapi nanti aku pulangnya gimana? Uangku tinggal sepuluh ribu dan besok baru gajian.
Kulihat kanan dan kiri sebelum menyeberangi jalan. Setelah terlihat sepi, aku segera berjalan dengan cepat. Cacing di perut sudah berdemo minta diisi ulang. Kupegang perutku yang masih berbunyi nyaring, please jangan malu-maluin.
Aku berdiri di depan gerobak bakso, kulihat daftar menu yang ditempelkan di kaca.
Bakso = 10.000
Mie ayam = 8.000
Mie bakso = 12.000
Es teh = 2.000
Es jeruk = 3.000
“Bakso, Neng?” Suara si Abang bakso mengagetkanku.
“Bentar, Bang. Saya lihat dulu daftar harganya.”
Sepuluh ribu cukup, lah, untuk beli mie ayam dan teh hangat. Namun, aku nggak bisa pulang ke rumah. Kalau jalan kaki bisa malam hari sampai rumah. Langsung dikeluarin dari KK sama Ayah.
“Bang, mie ayam sama teh hangat satu, ya!” Akhirnya aku memesan mie ayam. Bagaimana aku pulang jika kelaparan? Bisa pingsan di jalan nanti.
Aku duduk di kursi plastik yang disediakan, seharusnya lebih enak lesehan, tetapi karena usai hujan tikarnya basah.
“Ini pesanannya, Neng.” Setelah menunggu beberapa menit akhirnya datang juga. Aku makan dengan lahap karena sudah sangat lapar. Kini tinggal mangkok dan gelas yang kosong. Sangat bersih dan tak tersisa sedikitpun.
“Semuanya berapa, Bang?”
Usai makan, aku segera membayarnya. Meskipun sudah tahu harganya, aku pura-pura bertanya, kali aja harganya turun jadi lima ribu. Lumayan masih bisa buat bayar angkutan.
“Sepuluh ribu, Neng.”
Aku mengambil dompet dari dalam tas dan segera membayarnya. Kuserahkan semua uangku kepada Abang bakso. Ternyata nggak ada diskon, apalagi gratis ongkir. Semua itu hanya ada di zhopii.
“Pas, ya, Bang.”
“Loh, kurang ini, Neng. Uangnya cuma delapan ribu.”
“Masa sih, Bang? Perasaan uangku sepuluh ribu.”
“Nih, coba hitung sendiri!”
Aku menerima kembali uangku dan menghitungnya lagi, ternyata yang 2 lembar adalah uang seribuan. Tadi siang perasaan masih sepuluh ribu, deh.
“Wah, gimana, ya, Bang. Uang saya sudah habis.” Aku menunjukkan dompetku yang sudah sekarat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
“Saya nggak mau tahu, pokoknya Neng harus bayar.”
“Saya bayar besok, ya, Bang. Besok saya kuliah lagi. Saya biasa nunggu angkutan di sana.” Aku menunjuk ke arah halte di seberang jalan.
“Alah bohong, saya sudah sering ketipu sama mahasiswa model kaya kamu.”
“Ya Allah, Bang. Suwer deh, besok saya bayar. Sesama muslim kita harus saling percaya, Bang.”
“Saya nggak percaya sama kamu. Saya hanya percaya sama Allah. Percaya sama manusia itu musyrik. Apalagi sama dukun.”
Heh, apa dia pikir aku dukun?
“Ada apa, Bang?” Sebuah motor berhenti di depan gerobak bakso.
Suara itu ....
Lanjutannya meluncur ke sini, yuk 👇👇
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
