
Niken terbentur sisi-sisi lain kekasihnya yang tak pernah dikenalnya. Mulai muncul rasa tak nyaman. Saat seorang mahasiswa mapan mendekatinya terasakan pintu keluar dari hati pacarnya terbuka lebar. Tanpa tersadar ia melangkah ke tebing yang akan melemparkannya ke lembah nista.
2
Ada satu nama di phonebook yang bikin Niken selalu mulas tiap mendapatkan pesan darinya. Namanya Nora. Kakaknya sendiri. Niken menuliskan namanya: Nora K. Pesan darinya tidak pernah kabar baik, dunia seolah tak ada cerah-cerahnya. Dan ujung-ujungnya minta dibantu, ditransfer.
Pagi yang ranum mendadak kelam saat pesan dari orang itu yang pertama muncul di layar handphone Niken. Niken terbiasa tidak saat itu juga membacanya tapi mood-nya terlanjur kusut. Biasanya jika dalam sejam pesannya tidak digubris Nora akan menghubungi teman-temannya, atau menelepon toko, dan pasti Bagas. Mending kalau cuma nanya, ‘Niken di mana?’; ini tidak, dia dengan enteng menceritakan kesuramannya hari itu, sehingga orang-orang yang tidak terkait pun terseret muram, lalu mendorong Niken untuk membantu mencerahkannya, dengan merealisasikan maunya.
Di satu sisi Niken terintervensi ruang privasinya, di sisi lain hal finansial keluarganya sangat melelahkannya. Tiap bulan, hanya sepuluh menit sesudah menerima gaji, Niken mengirimkan sekurangnya satu juta untuk mereka, utamanya buat Bapak dan Nila adiknya. Jika sedang ada bonus itupun dibagikannya ke nomor rekening yang sama. Dia lebih lega uangnya diterima bapaknya sendiri, tapi kondisinya yang stroke bercampur diabet sehingga harus selalu dibantu orang lain menjadikan kiriman ditujukan ke Nila.
Meskipun sudah dilampiri pesan, untuk Bapak dan urusan rumah segini, jatah Nila sekian, alokasinya termanipulasi. Nila dulu remaja berbakat, juara silat sekabupaten, sekolah kejuruannya perhotelan dan berhasrat kerja di Bali, tapi kini mentok jaga konter pulsa tapi amat gemar bersolek lalu ditiktokin.
Beberapa bulan lalu Nila memohon-mohon dibantu modal jualan kosmetik, katanya banyak temannya yang sekarang kerja di hotel percaya nasihatnya dan mau beli produk darinya, Niken sampai berhutang pada supervisor toko untuk membantu niat baik adiknya, tapi lalu tak jelas kelanjutan, apalagi hasilnya.
Tiap ditanya jawabannya ngasal: gagal, kalah saing, modal terlalu minim. Dari teman sedesa Niken tahu Nila benar-benar membelanjakan modal darinya di gerai kosmetik, tapi satu per satu dipakainya sendiri. Jika Nora sempurna soal ngarang, Nila seimbang bohong dan bocornya.
Urusan rumah makin ruwet tiap Nora melibatkan diri. Sejak menikah Nora tinggal di sisa tanah simbah, tiga kiloan dari rumah. Dulu luasnya tigaribu meter, sekarang yang masih menjadi hak keluarga tinggal seratus-limapuluh. Nora orang paling berperan dalam lepasnya aset keluarga yang dijaga turun-temurun.
Sertifikat jatuh ke tangannya begitu Ibu meninggal dan gerah Bapak makin parah. Saat ada warga dusun sebelah butuh lahan untuk pabrik mie telur keluarga sepakat menyewakannya selama sepuluh tahun. Setahun masa sewa berjalan diam-diam Nora menawarkan pemilik pabrik untuk sekalian membelinya. Deal di harga amat miring karena Nora hanya memperhitungkan kebutuhan – dan nafsunya.
Bersama Sandy suaminya Nora lalu membuka usaha pemotongan ayam sampai rumah makan ayam goreng. Celotehnya, hasilnya untuk keluarga sebagai pengganti sekaligus keuntungan penjualan tanah. Cukup dalam tempo setahun itu semua tinggal bualan belaka. Mobil, meja-kursi, freezer, sampai berplastik-plastik sedotan dilego murah-meriah supaya ada cash.
Hari ini dengan alasan “Bapak muntah-muntah, mohon dibantu” dia berusaha mendapatkan uang Niken. Pada pesan berikutnya yang hanya berjarak tiga menit tertulis: “Usahakan tujuhratus, tapi gopek juga ok, suwun”. Niken limbung, diteruskannya semua pesan ke Bagas.
Respon Bagas, “Iya, Mbak Nora juga kasih tahu aku.”
Tuh kan.
Bagas melanjutkan pesan, “Kamu tenang aja, aku ikut usahakan.”
Balas Niken, “Aku ada uang tapi aku nggak ikhlas. Itu bukan buat Bapak, semuanya akan dimakan Nora.”
Bagas menimpali, “Iya, tapi kita jauh dari sana, kita nggak tahu apa yang terjadi. Jangan-jangan Bapak beneran tambah sakit. Udah, nanti aku yang kirim.”
Sebelum uang terkirim Nora tidak akan jenuh menanyakannya dan meng-update kondisi Bapak, tentu dengan dilebih-lebihkan. Itu yang bikin Niken sumpek. Disekanya pipinya yang basah.
“Lhoh Mbak .. kan kemarin saya sudah bilang, kalau memang tanggalnya datang bulan minta libur!”
“Duh Nu, maaf Ibu ..”
“Mana supervisornya? Saya adukan ke Pusat kalau tidak mau menjamin hak karyawati!”
Toko mendadak sedikit riuh. Gara-gara Nora K.
Saat adzan maghrib berkumandang Niken menerima satu pesan Bagas, sudah terkirim enamratus ribu ke rekening Nora. Niken ambigu, ada lega, tapi tak merasa senang. Bagas menyusulkan pesan berikutnya: “Selalu ada keluarga macam Mbak Nora, tapi sebetulnya tidak masalah kalau penghasilan kita gede.”
Buat Niken tetap masalah. Nora jelas bermasalah.
Malamnya Bagas menjemput Niken, makan di luar. “Kok ya kebetulan orang yang aku supiri kasih tips lumayan gede,” derainya.
Niken berdecak. “Harusnya itu kamu nikmati sendiri. Dia nggak ada hak.”
“Dia mbakmu. Suka-nggak suka bagian darimu. Dan kamu bagian dariku. Nggak papa bikin Mbak Nora seneng. Toh anak-anaknya pasti juga diajakin.”
“Nanti akan gitu-gitu lagi.”
“Makanya kita harus usaha jadi kaya.”
“Ah gini wae cukup kok.”
“Ya itu beda kita, aku selalu mau maju.”
Niken terdiam.
“Mbak Nora jadi beban karena kita masih serba pas-pasan.”
“Dia sudah ngrampok duit keluarga.”
“Yo wis ngobrol lainnya. Kalo sudah soal mbakmu jutekmu sepanjang masa.”
“Iya, ngobrol lainnya.”
“Jadi?”
“Apa?”
“Kolam renang, spa, dan sekitarnya.”
Tak saat itu terjawab. Senyuman pun tidak.
Bagas menatapnya. Menunggu jawabnya.
“Belum tahu.”
“Ada yang kamu nggak suka?”
Niken menggeleng.
“Nggak papa kalau ada yang kamu nggak sreg.”
“Aku cuma lagi capek.”
“Capekmu bukan cuma hari ini tok. Makanya kita ke sana buat refresh, ngilangin itu.”
Niken diam lagi. Bagas sesat memandangnya, dihabiskannya kopinya.
“Yuk.”
Niken kaget tiba-tiba Bagas sudah mengenakan jaketnya.
“Pulang, nggak ada lagi yang kita bahas.”
“Kok marah ..”
“Nggak marah. Cuma kan udah nggak ada lagi yang mesti dibicarakan.”
“Aku bukannya nggak sreg apa nggak suka .. Cuma belum bisa mikir .
“Tinggal ya apa nggak, berangkat apa batal, apanya yang dipikir-pikir?”
Niken terdiam, keki, baru kali ini dia menghadapi sisi lain pacarnya.
Bagas duduk lagi. “Menurutmu aku nggak capek? Kemarin seharian kerja, semalam masih nganter tamu sampai pagi .. Kamu pikir itu semua buat udel-ku sendiri? Buat kita, Ken! Ini tadi masih ikut ngurusin urusan keluarga kamu ..”
Niken sempat terpejam.
“Aku nggak papa, aku fun aja. Toh ini buat kita, buat masa depan kita. Dan secapek-capeknya masih mikir jalan keluar supaya kita bisa sama-sama fresh.”
Niken memandang arah lain.
“Tapi kalau kamu nggak mau, kamu nggak bisa mikir, kamu enjoy sama capekmu, ya aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi.”
Mereka pulang dengan gamang. Di motor Bagas betul-betul mengatup mulut. Bahkan tidak bereaksi saat Niken meletakkan tapak tangannya di pahanya.
Angin mendesau. Niken terpejam, tubuhnya terasa beku terterpa hawa malam. Bagas tak peduli, motor terus dipacu. Seolah-olah ingin segera lepas dari Niken. Lampu merah diterabasnya begitu saja.
Sepanjang perjalanan Niken merasa pacarnya berhak marah. Bagas sudah melakukan banyak hal untuknya, karena pemahamannya yang utuh terhadapnya. Ayam-ayam bawaannya selama ini bukan semata oleh-oleh tapi keinginannya membantu Niken berhemat. Bagas tahu tabungan Niken tidak sepenuhnya uang dia sendiri, tapi titipan almarhumah ibunya untuk Novan kakak keduanya yang bertahun-tahun kerja di Malaysia dan tak mau pulang. “Ibu titip buat Novan dan anaknya, kalau dia pulang.”
Bagas hanya ingin mereka berdua bersenang-senang dan saling menyenangkan; kenapa dia mesti ribet?
Malam itu Niken baru tersadar pacarnya mutungan. Begitu sampai depan kos, Niken turun, baru mau mengucap, Bagas sudah ngegas berlalu darinya. Niken menganga, menatapnya sampai hilang dari pandangan. Sejurus kemudian diteleponnya, sudah tak aktif.
Niken mengirimkan satu pesan saja: “Aku minta maaf, aku salah. Kutunggu kamu pulang di ruanganku ya.”
Dan malam itu Niken tak mengunci pintu.
Niken menunggu. Handphone tergenggam.
Tidak ada pesan balasan. Tak ada panggilan telepon. Tak ada yang muncul melintasi pintu.
Niken sampai terpejam, kelelahan menanti.
Paginya sama.
Niken distrak. Dadanya pengap, terasa penuh. Terlebih tiba-tiba tak terduga Nora muncul lagi dalam pesan yang nylekit : “Ken, Bagas laki-laki baik, kurasa orang terbaik yang pernah ada dalam hidupmu. Aku tahu kamu benci aku dan suamiku, semoga kamu bisa memperlakukan Bagas jauh lebih baik ketimbang pada kami.”
Belum seluruh kalimat selesai terbaca Niken sudah mendesah, tulangnya seolah dilolosi.
“Misal suatu ketika Bagas kamu buang seperti kebiasaanmu, dia tetep bagian dari keluarga kita, setidaknya keluargaku.”
Niken limbung. Dihubunginya Tyok supervisornya. “Mas, aku datang bulan hebat, belum mandeg-mandeg, sakit banget, aku minta ijin sehari nggih Mas. Mohon maaf, maturnuwun.”
Hampir dua jam Niken hanya terbaring memandang layar seluler. Bagas belum kunjung aktif. Tak pernah-pernahnya dia begini.
Niken tak mau berserah. Dia tak suka memendam masalah dan rasa. Harus secepatnya clear. Dia beranjak, mandi secepatnya, dipesannya ojek dari kamar mandi. Sepuluh menit kemudian Niken sudah dalam perjalanan ke resto tempat Bagas bekerja.
Di sana Niken hampir ndeprok, jatuh terduduk. Seorang staf di hadapannya mrenges memperlihatkan barisan giginya yang gigis. “Lhoh Mbak, si Bagas sudah ndak kerja sini, sudah agak lama, dua bulanan.”
“Ooh.”
“Mbak’e siapa’ne?”
“Oh temen lama. Cuma pingin jajan sini. Sekarang dia kerja di mana?”
“Oh ndak tahu. Di sini kasus sih.”
“Hah. Kasus apa?”
“Nuker ayam.”
Niken tak paham.
“Ayam yang harusnya distok di sini di jalan dituker ayam tiren.”
Darah Niken terasa terhenti.
“Duh saya kok malah pengumuman. Ya anggap pelajaran ya Mbak. Pasti ada hikmahnya, semoga Bagas tobat.”
Lalu, ayam-ayam bawaannya selama ini dari mana?
Niken tersadar paket ayam yang dibawakan Bagas wujudnya seperti fried chicken pada umumnya tapi tanpa boks kemasan yang memperlihatkan brand tertentu. Terbungkus kertas polos saja. Jangan-jangan daging ayam tiren. Niken tak masalah menyantapnya tapi kenapa Bagas tak pernah cerita. Kenapa tak jujur. Kepalanya makin riuh, begitu penuh.
Niken terus melangkah. Tetes-tetes peluh bermunculan di dahi. Perlahan kaosnya pun basah.
Langkahnya kemudian terhenti. Dibukanya handphone. Bagas belum juga merespon. Ditulisnya pesan untuknya. “Aku mencarimu, ke restomu, maaf. Kenapa kamu nggak terus terang?”
Niken berjalan lagi. Peluhnya kian bercucuran. Bercampur tetes dari matanya.
Semalam dialaminya sisi lain Bagas. Siang ini hal lain lagi yang belum pernah dikenalnya. Niken tak bisa memprediksi reaksinya nanti. Dia hanya berharap tidak semakin limbung dan linglung.
Mereka bertemu sehari kemudian. Bagas tidak emosional, malah datar. “Kapan sih Ken kamu nanya soal keluargaku? Soal masku, adikku .. Nggak pernah, Ken.”
Niken hanya menatap.
“Kenapa aku mau repot-repot bantu keluargamu, bantu Mbak Nora yang sudah jelas urikan, culas, karena keluargamu jauh lebih mending dari yang aku punya. Jujur aku lebih sayang keluargamu. Kenapa aku selalu pingin maju, pingin kaya, karena aku sudah capek mlarat materiil maupun moril. Masku bangsat, Ken, anaknya tujuh, semua sulung. Bagus adikku sudah mirip mumi, di badannya lebih banyak narkotik timbang oksigen. Disuruh ambil sendok yang diambil obat nyamuk.”
Niken diam mendengarkan.
“Aku pernah bilang pingin ngajak kamu ke rumah, kenapa, ya supaya orang tahu aku tidak seperti yang lain. Aku jauh lebih baik. Aku penuh cinta. Dan didampingi orang yang paling kucinta dan mencintaiku. Tapi apa pernah kamu nanya kapan kita akan ke sana?” Bagas menggeleng. “Nggak sekalipun.”
Sesaat Niken tertunduk.
“Utang keluargaku tiga kali lipat dari yang Mbak Nora lakukan. Aku tahu aku salah nuker ayam resto, tapi saat tagihan tigapuluh juta ditodongkan ke aku, dunia gelap-gulita Ken. Kenapa aku nggak langsung cerita kamu, jelas, bebanmu sendiri numpuk. Kedua, kamu sendiri nggak pernah nanya-nanya.”
Tatapan Niken meneduh.
“Tapi aku kan nggak pasrah pada nasib. Aku tetep nyari kerja, nyari duit. Apa pernah sih aku ngrepoti uangmu? Nggak, Ken, aku nggak pernah mau nambah bebanmu. Kamu nyimpen sekian juta titipan Ibu buat masmu, apa pernah aku mohon-mohon pinjem dulu dari situ buat nutup sebagian utang keluargaku?”
Asap tembakau mengelami Bagas.
“Yang ada duitku aku kirim ke Mbak Nora.”
Lidah Niken menggetir.
“Kalau aku sama bajingannya sama mas apa bapakku – dari bulan lalu kamu sudah nggak perawan, Ken.”
Niken datar.
“Aku nggak mau berlama-lama dan berdrama-drama karena tanggunganku masih banyak. Aku ada job bikin kandang ternak ayam punya temen. Itu ayam-ayam yang kita makan punya dia. Dari ternak sampai jadi paket semua bisnisnya. Mungkin dua-tiga hari aku di sana. Kamu free, anggap kita lagi break, karena sekarang kita sama-sama lagi nggak enakan. Soal nantinya gimana ya lihat nanti. Tapi kamu free, karena sekarang kamu sudah tahu aku lebih utuh.”
Begitu banyak yang diterimanya dalam satu waktu, Niken tak bisa berkata-kata.
“Nuruti ego pasti aku mau kamu tetep jadi pacarku, calon istriku, masa depanku. Tapi dari sisimu, aku tahu, kamu berhak punya laki-laki yang lebih baik, yang terbaik.”
Niken beku.
“Aku orangnya fighter, nggak pasrahan. Hanya padamu aku berserah.”
Sesudah itu sampai dua hari berikutnya Bagas betul-betul tidak menghubunginya. Perasaan Niken sendiri sama seperti pada pertemuan terakhir, datar saja. Ia terus berpikir, sebetulnya tak masalah sempat terbohongi, toh Bagas punya argumentasi dan banyak hal baik yang sudah dilakukan untuknya. Pada pemikiran itu Niken tak punya alasan kukuh untuk mengakhri hubungan dengannya. Rasanya, rasa sayang itu masih ada.
Kegamangan juga tak tersingkirkan karena Niken sungguh mengharap laki-laki yang hidupnya tak kisruh. Karena hidupnya sendiri sudah ruwet. Didambanya kehidupan yang settle, mapan, tak perlu kaya-raya tapi berkecukupan dan damai.
Pertemuan dengan Edo seolah menjawab dambanya.
Selama dua minggu ke depan Edo melakukan penelitian untuk tesisnya di minimarket tempat Niken bekerja. Semua staf menyukainya karena tiap datang selalu membawakan cemilan dan tak jarang diam-diam menraktir makan siang. Meski terlihat sebagai anak orang berada dia ringan tangan ikut angkut-angkut kiriman barang bolak-balik dari mobil boks. Diam-diam Niken sering memperhatikannya dari celah monitor.
Santi staf paling belia pada satu petang bercerita pada Niken bahwa Edo beberapa kali menanyakannya. “Nanya-nanya Mbak Niken orang mana, kos di mana, sudah ada pacar belum ..”
“Ah impossible.”
“Aduh Mbak ngapain aku ndobos, bohong sampai segitunya.”
“Aku bukan levelnyalah.”
“Cinta sejati tanpa level, Mbak, emang cabe dilevelin.”
“Dia iseng aja karena di sini nggak ada karyawati yang bener-bener cantik.”
Santi mendesah. “Mbak, cuma laki-laki katarak yang nggak bisa lihat badanmu bagus. Tapi karena seragam kita jelek jadi ..”
“Hush, kamu anak baru berani-beraninya sampai ngritik seragam.”
Keduanya menapak tangan ke mulut menahan tawa. “Realita kok, seragam ini bikin aku makin jelek.”
“Nggak mungkin Mas Edo belum punya calon.”
“Emang belum. Baru akan.”
“Tuh kan. Yang penting kan sudah ada bayangan. Dia cerita juga ke kamu?”
“Ya kan calonnya Mbak Niken.”
Niken makin terpingkal, merah wajahnya.
“Idih wajahnya merona. Kalau jujur-jujuran Mbak ya, aku jelas pro Mas Edo daripada Mas Bagas.”
“Bagas pacarku.”
“Halah Mbak, belum ada janur mlengkung masih merdeka.”
“Kamu cerita aku ada Bagas?”
“Aku sih nggak, tapi nggak tahu yang lain. Kan aku nggak tahu yang ditanya-tanya aku doang apa yang lain juga.”
Apa yang dicelotehkan Santi mendekati kenyataan saat Edo mendekat ke meja kasir jelang toko tutup, dan bicara hampir berbisik, “Mbak Niken .. misal makan pizza kenyang tidak?”
Edo selalu memanggil siapapun dengan Mas atau Mbak, termasuk pada mereka yang usianya lebih muda.
“Oh, kalau saya sih dua potong aja kenyang.”
“Abis ini yuk. Ada kedai pizza baru, namanya Salvaltore. Lihat di Google ulasannya keren-keren. Kosnya ada jam malam?”
“Oh nggak sih ..”
“Kita ke sana ya ..”
“Semua?”
Edo tertawa. “Kita tuh maksudnya saya dan Mbak Niken.”
Kini Niken betul-betul jingga wajahnya.
“Ada spaghettinya juga. Misal pizza kurang kenyang. Tapi dua-duanya juga boleh.”
Tawa lagi. Niken sampai mau pipis saking gugupnya.
“Boleh saya tunggu di mobil? Mobil saya parkir dua ruko dari sini kok, di depan Mie Ban Fan, jadi Mbak Niken bisa kayak pulang seperti biasa, nggak rikuh sama temen-temen.”
“Duh ..”
“Duh kenapa? Takut pacar marah? Swear nanti saya yang jelasin deh. Niat baik nggak ada lawan.”
“Duh saya nggak bawa baju lain.”
“Nanti ke kos dulu boleh, apa mampir mall juga ayo.”
Lidah Niken kelu. Pandangannya berkisar. Meski tak ada orang lain.
“Saya tunggu di mobil ya Mbak.”
“Iya ..”
Edo berjalan mendahului meninggalkan toko.
Beberapa sekon Niken terpejam.
Empat jam kemudian hal yang sama terjadi lagi. Di mobil Edo. Saat Edo mendorong tubuhnya lebih dekat. Dalam gelap, dalam pejamannya, Niken merasakan getarannya yang hangat dan lekat. Hatinya terasa silir, teduh. Suatu hal yang belum pernah dialaminya.
Tinggal beberapa senti Edo menghentikan geraknya. “Serius Mbak Niken nggak papa?”
“Nggak papa .. Jangan panggil Mbak.”
“Niken pingin?”
“Pingin.”
Edo melanjutkan gerakannya. Jari-jari tangan Niken mengerat.
Tinggal beberapa inch lagi bibir mereka bersentuhan – handphone di genggaman tangan kiri Niken bergetar.
Pesan dari Bagas: “Aku kangen. Aku makin pingin mengikatmu.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
