Catatan Ketiga : Tangan Kurus Ibu

1
0
Deskripsi

Sambil menangis, aku mencoba berargumentasi dengan kebencian dalam diriku ; pada akhirnya, aku tetap tidak memaafkannya. Namun, aku juga menolak untuk mengenangnya sebagai sekepal tinju, maupun seulas senyum. 

‘Tangan Kurus Ibu’ adalah cerpen ketiga dari rangkaian cerpen lain yang bercakap dalam satu judul ‘Jurnal Langit’

Selamat menikmati… :)

Ia menggapai diriku. tangannya sudah tak sama lagi sejak terakhir kami bertatap muka sepuluh tahun lalu. Waktu dan gaya hidup mungkin telah menyeret kulit sehat berkilau yang dulu ia miliki. Sekarang, dia tak ubahnya ranting kering yang menunggu saat untuk patah, dengan tulang dan urat-urat yang menonjol dari balik kulit pucatnya. 

Aku diam terpaku memandangi tangannya yang bergetar mengambang di udara, perlahan mendekati wajahku. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi situasu ini, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus mengingat tangan tersebut : sebagai kenangan indah, atau mimpi buruk.

Ingatan dan kenyataan, pasti memiliki rentang waktu yang berbeda. Rentang jarak beberapa senti antara tangan itu dengan wajahku, memberiku cukup waktu untuk menggali kembali semua memori tentang pemilik tangan tersebut : Ibuku. 

Seorang wanita yang hadir dengan dua wajah berbeda; Seulas senyum dan sekepal tinju. Itu yang bisa kuungkapkan untuk merangkumyg sosok ibu.

Sepuluh tahun awal kehidupanku, ia kuingat sebagai perempuan berhati suci yang dengan lembut membelai kepalaku setiap akan tidur, membuatkanku sarapan, dan menungguku pulang dari sekolah. Sepuluh tahun berikutnya, ia menjelma jadi neraka bagi hidupku. 

Suatu hari, tanpa isyarat apapun, Ia pulang dalam keadaan mabuk. Saat itu, waktu sudah menjelang pagi. Ibu dalam keadaan yang bahkan nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri. 

Hari-hari selanjutnya, kondisi semakin memburuk. Barang-barang aneh mulai bertumpuk dalam rumah. Pakaian-pakaiannya berubah semakin terbuka, warnanya selalu mencolok mata. Tiap hari, selalu ada pria-pria asing yang singgah, bahkan menginap di rumah.

Pria-pria itu kebanyakan berperawakan besar dengan raut wajah kasar. Mereka datang silih berganti, dengan rupa berganti-ganti. Namun, aku ingat ada satu orang yang berbeda. Ia adalah sesosok pria berukuran sedang, bahkan cenderung kecil, dengan kulit putih bersih, dan raut wajah halus. Sangat berbanding terbalik dengan pria lain.

Aku ingat namanya Ikhsan. Om Ikhsan, aku memanggilnya. Aku mengenalnya sebagaI kenalan ibu melalui bisnis jual-beli batik online. Awalnya ia hadir sebagai pelanggan tetap, dan akhirnya berkembang jadi reseller paling produktif. Aku tidak pernah paham bagaimana alurnya, tapi jika aku boleh mengkaitkan, ayah dan ibu mulai sering bertengkar.

Kira-kira, empat bulan lebih lima hari setelah ulang tahunku yang kesembilan, kedua orang tuaku resmi bercerai. Aku sudah cukup besar untuk mengetahui bahwa Om Ikshan berperan dalam perceraian ayah ibuku. Namun, rupanya aku masih tidak cukup tua bagi hakim pengadilan untuk membiarkanku tinggal dengan ayahku. 

Anehnya, ayah tidak terlihat sedih atau setidaknya memperlihatkan tanda-tanda ingin bertemu atau mempertahanku. Sampai sekarang, aku masih bertanya, apakah ayah juga membenciku karena tidak melaporkan kedatangan Om Ikshan ke rumah tiap hari. Pada titik inilah, ibuku mulai berganti topeng.

Aku ingat pertama kali ia meninjuku pada saat hari ulang tahunku yang kedua belas. Itu karena, untuk pertama kalinya aku menentang dan mempertanyakan kepergiannya tiap malam, serta keberadaan Om Ikhsan. 

Aku tidak ingin terus berpura-pura bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan tiap malam di dalam kamar. Aku sudah mengalami menstruasi pertamaku, dan mendapat penjelasan singkat namun gamblang dari Bu Risyah, guru agama di sekolah tentang makna noda darah itu, serta beban dosa yang mulai saat ini akan kutanggung sendiri. 

Diam-diam, aku bersyukur karena tidak lagi membebani ibu atau ayah dengan segala macam perbuatanku, apalagi dengan semua dosa yang sudah mereka lakukan. 

Saat pulang di suatu sore, aku mendengar suara gemericik dari kamar mandi. Tampaknya ibu ada di dalam. Aku meletakkan tas, membuka seragam dan rok biru tuaku, lalu berjalan menuju dapur untuk minum. 

Saat aku hendak menenggak air dingin itu, pintu kamar mandi terbuka. Dari dalam, keluar sosok ibu dengan tubuh berbalut handuk, dan dibelakangnya mengikuti sosok kurus Om Ikshan yang telanjang bulat.

Aku terkesiap.

Rasa hausku menghilang, dan keringnya tenggorokan kukompensasi secara alamiah dengan menelan air liur. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dan kelihatannya mereka berdua juga merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, Om Ikhsan memilih untuk menyapaku duluan, memecahkan keheningan.

“Sejak kapan pulang, Rina?” Nadanya jelas menunjukkan kecanggungan. Matanya pun tidak berani menatap langsung padaku. 

Aku yang tidak tahu harus bertindak apa, akhirnya juga menjawabnya dengan nada sama canggungnya, “Barusan om… anu…”

Belum sempat aku bicara lebih lanjut, ibuku menarik tangan Om Ikhsan dengan kasar, dan menyeretnya menuju kamar. Ia melengos melewatiku. Harum sabun yang khas semerbak menyerang hidungku. Aku memandangnya, tanpa berkata apapun. Lalu, sebelum ibu membuka pintu kamarnya. Ia berkata dengan dingin, “Pakai baju.” Saat itulah, aku sadar hanya mengenakan mini set dan celana dalam.

Malamnya, saat Om Ikshan tidak ada di rumah, dan aku mengajukan keberatanku pada Ibu. Aku memprotes semuanya. Tanpa sadar, aku mulau mengeluarkan semua yang ada dalam pikiranku selama ini, sejak perceraian ayah dan ibu. 

Jika diingat, aku tidak pernah bicara dengan muatan emosi sebanyak itu lagi sepanjang sisa hidupku. 

Kukira cukup lama aku bicara, dan selama itu Ibu hanya terdiam. Setelah aku berhenti karena kehabisan nafas, Ibu mendekat. Lalu tanpa bicara apapun, tinju Ibu mendarat keras di pipi kananku. 

Aku sontak terdorong ke belakang. Tubuhku jatuh tersungkur di lantai yang dingin, dan pipi kananku terasa sebah. Aku merabanya. Perih. Aku melemparkan pandang tepat ke mata Ibuku, mencoba mengerti maksud dari tinju itu. 

Namun, di sana aku tidak melihat sedikitpun tanda seperti air mata penyesalan atau rasa bersalah dari sepasang mata wanita paruh baya itu. Perlahan-lahan, sisa emosi yang meluap-luap di dadaku tadi mengendap dan mengeras. Ia menutup sesuatu dalam diriku. Sebagian dari emosi yang tak sempat membeku itu, mendesak keluar melalui mata dalam bentuk beberapa bulir cairan sebening embun. 

Setelah ditelan keheningan sesaat, Ibuku berjalan masuk ke kamar. Meninggalkan aku yang masih tergeletak dilantai rumah, yang terasa semakin dingin.

Rupanya, itu adalah hanya tinju pertama yang Ibu layangkan padaku. Sejak malam itu, setiap kali Ibu melihatku sedang bersama dengan Om Ikshan, ia akan menyeretku ke kamar dan akan menghajarku. Aku tidak tahu apa penyebabnya.

Ibu pasti sudah gila, pikirku.

Aku tidak pernah berani pergi ke rumah Ayah, karena aku mengira ia masih membenciku. Hari demi haripun kulewati, dan aku tumbuh dengan memendam semua rasa sakit di akibat tinju Ibu. 

Satu-satunya yang bisa kulakukan untuk mengurangi resiko tertinju Ibu adalah menghindari Om Ikhsan sebisa mungkin. Jika dalam beberapa kebetulan kami bertatap muka dan ibu mengetahuinya, dia akan segera menyeretku jauh-jauh.

Neraka itu berlangsung hinga aku menginjak usia 17 tahun. Tubuhku tidak lagi kuat menanggung rasa sakit, dan memutuskan pergi dari rumah. Keputusan itutu dipicu oleh sebuah kejadian di suatu malam yang lain. 

Saat itu, sekitar delapan pria asing lagi-lagi berkumpul di rumah. Kali ini mereka menyetel musik dengan irama menghentak ala clubhouse sambil membakar semacam serbuk yang menghasilkan asap putih tebal. Aku mengurung diri di kamar hingga akhirnya terlelap tanpa perduli dengan beat musik tersebut.

Dalam lelap, aku bermimpi buruk. Seekor ular besar hitam mengejarku dalam kegelapan hutan yang pekat. Ia bergerak dengan cepat seakan kerikil, bebatuan, dan ranting hutan tak menjadi halangan bagi laju melatanya. 

Aku mencoba berbelok tajam di tengah laju lari, berharap kecepatannya tak mampu mengikuti manuverku. Namun ternyata sia-sia. Ia seolah makhluk yang dirancang untuk memangsa hewan-hewan yang memiliki kelincahan lebih tinggi daripada manusia. Aku tertangkap. Tubuh besarnya melilitku dengankeras, hingga aku dapat merasakan dingin dan licin sisiknya.

Nafasku sesak. Ia menggesek-gesekkan tubuhnya padaku. Gerakannya begitu teratur, namun berirama. Benturan kulit kasarnya dan kulitku menghasilkan sensasi ganjil yang menjalar di bagian dalam tubuh. Rasa geli di bagian-bagian sensitif tubuhku meningkat, menghasilkan sengatan listrik yang kemudian menyerang otakku. Aku mengejang, ototku menegang, dan nafasku semakin sesak. Sesuatu mendesak dari bagian bawah tubuhku. 

Aku berada dalam dilema. Di sisi lain aku tidak ingin mengakhiri sensasi tubuh ini, dan di sisi lain lagi, akal sehatku masih cukup punya kekuatan untuk berontak lepas.

BRAK!!

Suara benturan yang keras membangunkanku secara paksa dari dilema. Kesadaranku seperti ditarik kasar kembali ke dalam raga. 

Saat kubuka mataku, kudapati sosok Om Ikhsan sudah telanjang bulat, menindihku, dan wajahnya tepat di atas dadaku yang telah terekspos. 

Aku terkejut, tanpa bisa mengucapkan apapun. Secara reflek, aku menarik selimut dan menutup dadaku. Aku melihat ke arah pintu, di sana Ibuku juga dalam kondisi hanya berbalutkan selimut berdiri dengan mata meradang ke arahku. Di belakangnya ada seorang pria besar dengan hanya mengenakan celana dalam. Keliatannya, mereka hendak bercinta, saat sesuatu mengganggu Ibu, dan ia merangsek masuk kemari.

Ibu melangkah cepat, menarik Om Ikhsan, dan tanpa sempat kutahan, sekali lagi tinjunya melayang pada pipi kananku. Seperti biasa, aku tidak mengukapkan apapun. Namun, emosi sekali lagi mendidih dalam dadaku. 

Aku bangkit, mengenakan pakaian, mengambil tas besar warna biru, mengemasi berbagai barang yang bisa kuambil, dan melangkah keluar dari kamar. Saat aku melewatinya, aku berhenti, menatap matanya dengan tatapan paling tajam yang bisa kuberikan pada orang lain. “Pelacur…”, ujarku padanya. 

Setelah itu, aku pergi, dan bersumpah tidak akan menoleh kebelakang lagi.

Sebuah tarikan kecil menarikku kembali pada realita. Tangan kurus itu telah menggapaiku. Jemari telunjuk dan ibu jarinya menggantung lemah di kemeja putih yang kukenakan. 

Aku menguatkan diri, memandangi wajahnya, dan masih tak tahu wajah ibu yang mana yang harus kuingat. 

Kualihkan mataku dari raut tua Ibu menuju jendela yang tembus ke halaman parkir rumah sakit. Di sana seharusnya Dinda menunggu dalam mobil sedan putihnya. Setelah kecupan singkat untuk pamit, aku berjanji tidak akan lama.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat 8 menit. Sudah sepuluh menit lebih aku berada di sini, lebih lama dari perkiraanku.

Dari jendela, aku kembali menatap wajahnya. Pada saat itulah, untuk pertama kali setelah dua puluh tahun, aku melihat Ibu tersenyum padaku. Seulas senyum yang tergurat lemah, dan dengan jelas menandakan akhir kehidupan yang semakin dekat.

Tangannya masih gemetar, namun berusaha untuk tetap menggantung pada kemeja putihku. Sebuah perasaan yang tak mampu kujelaskan menyergap. Tanpa perintah, aku menggenggam tangan Ibu dengan lembut, mengangkatnya perlahan dan menciumnya.

Terkejut dengan tindakanku sendiri, aku memilih perasaan yang telah lama mengeras menuntun diriku. Kuciumi dan kuhirup bau tangan Ibuku, seakan aku hendak menyerap semua yang tersisa dari energi kehidupannya yang mulai redup. 

Aku ingin mengingat bau ini, bau orang yang pernah kutahu pernah menyayangiku, setidaknya di masa awal kehidupanku. Lalu aku mendekat dan kuciumi wajah Ibu; pipi dan dahi, kukecup mereka bergantian dengan lembut berkali-kali. Tanpa sadar, air mataku mengalir membasahi wajahnya. 

Ia tidak menolak, atau mungkin tak ada kekuatan untuk menolak. Aku menangis, setelah sekian lama, dihadapan orang yang kuanggap neraka. Aku menangis begitu keras, hingga tak mengeluarkan suara apapun. 

Sambil menangis, aku mencoba berargumentasi dengan kebencian dalam diriku ; pada akhirnya, aku tetap tidak memaafkannya. Namun, aku juga menolak untuk mengenangnya sebagai sekepal tinju, maupun seulas senyum. 

Ini semata demi keadilan. Aku akan menghapusnya, dan untuk kebaikan kami berdua, terutama diriku, aku akan coba mengingatnya sebagai manusia yang sama : dua wanita berdosa yang mencoba mengisi salah satu babnya dengan keindahan. Dan manusia itu, bagaimanapun, adalah Ibuku.

Saat jam kunjungku berakhir, aku melangkah gontai dengan sesuatu yang hilang dalam diriku. Aku berjalan dengan pandangan yang menerawang pada langit-langit lorong rumah sakit.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
CerpenTulisan
Selanjutnya Catatan Keempat : Separuh dan Kau
0
0
Karma menundukan muka, menjauhkan pandang, dan mengambil langkah cepat begitu melihat seorang nenek penjual kerupuk keliling berpakaian lusuh berjalan mendekatinya. Tunggu, ini bukan tanpa alasan.  Jika ini adalah malam yang baik sebagaimana biasanya, tentu Karma akan membiarkan nenek renta itu menawarkan dagangannya, dan tentu, Karma akan memborong semua dagangannya.Tapi malam ini (dan entah sampai kapan), semua sedang tidak baik-baik saja. Akibat dari pandemi yang terus berlarut dan mengganas di berbagai negara, rentetan masalah mulai menumpuk dan memenuhi setiap sudut pikiran Karma; Tugas kantornya menggunung, tapi gajinya dipotong dengan alasan penghematan. Kedua orang tuanya di Surabaya masih butuh bantuan untuk menyokong kehidupan sehari-hari, adanya hutang-hutang yang menunggu, juga ancaman PHK yang membayang (lagi-lagi demi penghematan). Lalu di atas itu semua, Novi, kekasihnya, sedang hamil dua minggu.Sejak mengetahui fakta itu, perasaan Karma jadi tidak menentu. Emosinya semakin mudah meledak-ledak, dan konsentrasinya menurun drastis. Karma semakin tidak betah berlama-lama di kantor, atau sekedar berkomunikasi dengan rekan-rekan kerjanya. Kegundahannya makin meradang tiap kali melihat Novi yang duduk di sebelah mejanya.Karma menghirup nafas dalam-dalam. Tidak, tidak boleh begini. Setidaknya, dia harus berusaha tenang di depan Novi. Karma melirik kanan kiri, memperhatikan bila ada suara, atau tanda apapun yang mengisyaratkan kehadiran orang lain di dekat mereka. Seperti biasa, lantai itu tidak berpenghuni, selain oleh Karma dan Novi. Sebagian besar rekan kerja mereka pergi ke lapangan atau menemui customer di lantai satu. Setelah memastikan kondisi aman, Karma mendekati Novi, dan mengelus kepalanya,“Sudah makan?” tanya Karma lembut. Novi menggeleng. Perempuan bertubuh mungil itu meraih tangan Karma dan menuntunnya ke pipinya yang lembut. Sepasang mata Novi yang jernih dan bulat memandang Karma. Perih menyayat ulu hati pemuda itu. Gumpalan rasa bersalah mengumpul dan mengendap di sana, menyesakkan nafasnya.“Makan.”, ujar Karma.Novi berucap dengan suara lirih, “Iya….”Karma diam. Raut wajahnya tampak ragu, namun kemudian memutuskan bertanya, “Gimana kondisimu?”Novi menggeleng tanpa berucap apa-apa. Karma tersenyum, mengelus pipi kekasihnya sekali lagi, dan kembali ke mejanya. Mata Karma memandang nanar pada tumpukan tinggi berkas yang seolah tidak akan habis.  Mungkin satu-satunya cara tercepat untuk keluar dari siksaan itu adalah dengan ambruk kelelalh atau terkena virus. Tapi, seperti banyak hal dalam hidupnya, Karma tidak bisa melakukan apapun. Dengan enggan, tangannya meraih keyboard computer, dan mulai bekerja, mencoba menghapus sejenak kegundahannya. Tentu  saja itu tidak berhasil.Novi adalah kekasih kedua dalam catatan romantisma Karma. Hubungan pertamanya terjadi lima tahun lalu, saat masih duduk di bangku kuliah. Mantan kekasihnya bernama Risa. Gadis itu adalah mahasiswa Fakultas Psikologi di universitas yang sama. Mereka bertemu melalui salah seorang teman saat dia mengikuti kompetisi business plan. Sejujurnya, tidak banyak yang bisa diingat Karma soal hubungan pertamanya itu, selain betapa bagusnya payudara Risa. Ukuranya tidak terlalu besar atau pun terlalu kecil; Pas di tangan, tekstrunya padat kenyal, dan bentuknya yang sangat menarik hati. Tidak semua lelaki bisa mendapatkan keistimewaan itu tentu saja, karena buah yang indah itu terselubung rapat dalam gaya berpakaian Risa yang tertutup oleh hijab.Karma dan Risa berpisah enam bulan kemudian karena alasan klasik dan menjemukan : komunikasi. Pada satu waktu, Karma tiba-tiba mengidap kebosanan yang luar biasa. Ia jengah dan suntuk. Bagian besar dalam dirinya ingin berlari dan melompat masuk dalam gua dingin yang gelap, meringkuk sendirian. Pemuda itupun pergi. Dia tidak memberi tahu siapapun, orang tua, teman, apalagi Risa. Dia juga memutus semua jalur komunikasi. Karma pergi sejauh yang dia bisa, menyendiri, dan menikmati sepi. Empat minggu kemudian, saat ia kembali, Risa meminta putus.Karma tidak berusaha membela diri karena ia tahu dia yang bersalah. Tentu saja rasanya sakit, namun tidak sesakit yang dibayangkan. Jika ditelaah, rasa sakit itu mungkin lebih tepat disebut rasa tidak enak hati karena Karma mengabaikan Risa begitu saja.Sore menjelang. Karma mengangkat wajah dari layar computer, merenggakan punggungnya, dan berusaha menghasilkan bunyi gemeretak yang melegakan. Ia menoleh ke Novi yang tengah membereskan mejanya, bersiap pulang. Wajah gadis itu terlihat letih dan mendung. “Tentu saja, apa yang kau harapkan?”. Pikir Karma pada dirinya sendiri. Ia lalu bangkit dan mendekati Novi,“Kamu gak papa?”, tanya Karma.“Gak papa, sayang…” Novi berujar lembut seraya meraih pipi Karma. Perempuan itu menatap mata kekasihnya dengan lembut dan begitu dalam, seakan tengah mencoba menyeruak masuk ke dalam batin terdalam Karma.“Aku sehat… Kamu gak usah banyak pikiran ya.... Tuh, liat. Sampai anget dan pucet kamunya.”Karma tidak menjawab. “Ada perubahan lain?” Tanya laki-laki berkacamata itu.Novi tersenyum dan menggeleng.“Aku belikan pepaya muda sama jahe ya.. Please, dihabisin…”, pinta Karma.“iyaa.” Jawab Novi. “Langsung pulang?”, Karma mengangguk. Mereka berdua turun bersamaan.Sudah tiga malam Karma rutin menyuplai Novi dengan papaya muda, air jahe, dan terkadang nanas muda. Namun apa yang diharapkan pemuda itu tidak juga terjadi. Di kamar kost, Karma kembali membuka aplikasi kalender ovulasi, memastikan tanggal menstruasi terakhir Novi dan tanggal saat mereka bersetubuh. Hasilnya tetap sama : Malam itu, adalah malam dengan kemungkinan kehamilan tertinggi dalam siklus menstruasi Novi.Karma menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu ia berdiri, keluar kamar, dan menyalakan sebatang rokok. Ia hembuskan nafas beserta kepul tipis asap putih itu keras-keras. Tidak ada perubahan. Nikotin sudah tidak efektif untuk menenangkan pikiranya.Malam itu hening, seakan kostnya tidak berpenghuni. Jalanan depan Kost nya juga tampak sepi, entah karena social distancing atau memang karena Karma tidak lagi mampu merasakan sensasi di luar tubuhnya. Kamar kost 4x4 yang telah ia ditinggali selama dua tahun lebih itu terasa penuh. Seakan ada sosok hantu atau jin raksasa yang menyelinap masuk dan seenaknya memenuhi ruangan itu dengan tubuhnya.Karma yang resah memilih untuk menghubungi Novi melalui pesan singkat. Namun sepanjang percakapan, Novi hanya memberikan jawaban-jawaban singkat. Saat Karma terus menanyakan pertanyaan yang sama, Novi menjawab,“Udah… Malam ini, kamu gak usah mikirin aku dulu…”Karma tidak tahu harus merespon apa. Dia diam memandangi jawaban Novi yang tertera di layar handphone. Pemuda itu berusaha mencerna makna kalimat tersebut, namun yang muncul di benaknya cuma seonggok keruwetan. Dalam kepala Karma, berputar adegan-adegan suram masa depan, dan rencana-rencananya yang gagal. Jika situasi normal, biasanya Karma akan melewati malam menyesakkan semacam itu di klub sambil minum-minum atau menyewa seorang wanita yang bisa ia ajak ke kamar. Sayangnya saat ini keuangannya tidak memberi keleluasaan untuk Karma melakukan semua itu. Lagipula, tempat-tempat hiburan sudah tiga minggu ditutup.Karma bingung. Dia kehilangan tempat untuk melepaskan diri. Lama dia termenung menatap langit malam dan tumpukan bintang-bintang yang berserakan.Lalu, entah apa yang merasuki,  tiba-tiba pemuda itu beranjak menuju kamar mandi. Di dalam, pemuda itu menanggalkan seluruh pakaian, dan berlanjut membasuh sekujur tubuhnya hingga menyapu tiap sudut. Setelah itu, Karma mengambil wudlu, kembali ke kamar, dan melakukan salat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak bisa dia ingat, Karma memohon pada Tuhan yang telah lama ia abaikan.Selesai salat, Karma lanjut dengan berdzikir, dan membaca semua surat-surat pendek yang bisa dia ingat. Cukup lama ia terpekur hingga kemudian kedua kakinya terasa kebas. Tapi pemuda itu berusaha melawan rasa itu. Selesai dzikir dan doa, Karma berdoa.  Pada doa itu, Karma memohon, meminta pada Sang Maha Kuasa untuk membatalkan kehamilan Novi. Ia meminta dengan kesungguhan yang belum pernah ia lakukan. Waktu bergulir. Karma mengakhiri doanya. Ia merapikan sajadah dan sarung dengan kalut yang masih menggantung di dada. Mungkin, Tuhan sendiri sudah jengah dengannya. Mendadak sebuah ilham memasuki pikiran Karma. Mungkin ini ilham dari Tuhan. Karma mengambil handphonenya, mencari sebuah kontak, dan mengirim sebuah pesan.Karma : BosRaya : Ya bos? Ada apa?Karma: Masih open PO?Raya : Masih. Mau yang mana ni? Viagra biru? Yang golder? Atau yang mana?Karma : Enggak. Mau Tanya. Punya Cytotec?Balasan tidak segera datang. Raya adalah penjual berbagai obat-obatan dan peralatan khusus dewasa yang beroperasi secara daring di Wilayah Ketapang. Barangnya yang lengkap serta pelayanan yang cepat, juga didukung dengan sistem penjualan satuan, membuat mantan napi tersebut menjadi penyuplai utama bagi para laki-laki dan wanita yang mencari kepuasan lebih. Tapi tampaknya, kali ini, Raya ragu untuk segera membalas pertanyaan Karma. Pemuda itupun memutuskan menunggu saja.Selang sepuluh menit kemudian, sebuah pesan baru datang melalui aplikasi Telegram. Pesan dari Raya.Raya : Sorry, bos. Lewat sini aja ya.Karma: OkeRaya : Saya gak punya barangnya sih bos. Tapi keliatannya temen saya punya. Mau saya pesenkan? Butuh kapan?Karma : Secepat mungkin. Malam ini kalau bisa.Tidak ada balasan. Mungkin Raya sedang berdiskusi dengan temannya. Lima menit kemudian, satu pesan masuk,Raya : Oke. Bisa, bos. Harganya…Karma menyanggupi tawaran harga yang disebutkan. Tentu agak mahal kalau dibandingkan dengan kemampuannya sekarang. Tapi bagi Karma, harga itu adalah pengeluaran yang lebih baik dibanding harus menjalani bayangan-bayangan suram dalam kepalanya. Setelah itu, mereka berdua membuat janji bertemu. Karma ingin transaksi segera terjadi, dan ia pun meminta pertemuan di depan ATM Hotel Aston. Pukul setengah sembilan malam, di tempat yang disepakati, Karma menunggu kurir yang biasa mengantarkan barang pesanan konsumen Raya. Saat itu, awan tebal bergulung dan perlahan menutupi bintang-bintang di langit malam. Deru kendaraan semakin jarang melaju di kelenggangan jalan Ketapang. Bulan dalam rupa separuhnya yang pucat. Halaman parkir Hotel masih terlihat kosong sejak banyak wilayah di daerah pelosok Ketapang melakukan lockdown lokal. Sekilas, Karma memikirkan para pekerja klub malam di hotel tersebut. Terutama para wanita terapis yang ada di panti pijat di sana. Kemana mereka? Apa yang mereka lakukan sekarang?Di tengah lamunannya, seseorang berhenti dan memakirkan sepeda motor di hadapan Karma.  Sosok itu adalah laki-laki berumur sekitar tiga puluhan tahun, bertubuh ceking, dengan garis wajah yang keras. Laki-laki itu menyapa Karma, dan menyerahkan sebungkus plastik hitam. Karma menerimanya, memeriksa isinya, dan menyerahkan uang. Transaksi pun selesai. Kurir tersebut (pernah mengaku juga sebagai mantan napi) mengangguk sambil tersenyum dan pamit pada Karma. Pemuda itu membalas senyum.Sembari menimang-nimang bungkus plastik di tangannya, Karma mengambil sebatang rokok, menyalakan api, dan menghirupnya pelan-pelan. Pandangannya beredar pada gumpalan awan hitam yang kini berpusar mengelilingi rembulan pucat. Dari sudut pandangnya, bulan itu seolah menyeruak dari jeruji langit,  dan dengan terengah-engah, menyembulkan tubuhnya di rongga angkasa. Seketika, nelangsa mencakar ulu hati Karma. Malam itu, saat bulan tengah berusaha keras untuk muncul di langit, ia akan mencabut hidup sebuah jiwa dengan paksa. Jiwa itu masih belum matang, bahkan mungkin belum menyadari keberadaannya. Tapi kemudian, logika menyela perasaan Karma. Justru sekarang adalah saat terbaik untuk membunuhnya. Jiwa kecil itu belum boleh muncul, dan merusak rencana Karma.Pemuda itu meraih handphone dan mengirim pesan pada Novi.“Aku ke sana”Tanpa menunggu lama, Novi langsung membalas, ”Oke”.Novi tinggal di rumah kos yang hanya berjarak tidak sampai lima menit dari Kos Karma, tepatnya di belakang sebuah Masjid Agung Ketapang. Sesampainya di depan Kos, Karma meminta Novi untuk keluar.  Malam belum terlalu larut, Karma tidak ingin mengambil resiko ada tetangga yang menyaksikan dirinya dan Novi berduaan di kamar. Tidak lama, Novi muncul dari balik pintu. Perempuan bertubuh mungil itu terlihat cantik dalam balutan gaun tidur terusannya yang berwarna putih bermotif bunga. Rambutnya yang biasa tertutup jilbab, saat itu terurai tanpa perlawanan; hitam mengkilap dan lembut. Jantung Karma berdegup, dalam hati, ia bersyukur memperoleh keistimewaan untuk menyaksikan kecantikan perempuan itu secara polos.“Ada apa, mas? Kok tiba-tiba ke sini?”, tanya Novi.Karma terkesiap, terlihat linglung oleh pesona kekasihnya. Cepat-cepat, ia mengembalikan pikirannya, dan berjalan mendekat. Saat itulah Karma menyadari adanya berkas hitam yang samar di bawah kelopak mata Novi. Hati pemuda itu kembali tersayat perih. Gumpalan menyesakkan dalam dadanya kembali memenuhi serupa awan-awan di langit malam itu.“Kamu kenapa?” Karma bertanya seraya meraih pipi Novi. Perempuan itu menggeleng pelan, ia merapatkan tangan Karma ke pipi dengan tangan kecilnya. Sepasang mata itu terpejam seakan mencoba menyerap setiap kehangatan dari tubuh laki-laki tersebut.“Kamu sudah makan?” Tanya Novi setelah membuka matanya kembali.Karma tidak menjawab. Ia mengajak Novi duduk di pelataran teras kost. Karma menggegam erat tangan Novi. Pemuda itu kembali melemparkan pandangannya ke bulan yang menyembul dari pusaran awan. Melihat sikap kekasihnya, Novi menyandarkan kepalanya ke bahu Karma.Agak lama mereka saling membisu, hingga Karma memutuskan untuk mulai bicara,“Maaf…”, suara pemuda itu terdengar lirih.Novi tidak menjawab, hanya mengangkat kepalanya dari bahu Karma dan memposisikan dirinya duduk menyamping untuk menghadap Karma.“Maaf…” Ujar Karma sekali lagi. Suaranya mulai bergetar.Karma coba mengerahkan segenap energi untuk bisa menatap langsung pada mata perempuan di depannya. Dadanya terasa semakin sesak. Novi membelai rambut Karma, memberikannya ketenangan yang seketika menaungi pemuda itu dan membantunya untuk lanjut berbicara.“Saat tahu kamu hamil… kamu tahu apa yang aku pikirkan? Aku memikirkan diriku sendiri. Semua rencanaku, promosi jabatan, rumah untuk orang tuaku.. semuanya… Aku membayangkan semuanya hancur. Aku… aku takut…”, Karma merasakan lidahnya kelu dan lekat, seolah pada setiap kata yang terucap, muncul satu rantai dengan bola besi yang mengekang.“Maaf, kamu harus ikut menanggung ini dengan laki-laki semacam aku.”, ujar Karma.Novi memandang mata Karma lekat-lekat. Kemudian, perempuan berparas kecil dan polos itu mengelus tangan pemuda itu dengan lembut,“Saat tahu aku hamil. Kamu tahu apa yang aku pikirkan?”, Novi bertanya balik.Jemari kecilnya menyelinap di antara jemari Karma, mengaitkannya satu demi satu hingga tangan mereka berdua menjadi satu.“Kamu. Aku takut menjadi penghalang untuk semua rencana yang sering kamu ceritakan ke aku…”, ujar Novi. Karma terdiam. Pertahanannya runtuh. Aliran pelan air mata yang hangat jatuh dari matanya. Dadanya pecah dan meluberkan semuanya. Ia menguatkan genggaman tangan mereka berdua, lalu ia tempelkan dahinya ke dahi Novi.“Maaf.” Ujar Karma.Novi menggeleng, “Umm… Maaf.”Karma meraih bungkusan plastik hitam di kantungnya, dan menunjukkan bungkusan itu pada Novi. Perempuan membuka plastik, dan memeriksa isinya. Reaksi pertama, perempuan itu termenung sejenak memandangi dua pil berwarna putih di tangannya. Ia bolak-balik melempar pandang pada Karma dan pil tersebut. Karma sendiri kehilangan keberanian dan kekuatan untuk menjelaskan. Namun sebentar kemudian, Novi mengangguk. Ia melempar senyum yang begitu jernih pada Karma.“Maaf…”, ujar Karma lagi.Novi menggeleng, berdiri dari pelataran, mencium kening Karma. Ada keraguan yang sekilas tergurat pada wajah itu, sebelum akhirnya Novi menelan satu butir pil putih tersebut. Karma menyaksikan adegan tersebut, di sinari oleh bulan separuh yang menyeruak dari kekangan awan malam.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan