
Sambil menangis, aku mencoba berargumentasi dengan kebencian dalam diriku ; pada akhirnya, aku tetap tidak memaafkannya. Namun, aku juga menolak untuk mengenangnya sebagai sekepal tinju, maupun seulas senyum.
‘Tangan Kurus Ibu’ adalah cerpen ketiga dari rangkaian cerpen lain yang bercakap dalam satu judul ‘Jurnal Langit’
Selamat menikmati… :)
Ia menggapai diriku. tangannya sudah tak sama lagi sejak terakhir kami bertatap muka sepuluh tahun lalu. Waktu dan gaya hidup mungkin telah menyeret kulit sehat berkilau yang dulu ia miliki. Sekarang, dia tak ubahnya ranting kering yang menunggu saat untuk patah, dengan tulang dan urat-urat yang menonjol dari balik kulit pucatnya.
Aku diam terpaku memandangi tangannya yang bergetar mengambang di udara, perlahan mendekati wajahku. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi situasu ini, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus mengingat tangan tersebut : sebagai kenangan indah, atau mimpi buruk.
Ingatan dan kenyataan, pasti memiliki rentang waktu yang berbeda. Rentang jarak beberapa senti antara tangan itu dengan wajahku, memberiku cukup waktu untuk menggali kembali semua memori tentang pemilik tangan tersebut : Ibuku.
Seorang wanita yang hadir dengan dua wajah berbeda; Seulas senyum dan sekepal tinju. Itu yang bisa kuungkapkan untuk merangkumyg sosok ibu.
Sepuluh tahun awal kehidupanku, ia kuingat sebagai perempuan berhati suci yang dengan lembut membelai kepalaku setiap akan tidur, membuatkanku sarapan, dan menungguku pulang dari sekolah. Sepuluh tahun berikutnya, ia menjelma jadi neraka bagi hidupku.
Suatu hari, tanpa isyarat apapun, Ia pulang dalam keadaan mabuk. Saat itu, waktu sudah menjelang pagi. Ibu dalam keadaan yang bahkan nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri.
Hari-hari selanjutnya, kondisi semakin memburuk. Barang-barang aneh mulai bertumpuk dalam rumah. Pakaian-pakaiannya berubah semakin terbuka, warnanya selalu mencolok mata. Tiap hari, selalu ada pria-pria asing yang singgah, bahkan menginap di rumah.
Pria-pria itu kebanyakan berperawakan besar dengan raut wajah kasar. Mereka datang silih berganti, dengan rupa berganti-ganti. Namun, aku ingat ada satu orang yang berbeda. Ia adalah sesosok pria berukuran sedang, bahkan cenderung kecil, dengan kulit putih bersih, dan raut wajah halus. Sangat berbanding terbalik dengan pria lain.
Aku ingat namanya Ikhsan. Om Ikhsan, aku memanggilnya. Aku mengenalnya sebagaI kenalan ibu melalui bisnis jual-beli batik online. Awalnya ia hadir sebagai pelanggan tetap, dan akhirnya berkembang jadi reseller paling produktif. Aku tidak pernah paham bagaimana alurnya, tapi jika aku boleh mengkaitkan, ayah dan ibu mulai sering bertengkar.
Kira-kira, empat bulan lebih lima hari setelah ulang tahunku yang kesembilan, kedua orang tuaku resmi bercerai. Aku sudah cukup besar untuk mengetahui bahwa Om Ikshan berperan dalam perceraian ayah ibuku. Namun, rupanya aku masih tidak cukup tua bagi hakim pengadilan untuk membiarkanku tinggal dengan ayahku.
Anehnya, ayah tidak terlihat sedih atau setidaknya memperlihatkan tanda-tanda ingin bertemu atau mempertahanku. Sampai sekarang, aku masih bertanya, apakah ayah juga membenciku karena tidak melaporkan kedatangan Om Ikshan ke rumah tiap hari. Pada titik inilah, ibuku mulai berganti topeng.
Aku ingat pertama kali ia meninjuku pada saat hari ulang tahunku yang kedua belas. Itu karena, untuk pertama kalinya aku menentang dan mempertanyakan kepergiannya tiap malam, serta keberadaan Om Ikhsan.
Aku tidak ingin terus berpura-pura bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan tiap malam di dalam kamar. Aku sudah mengalami menstruasi pertamaku, dan mendapat penjelasan singkat namun gamblang dari Bu Risyah, guru agama di sekolah tentang makna noda darah itu, serta beban dosa yang mulai saat ini akan kutanggung sendiri.
Diam-diam, aku bersyukur karena tidak lagi membebani ibu atau ayah dengan segala macam perbuatanku, apalagi dengan semua dosa yang sudah mereka lakukan.
Saat pulang di suatu sore, aku mendengar suara gemericik dari kamar mandi. Tampaknya ibu ada di dalam. Aku meletakkan tas, membuka seragam dan rok biru tuaku, lalu berjalan menuju dapur untuk minum.
Saat aku hendak menenggak air dingin itu, pintu kamar mandi terbuka. Dari dalam, keluar sosok ibu dengan tubuh berbalut handuk, dan dibelakangnya mengikuti sosok kurus Om Ikshan yang telanjang bulat.
Aku terkesiap.
Rasa hausku menghilang, dan keringnya tenggorokan kukompensasi secara alamiah dengan menelan air liur. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dan kelihatannya mereka berdua juga merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, Om Ikhsan memilih untuk menyapaku duluan, memecahkan keheningan.
“Sejak kapan pulang, Rina?” Nadanya jelas menunjukkan kecanggungan. Matanya pun tidak berani menatap langsung padaku.
Aku yang tidak tahu harus bertindak apa, akhirnya juga menjawabnya dengan nada sama canggungnya, “Barusan om… anu…”
Belum sempat aku bicara lebih lanjut, ibuku menarik tangan Om Ikhsan dengan kasar, dan menyeretnya menuju kamar. Ia melengos melewatiku. Harum sabun yang khas semerbak menyerang hidungku. Aku memandangnya, tanpa berkata apapun. Lalu, sebelum ibu membuka pintu kamarnya. Ia berkata dengan dingin, “Pakai baju.” Saat itulah, aku sadar hanya mengenakan mini set dan celana dalam.
Malamnya, saat Om Ikshan tidak ada di rumah, dan aku mengajukan keberatanku pada Ibu. Aku memprotes semuanya. Tanpa sadar, aku mulau mengeluarkan semua yang ada dalam pikiranku selama ini, sejak perceraian ayah dan ibu.
Jika diingat, aku tidak pernah bicara dengan muatan emosi sebanyak itu lagi sepanjang sisa hidupku.
Kukira cukup lama aku bicara, dan selama itu Ibu hanya terdiam. Setelah aku berhenti karena kehabisan nafas, Ibu mendekat. Lalu tanpa bicara apapun, tinju Ibu mendarat keras di pipi kananku.
Aku sontak terdorong ke belakang. Tubuhku jatuh tersungkur di lantai yang dingin, dan pipi kananku terasa sebah. Aku merabanya. Perih. Aku melemparkan pandang tepat ke mata Ibuku, mencoba mengerti maksud dari tinju itu.
Namun, di sana aku tidak melihat sedikitpun tanda seperti air mata penyesalan atau rasa bersalah dari sepasang mata wanita paruh baya itu. Perlahan-lahan, sisa emosi yang meluap-luap di dadaku tadi mengendap dan mengeras. Ia menutup sesuatu dalam diriku. Sebagian dari emosi yang tak sempat membeku itu, mendesak keluar melalui mata dalam bentuk beberapa bulir cairan sebening embun.
Setelah ditelan keheningan sesaat, Ibuku berjalan masuk ke kamar. Meninggalkan aku yang masih tergeletak dilantai rumah, yang terasa semakin dingin.
Rupanya, itu adalah hanya tinju pertama yang Ibu layangkan padaku. Sejak malam itu, setiap kali Ibu melihatku sedang bersama dengan Om Ikshan, ia akan menyeretku ke kamar dan akan menghajarku. Aku tidak tahu apa penyebabnya.
Ibu pasti sudah gila, pikirku.
Aku tidak pernah berani pergi ke rumah Ayah, karena aku mengira ia masih membenciku. Hari demi haripun kulewati, dan aku tumbuh dengan memendam semua rasa sakit di akibat tinju Ibu.
Satu-satunya yang bisa kulakukan untuk mengurangi resiko tertinju Ibu adalah menghindari Om Ikhsan sebisa mungkin. Jika dalam beberapa kebetulan kami bertatap muka dan ibu mengetahuinya, dia akan segera menyeretku jauh-jauh.
Neraka itu berlangsung hinga aku menginjak usia 17 tahun. Tubuhku tidak lagi kuat menanggung rasa sakit, dan memutuskan pergi dari rumah. Keputusan itutu dipicu oleh sebuah kejadian di suatu malam yang lain.
Saat itu, sekitar delapan pria asing lagi-lagi berkumpul di rumah. Kali ini mereka menyetel musik dengan irama menghentak ala clubhouse sambil membakar semacam serbuk yang menghasilkan asap putih tebal. Aku mengurung diri di kamar hingga akhirnya terlelap tanpa perduli dengan beat musik tersebut.
Dalam lelap, aku bermimpi buruk. Seekor ular besar hitam mengejarku dalam kegelapan hutan yang pekat. Ia bergerak dengan cepat seakan kerikil, bebatuan, dan ranting hutan tak menjadi halangan bagi laju melatanya.
Aku mencoba berbelok tajam di tengah laju lari, berharap kecepatannya tak mampu mengikuti manuverku. Namun ternyata sia-sia. Ia seolah makhluk yang dirancang untuk memangsa hewan-hewan yang memiliki kelincahan lebih tinggi daripada manusia. Aku tertangkap. Tubuh besarnya melilitku dengankeras, hingga aku dapat merasakan dingin dan licin sisiknya.
Nafasku sesak. Ia menggesek-gesekkan tubuhnya padaku. Gerakannya begitu teratur, namun berirama. Benturan kulit kasarnya dan kulitku menghasilkan sensasi ganjil yang menjalar di bagian dalam tubuh. Rasa geli di bagian-bagian sensitif tubuhku meningkat, menghasilkan sengatan listrik yang kemudian menyerang otakku. Aku mengejang, ototku menegang, dan nafasku semakin sesak. Sesuatu mendesak dari bagian bawah tubuhku.
Aku berada dalam dilema. Di sisi lain aku tidak ingin mengakhiri sensasi tubuh ini, dan di sisi lain lagi, akal sehatku masih cukup punya kekuatan untuk berontak lepas.
BRAK!!
Suara benturan yang keras membangunkanku secara paksa dari dilema. Kesadaranku seperti ditarik kasar kembali ke dalam raga.
Saat kubuka mataku, kudapati sosok Om Ikhsan sudah telanjang bulat, menindihku, dan wajahnya tepat di atas dadaku yang telah terekspos.
Aku terkejut, tanpa bisa mengucapkan apapun. Secara reflek, aku menarik selimut dan menutup dadaku. Aku melihat ke arah pintu, di sana Ibuku juga dalam kondisi hanya berbalutkan selimut berdiri dengan mata meradang ke arahku. Di belakangnya ada seorang pria besar dengan hanya mengenakan celana dalam. Keliatannya, mereka hendak bercinta, saat sesuatu mengganggu Ibu, dan ia merangsek masuk kemari.
Ibu melangkah cepat, menarik Om Ikhsan, dan tanpa sempat kutahan, sekali lagi tinjunya melayang pada pipi kananku. Seperti biasa, aku tidak mengukapkan apapun. Namun, emosi sekali lagi mendidih dalam dadaku.
Aku bangkit, mengenakan pakaian, mengambil tas besar warna biru, mengemasi berbagai barang yang bisa kuambil, dan melangkah keluar dari kamar. Saat aku melewatinya, aku berhenti, menatap matanya dengan tatapan paling tajam yang bisa kuberikan pada orang lain. “Pelacur…”, ujarku padanya.
Setelah itu, aku pergi, dan bersumpah tidak akan menoleh kebelakang lagi.
Sebuah tarikan kecil menarikku kembali pada realita. Tangan kurus itu telah menggapaiku. Jemari telunjuk dan ibu jarinya menggantung lemah di kemeja putih yang kukenakan.
Aku menguatkan diri, memandangi wajahnya, dan masih tak tahu wajah ibu yang mana yang harus kuingat.
Kualihkan mataku dari raut tua Ibu menuju jendela yang tembus ke halaman parkir rumah sakit. Di sana seharusnya Dinda menunggu dalam mobil sedan putihnya. Setelah kecupan singkat untuk pamit, aku berjanji tidak akan lama.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat 8 menit. Sudah sepuluh menit lebih aku berada di sini, lebih lama dari perkiraanku.
Dari jendela, aku kembali menatap wajahnya. Pada saat itulah, untuk pertama kali setelah dua puluh tahun, aku melihat Ibu tersenyum padaku. Seulas senyum yang tergurat lemah, dan dengan jelas menandakan akhir kehidupan yang semakin dekat.
Tangannya masih gemetar, namun berusaha untuk tetap menggantung pada kemeja putihku. Sebuah perasaan yang tak mampu kujelaskan menyergap. Tanpa perintah, aku menggenggam tangan Ibu dengan lembut, mengangkatnya perlahan dan menciumnya.
Terkejut dengan tindakanku sendiri, aku memilih perasaan yang telah lama mengeras menuntun diriku. Kuciumi dan kuhirup bau tangan Ibuku, seakan aku hendak menyerap semua yang tersisa dari energi kehidupannya yang mulai redup.
Aku ingin mengingat bau ini, bau orang yang pernah kutahu pernah menyayangiku, setidaknya di masa awal kehidupanku. Lalu aku mendekat dan kuciumi wajah Ibu; pipi dan dahi, kukecup mereka bergantian dengan lembut berkali-kali. Tanpa sadar, air mataku mengalir membasahi wajahnya.
Ia tidak menolak, atau mungkin tak ada kekuatan untuk menolak. Aku menangis, setelah sekian lama, dihadapan orang yang kuanggap neraka. Aku menangis begitu keras, hingga tak mengeluarkan suara apapun.
Sambil menangis, aku mencoba berargumentasi dengan kebencian dalam diriku ; pada akhirnya, aku tetap tidak memaafkannya. Namun, aku juga menolak untuk mengenangnya sebagai sekepal tinju, maupun seulas senyum.
Ini semata demi keadilan. Aku akan menghapusnya, dan untuk kebaikan kami berdua, terutama diriku, aku akan coba mengingatnya sebagai manusia yang sama : dua wanita berdosa yang mencoba mengisi salah satu babnya dengan keindahan. Dan manusia itu, bagaimanapun, adalah Ibuku.
Saat jam kunjungku berakhir, aku melangkah gontai dengan sesuatu yang hilang dalam diriku. Aku berjalan dengan pandangan yang menerawang pada langit-langit lorong rumah sakit.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
