Andai #CeritadanRasaIndomie

0
0
Deskripsi

Awan (27 tahun) mengutuk dirinya. Saat ini, perasaannya terbelah antara Nova, tunangannya, dan Lim, wanita yang selama ini ia anggap sahabat. Perjalanan pulangnya adalah untuk menemukan jawaban.

Serpih – serpih mimpi itu berkumpul dan tersusun seperti putaran waktu mundur dari mozaik yang pecah. Kini aku bisa mengingat wajah itu. Wajah dari gadis yang kerap hadir di dalam mimpi-mimpiku. Dia mengenakan gaun pernikahan yang menunjukkan bahu putih bersinarnya. Rambutnya yang bak kain sutra berwarna hitam selegam malam, tersanggul cantik di belakang kepala. 

Gadis itu adalah Lim.

Dia berjalan mendekat ke arahku yang masih terpukau. Setiap langkahnya menguraikan bentuk seni yang mendebarkan jantung. 

Lim kini berdiri tepat di hadapanku, hanya sejauh jangkauan tangan.

Bunyi berisik dari kereta menarikku kembali pada dunia nyata. Aku tersentak, menoleh ke sana kemari untuk mengumpulkan kesadaran. Aku ingat kalau aku sekarang berada di atas kereta express menuju Surabaya. 

Kulempar punggungku pada sandaran kursi, dan mencoba memejamkan mata. Kejadian malam itu di dalam kamar Kos Lim berkelibat. Bayangan mimpi yang kerap mendatangiku itu pun masih kuat meninggalkan rasa. Rasa yang begitu ngilu dan menekan ini terus bertahan sejak aku terbangun pagi tadi.

Mataku nanar. Janjiku pada Nova sudah terlanggar. Tidak mungkin aku menceritakan kejadian ini padanya.

Ibu menyambutku di depan pintu rumah. Begitu melihat raut wajah ini, Ibu tersenyum dan mendekapku dengan erat.

“Selamat pulang, Awan.”

Aku mempererat pelukanku pada ibu. Di bahunya yang rapuh dan mengecil, aku menangis.

Setelah meletakkan barang, dan memberesan diri. Ibu mengajakku untuk duduk di Ruang Keluarga. Aku bersimpuh di paha ibu, dan mulai menceritakan semuanya dengan jujur, tanpa kurang suatu apapun. Ibu, seperti biasa, tetap terdiam sambil mengusap-usap rambutku.

Setelah mendengar semuanya, ibu berdiri, dan berjalan tertatih menuju dapur.

“Kamu lapar, Wan?”

Aku tidak tahu lagi.

Ibu melanjutkan langkahnya. Karena khawatir, aku mengikuti ibu. Dia mengambil 2 bungkus Indomie rebus rasa ayam bawang, dan dua butir telur. Ibu mengisi air di panci, lalu meletakkanya di atas kompor, berdampingan dengan sebuah wajah yang telah dituangi sedikit minyak. 

Aku memandangi ibu dalam diam. Meski tubuhnya sudah begitu lemah, ia masih cekatan di dapur. Aku duduk di tepi pintu dapur, memandanginya memasak. Setelah mie matang, ibu mengangkat panci perlahan, menuangkan mie ke dalam sebuah mangkok putih besar, memasukkan bumbu dan mengaduknya hingga seluruh cita rasa Indomie teresap rata ke dalam kuah mie. Tak lupa ibu menggoreng telur, dan membuat telur orak arik, dan menaburkannya di atas mie yang mengepul.

“Ayo makan dulu.”, ajak ibu.

Aku menurut. Aroma  menggoda Indomie rebus yang masih hangat menarik rasa lapar yang tidak kusadari sejak dari Jakarta. Bumbu yang pas meresap sempurna ke dalam kuah dan mie, menciptakan decap rasa yang menggiurkan. Untuk sejenak, aku terlupa akan kegundahan ini.

Ibu duduk di hadapanku sambil tersenyum. 

Setelah satu mangkuk mie tandas, aku menenggak segelas teh manis hangat. 

“Sudah tenang?”, tanya ibu. Aku mengangguk.

Ibu berdiri, dan mengambil mangkuk dan gelas kotor dari hadapanku. 

“Bu, biar aku…”

Ibu menyela, “ Sudah, kamu duduk aja.”. 

Pelan-pelan ibu berjalan ke dapur, aku mengikutinya dari belakang. Sambil mencuci piring dan gelas itu, ibu berucap,

“Kamu anak yang baik hati, Awan. Kamu perasa, terlalu perasa kalau ibu bilang…”

“Kamu akan menangis saat melihat hewan di balik kerangkeng Kebun Binatang. Kamu marah saat ada orang yang diabaikan, atau terluka. Karena terlalu perasa itu, kamu sampai trauma  berhubungan dengan orang lain. Jujur ibu sempat khawatir, waktu kamu pernah bilang tidak akan menikah seumur hidup.”, ujar ibu sambil tertawa.

Aku ingat itu. 

“Karena itu kamu gak bisa bayangin betapa bahagianya ibu saat kamu akhirnya datang membawa Nova ke hadapan Ibu. Karena itu berarti kamu sudah menemukan orang yang ingin kamu lindungi seumur hidupmu”

“Tapi Awan sudah mengkhianati Nova, bu. Awan juga…”

Ibu menyela, “Awan… manusia bisa mencintai lebih dari satu orang. Itu bukan kesalahanmu. Tapi memang seperti itulah hati.”, ibu mengusap tangannya dan berjalan mendekatiku.

Setelah memandangiku, ibu duduk bersimpuh hingga wajah kami berhadapan,

“Yang ibu ingin tanyakan ke kamu, diantara mereka, bukan siapa yang paling ingin kamu lindungi. Tapi siapa yang kamu rasa bisa melindungimu, menemanimu, dan menutupi seluruh kekuranganmu? ”

Ibu mengusap pipiku. Aku tertunduk. Diam merenung. Ibu berdiri dan meninggalkan untuk berpikir sendiri. 

Malam hadir. Suasana rumah telah banyak berubah, tapi masih dapat kulihat jejak-jejak masa lalu yang menjadi tempat aku tumbuh. Saat melihat tumpukan buku-buku lama, dan tulisan ku yang ibu tata rapi di atas meja belajar, aku menyadari bahwa waktu telah menyeretku begitu jauh.

Tidak pernah ada pilihan, karena mereka berdua bukan pilihan. Kami bukan lagi anak-anak yang terus bersembunyi dan bermain. Pada saat seperti inilah, kurasa, kejujuran menunjukkan taring.

Aku mengambil handphone dan melakukan panggilan. Tak butuh waktu lama, seseorang mengangkat panggilanku.

“Halo…”, suaranya yang lembut menggetarkan sanubari. Aku menarik nafas.

“Kita harus bicara.”

*******

Juni datang seperti patok titik balik kehidupan. 

Di sinilah aku, di sebuah Izakaya di Jakarta Barat, menghadapi beragam masakan jepang yang nikmat. Curry katsudon, chawanmushi, sushi, tempura, dan beberapa menu lain. Di depanku Lim duduk dengan anggun sambil menyendok chawanmusi pesanannya.

Kami berbincang tentang banyak hal, termasuk persiapan pernikahannya yang semakin dekat. Aku juga bicara tentang bagaimana aku terbang ke Ketapang untuk menemui Nova, dan menceritakan semua kejadian malam itu tanpa sensor sedikitpun. Nova tak bereaksi selama aku berbicara, namun begitu selesai, dia menamparku keras sebanyak lima kali. 

“Maaf…”, gumam Lim merasa tidak enak. 

“Tidak apa. Dengan ini, aku tidak perlu merasa bersalah lagi. Dan hubungan kami berjalan normal seperti sedia kala.”, ucapku menenangkannya.

Lim tersenyum.

Selesai makan, kami menaiki mobil untuk pulang. Tapi ketika mencapai jalan di sekitar Stasiun Sudirman Lama, Lim bersuara,

“Kita berhenti di sini aja ya.”

“Kenapa?”, tanyaku.

“Kita jalan kaki sebentar.”

Kamipun turun tepat di depan Supermarket tempat di mana dulu kami tidak sengaja bertemu saat hujan. Sambil berjalan menuju tujuan masing-masing, kami saling melempar tawa ringan.

Tiba-tiba, Lim berhenti melangkah, dan berbelok ke tepi trotoar. Ia hanya berdiri di sana memandangi jalan dengan kedua tangannya tersimpan hangat di dalam saku jaket. Tanpa banyak kata, aku mengikutinya.

Suasana Sudirman yang riuh membuat keberadaan kami berdua tidak terlalu mencolok. Mungkin justru itu yang kami berdua butuhkan.

“Aku mencintaimu, Awan, dan aku sadari perasaan itu bukan sekedar pelarian.”, ujar Lim secara mendadak tanpa mengalihkan matanya dari jalan. 

Jantungku berdegup. Kupandangan lekat-lekat imej samping dari wanita cantik di sebelahku ini. 

Aku berbalik menghadapi Lim, dan berkata dengan terang,

“Aku juga mencintaimu Lim, dan aku tahu perasaan ini sama sucinya dengan perasaanku terhadap Nova.”

Lim tertawa. “Laki-laki macam apa yang terang-terangan mengaku mencintai dua wanita di depan mereka, dan masih berani menyebut perasaan itu suci?”

Aku mengankat bahu, “Setidaknya aku tahu aku ingin melindungi kalian berdua. Tapi…”

“Tapi, kamu tahu dari siapa kamu ingin dilindungi, kan?”, sela Lim. Aku tersenyum.

Kami terdiam sebentar. Sebuah sepeda motor melaju di depan kami dengan bunyi raungan yang berisik. Lim berbalik menghadapku. Ia mengadahkan wajah, dan menatapku lekat-lekat.

“Beritahu aku, andaikan kita menyadari perasaan ini sedikit lebih awal, apa yang kamu lakukan?”

Aku bisa melihat pantulan cahaya dari mata Lim yang jernih. Tubuhnya tampak begitu kecil, dan rapuh di balik balutan jaket tebal. Iluminasi kota yang menerpa wajahnya menambah impresi kecantikan tak kentara dari paras yang tidak boleh kusentuh.

“Aku tidak tahu.”, jawabku dengan berat.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya ANDAI (PART I) ~ VERSI UTUH
0
0
Mimpi itu laksana pasir, yang luruh tak perduli sekuat apapun aku menggegamnya dengan erat…Serpih – serpih mimpi itu berkumpul dan tersusun seperti putaran waktu mundur dari mozaik yang pecah. Kini aku bisa mengingat wajah itu. Wajah dari gadis yang kerap hadir di dalam mimpi-mimpiku….Hai, Aku yakin tidak banyak yang mengingatku.Sudah lama tidak berbagi tulisan di sini. Tidak disiplin adalah penyakit kronis yang menjangkiti diriku sejauh aku bisa mengingatnya. Tapi akhir-akhir ini banyak hal terjadi dalam hidup, dan aku memutuskan untuk menemukan kembali diriku dalam kata.Singkat cerita… cerita yang kubagi pada teman-teman ini adalah cerpen yang sama yang kuikutsertakan dalam lomba kolaborasi Karyakarsa x Indomie, tapi kali ini adalah versi aslinya; versi yang utuh. Ada lebih banyak konflik, bukan melulu soal romantisme, juga penggambaran karakter yang menurutku, lebih detail pada versi yang ini. Aku menyadari tulisan ini terlalu panjang, dan memutuskan untuk membaginya dalam 2 part. Jadi… selamat membaca, dan mohon dukungannya semua.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan