Juli dan Setelahnya - BAB 14: Berdebat Di UKS

8
0
Deskripsi

Notes:

Karena pekan kemarin aku lupa untuk update, jadi pekan ini aku buka chapter 14 untuk kalian! Selamat membaca <3

BAB 14: Berdebat di UKS

Amanda Desnaya: Udah nggak usah dipikirin Li

Amanda Desnaya: Asumsinya cuma dua

Amanda Desnaya: Antara dia emang berlagak bego karena lo tolak, atau dia berlagak bego karena emang omongan yang kemarin cuma bercanda

Amanda Desnaya: Bagus gak lo terima tu orang

***

Omongan sahabatnya adalah apa yang Juli pegang sampai beberapa hari ke depan sejak sehari setelah Neo mengajaknya berpacaran, walau rasanya setiap kali melihat Alia ia ingin sekali meluapkan tentang hal itu. Neo pun sudah tiga hari tidak mengunjunginya lagi di kelas. Setiap kali mereka berpapasan di koridor atau di kantin, mereka hanya bertukar pandang dan berlalu.

Hari ini kelas yang dicoret-coret Neo akhirnya dicat lagi. Meskipun tidak menjadi bahan perbincangan yang meriah, tapi kabar itu dengan sangat cepat merambat dari mulut ke mulut. Juli mendengarnya begitu ia masuk ke kelas dan menaruh tasnya di kursi. Alia yang memberi tahu, dan berita itu dikonfirmasi oleh Nindi.

“Bagus dong?” hanya itu respon yang menurut Juli paling masuk akal.

“Eh Al, tapi lo pernah denger nggak sih kabar-kabar dari tahun kemarin, katanya orangtua Neo tuh banyak kasih uang ke sekolah, jadi—”

“Oh, pernah denger tuh gue!” Alia langsung merespon dengan bisikan yang menggebu.

Juli, di tempatnya, hanya diam menyimak. 

“Lo percaya nggak sih Li, selama kita sekolah di sini, hukuman paling parah yang pernah dikasih ke Neo itu ya yang terakhir kemarin, yang dia diskors.”

“E—emang harusnya gimana?” 

“Ya harusnya mah hukuman skors itu udah dari sebelumnya pernah dikasih.”

“Separah itu ya?” suara Juli kedengaran hati-hati sekaligus penasaran. 

 “Dia tuh sering bolos tau. Udah gitu setau gue UAS kelas sebelas kemarin ketauan nyontek deh, dari HP. Seharusnya nilai ulangan langsung nol. Tapi nggak tau deh gue sekarang, beneran nilai UAS-nya nol apa enggak.”

“Nyontek? Emangnya Neo bego?” tanya Juli. “Ma—maksudnya,” ia buru-buru mengoreksi sebab jadi tidak enak hati memilih kata itu. “Emangnya—”

“Iya paham-paham. Enggak juga sih.”

“Terus kenapa dia nyontek?”

“Yah, paling males aja. Atau emang niatnya biar ketauan.”

“Hah? Mana ada orang pengen ketauan nyontek?” Juli tidak percaya. 

“Wah, cuma Tuhan yang tau sih ya,” kata Alia. “Kita doain aja mudah-mudahan nggak ada lagi itu anak tingkahnya.”

Bicara soal Neo, lagi-lagi Juli merasa lidahnya gatal. Perdebatan batin yang terjadi berakhir untuk tidak menceritakan sama sekali. Juli sadar jika informasi itu keluar dari mulutnya, kemungkinan besar dengan cepat seisi kelas bisa tahu. Parahnya informasi itu bisa berpindah ke kelas sebelah, ke kelas yang sebelahnya lagi, dan seterusnya.

Bel berbunyi sebelum guru mata pelajaran masuk ke kelas. Suasana langsung kondusif, semua buku terbuka di atas meja. Walau sesekali Juli sempat bertanya apa saja kenakalan yang pernah Neo lakukan yang tidak ia ketahui, tapi perempuan itu masih bisa mengikuti proses belajar dengan baik hingga bel pergantian berdering. Guru bertukar posisi, para murid menyerap yang lain. Kali ini Juli tidak memikirkan siapa-siapa, ia fokus belajar. 

Saat jam istirahat, perempuan itu bergegas ke kantin bersama Alia dan Nindi. Tidak ada yang bermain basket di lapangan sebab hari ini bola yang dilempar dari satu pemain ke pemain lain menggunakan kaki. Juli sempat menoleh dan melihat siapa tahu ada wajah yang ia kenali di sana. Ternyata tidak. Mungkin karena futsal bukan olahraga yang di—

BUK! 

“JULI!”

Telinga Juli berdengung. Wajahnya kebas. Hidungnya berdenyut-denyut dan matanya terpejam. Juli takut melihat ke sekeliling, namun ia merasakan teman-temannya mendekat. 

“Astaga Juli, Juli lo mimisan!” Nindi histeris.

“Hah?” Juli masih menutup matanya. Ia tidak tahu dirinya sekarang menjadi pusat perhatian banyak orang. 

“Li? Li?” Di antara suara-suara yang lain, Juli mendengar suara laki-laki mendekat ke arahnya. “Ke UKS ke UKS! Misi dong!” suara itu terdengar sangat khawatir. “Li lo bisa jalan kan?”

Juli masih enggan membuka matanya. Keseluruhan wajahnya ngilu. Sambil meraba-raba Juli merasa tangannya berpindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Ia tidak tahu siapa yang memeganginya. Kepalanya mulai pusing. Lalu tiba-tiba tubuhnya terangkat seperti balita yang hendak dipindahkan ke kasur dari depan TV. Juli masih melihat hitam. Bibirnya basah terkena darah. 

“Ambil tisu! Tisu!” Suara yang sama menyerukan perintah. “Juli. Astaga lo pingsan ga sih?” 

“Nggak kok,” jawab Juli. “Ini siapa?”

“Bara. Mata lo kenapa? Sakit?”

“Nggak apa-apa, nggak mau melek aja.”

“Hah?”

“Malu.”

“Ya ampun Li.”

“Asli gue malu. Kita di UKS?”

“Li lo pusing? Lo mau muntah nggak? Anjir, mana kenceng banget lagi!” Suara Alia masuk dari pintu. “Orangnya di luar tuh, nungguin. Mau minta maaf. Li! Lo nggak pingsan kan?”

“Nggak kok, nggak. Gue pusing aja.”

“Siapa Al yang nendang?” tanya Bara. Suaranya dingin. “Anak kelas sebelas?”

“Iya, si Haris.”

Tanpa disuruh untuk beranjak dari tempatnya, Bara keluar menemui Haris.

Alia dan Nindi segera bergantian memberi perhatian kepada Juli dengan mengganti tisu yang sudah kotor dan mencari wadah untuk diisi air hangat. Mereka berdua tidak tahu apa yang dibicarakan Bara di luar, hingga tak lama kemudian laki-laki itu masuk berdua dengan adik kelasnya.

Juli sudah membuka mata. 

“Maaf ya Kak, gue nggak sengaja.”

“Iya nggak apa-apa kok,” jawab Juli. “Apa-apa sih, cuma ya pasti namanya orang main bola kan nggak ada yang tau bakal ada kecelakaan kayak gini.”

Di tempatnya berdiri, Bara samar-samar tersenyum mendengar respon tersebut.

“Lain kali hati-hati!” cerocos Nindi. “Lo nendangnya pake kekuatan dalem sih jadi kenceng banget.”

“Ya kan namanya juga main bola Nin! Masa nendangnya pelan. Mending lo main kelereng,” sahut Alia.

“Kelereng mah pake tangan.” Bara menambahi. 

“Yaudah-yaudah, nggak apa-apa. Udah, lo main aja lagi.” Juli bicara kepada Haris.

“Iya Kak, cepet sembuh ya.”

“Iyaaa,” Nindi, Alia, dan Bara menyahuti berbarengan.

Haris kemudian keluar dari UKS, bergabung lagi dengan teman-temannya. Setelah pintu tertutup Juli juga menyuruh teman-temannya untuk pergi ke kantin ketimbang menunggui di ruangan itu. Meski awalnya Nindi dan Alia menolak, namun paksaan Juli akhirnya manjur juga. Alia janji akan belikan makanan untuk Juli supaya temannya itu juga bisa makan. 

Setelah Juli ditinggal, Bara memilih untuk menetap. Laki-laki itu menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang UKS. Ia menunggui Juli yang masih mendongakkan kepalanya supaya darah dari hidung berhenti. Kedua tangannya terlipat di depan dada. 

“Lo nggak pusing apa?”

“Pusing…”

“Sakit nggak?”

“Aduh, Bar,” Juli menoleh ke lawan bicaranya. “Masa gue berbahagia nih kegebok bola,” jawabnya sarkas. 

Bara tertawa kecil. “Iya-iya, tapi maksud gue lo perlu obat supaya cepet baik-baik aja nggak?”

“Nggak usah, nanti juga ilang kok.”

Laki-laki itu mengangguk, lalu mengambilkan tisu yang baru untuk Juli. “Nih.”

“Trims. Oh iya gue sampe lupa,” Juli masih memegangi tisu di hidungnya. “Makasih ya udah bawa gue ke sini. Gue berat ya?”

“Li, lo lagi mimisan abis kegebok bola, terus yang lo tanya ke gue adalah lo berat apa enggak?”

“Ya... kan—”

“Berat atau nggak, kalau gue harus bawa lo ke sini gue pasti bawa lo ke sini.”

Mendengar jawaban itu dari mulut Bara, Juli tidak bekutik sama sekali. Yang ia jelas rasa adalah debaran jantungnya berubah cepat. Tatapannya berbalas. Perempuan itu diam memegangi tisu dan Bara duduk tidak mengatakan apa-apa setelahnya.

Tiba-tiba pintu UKS terbuka dengan kasar. 

“JUL! LO KENAPA?” 

Tanpa mengetahui siapa yang sedang menunggui Juli, Neo mendekati ranjang UKS dan melihat tisu-tisu yang sudah bernoda darah. Laki-laki itu terbelalak, dari wajahnya kelihatan jelas ia terkejut dan khawatir. Napasnya yang tersengal-sengal memberitahu bahwa ia lari untuk bisa ke sini. Neo menelungkup wajah Juli dengan kedua tangannya, memeriksa jika ada sesuatu yang salah dari perempuan itu. 

“Aw!”

“Yo!” Bara seketika menegakkan tubuhnya. 

“Loh, kok ada lo di sini? Ngapain lo?” tanya Neo langsung ketika ia sadar ada Bara di ruangan itu. 

“Neo,” gumam Juli sangat pelan. “Dia yang bawa gue ke sini tadi abis gue kena bola.”

Tak memerdulikan Bara, perhatian Neo kembali kepada perempuan di dekatnya. “Lo kok sampe mimisan gini sih? Pusing? Mau muntah nggak? Idung lo patah?”

“Aduuuh, apaan sih?” Juli melepaskan wajahnya dari kedua tangan Neo. “Gue nggak apa-apa!”

“Nggak apa-apa gimana? Itu darah lo semua!” tunjuk Neo ke tisu yang belum dibuang.

“Namanya juga mimisan,” kata Juli. “Udah dong, jangan teriak-teriak bisa kan...” suaranya melembut. “Yuk pelan-pelan yuk ngomongnya.”

Neo menghela napas. “Siapa yang nendang bola nya? Tolol—”

“Haris, dia udah minta maaf kok.” Bara langsung menyahuti. Suaranya kedengaran agak beda dari sebelum-sebelumnya ia bicara dengan Juli. “Juli udah maafin juga.”

Suasana seketika berubah canggung. Juli menatap Neo dan Bara bergantian dan di kepalanya muncul pertanyaan kenapa dua laki-laki itu seperti hendak memulai pertarungan. Inginnya mereka berdua segera pergi. Juli berdeham dan mengumpulkan tisu-tisu yang hendak dibuang. Perempuan itu turun dari ranjang. 

“Udah-udah, bubar.” Tisu sudah ia buang ke tempat sampah tertutup. “Gue mau balik ke kelas, kalian mau di sini?”

“Ngapain ke kelas sih lo? Udah istirahat di sini aja!” ujar Neo.

“Ayo Li, gue anter.”

 Juli terdiam sejenak dan melirik kedua laki-laki yang tampaknya sebentar lagi akan saling cakar jika tidak ada yang memaksa mereka untuk benar-benar pergi. Perempuan itu mulai bingung, tapi ia tidak bisa juga berlama-lama di UKS bersama Neo dan Bara. Apa sih yang membuat mereka terasa aneh begini? Keduanya memang berasal dari jurusan yang berbeda, IPS dan IPA. Ah tapi itu sudah kuno, kan? Masa iya sampai sekarang beda jurusan masih jadi perkara?

“Lo berdua kenapa sih? Mending selesaian dulu deh, nih, kalau ada urusan, ya?” Juli agak-agak takut salah bicara. “Apa kita mau keluar aja bertiga? Apa gimana nih....?” meski sangat payah, tapi ia masih berusaha untuk mencairkan suasana. 

“Yaudah, sini gue anter ke kelas. Kelas lo juga kan deket sama kelas gue.” Kata-kata Neo terdengar menyebalkan. 

“Nggak usah dianter-anter kali ya?” Dari pada merasa tidak enak dengan salah satu dari mereka, lebih baik Juli menolak tawaran keduanya, kan? “Gue bisa sendiri kok.”

“Yakin?” tanya Bara.

“Kalo ada apa-apa gue deket kok.” Neo tidak mau kalah.

“Aduh, guys! Lo berdua kenapa sih?”

“Nggak apa-apa.” Sahut keduanya berbarengan, yang justru semakin meyakinkan Juli bahwa mereka ada apa-apa. 

Tidak mau memperpanjang lagi, Juli hanya menghela napas sebelum perlahan-lahan meninggalkan ruangan. Ia melangkah menuju kelasnya, menahan rasa sakit yang masih terasa sekaligus rasa penasaran yang sedikit-sedikit mulai mengusik ketenangan. Di pertengahan jalan Juli iseng menoleh ke belakang. Sialnya, dua lelaki itu benar-benar membuntutinya. Juli menghela napas sembari kembali menghadap ke depan. 

Sudah pusing tersenter bola, pusing juga memikirkan mereka berdua.

*** 

Sepulang sekolah ketika Juli tiba di rumah, Mama langsung sadar ada yang tidak beres dengan wajah anak perempuannya. Hidung Juli terlihat agak membiru. Lantas Juli memberi tahu kalau saat istirahat tadi ia tergebok bola futsal dari arah lapangan ketika hendak ke kantin. Pusing yang dirasa sudah hilang, tapi hidungnya masih terasa sakit samar-samar. 

Juli langsung mandi. Ponselnya yang habis baterai ia tinggal tersambung dengan kabel pengisi daya sampai ia selesai berpakaian. Sambil mengeringkan rambutnya, Juli mengambil ponsel itu dan melihat pemberitahuan yang masuk; pesan-pesan dari Naya, Alia, Neo, dan Bara. Ia membacanya satu persatu. 

Amanda Desnaya: HAH? KEGEBOK BOLA???

Juli menunda niatnya untuk langsung membalas. Ia membuka pesan dari Alia. 

Amirah Alia: Mending kalo lo masih pusing gitu besok nggak usah sekolah ajaaa

Lagi-lagi, Juli tidak langsung memberikan balasan. 

Neo Rivaldi: Udah sampe rumah? 

Neo Rivaldi: Knp ga mau pulang ama gue sih?

Neo Rivaldi: Kabarin kalau udah nyampe

Neo Rivaldi: Lo nyasar apa gimana dah

Neo Rivaldi: Panjul

Juli menghela napas, kali ini ia balas pesan yang dibacanya. 

Noreena Juli: Udah sampee

Tak sampai lima detik pesannya langsung dibalas Neo. 

Neo Rivaldi: Lama amat? Macet? 

Noreena Juli: Batre gue abis tadiiii, gue charge dulu

Sebelum pesannya keburu dibalas Neo, Juli membuka pesan dari Bara. 

Bara Arrasyd: Udah nyampe Li?

Juli membalasnya.

Noreena Juli: Udaah, dari tadi sih tapi gue nggak ngecek hp

Pesan yang selanjutnya harus Juli balas adalah pesan Naya dan Alia. Kemudian, ia beranjak dari kasur dan menjemur handuk. Balasan langsung masuk ke ponselnya dari Naya.

Amanda Desnaya: Berarti ini pertama kalinya kalian ngobrol lagi ya?

Noreena Juli: Iyaa

Noreena Juli: Ibaratnya kejadian hari senin itu kayak gue yang mimpi

Noreena Juli: Soalnya bener2 nggak pernah dibahas lagi sama sekali

Noreena Juli: Anehnya gue kadang2 masih kepikiran Nay

Noreena Juli: Wajar nggak sih?

Amanda Desnaya: Wajar2 aja sih

Amanda Desnaya: Kalau gue di posisi lo gue sih lebih ke kesel ya

Amanda Desnaya: Tp ya jadi makin clear aja kalau dia ngajak lo pacaran grgr sebelumnya Bara ngajak lo pergi

Amanda Desnaya: Mungkin aja pada saat itu pola pikirnya Neo adalah dia nggak bisa larang2 lo pergi sama siapapun ya karena emang apa haknya

Amanda Desnaya: Makanya tuh dia langsung ngajak lo jadian

Amanda Desnaya: Kalau lo udah pacaran pasti lo nggak bisa pergi2 lagi sama Bara

Amanda Desnaya: Gegabah aja grgr cemburu

Amanda Desnaya: Yang kayak gitu jangan diturutin nanti kl udah jadian dia bakal biasa aja

Amanda Desnaya: Gue kayak sotoy ya tapi lo inget kan ceritanya si Manda sama Rizky??

Juli tertegun mengingat kisah teman sekelasnya dulu.

Noreena Juli: Iyaaa

Amanda Desnaya: Kalau ada apa2 cerita sm gue!

Amanda Desnaya: Jangan disimpen sendiri kita udah jarang ketemu gue jd ga bisa memantau langsung

Noreena Juli: Wkwk iya Nay gue pasti cerita sama lo!!

Noreena Juli: Temen sebangku gue juga nggak tau kalau Neo nembak gue

Amanda Desnaya: OH lo nggak bilang2 ke Amira?

Amanda Desnaya: Siapa tuh temen sebangku lo gue lupa

Noreena Juli: Alia

Noreena Juli: Nggak Nay

Noreena Juli: Mending nggak usah ada yang tau

Noreena Juli: Sama sekali

*** 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Juli dan Setelahnya - BAB 15: Perkara Roti dan Tiket Konser
12
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan