
Juli adalah seorang anak pindahan dari Tangerang. Cuma pindah ke Bekasi, sih. Jadi ia tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan suasana sekolahnya yang baru. Teman-temannya juga baik, hangat menyambutnya. Tetapi kemudian ia bertemu dengan Neo yang ternyata baru masuk sekolah lagi setelah masa skorsnya selesai. Pertemuannya cukup singkat, dan lumayan bikin malu. Sialnya, setelah itu Neo tidak pernah berhenti membuntuti Juli. Perilakunya yang selalu tidak kehabisan akal membuat Juli hampir meledak...
BAB 1 - Sekolah Baru
Ada beberapa hal yang Juli khawatirkan setelah ia diberitahu bahwa keluarganya akan pindah ke Bekasi. Pertama, ia pasti akan pindah sekolah; Juli malas beradaptasi lagi. Kedua, malas beradaptasi membuat ia khawatir tidak punya teman. Ketiga, konsep tidak punya teman membuat ia membayangkan dirinya menjadi tipe orang yang kesehariannya diam saja di pojok belakang kelas, kesulitan mendapatkan informasi, dan tidak ada yang mau mengajak dia untuk ikut serta dalam mengerjakan tugas kelompok. Selain itu... ia tidak mau kehidupan sekolahnya berubah menjadi hal yang runyam. Juli pernah beberapa kali baca cerita fiksi remaja yang dibaca adik perempuannya tentang anak baru yang suka direcoki oleh Si Pembuat Onar di sekolah. Dan setiap kali membaca itu, ia selalu berharap tidak akan pernah mengalaminya.
Sejak masuk sekolah hari pertama di SMA Pelita Bangsa, satu persatu kekhawatiran itu mulai berguguran. Juli masuk ke kelas barunya, mengenalkan diri, lalu duduk di sebelah perempuan berkerudung bernama Alia yang parasnya hampir membuat Juli heran di tempat. Alia sangat cantik sampai Juli berasumsi kalau Alia adalah perempuan paling cantik di sekolah itu. Setelah berkenalan dengan Alia, beberapa anak murid juga mengajaknya berkenalan saat jam istirahat dan mereka makan siang di kantin. Dari situ, Juli mulai yakin kalau hidupnya di Bekasi tidak akan jauh berbeda dengan hidupnya saat di Tangerang. Ya, walaupun masih sama-sama sekitaran Jakarta, sih. Teman-temannya asik, baik. Ia berharap kehidupan sekolahnya akan berjalan mulus hingga lulus nanti.
Hari ini Kamis, hari keempat Juli menjalankan rutinitas ke sekolah. Semuanya terasa biasa saja sejak ia memijakkan kaki di parkiran. Namun ketika langkahnya menelusuri koridor kelas, ada sesuatu yang berbeda. Suasana begitu ramai, seolah hampir semua murid keluar dari masing-masing kelas untuk mencari kebenaran dari gosip yang menyebar dengan cepat. Samar-samar, Juli mendengarkan sambil terus berjalan. Katanya, Neo sekolah lagi.
Juli tertegun sejenak, Neo siapa?
Pertanyaan itu spontan keluar dari mulutnya kepada Alia tepat saat ia meletakkan tas di atas meja. Alia yang sedang membenarkan kerudung sambil bercermin di mejanya pun menoleh ke Juli. Namun belum sempat Alia menjawab, Intan tiba-tiba masuk ke kelas dengan sangat antusias sambil berseru.
"GUYS, GUYS, GUYS! NEO MASUK SEKOLAH LAGI!"
"SUMPAH?" balas anak-anak yang ada di ruangan, terkecuali Juli.
"Neo siapa, sih?" Juli makin penasaran.
"Astaga, Li! Masa lo nggak tau Neo?"
Tampang Juli berubah bingung. "Gue kan baru tiga hari sekolah di sini. Mana… gue tau?" protesnya. "Neo tuh siapa?"
"Astaga, lupa gue. Waktu lo masuk sekolah, Neo diskors tiga hari."
“Dan?”
"Lo tanya, dong, kenapa dia bisa sampe diskors!"
"Yaudah, kenapa?"
"Sini ikut gue!" Alia berdiri, menarik tangan Juli hendak membawanya ke suatu tempat.
"Eh, mau ke mana?" Juli yang diseret mau tidak mau langsung berdiri dan mengikuti langkah Alia. "Al!"
Perjalanan mereka berhenti di lantai tiga gedung sekolah, di depan kelas yang pintunya ditutup. Juli yakin kelas di depannya sudah tidak lagi dipakai untuk belajar karena suasananya tidak mendukung. Posisinya juga di pojok, jarang dilewati orang.
"Kita ngapain ke sini?" tanya Juli, mulai cemas.
"Tuh, coba lo liat ke dalem." Alia melipat tangannya di depan dada. "Cepet!"
"Nggak ah!" tolak Juli mentah-mentah karena takut melihat sesuatu yang menyeramkan. "Ngapain, sih? Udah ayo balik!" perempuan itu hendak pergi.
"Lo mau tau kan, kenapa Neo diskors? Makanya liat dulu!"
Ia berbalik, menatap Alia sejenak. Ini orang serius nggak, sih? tanyanya dalam hati. Karena mimik wajah Alia tampak cukup meyakinkan, Juli kemudian pasrah dan mendekat ke jendela. Ia mengintip ke dalam, ke ruangan yang tidak terlalu gelap dan melihat dinding di belakang.
Juli terkejut. "Itu dia yang bikin, Al?" tanyanya, menatap coretan ditembok.
"Gila, kan?"
"Demi apa?"
"Ngapain gue bohong, sih?" kata Alia. "Ngapain juga gue sampe ngajak lo ke sini buat ngasih unjuk kalau bukan ini jawabannya?"
"Kapan dia bikin itu?" Juli menarik dirinya dari jendela. "Bukan pas lagi sekolah, kan?"
"Pas lagi sekolah, Li!" jawab Alia gemas. "Tiba-tiba dia keluar dari kelas, izin ke kamar mandi. Terus, kelas sebelah sadar kalau ada bunyi-bunyi Pylox. Yah, lo bisa tebak sendiri deh kelanjutannya."
"Ih, gimana?"
Sambil mengajak jalan kembali ke kelas, Alia melanjutkan cerita. "Yaudah, guru yang lagi ngajar akhirnya keluar dan ngeliat Neo lagi gambar di dinding itu. Gila banget, deh, tuh orang. Otaknya ke mana coba? Jelas-jelas itu dilarang parah, eh, dilakuinnya malah pas lagi kegiatan belajar-mengajar."
"Kenapa dia begitu, deh?"
"Enggak tau, Li," jawab Alia serius. "Dari dulu emang nggak bisa diem aja gitu anaknya, selalu aja ada masalahnya."
Juli menutup mulutnya sebentar, mulai membayangkan kalau Neo ini adalah Si Pembuat Onar dalam fiksi remaja yang pernah ia baca. Biasanya, orang seperti Neo adalah anak yang membuat sekolah penuh cerita. Kalau bukan Neo, siapa lagi yang akan diomongkan oleh guru-guru dan para murid?
"Ternyata ada, ya, orang kayak gitu di kehidupan nyata? Gue kira di fiksi aja," gumam Juli. "Dia kelas berapa, deh?"
"Seangkatan sama kita, kok."
"Sumpah? Nggak sekelas, kan?" Juli mulai khawatir. Malas sekali sekelas dengan tukang buat onar. Yah, walaupun Juli juga belum tahu betul seperti apa bentuknya si Neo ini.
"Enggak, kok, tenang aja." Mereka terus berjalan hingga sebentar lagi tiba di kelas. "Tapi kelas dia sekarang tepat di sebelah kelas kita," lanjut Alia sambil menoleh ke ruang kelas yang pintunya terbuka. "Ini kelas dia."
"Mana orangnya?" Juli mengok ke dalam, ingin tahu apakah yang dibicarakan ada di sana atau tidak. Anak-anak yang tadi Juli lihat meramaikan koridor sudah bubar, sudah kembali ke kesibukan masing-masing karena bel sebentar lagi bunyi. "Nggak a—astaga!" Perempuan itu terlonjak kaget ketika berpaling dari ruang kelas XII-IPS 3 dan mendapati sosok anak laki-laki berdiri tepat di hadapannya. Jarak antara mereka begitu dekat hingga Juli refleks memejamkan matanya, takut bertubrukan.
"Nyari siapa?" tanya yang laki-laki.
Beberapa langkah dari tempat Juli berdiri, Alia kelihatan berusaha memberi tahu Juli kalau...
"Nyariin Neo?" tanya laki-laki itu lagi.
"Hah? Oh, e—enggak, kok."
"Nggak ada orangnya, lagi membajak sawah."
Raut wajah Juli seketika berubah. "Bajak sawah?"
Alia spontan menghela napas mendengar perbincangan antara Juli dan lawan bicaranya.
"Lo siapa? Jarang liat."
"Iya, gue baru.”
"Anak baru? Kapan masuknya?"
Ditanya begitu, otak Juli langsung bekerja... astaga, ini pasti Neo! Perempuan itu bergantian melihat Alia dan Neo sebelum buru-buru pergi, masuk ke kelas. Juli langsung menuju kursinya dan duduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menggerutu sendiri.
"Sial, sial, sial!" umpatnya pelan.
"Hahaha!" Alia yang mengikuti dari belakang juga duduk di tempatnya. "Udah tau, kan, sekarang, yang mana namanya Neo?"
"Malu banget gue, Al!" Juli masih belum menunjukkan wajahnya.
"Ya elo, sih!"
"Duh, gue bener-bener malu banget!" Ia menoleh ke Alia. Wajahnya memanas, mungkin kelihatan merah sekarang. "Dan dengan bodohnya gue malah respon bajak sawah? Maksudnya, kan, ya nggak mungkin, Al!"
"Emang gitu anaknya, ngasal kalau ngomong.”
"Semoga aja dia nggak inget gue."
"Yah... semoga aja," jawab Alia santai sambil meraih botol minumnya.
Sejak pelajaran pertama, Juli jadi banyak berdoa supaya Neo tidak ingat kejadian sederhana yang memalukan tadi. Bukan apa-apa, tapi malas saja kalau belum seminggu sekolah sudah diledeki sama anak ‘rese’. Juli juga bukan tipe orang yang suka terlibat dalam hal-hal menyebalkan. Ia ingin hidupnya santai-santai saja. Anti-ribet, deh, pokoknya.
***
Istirahat jam pertama, Alia, Juli, dan Nindi—anak perempuan yang duduk di barisan depan Juli—duduk bertiga di salah satu meja di kantin. Masing-masing sudah punya makanan dan minuman. Sambil mengobrol seputar Pelita Bangsa, sesekali Juli juga bercerita tentang sekolahnya yang lama.
"Sampe sekarang, gue masih nggak tau, deh, kenapa dia kayak gitu," Juli mengakhiri kalimatnya sebelum menyuapkan sesendok siomay ke mulut dan membuat pipinya menggembung sebelah.
"Eh, ini nggak tau perasaan gue doang apa gimana.... tapi, kok, gue ngerasa Neo ngeliatin kita, ya?" Nindi menyondongkan tubuhnya untuk berbisik.
"Ada Neo?" Alia refleks mengikuti Nindi.
Masih dengan siomay di dalam mulutnya, Juli perlahan berhenti mengunyah. Ia melirik Nindi dan Alia bergantian dan mulai merasa was-was. "Ada Neo, Nin?" Juli mengulang pertanyaan Alia.
"Iya, tapi jangan langsung nengok plis karena gue takut dia masih ngeliatin ke sini." Nindi membenarkan posisi duduknya. "Dia di serong gue, deket Adit."
Berbanding terbalik dengan perkataan Nindi, Juli malah refleks menoleh. Lantas ia disenggol kedua temannya dan dimarahi karena ulahnya itu. Juli kaget, buru-buru berbalik dan mengumpat dalam hati. Matanya terpejam erat-erat sampai hidungnya mengerut.
"Goblok nggak sih, gue?" bisiknya.
"Iya!" seru Alia dan Nindi berbarengan, sama-sama berbisik.
"Neo bangun!" tambah Nindi, memberi tahu ke pada teman-temannya. "Sumpah Neo bangun dan dia ke sini sekarang." Perempuan itu kembali duduk tegak, membenarkan posisinya agar terlihat natural.
"Oke semuanya, biasa aja," ucap Alia.
Juli, yang buru-buru menelan siomay dalam mulutnya, ikut membenarkan posisi duduk dan meraih botol minum sebelum menyedot isinya banyak-banyak.
Neo berhenti di sebelah Juli, diam sejenak memerhatikan tiga perempuan itu satu-persatu.
"Ngomongin gue, ya?" tanya Neo.
"Ye, pede banget?" balas Nindi.
"Nanya aja." Neo memasukkan satu tangannya ke dalam saku, berlagak anteng. Kedua matanya tetap memerhatikan mereka, sampai kemudian berhenti di Juli yang tampak sangat enggan untuk mengangkat kepala. "Lo anak baru yang tadi nyariin gue, ya?"
Mendengar pertanyaan Neo, Nindi langsung melempar ekspresi bingung kepada Alia. Alia hanya mengedikkan bahu.
"Kenalan dulu, deh, biar sayang."
Juli nyaris tersedak. Ia spontan menjauhkan botol minumnya dan menelan semua air di dalam mulut. Kakinya menyenggol-nyenggol kaki Alia, meminta pertolongan. Tapi Alia tidak melakukan apa-apa.
"Neo," kata sang pemilik nama. Tangannya masih meminta dijabat.
Yang diajak berkenalan akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Neo yang berdiri. Tangannya kemudian terulur dan bersalaman dengan laki-laki itu. Kalau dituruti apa maunya, mungkin Neo akan segera pergi. "Juli."
"Juli?"
Juli mengangguk.
"Kalau gitu gue Juni, deh, biar deket."
Alia dan Nindi refleks buang muka karena menahan malu. Juli yang masih digenggam tangannya tidak tahu harus berbuat apa, diam menatap Neo yang tidak berekspresi. "He, iya, terserah lo aja."
"Oh iya dong, terserah gue. Kan, gue yang ngomong?"
Spontan, Juli memberikan senyum malasnya sambil melepas genggaman Neo. Perempuan itu kembali meraih sendoknya dan memisahkan siomay yang akan dimakan. Gelagatnya menunjukkan kalau ia tidak ingin diganggu lagi.
"Pulang sama siapa nanti?" tanya Neo lagi.
Alia dan Nindi yang tentunya masih berada di sana semakin merasa canggung.
"Dijemput."
"Sama pacarnya?"
"Iya."
"Lo punya pacar?" Neo terus bertanya.
"Iya."
"Oh, yaudah, nanti gue rebut."
"Apanya?" Juli otomatis bingung. Padahal, sebenarnya juga ia tidak punya pacar. Jawaban itu ia harapkan bisa membuat Neo cepat-cepat pergi. Ternyata tidak.
"Pacar lo. Gue rebut dari lo."
"Udah-udah," Nindi menarik kursinya supaya bisa duduk lebih tegak dan melipat kedua tangan di meja. "Lo ngapain sih, Ne, ke sini?"
"Ngapain, ya? Nggak tau gue juga," jawab Neo santai. Tatapannya kembali tertuju kepada Juli setelah itu. "Juli, kan?" ia memastikan.
Juli mengangguk lagi.
"Inget nama gue, ya, Jul. Neo."
"Hm," gumam Juli, mulai gerah. Omongan Neo ini lama-lama tidak jelas.
"Biar nanti kalo doa ke Tuhan, nggak lupa."
Sebenarnya, Juli ingin sekali segera menyudahi obrolan ini. Tapi setelah Neo bicara begitu, Juli malah jadi penasaran.
"Lupa apaan?"
"Selipin nama gue."
Alia dan Nindi lagi-lagi harus menahan rasa malu. Tidak bicara apa-apa lagi, Neo kemudian pergi meninggalkan meja mereka, kembali duduk di sebelah Adit.
Juli yang mematung di tempatnya seketika kehilangan nafsu makan. Jantungnya tiba-tiba berdebar tidak karuan, otaknya bingung, wajahnya memanas. Omongan Neo itu tidak bermakna, sebenarnya. Sekadar lelucon. Tapi Juli sulit biasa saja. Bukan tiba-tiba Juli naksir Neo, tapi ia malu. Rasanya seperti... habis nonton film romantis sendirian. Iya, seperti itu.
Selain malu, Juli juga jengkel.
Apaan sih ni orang? batinnya. Batin mereka semua.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
