
Gatari pikir peristiwa memalukan di lorong sekolah pagi tadi merupakan hal terburuk yang pernah menimpanya. Namun, ketika malam turun, sebuah pertemuan yang ia hadiri kembali menyuguhkan peristiwa lain yang tidak terduga.
Hehe bab ke-2 ini juga masih bisa kalian baca secara gratis ya! Daaan jangan lupa kasih love dan komen untuk lanjut bab 3! Thank you so muuuuch ❤️
2: The Dinner
Suara Pak Mahadi selaku guru mata pelajaran yang sedang mengabsen seisi kelas membuat semua murid diam dengan tertib menunggu namanya dipanggil. Namun, tidak dengan Fea dan Adel yang malah cemas memikirkan nasib sahabatnya.
Setelah kejadian sebelum bel tadi, Gatari langsung pulang dari sekolah.
"Gatari Anastasya?" panggil Pak Mahadi.
"Eh—itu, Pak,” sahut Adel. “Pulang. Gak masuk.”
"Pulang?" kali ini Pak Mahadi melepas kacamatanya. "Kenapa?"
Para murid yang mengetahui kejadian tadi pagi mulai berbisik lagi. Mereka masih tidak menyangka kalau seorang Gilang akan melakukan hal seberani segila itu di sekolah.
"Sakit, Pak.” Fea menjawab dengan percaya diri. "Sesak napas.”
"Siapa juga yang gak shock abis digituin?" bisik seorang murid perempuan yang duduknya tepat di belakang Fea. “Gila nggak, sih, si Gilang?”
"Oh?" Pak Mahadi kini berdiri, tapi masih memegang absen di tangannya. "Tapi sudah sempat di sekolah?"
"Sudah, Pak," jawab Adel dan Fea serentak.
***
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Gatari duduk di mobil sambil memeluk erat tas sekolahnya. Jantungnya masih belum kembali berdetak normal. Dan hampir setiap lima detik sekali, kejadian di sekolah tadi melintas di benaknya.
Sembari menggigiti bibirnya sendiri, Gatari berusaha meredam kegelisahan yang menyelimuti. Bayangan sosok Gilang di depan wajahnya selalu muncul ke manapun Gatari menoleh. Ia merasa tidak aman dan lupa caranya untuk bisa tenang.
"Non, kita sudah sampai rumah.”
Suara Pak Iman dari depan membuyarkan lamunan Gatari di bangkunya. Pria itu mendongak sedikit, mengintip ke belakang melalui kaca spion di tengah sebab sejak mereka tiba di rumah, Gatari belum juga turun.
Langkah kaki Gatari begitu tergesa-gesa masuk ke rumah. Asti dan Endang—asisten rumah tangga di rumah itu—kebingungan saat melihat Gatari datang. Pasalnya, ini masih jam sembilan. Tidak semestinya Gatari ada di rumah.
Gatari pun langsung melemparkan tubuhnya di sofa tanpa mengatakan apapun. Tasnya terserak di karpet, dasi seragamnya melonggar dan kancing bagian atas seragamnya terbuka. Wajah Gatari menghadap ke atas, ke arah langit-langit yang digantungi chandelier berkilau.
"Non, kok sudah pu—"
"Sssh!" Gatari menggerak-gerakkan kakinya, menyuruh semua orang untuk diam dan tidak menanyakan apapun.
Asti seketika bungkam dan mundur, menelan lagi pertanyaannya.
Di rumah tidak ada siapa-siapa kecuali para pekerja; pembantu, supir, dan tukang kebun. Dimas—ayah dari Gatari—berada di kantor. Istrinya, Agatha, sedang menjenguk temannya yang baru melahirkan semalam. Arika, kakak perempuannya, sudah berangkat ke kampus.
Tidak lama setelah hening tercipta di ruang megah itu, tak terasa air mata mengalir di pelipisnya hingga ke telinga. Amarah dan perasaan malu bergumul di dalam hati, membuatnya geram dan ingin sekali menghajar Gilang. Ia ingin menampar lelaki itu keras-keras, bahkan kalau bisa sampai tangannya kebas.
Sepercik sesal mulai hadir di dalam hatinya sebab ia tidak sempat melakukan apa-apa. Keterkejutannya terlalu besar. Seandainya Gatari cepat bertindak, ia pasti akan melakukan apapun untuk membalas perbuatan Gilang. Paling tidak tangannya akan melayang untuk menjambak rambut lelaki itu, lalu kakinya akan terangkat dengan cepat di antara kedua kaki Gilang sampai ia kesakitan.
Gatari benar-benar kesal. Dadanya seperti ingin meledak dipenuhi dengki.
Jika ia bertemu lagi dengan Gilang, Gatari berjanji ia akan melakukan pembalasan.
***
Matahari sudah bersiap pulang ke Barat saat Gatari sedang duduk di meja dapur, menikmati kue kering yang baru keluar dari oven. Endang memang suka sekali bikin kue-kue. Untuk Gatari, hasil karyanya itu adalah obat penenang kapanpun ia butuhkan.
Sejak siang tadi, entah sudah berapa banyak kue buatan Endang yang Gatari makan.
"Non, dari tadi, loh, nggak berhenti-berhenti,” tegur Herni, pengasuh Gatari sejak usianya masih empat tahun. “Nanti berat badannya naik, Non.”
“Gak apa-apa, aku gak peduli!” Gatari meraih gelas berisi susu dingin yang sudah sisa sedikit. “Hari ini aku kesel banget, Bi! Aku mau makan kue enak buatan Mbak Endang!”
“Non, nanti kalau Ibu nanya, kenapa Non nggak sekolah, gimana?” Asti, yang sedang mengeringkan piring-piring dari rak cuci, bertanya kepada Gatari.
"Enggak, Mama gak akan tau. Makanya, jangan ada yang kasih tau ya!”
“Emang… guru Non nggak akan kasih tau Ibu?” tanya Asti lagi.
“Hm…,” sembari mengunyah kue yang baru masuk ke mulut, Gatari mulai mengira-ngira. “Kayaknya enggak ada. Atau kalaupun ada, nanti aku bilang aja…” Ia terdiam sejenak, kembali mengingat kejadian pagi tadi yang tidak ia ceritakan kepada siapa-siapa. “Aku sakit.”
“Tapi…” Endang mulai nimbrung. “Emang Non sakit apa? Dari tadi, kita nggak ada yang tau kenapa Non pulang sekolah pagi-pagi.”
“Gak ada,” jawab Gatari dengan cepat. “Gak ada apa-apa. Gak usah tau!”
Semua orang di dapur itu mengangguk, tidak ingin mempertanyakan lagi apa masalah yang sebenarnya Gatari hadapi hingga membuatnya pulang jauh lebih cepat dari biasanya.
“Yaudah, kalau begitu, sekarang Non mandi, gih. Sebentar lagi Ibu pulang. Kan, hari ini Non udah janji mau nemenin Ibu—"
“Gatari Anastasya Ardian!” suara Agatha yang tiba-tiba menggelegar dari lorong penghubung dapur dengan ruang makan membuat Gatari hampir saja tersedak kue di mulutnya.
Buru-buru ia meraih gelasnya dan kembali meneguk susu dingin itu sampai habis tak tersisa. Kemudian, ia menoleh ke arah ibunya.
“Gak usah teriak, Ma!” gerutunya. "Kalau Tata mati karena keselek, gimana? Gak keren banget cause of death-nya nanti."
“Hus! Kamu ini kalau ngomong kenapa suka sembarangan, sih?” Agatha melangkah ke dapur. “Kamu juga kenapa belum—kamu pasti lupa, ya? Dari kemarin malam Mama udah bilang sama kamu. Bahkan tadi pagi sebelum berangkat sekolah, Mama juga udah—"
“Mom, Mom!” Gatari berusaha menenangkan. “Tata inget, kok,” lanjutnya. “Nemenin Mama dan Papa dinner hari ini, kan? Tenang aja Ma… Tata inget.”
“Tapi sekarang kamu masih pakai seragam sekolah begini.” Agatha memegangi lengan seragam Gatari. “Ini udah jam berapa, Ta? Mama tuh maunya kamu sudah siap.”
“Arika juga belum pulang, Ma. Kenapa mesti cepet-cepet, sih?”
“Gatari.” Agatha berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Arika nggak ikut. Cuma kamu.”
“Loh, kenapa?”
“Udah, udah! Mama bisa stress kalau tanya jawab sama kamu! Dari kemarin Mama udah bilang, jam lima kamu sudah harus siap!”
“Mama juga baru pulang,” sahut Gatari.
“Bi Herni, tolong Gatari dibawa ke atas. Suruh dia mandi, kalau perlu ditungguin di kamarnya. Baju yang kemarin sudah saya siapkan, dikeluarkan dari lemari. Sepatunya, yang hari Sabtu kemarin itu—Asti, tolong diambilkan, ya. Rambutnya gak perlu yang aneh-aneh, cukup dirapihkan aja.”
“Mom?” Gatari kebingungan. Kenapa acara makan malam kali ini terkesan ruwet sekali.
“Udah, kamu jangan nyahut-nyahutin Mama lagi. Mama udah stress macet di jalan tadi, takut terlambat dinner malam ini. Sampai rumah jadi tambah stress gara-gara kamu belum siap-siap!”
"Ribet, ih."
"Mandi, Anastasya!"
"Iya… Mama.” Gatari menurunkan kakinya dari kursi stool yang ia duduki. "Ribeeet banget mau makan doang udah kayak mau kondangan ke Inggris,” gumamnya pelan sebelum meninggalkan dapur.
***
Gatari bersama kedua orang tuanya tiba di sebuah gedung di bilangan Jakarta Selatan pada pukul tujuh, dan harus naik ke lantai enam belas untuk benar-benar tiba di restoran yang mereka tuju.
Gatari sungguh ingin menyudahi semua ini—bahkan makan malam pun belum dimulai. Ia tidak suka mengenakan sepatu hak tinggi dan berpakaian rapi. Berbanding terbalik dengan kakak perempuannya, Gatari memang lebih sering berpakaian santai. Ia lebih suka sepatu sandal casual atau sepatu-sepatu kets yang simple.
Oleh karena itu, ketika ia didandani untuk dinner malam ini, Gatari rasanya tidak betah. Ia ingin melempar sepatu haknya jauh-jauh dan menggantinya dengan sandal jepit yang terpaksa harus ia tinggalkan di mobil.
"Mom, I can’t—"
“Anastasya.” Suara Agatha begitu pelan, namun penuh dengan ketegasan. Keanggunannya terpancar dari balutan dress panjang berwarna hijau tua yang sungguh serasi dengan tone kulitnya.
Wanita itu mendekat kepada Gatari, lalu berbisik di telinganya. “Akan ada teman Mama dan Papa yang ikut bergabung dengan kita malam ini. Please be nice, Anastasya. Jangan kecewakan Mama, ya? Please.”
Gatari menoleh kepada ibunya, lalu mengangguk lesu. Jika dilihat dari persiapan dan pemilihan tempat untuk makan malam, tampaknya tamu yang akan bergabung dengan mereka memang cukup spesial. Namun, hal itu justru menimbulkan pertanyaan di benaknya.
Kenapa Gatari harus ikut?
“My feet hurts, Mom,” keluhnya pelan.
Dimas yang mendengar keresahan anak bungsunya itu, mendekat dan mengelus pundak Gatari. "Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita duduk."
Gatari cemberut, kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Dimas hingga lift berdenting. Dimas kemudian membiarkan Agatha dan Gatari keluar lebih dulu, lalu menyusul dengan memberikan tangan kepada istrinya hingga mereka berjalan ke dalam restoran.
Gatari bersungut selama ia berjalan dari lift. Ia merasa tidak nyaman berjalan dengan sepatu tinggi dan pakaian yang jarang ia kenakan.
Setelah seorang staff mengantar mereka ke salah satu meja di dekat jendela, Gatari hendak menarik kursi ke belakang untuk duduk. Namun, belum sempat ia melakukan itu, Agatha sudah lebih dulu mencolek lengannya, menyuruh untuk tetap berdiri karena tamu yang bergabung dengan mereka, tiba di waktu yang bersamaan.
Dimas dan Agatha langsung beramah menyambut sepasang suami istri yang datang dari arah berseberangan. Yang pria genggamannya begitu erat, seakan-akan menunjukkan kalau mereka kuat. Yang wanita langsung terlihat akrab, seakan-akan mereka teman lama yang baru kali ini bertemu lagi.
“Oh ya, ini Gatari.” Dimas mengulurkan tangannya, dengan bangga memperkenalkan anak bungsunya itu.
“Halo…” Yang wanita lebih dulu menghampiri Gatari dan mencium kedua pipinya bergantian. “Cantik sekali kamu, Nak.”
“Terima kasih, Tante.” Gatari membalas tak kalah ramah. Senyumnya mengembang lebar dari ujung telinga ke telinga yang lain.
“Halo, Gatari.” Kali ini yang pria menghampiri Gatari dan juga mengecup ringan kedua pipinya bergantian. “Udah lama banget nggak ketemu, mungkin udah lupa juga kali ya?”
Gatari menyengir lebar, benar-benar tidak tahu apa yang dibicarakan oleh pria tersebut. Memangnya mereka pernah bertemu, ya?
“Wah, udah lama banget, kalau itu. Gatari masih balita, belum terekam di ingatannya,” sahut Dimas.
“Oh iya, ya. Kita bertemu Gatari memang sudah belasan tahun lalu. Kenapa, ya? Setelah itu ketemunya cuma sama Mama dan Papanya aja,” sambung wanita bergaun merah tua yang menaruh tangannya di pundak Gatari.
Sebelum ada yang menanggapi lagi, tiba-tiba sebuah suara dari arah belakang ikut bergabung ke meja mereka.
“Halo, maaf saya terlambat.”
Suara itu membuat semua orang menoleh ke arah yang sama, terkecuali Gatari, yang sedetik sebelumnya merasa hampir kelilipan.
Sepasang suami istri itu melangkah ke arah seseorang yang datang, membiarkan anak lelakinya untuk bergabung dengan balutan jas hitam dan dasi. Anak lelaki itu terlihat rapi meski sebetulnya perjuangan untuk membuat ia nampak seperti itu bagaikan meredam perang dunia.
Selagi mereka bicara, Gatari mencuri-curi waktu untuk berkedip-kedip, menghalau sesuatu masuk ke matanya. Kemudian, Agatha memanggil.
“Anastasya.”
“O—oh, iya.” Gatari kembali memusatkan perhatiannya. "Maaf, tadi—,” namun sebelum permintaan maafnya itu selesai, kedua matanya keburu menangkap sosok laki-laki yang sangat ia kenal. Isi kepalnya langsung penuh dengan tanda tanya dan tanda seru, bertubi-tubi, seakan-akan tidak ada yang bisa diungkapkan selain dua tanda baca itu.
Seperti ini,
???!??!?!?!?!?!?!?!?!!!!!!!??????????!!!!??!?!
“Gatari, kenalin, ini anak Tante. Namanya Gilang.”
***
Aku inget banget waktu nulis ini pertama kali. Jujur pada saat itu aku lumayan spontan mempertemukan mereka lagi di dinner ini. Pas nulisnya aku juga ikut semrawut kayak Tata tiba-tiba dikenalin sama Gilang wkwk.
Anyway, aku minta love-nya sebelum lanjut ke bab 3 boleh yaaa! Terima kasih banyaaak, hehe
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
