
Ketika dunia melupakan Aire Skajorie Lonan, iblis itu bangkit membawa dendam. Damai para dewa dan dewi runtuh, berganti kabut murka yang membakar langit. Dunia lama Skajorie musnah, maka ia bangun dunia barunya dengan kegelapan yang tak berkesudahan.
21+ | dark romance - harem - reverse harem - urban fantasy
by Raden Chedid


⊹₊༻ 𝐒𝐊𝐀𝐉𝐎𝐑𝐈𝐄 𝟐 ༺₊⊹
Masih tentang AIRE SKAJORIE LONAN, pelukis yang kini dilupakan para penggemar serta muses-nya. Ia merelakan kebahagiaannya untuk menebus segala perbuatan kejinya di masa lalu.
“Pelukis Kesepian.”
Delapan tahun bukan waktu yang singkat bagi Skajorie menjalani hari dengan kondisi sangat berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi mahakaryanya terpajang di Malv de Arte dan di mana-mana. Tidak ada collector yang mengejar lukisannya. Tidak ada perempuan yang berlutut di kakinya demi mendapatkan sentuhan sensual. Tidak ada lagi Skajorie yang dipuja-puja banyak orang.
Semua melihatnya sebagai “orang baru” tanpa terkecuali, termasuk keluarganya.
Bertahun-tahun ia menikmati kesendiriannya jauh dari manusia. Mansion tercintanya telah rata menjadi tanah. Skajorie tinggal di sebuah kota kecil Blies, di rumah megah yang dikelilingi tanah kosong berhias rerumputan pendek nan rapi. Tidak ada tetangga, hanya ada keluarga kucing gendut yang kerap memalak makanan padanya.
Skajorie hanya meninggalkan rumah jika ada keperluan yang harus ia penuhi, contohnya membeli stok kebutuhan sehari-hari untuk satu bulan penuh. Setelah itu, ia akan memakai waktu untuk melukiskan objek indah sebagai cara menghadapi kesunyian yang telah menjadi sahabatnya.
Selama ini ia tampak seperti mayat yang dibangkitkan, tak punya gairah hidup, namun terpaksa untuk terus bergerak dan berjalan.
Di tengah perasaan ingin menghilang dari Bumi dan kembali ke neraka saja, Skajorie memilih untuk tetap ada demi melihat seseorang yang dicintainya, Bridget Laverne Trinity.
Pilihannya tepat. Ia merasa kembali hidup kala mendengar berita keluarga bangsawan Trinity sedang mencari guru seni sekaligus sopir untuk anak-anak Bridget. Tak mau menunda, Skajorie mengambil kesempatan mengajukan diri. Ia berusaha keras agar diterima dan dapat berkumpul dengan keluarga kecilnya itu di kota besar Irvetta.
Harinya yang selalu gelap seketika berubah sedikit demi sedikit lebih cerah saat ia resmi menjadi guru seni dan sopir pribadi untuk Rair dan Arën yang merupakan anak kandungnya bersama Bridget.
Selain memegang dua pekerjaan tersebut, Skajorie berinisiatif menjadi penjaga Si Kembar di tiap waktu. Bisa dibilang … bodyguard. Penjahat mana yang berani mendekati dua bocah usia 8 tahun itu jika penjaganya sebesar dan seseram Skajorie?
Meskipun Si Kembar memanggilnya “Sir” bukan “Daddy”, ia tidak masalah. Skajorie tetap merasakan kehangatan paling nyaman berada di sisi Bridget dan anak-anak mereka.
Lelaki yang dulunya tidak menyukai anak kecil, siapa sangka kini menjadi yang paling sigap menjaga anak-anaknya? Ketika bertemu Kellan dan Catarina pun sikap Skajorie sangat kebapakan yang membuat Bridget diam-diam mengaguminya.
Uniknya sosok sekaya raya Skajorie dengan setelan bak pangeran itu menjadi sopir. Jelas orang-orang di sekolah Rair dan Arën tidak percaya Skajorie betulan sopir.
Tak jarang Skajorie dikira calon ayah untuk anak kembar yang khalayak tahu ‘terlahir tanpa ayah’ itu. Informasi tersebut tidak berkonotasi buruk, melainkan sebaliknya karena beberapa tahun lalu sempat gempar berita tiga wanita—Bridget, Lillie, dan Brinneth—dititipkan keturunan istimewa dari semesta melalui Dewi Mimpi dan Takdir yang harus diberi marga “Lonan” sebagai keberuntungan abadi.
Tanpa manusia ketahui ini merupakan alur yang dibuat oleh Dae Lonan untuk menghilangkan jejak Skajorie dari memori mereka.
Masalah besar Skajorie hanya satu; Ia harus mengontrol diri tiap melihat Bridget berinteraksi mesra dengan banyak lelaki yang disebut muses. Betapa panas dadanya menerima karma, dan tidak bisa melarang Bridget melakukan itu.
“Sil Skajolie!” Suara khas anak cadel ini menggema dari lantai dua. Rair berteriak sambil berlari bersama Arën menuju tangga.
“Sir! Tolong kami! Kami kelaparan!” pekik Arën.
Skajorie mendongak. Baru akan pulang ke kota Blies dengan tenang karena tugasnya terselesaikan, mendadak panik melihat dua tuyulnya lari-lari di jam yang seharusnya mereka sudah tidur pulas. Padahal dua puluh menit lalu mereka terlelap setelah Skajorie mengeloni di kamar masing-masing. Sekarang wajah nakal mereka sudah segar lagi.
Kalau Bridget mendengar lengkingan mereka, konsentrasinya dalam melukis pasti langsung buyar. Malam seperti ini memang jadwal Bridget melukis, ia menunggu anak-anaknya tidur terlebih dahulu.
“Rair, Arën.” Skajorie meminta mereka tenang.
“Lapar sekali! Aku hampir mati karena perutku berbunyi.” Arën mengadu begitu ia tiba di hadapan Skajorie, langsung memeluk pinggang sang ayah yang tingginya mencapai 210 sentimeter itu.
“Sil, tolong buatkan kami makanan. Kami ingin memakan nasi goleng dengan tuna dan udang.” Rair meraih tangan Skajorie untuk menggenggam dua jarinya, kelingking dan jari manis.
“Ya! Aku suka tuna dan udang!” seru Arën berantusias.
Seorang Skajorie goreng-goreng di dapur? Bisa, tetapi dapurnya akan meledak.
Di rumah sendiri pun ia hanya menyantap menu-menu simple yang dikukus atau direbus. Hampir tidak pernah Skajorie memakan makanan yang digoreng karena ia tidak mahir memasak menu berat. Pernah sekali menggoreng ayam, kemudian hangus sampai menjadi arang dan dapurnya mengebul penuh asap.
Skajorie berpikir keras. Koki pribadi sudah pulang, baru akan kembali pukul lima pagi nanti. Kalau Skajorie menyampaikan ke Bridget, itu pasti mengacaukan ketenangan seorang pelukis yang tidak bisa mendengar suara-suara bising saat sedang menciptakan karya terbarunya.
“Ayo, kita ke dapur.” Skajorie mengajak, maka Rair dan Arën berebut ingin digandeng. Jadilah Skajorie menggandeng mereka selama berjalan ke sana.
Skajorie gugup. Ia menatap berbagai alat masak yang tidak tahu apa saja namanya. Tidak yakin memasak, tetapi Skajorie mencoba mencari tutorial memasak nasi goreng tuna dan udang di internet.
Si Kembar tidak bisa diam sebentar saja, mereka sibuk mengelilingi dapur sambil sesekali melompat untuk menyentuh alat-alat tajam seperti pisau dan gunting yang ditaruh di tempat tinggi. Skajorie sedikit lengah, ia tak mengamati Rair dan Arën lantaran tenggelam dalam pikiran bagaimana mengiris bawang sampai tipis.
Beberapa menit kemudian, Skajorie memakai apron yang menjadi sangat mungil di badan besarnya. Tali apron pun tak bisa diikat ke belakang karena tidak sampai. Ia mulai mengiris bawang pelan-pelan. Di kompor kanan ia sudah menaruh wajan dengan sedikit minyak yang sedang dipanaskan, dan di kompor kiri ia bersiap-siap menggoreng tuna dan udang. Ada juga telur yang siap ia pecahkan.
Jangan sampai hangus, harap Skajorie.
“Sir, apakah sudah matang? Berat badanku turun karena lapar,” celetuk Arën.
“Belum. Tunggu, ya, Arën.” Skajorie berusaha sabar memberi tanggapan.
Ketika Skajorie sedang sibuk-sibuknya menyiapkan segala bumbu, ditambah minyak sudah sangat panas, tiba-tiba Si Kembar berkata mereka sudah kenyang. Mereka bahkan mengelus perut dengan ekspresi begah persis orang kekenyangan.
Skajorie melotot. Tidak habis pikir. Ia mematikan kompor dan berhenti menyiapkan bahan masakan.
“Anak-anak, sebenarnya kalian lapar atau tidak?” Skajorie menjaga intonasinya agar tak terdengar marah. Curiga dari awal Si Kembar hanya mempermainkannya karena sesungguhnya mereka sudah makan malam.
Rasa curiga itu tumbuh besar saat Skajorie mendapati ekspresi mereka perlahan menjadi penuh keusilan. Senyuman miring yang membuat lesung pipi mereka muncul sebelah adalah tanda dari pikiran nakal yang sedang mereka sembunyikan.
“Oh … kalian membohongi Sir Skajorie, ya? Pandai sekali.” Skajorie menyeletuk sedikit galak, ia bersedekap menatap mereka dengan mata mendelik curiga.
Kompak, mereka cekikikan lalu berlari ke luar dapur. Larinya sangat kencang dan arahnya berbeda-beda. Tentu, Skajorie harus mengejar satu-satu untuk membawa mereka ke kamar. Betapa aktif dan bahagianya dua bocah itu, tak pernah bosan membuat orang tuanya kelelahan.
Namun, lelahnya Skajorie dilenyapkan oleh Bridget yang muncul dari ruang lukis di lantai tiga. Bridget berdiri di ujung tangga, ia berkacak pinggang mengamati anak-anaknya yang mengganggu Skajorie.
“Rair! Arën! Kenapa kalian bangun lagi?!” Gelegar suara Bridget mengejutkan Si Kembar yang langsung menghampiri Skajorie, meminta diselamatkan.
“Sir Skajorie…! Mommy murka! Mommy akan berubah menjadi monster!” ucap Arën panik.
Rair memeluk Skajorie erat-erat. “Sil, Kami meminta maaf, ya! Jangan selahkan kami kepada Mommy.”
Bridget menjauh dari tangga, ia beralih ke lift agar lebih cepat tiba di lantai paling bawah. Maka Skajorie memenuhi permintaan dua anaknya untuk menggendong mereka ke kamar sebelum Bridget sampai. Mereka ketakutan, tetapi mimik bandelnya tak bisa hilang. Setelah Skajorie menutup pintu kamar masing-masing pun mereka bersorak lega berpikir tidak jadi dimarahi Bridget.
Skajorie berhasil menyelamatkan Rair dan Arën dari amukan Bridget bertepatan wanita itu hadir. “Madam,” sapa Skajorie seraya membungkuk sekilas.
Bridget pandangi Skajorie yang mengenakan apron. Ia mengernyit tipis. “Mereka mengerjai kamu lagi?”
“Tidak apa, Madam.” Skajorie menjawab. “Mereka berkata kelaparan. Saya khawatir dan mencoba masak.”
Detak Skajorie menggebu ketika Bridget mengikis jarak dan mengusap dadanya perlahan sampai ke perut. Itu terjadi tanpa aba-aba dan tidak tahu apa tujuannya. Skajorie spontan menahan napas saat ia rasakan raganya memanas berada sedekat ini dengan Bridget.
“You’re so cute,” bisik Bridget.
“Hm?” Skajorie menegang, kikuk, dan bingung disebut cute.
Bridget mundur satu meter dari pria tampan di hadapannya. Ia mengajukan tanya, “Skajorie, saya boleh meminta waktumu sebentar sebelum kamu pulang?”
“Tentu, Madam. Apa yang harus saya lakukan?” respons Skajorie.
“Lepas apron itu, kemudian ke ruang melukis. Saya akan ke sana. Sekarang saya perlu bertemu anak-anak dulu.” Bridget bertutur tegas.
Skajorie mematuhinya dan beranjak pergi. Ia berjalan sambil menunduk melihat apronnya berwarna pink lembut dengan satu pita merah muda di sudut kanan atas. Merupakan apron yang kadang Bridget pakai untuk masak kecil-kecilan, atau untuk mengajarkan Rair dan Arën membuat cookies.
Tadi itu Skajorie terburu-buru memakainya karena panik harus memberi anak-anak makan. Tidak sadar ia memakai apron coquette.
Apron seimut itu bertahan sekuat tenaga menghadapi badan jelmaan titan yang kekar.
Tanpa Skajorie ketahui, Bridget senyum-senyum menatap ia berjalan ke dapur. Bridget sangat gemas melihat Skajorie dengan apron itu. Ingin memekik, tetapi ia sedang tidak ada tenaga karena kehilangan ide melukis.
Bridget butuh inspirasi baru.
⊹₊༻ 𝐒𝐊𝐀𝐉𝐎𝐑𝐈𝐄 𝟐 ༺₊⊹
Di bawah lampu temaram, Bridget menghampiri Skajorie di kursi yang tak jauh dari kanvas besar yang masih kosong.
Wanita jelita itu berhenti di hadapan Skajorie untuk melepas kancing-kancing kemeja hitam yang Skajorie kenakan. Ini merupakan salah satu trik Bridget memancing chemistry antara dia dengan muse.
“Jadi, selama bertahun-tahun kamu masih menyimpan cintamu untuk Red Moon itu?” Bridget bertanya setengah berbisik, memperdengarkan suara seksinya.
“Ya, Madam. Selalu,” jawab Skajorie.
Tatapan mereka begitu mendalam, membuat keduanya terbawa arus romansa sesuai kebutuhan Bridget dalam melukiskan makhluk hidup, terkhususnya kali ini ia ingin menyampaikan pesan rindu Skajorie lewat delikan yang Skajorie tunjukkan, berharap mampu melukiskannya dengan sempurna.
Bridget tak akan menyadari tatapan itu nyata untuknya, bukan untuk ‘Red Moon’ yang ia pikir wanita lain.
Dari kemeja, jemari lentik Bridget bergerak mengusap lengan kekar Skajorie, beranjak ke leher hingga berhenti sesaat di garis rahangnya. Bridget mengikis jarak wajah mereka tanpa memutuskan aksi saling tatap seraya berbisik, “Who are you now, Skajorie?”
Skajorie berucap serak dengan bibir nyaris menyentuh bibir Bridget. Ia membalas, “Your muse, Madam.”
Senyuman Bridget terukir sangat cantik. Embus napasnya yang beraroma mint itu menerpa wajah Skajorie, saling berbagi oksigen yang melintasi ruang sempit mereka.
Bridget naik ke pangkuan Skajorie dan sekali lagi berbisik, “Ingat, jangan menyentuh saya. Biarkan hanya saya yang menyentuhmu.”
Tangan Skajorie terkepal rapat, juga jakunnya bergerak menelan saliva yang pahit. Ingin menyentuh paha Bridget yang teramat dekat dengan tangannya, sayang ia harus menahan diri. Ini sungguh menyiksa batinnya yang meraung merindukan tubuh Bridget.
Bibir Bridget mendekati bibir Skajorie. Ketika jarak tersisa setengah sentimeter, Bridget segera memundurkan kepala sambil menahan cengiran. Ia senang mendengar napas Skajorie yang memburu seolah habis berolahraga berat.
“Apa yang akan kamu lakukan jika Red Moon ada di hadapanmu sekarang? Anggap saya Red Moon,” ucap Bridget.
Skajorie menjawab tanpa melepas tatapan intensnya dari Bridget. “Memeluknya, Madam.”
Lagi, Bridget merapatkan diri sampai dadanya menekan dada Skajorie. Hidung mancungnya menggesek garis rahang Skajorie, menimbulkan ketegangan pada sesuatu yang besar di bawah sana. Jika lampu utama ruangan ini dinyalakan, akan terlihat wajah Skajorie merona.
“Hanya memeluknya?” Bridget sengaja bicara sambil menempelkan bibir di telinga kiri Skajorie. Suaranya sangat dekat, semakin melumpuhkan kekuatan sang lelaki.
Jantung Skajorie berdebar tak karuan. Ia tidak bisa berpikir panjang jika konsentrasinya dipenuhi gerakan erotis Bridget. Skajorie terguncang, tangannya mengepal lebih kuat saat Bridget menurunkan pakaian atas hingga bra marun itu terpampang. Dada Bridget terlalu penuh, bra-nya tidak sanggup menampung keseluruhannya.
Belum cukup, kini satu tangan Bridget membelai dada hingga perut Skajorie. Tangannya tiba-tiba menyelinap melepas kancing dan ritsleting celana Skajorie, lalu menyentuh sesuatu yang membuat pemiliknya spontan meringis.
“Madam.” Skajorie terengah, ia sampai berkeringat dingin.
Bridget memainkan milik Skajorie, sementara tangannya yang lain mengusap bibir Skajorie. “Apakah kamu akan memberikannya kepada Red Moon sebagai penawar rindu?” Ia kembali bertanya, kerlingannya sangat nakal.
“Mungkin,” sahut Skajorie yang sudah semakin tidak tahan. Ia menatap bibir Bridget dengan tatapan menyerupai singa lapar.
Maka dari itu, Bridget menjauhkan tangannya dari Skajorie. Ia turun dari pangkuannya. Bridget menarik celana Skajorie, merunduk, dan berjongkok menghadap sesuatu yang luar biasa bentuknya. Tubuh Skajorie seakan melayang saat mulut Bridget melumat miliknya.
Skajorie hendak meraup rambut panjang Bridget, tetapi Bridget memberinya peringatan dengan mengangkat satu tangan yang berarti, “Dilarang menyentuh saya.”
⊹₊༻ 𝐒𝐊𝐀𝐉𝐎𝐑𝐈𝐄 𝟐 ༺₊⊹
Hai, Piranha Ska. Terima kasih sudah kembali membuka lembaran baru kisah Skajorie! 🤩 Gimana prolognya? Beri love dan komentar, yes~ Thank you!
—Mamiw
IG: @radenchedid @skajorie
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
