Bab ke-6 dari series novel 'Pena Saran'
Rendra meletakkan tubuhnya di atas kursi sesaat setelah bel kembali berbunyi bersama dengan murid-murid lainnya, di saat yang sama Aira yang sedari tadi duduk di kursinya sambil membaca buku kembali menempelkan mejanya ke meja Rendra seolah itu menjadi hal biasa. Yang tidak biasa adalah seketika Rendra merasa samar-samar merasakan banyak kepala yang tiba-tiba menoleh ke belakang kelas. Rendra tidak tahu apa yang mereka perhatikan, kemungkinan jam dinding. Karena Rendra pikir hanya jam dinding yang menjadi objek menarik untuk dipandang. Sepertinya mereka ingin segera pulang.
Gemerutuk anak-anak yang masih mengobrol dengan teman sebelah mereka dipecah oleh suara pintu yang dibuka, dan seorang wanita masuk. Dia wanita dewasa, dan langkahnya panjang selama dia berjalan cepat, dengan kuncir kuda berayun di belakangnya.
“Cukup ngobrolnya, kita kembali ke pelajaran.” Katanya dengan nada bersahabat.
Bagaikan komando, dengan serempak semua murid mengeluarkan buku pelajaran, buku tulis, dan alat tulis masing-masing.
Sedangkan Rendra hanya mengambil buku tulis dan pensil dari dalam kolong meja karena masih belum memiliki buku pelajaran.
Bu guru mengamati seluruh murid, menunggu mereka siap, disaat pandangannya berhenti di Rendra, di waktu yang sama Aira menyodorkan buku pelajarannya pada Rendra. Bu guru tersenyum, setelah bu guru merasa seluruh murid sudah menyiapkan buku, ia segera membuka mulutnya, mengatakan halaman yang akan ia ajarkan.
****
Tiga puluh menit segera berlalu, Ibu guru telah menuliskan berbagai kata di papan tulis, terdengar gesekan halus antara papan tulis dan spidol yang ia goreskan, kebanyakan kata-kata itu berupa nama penyair terkenal seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan masih banyak lagi. Dari balik kacamata penulis, ia memandangi seluruh murid kelasnya yang sibuk menyalin dengan kening berkerut.
Bahkan, salah satu murid tampak menyerah dan memandang keluar jendela. Ibu guru itu merasa tidak pernah melihat wajah murid itu, itu menyimpulkan kalau dialah si murid baru. Dengan seringai kecil, ibu guru mengangkat buku paket pelajarannya dan berkata “Baiklah…. Berikutnya ibu ingin dengar seseorang membaca puisi di halaman berikutnya.”
“Hmmm… oke selanjutnya Rendra, tolong baca yang keras.”
Setelah berpura-pura memilih murid ia menunjuk Rendra dengan alasan ia murid baru, ia ingin mendengar bagaimana kemampuan siswa dari sekolah asing.
Tentu saja Rendra tidak mendengarnya karena ia sibuk melihat luar jendela, murid sekelas yang tidak mendengar respon Rendra mulai menoleh ke arah Rendra, tetapi Rendra masih belum sadar juga.
Satu detik…
Dua detik…
Hingga lima detik berikutnya Rendra masih di dalam dunianya sendiri, mengabaikan perintah gurunya.
Tiba-tiba, tendangan kecil di kaki Rendra membuatnya tersentak, melompat kecil di kursinya sendiri.
Rendra menoleh mencoba mencari sumber penyebab rasa sakitnya, tetapi harus diurungkan karena menyadari semua mata tertuju padanya.
“Apakah ada masalah, Rendra?” Tanya guru kepada Rendra.
“Eh? Ah tidak.”
“Baiklah, jadi kamu bisa mulai membacanya sekarang.”
‘Membaca? Apa yang guru ini bicarakan?’ Pertanyaan yang muncul di benak Rendra, akibat tidak mendengarkan pelajaran, kini Rendra harus menanggungnya.
Rendra mencoba menerka-nerka teks mana yang harus ia baca. Rendra mengambil buku yang ada diantara mejanya dan Aira, membolak-balik kertas dengan tergesa-gesa tapi tetap tidak mengerti. Hingga akhirnya ia kembali ke halaman pertama yang ia lihat sebelum ia mulai membalik halaman.
Sekali lagi, tendakan kecil melesat ke kaki Rendra, kali ini Rendra tahu asalnya tanpa harus mencari tahu dengan susah payah. Aira, gadis yang sedari tadi duduk di sampingnya, dengan tangan yang menopang dagu, meski wajahnya menghadap ke arah papan tulis, tapi Rendra melihat arah bola mata Aira yang melirik ke arah matanya.
Perhatian Rendra bergeser ke arah buku tulis milik Aira yang tiba-tiba bergerak. Di sebelahnya terdapat jari tangan Aira yang sedang mengetuk-ngetuk meja tanpa suara. Jari itu, berhenti dan menjadi telunjuk, menunjuk buku tulisnya. Tidak, lebih tepatnya kata-kata yang tertulis di bukunya.
‘Halaman 144 puisi bawah.’
Otak Rendra memproses kalimat itu, dan menemukan maksudnya.
Rendra kembali menoleh kan pandangannya ke arah buku pelajaran, mengikuti arahan kertas yang ada, menemukan yang ia cari selama ini.
Rendra menarik napas panjang.
Membuka mulut secara lebar.
Perlahan suara keluar dari mulutnya.
“Doa… buah karya Chairil Anwar.”
Dalam sekejap, kata-kata Rendra menggema ke seluruh ruang kelas.
“Kepada... pemeluk teguh.”
Perlahan tidak ada suara yang bersinkronisasi dengan Rendra, hanya miliknya seorang yang berkuasa.
“Tuhanku….”
Suara yang kuat dengan sedikit bergetar, membuat gema tersendiri.
“Dalam termangu…”
Beberapa murid tidak sadar mulutnya terbuka, memperhatikan artikulasi Rendra waktu demi waktu hingga tidak sadar Rendra telah berhenti bicara dan kembali duduk.
“Terima kasih, rendra.” Kata ibu guru bersama dengan proses duduknya Rendra, “tapi kurang-kurangin menolehnya ya, papan tulisnya kan di depan. Dan juga, Aira kamu jangan terlalu memanjakannya.” Tambahnya.
“Eh? Ah iya, maafkan saya.” Balas Rendra sambil menunduk malu diikuti tawa kecil teman sekelas.
Sementara Aira hanya menutup mata dan menggangguk pelan.
“Sudah-sudah, kembali ke pelajaran.” Potong ibu guru untuk memfokuskan lagi ke pelajaran.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Rendra tidak menoleh ke arah luar jendela. Ia melanjutkan ketertinggalannya menyalin apa yang ada di papan tulis.
Rendra menghela napas panjang, mencoba mengurangi debar jantung yang masih berpacu cepat akibat perintah guru yang secara mendadak.
Rendra menoleh ke arah Aira. Berbeda dengan Rendra, Aira tetap di posisinya, menatap buku tulisnya.
Meski Ibu guru sudah memperingatinya, tetap saja Rendra tidak bisa fokus ke papan tulis, kali ini ia memusatkan perhatiannya kepada Aira yang sudah kembali menggerakkan penanya untuk mencatat.
Setelah tontonan kecil, Aira melirik Rendra seolah tidak tahan dengan tatapannya.
Tak butuh waktu lama, Aira kembali menggerakkan penanya.
Rendra berpikir untuk menghentikan kegiatannya dan menjalankan perintah gurunya.
Tapi, belum sempat Rendra menyentuh pena miliknya, buku tulis Aira bergeser ke arah Rendra.
Di halaman pojok kiri bawah tertulis ‘Apa ada sesuatu di wajahku?’ membuat Rendra bingung untuk menyikapinya.
Beberapa saat karena Rendra masih saja diam, Aira menarik kembali bukunya dan memulai menggerakkan penanya kembali.
Rendra mengira ini telah selesai, tetapi buku itu kembali disodorkan dengan kalimat lain di sebelahnya.
‘Apa ada yang salah?’
Rendra mulai mengambil pena dan buku milik Aira, menulis sesuatu dan menyodorkan buku itu kembali kepada Aira.
‘Tidak,’ Aira yang membacanya kembali menulis sesuatu dan menyodorkannya kepada Rendra.
‘Baguslah.’
Sebelum Aira menarik buku miliknya, Rendra menarik buku Aira dan menuliskan sesuatu didalamnya.
‘Terima kasih’
‘Untuk apa?’
‘Untuk yang tadi, mungkin aku sudah dihukum jika kamu tidak memberitahuku.’
‘Bukan masalah, lagipula aku jadi dapat tontonan menarik.’
‘Tontonan?’
‘Ya, caramu membaca puisi tadi, sangat bagus, aku yakin siapapun yang mendengarnya juga setuju.’
Rendra menggaruk pipinya meski tidak gatal, lalu menulis kata ‘Terima kasih’ lagi di halaman yang sama.
Sisa hari itu, Rendra menghabiskan waktu tanpa berpikir, membalas pesan dengan Aira yang tidak lebih dari pembicaraan sepele. Mereka tidak bisa bercakap-cakap terlalu lama karena kelas berakhir.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰