Saran ke-4 : Sebangku dan Kafetaria

0
0
Deskripsi

Bab ke-4 dari series novel Pena Saran.

Ujung kayu yang dicukur meluncur di atas buku catatan dengan ritme yang sama dengan suara menyenangkan bersumber dari depan kelas, suara yang mengeja kata-kata alfabet secara perlahan diiringi pergerakan tangan yang memegang spidol. Kata demi kata aku tulis menjadi kalimat yang sama persis seperti yang tertera di papan tulis.

Meski beberapa kali aku harus menghapus beberapa hal karena sulitnya menggambar ilustrasi. Pelan-pelan aku melihat jam dinding yang ada di belakang. Jam menunjukkan tepat pukul sebelas, ini berarti empat jam berlalu sejak aku duduk mendengarkan pelajaran pertama.

Seharusnya aku mendengarkan guru dengan serius, tapi… aku tidak bisa berkonsentrasi.

Setiap anak di kelas mendapatkan sebuah meja untuk tempat mereka menaruh buku, tetapi hanya aku yang mendapat dua buah meja, ehm… mungkin lebih tepatnya sebuah meja anak lain menyatu dengan mejaku, pemiliknya adalah anak yang tadi duduk di sebelah kananku.

Secara tiba-tiba dia menyeret mejanya dan menabraknya dengan punyaku. Siswa di sebelahku ini adalah seorang siswa perempuan yang entah bagaimana terdapat kesan dingin, padahal aku betul-betul ingat pagi ini aku bertemu dengannya dan dia menunjukkan ekspresi yang jelas berbeda dari yang aku lihat sekarang.

Meskipun ini hari pertamaku bersekolah di sini, aku tidak punya buku pelajaran, dan sepertinya tujuan gadis ini menyatukan mejanya karena agar dia bisa menyodorkan buku teks pelajarannya.

Aira, nama yang ia perkenalkan padaku di pagi hari tadi, gaya rambutnya sedikit berbeda, kali ini ini ia mengikat rambutnya dengan sesuatu seperti tali berwarna hitam, mata panjangnya selalu terlihat setengah terbuka dan mengalihkan pandangannya ke arah buku tulisnya, rasanya aku jarang melihat dia memfokuskan diri ke arah buku paket yang ia sodorkan padaku.

Pada pertemuan kedua ini, aku merasa dia memiliki suasana yang sulit untuk diajak bicara, tetapi selama pelajaran dia sangat baik karena memberikan informasi terhadap mata pelajaran yang tidak aku mengerti, dengan suara pelan ia menuliskan informasi itu di kertas dan menyerahkannya padaku, aku hanya mengangguk-angguk kagum dengan wawasannya yang luas itu, semua itu ia lakukan dengan tenang seakan dirinya saat ini dan tadi pagi adalah orang yang berbeda.

Sebenarnya aku ingin menanyakannya perihal itu, tapi aku mengurungkan niatku karena ini masih waktu pelajaran.

Omong-omong entah ini perasaanku saja atau memang selama pelajaran ada yang melirik ke arahku terus. Kuharap hanya alarm palsu. 

Ketika bel istirahat berbunyi, dia langsung beranjak pergi dari kursinya, aku belum sempat bertanya padanya karena murid-murid lain memanggilku dan mengerubungiku.

“Hei, hei, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan!”

“Kamu dulu SMA dimana?”

“Pelajaran apa yang paling kamu sukai?”

“Apa kamu dulu ikut ekskul?”

“Apa kamu sudah punya pacar?”

“Aku rasa pernah melihatmu, apa kamu artis?”

Pertanyaan dari rasa ingin tahu yang murni mereka membuatku hanya bisa berucap “Ah, eh, um…” aku bingung bagaimana harus merespons karena semua pertanyaan mereka lontarkan padaku tanpa henti. 

Kemudian suara seorang siswa lelaki dari luar lingkaran menenangkan semua orang.

“Hei, hei, kalian menyusahkan Rendra loh. Ini masih jamnya makan siang, nanti keburu selesai.”

Aku melihat siapa pelakunya, murid-murid lain juga sama, murid lelaki tampan dengan rambut coklat yang agak pendek dan senyum ramah. Dia jauh lebih tampan daripada kebanyakan model laki-laki yang aku tahu.

Dari bentuk tubuhnya, aku mendapat kesan bahwa dia adalah olahragawan.

Saat dia berbicara, semua orang yang bertanya padaku meminta maaf.

Semua orang meminta maaf dan masing-masing mulai bergerak untuk makan siang. Melihat mereka, siswa laki-laki itu memanggilku. 

“Maafkan aku. Mereka hanya tertarik padamu, termasuk aku.”

“Eh? Ah iya. Terima kasih! Uh …”

“Aku Bagaswara, panggil saja Bagas. Boleh aku memanggilmu Rendra? Salam kenal.”

Murid lelaki yang memperkenalkan diri dengan nama Bagas tersenyum padaku. Senyumannya menyilaukan, mengingatkanku dengan aktor film terkenal dari amerika.

“Ah, iya. Kamu sudah tahu tempatnya kantin sekolah?” Tanyanya sambil berjalan mendekat.

“Eh, belom.”

“Mau pergi bareng?”

“Eh? Boleh?”

“Tentu saja boleh, yuk.”

Aku berdiri dan berjalan mendekati Bagas.

Belum sempat kami keluar kelas, Bagas bertanya sesuatu padaku, “Apa boleh aku memanggil teman lain?”

“Tidak masalah.”

Aku menjawab demikian dan Bagas memanggil temannya. Bagas melambaikan tangan dan disambut oleh seorang murid yang sepertinya dari tadi menatap ke arahku. Siswa laki-laki yang mengenakan kacamata dan tampak malu-malu.

Sebuah kombinasi yang cukup unik aku rasa, seseorang dengan badan atletis seperti binaragawan berteman dengan dengan anak yang kesannya anak rumahan, tapi alasan dibalik itu segera terpecahkan.

Setelah aku memperkenalkan diri dan anak itu memperkenalkan diri juga dengan nama “Yudha,” Baru saja Yudha mendekat, Bagas langsung bertanya pada Yudha.

“Hei, apa kamu melihat anime Shingiki Lo Kyojin kemarin?”

“Iya, tentu.”

“Benar-benar, anime itu paling hype musim ini.”

Rupanya di balik pertemanan si tubuh atletis dan anak rumahan, mereka berkoalisi menjadi penggemar anime. Ditengah obrolan hangat mereka, Bagas berbicara kepadaku.

“Oh iya, apa kamu nonton anime juga, Rendra? Aku mulai menontonnya baru-baru ini, tetapi ini sangat menarik.”

Sepertinya Bagas telah diracuni oleh Yudha..

Pembicaraan sederhana berlanjut hingga Bagas membawaku ke ruang yang sangat besar dengan gaya yang sepenuhnya berbeda dari ruangan yang selama ini aku lewati. Banyak meja bundar dan kursi-kursi yang diatur melingkar seperti yang ada di teras sebuah kedai kopi. Beberapa kursi sudah di landmark oleh siswa, beserta hidangan yang mereka santap secara wajah penuh kenikmatan, di sela-sela itu mereka mengobrol dan bercanda gurau.

Sekolahku dulu juga memiliki kafetaria, tetapi kafetaria biasa seperti yang kalian temukan dimana-mana, bahkan lebih cocok disebut warteg daripada kafetaria, dan juga tidak sebersih ini. Aku terpana melihat pemandangan di depanku, dan kemudian Bagas menyadarkanku dengan pertanyaan.

“Kenapa?”

“Eh? Ah tidak apa-apa.”

Hal berikutnya yang Bagas tunjukkan kepadaku adalah tabel menu. Dan ketika aku membacanya, aku cukup tercengang dengan beberapa varian makanan yang tersedia, biasanya aku hanya melihat menu berupa bakso, soto, nasi goreng, atau masakan siap saji di pinggir jalan. Tetapi disini berbeda, makanan yang tertampil dibedakan menjadi asal pulau lalu dimasukkan ke dalam deret tabel dengan nama hari diatasnya.

Bagas menjelaskan untuk memperkenalkan makanan khas daerah lain kepada para murid, dan yang membuatku terkejut harganya… sangat murah, hal ini membuat siswa bersemangat, selain dapat mengisi perut mereka juga mendapat pengetahuan baru.

Sambil aku mendengarkan kata-kata Bagas, aku memutuskan menu dan ketika kami menerima makanan kami, kami duduk di kursi terdekat.

Makanan yang Bagas pilih adalah kapurung yang merupakan makanan khas sulawesi selatan, dan Yudha pilih adalah soto banjar asal kalimantan. Sedangkan aku memutuskan pecel madiun, sebenarnya aku ingin memakan yang lain, tapi aku takut tidak sesuai jadi aku hanya memesan sesuatu yang aku tahu.

“Baiklah, selamat makan!”

Setelah berdoa sebelum makan, kami berkonsentrasi pada setiap makanan.

Aku memasukkan nasi yang telah diberi bumbu pecel ke mulutku, seketika mulutku membeku karena kelezatannya. Bumbu yang terciprat ke dalam dinding mulut, rasanya sangat lembut! Lezat!

Hanya sekadar pecel tetapi menghilangkan kosa kataku.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pena Saran
Selanjutnya Saran ke-5 : Bercengkrama
0
0
Bab ke 5 dari series novel 'Pena Saran'
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan