
Bab 2 dari series novel Pena Saran.
Saran ke-2 : Pecahan Emosi
“Akhirnya... kamu disini.”
Belum sempat aku berotasi 180 derajat tubuhku sudah dihantam oleh sesuatu yang sedikit keras tapi juga kenyal seperti airbag di balik kemudi mobil, aku memundurkan kaki kananku ke belakang sedikit untuk menyeimbangkan tubuh, penglihatanku semula pemandangan trotoar beralih menjadi tas punggung berwarna coklat lengkap dengan pemiliknya.
Sepasang mata lebar melayang di hadapanku, pemiliknya adalah seorang gadis berseragam dengan warna yang sama seperti yang aku pakai, warna mata gadis itu biru mengingatkanku dengan permata sapphire, sebagian poninya berkibar kekanan dan kiri sementara ujung rambutnya diikat kuncir kuda berayun pelan mengikuti hembusan angin efek perpindahan mendadak yang baru saja ia lakukan, perlahan aku merasakan kehadiran sepasang tangan yang melingkari punggungku.
Gadis itu tak henti-hentinya menyebut namaku. Suaranya memelas, memohon, penuh dengan ketulusan, rasanya seolah-olah dia akan menangis.
Siapa?
Kenapa tiba-tiba aku bisa terjerat di situasi seperti ini?
Sepertinya aku harus memutar memoriku yang baru merekam beberapa saat yang lalu.
Aku berjalan menuju sekolah untuk pertama kalinya disini setelah menyelesaikan semua urusan pindahan rumah, padahal matahari masih mengintip dibalik horizon tapi aku sudah meninggalkan kasurku yang penuh gaya gravitasi, mandi dan bersiap-siap.
Aku masih merasa mengantuk karena semalaman aku terlalu fokus menulis sambil membalas pesan chat, sehingga aku berakhir terjaga hingga sekarang lalu berangkat sekolah karena aku tidak tahu berapa lama perjalanan yang harus kutempuh untuk bisa sampai ke sekolah. Meski sudah memakai GPS, tapi tidak bisa dipungkiri kalau perkiraan waktu ini salah. Terlebih lagi, kalau aku mulai tidur, entah kapan aku akan bangun.
Nggak lucu kan kalau murid pindahan terlambat atau tidak hadir di hari pertamanya dia sekolah. Tapi, Ehm… mungkin juga bukan ide yang buruk, kan mereka tidak tahu kalau ada murid pindahan. Tidak-tidak, itu perbuatan buruk, orang tuaku pasti langsung membunuhku.
Sepanjang perjalanan aku bisa mendengar kicauan burung-burung di pepohonan, lalu terbang meninggalkan sarangnya dan pergi mencari makan, rupanya aku tidak menikmati suasana ini sendirian karena cukup banyak orang yang berlalu lalang meski sepertinya mereka tidak menghiraukan suasana di sekitar mereka.
“...dra…”
Aku tidak mengenali ringtone itu, mungkin milik ponsel seseorang yang ada di dekatku, aku tidak mau menyelidikinya karena pikiranku masih belum terkumpul, dan juga tidak ada gunanya.
“...dra...Rendra.”
Sekarang suara ringtone itu berubah memanggil namaku. Suara seorang gadis… tunggu... namaku? Gadis?
Ah, mungkin orang lain.
Di dunia ini orang yang bernama Rendra kan bukan hanya aku. Pasti setidaknya ada satu lagi yang bernama Rendra di sepanjang pinggiran jalan ini.
“Rendra, Rendra.”
Suara itu semakin keras dan jelas, dipenuhi hentakan kaki yang keras.
Inilah saat aku mencoba berbalik dan menemukan gadis ini sudah berada tepat di depan tubuhku, sepertinya lebih tepat disebut menempel karena aku tidak melihat jarak yang memisahkan. Sekarang setelah aku mengingat semua kejadian hari ini, aku masih tidak mengetahui identitas gadis ini.
Aku di sini baru beberapa hari dan selama beberapa hari itu juga tidak keluar rumah dan baru hari ini karena aku harus mulai bersekolah, jadi bagaimana mungkin aku mengenalnya.
Ditambah lagi, wajah gadis ini sungguh menawan, jika aku melihatnya sekali saja sebelumnya tentu aku tidak akan melupakannya.
Lalu bagaimana dia tahu namaku?
Apakah…. dia menyelidiki aku sebelumnya? Berarti ini trik penipuan terbaru.
Aku tidak boleh terkecoh, kalau sekali saja aku lengah, uang makanku selama sebulan ini bisa hangus.
Aku harus bersikap dingin, jangan masuk ke ritmenya.
“Maaf, mbak siapa ya? Sepertinya mbak salah orang.” Dengan suara datar dan tanpa emosi aku mencoba melepaskan diri sambil menanyakan identitasnya. Aku mencengkram pundaknya, mendorong tubuhnya sedikit hingga tangannya longgar dariku.
“Kyaa..” Dia berteriak lirih, kaget dengan gerakan tiba-tiba yang aku perbuat.
Dia menatapku tanpa berkata-kata, tapi dengan ini sekarang aku bisa melihat jelas ke arah bola matanya, aku melihat pantulan diriku di dalamnya, perlahan pantulan itu memudar bersamaan dengan munculnya linang air.
Ekspresinya begitu serius, seakan takdir semesta ada di tangannya.
“Ini aku… ini aku yang dulu pernah---”
Kalimatnya berhenti, suaranya tertahan seakan seperti tersumpal bola kertas yang tak terlihat, aku melihat bibirnya yang pucat tergagap-gagap, bahunya naik-turun.
Sesaat kemudian aku panik dan mencoba merogoh sakuku dan menyodorkan sapu tangan padanya sambil berkta “Huh? A-apa kamu baik-baik saja? Um, kamu bisa menggunakan ini… kalau kamu mau?”
“Ehm, anu… pipimu…”
Aku bergumam pelan. Sepertinya dia bingung dengan maksudku. Dia menyentuh pipinya untuk mengetahui bahwa pipinya basah.
Setelah terkejut sesaat, dia memandangi aku yang khawatir lalu dengan cepat melepaskan tangannya dan menggunakan jarinya untuk menyeka air matanya.
“…T… tidak, tidak apa-apa. Mataku kemasukan debu."
Ia mundur selangkah, memberiku ruang untuk mengamati dirinya dari atas hingga bawah yang sebelumnya belum kulakukan dengan benar.
Aku baru menyadari yang ia kenakan mirip seragam yang sedang aku pakai, bedanya ia memakai rok selutut sedangkan aku memakai celana panjang,, sangat cocok untuk tubuhnya yang ramping, tinggi kami pun tidak terlalu jauh, dia hanya perlu mendongak sedikit untuk kita saling menatap.
Perkiraanku kami ini seumuran, atau setidaknya selisih satu sampai dua tahun, karena aku juga tidak tahu apa dia kakak kelas atau bukan.
Kalau begitu ada kemungkinan kami teman masa kecil, terlebih dia keceplosan berkata ‘dulu.’
Jika benar, dimana dan kapan kita pernah bertemu?
Saat aku kesini dulu waktu masih kecil?
Tapi, itu sudah sangat lama sekali.
Aku harus memuji ingatannya yang luar biasa dan aku harus mengutuk ingatanku yang buruk ini, bagaimana bisa aku melupakan gadis seimut dia.
Tapi.. seharusnya ingatan bocah tidak sebagus itu.
Berarti pilihan tadi dicoret dan pilihan yang lebih logis adalah kami bertemu baru-baru ini, mungkin di suatu event dan dia tahu aku pindah kesini, dia juga mengatakan ‘akhirnya aku di sini’ berarti dia tahu identitasku.
Apa dia salah satu followerku? Pantas saja aku tidak tahu.
Yup, dipikir bagaimanapun juga aku tidak mengenalnya berarti ini kenal secara sepihak.
Selama aku berpikir asal-usul identitasnya, dia masih saja diam.
Aku menunggu kata berikutnya yang keluar dari bibir manisnya, tapi tetap tidak keluar.
Jujur saja, sejauh ini aku masih bingung dan kaget dengan ulah tingkah gadis ini, tapi bukan aku saja yang kaget, dia sendiri kaget dengan sikapnya sendiri.
Aku menaikkan satu alis memperlihatkan ekspresi bingung.
“Benar…” Katanya dengan suara lirih.
Tangan kanannya menutup mulutnya, mencegah kata berikutnya keluar.
Ia menarik napas beberapa detik lalu menegakkan tubuhnya, sepertinya ia mulai tenang.
“Namaku Aira!” Kata gadis itu dengan sedikit berteriak, “Saat ini kamu tidak tahu aku, tapi suatu saat nanti kamu akan tahu.”
Sesaat kemudian ia berlari melewati ku sebelum aku bisa menanggapi, meninggalkanku yang berdiri kebingungan.
Suara gadis itu---menggema---masih di dalam telingaku.
...Namanya Aira?
Aku tidak tahu nama itu, apalagi gadis itu.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain memperhatikan caranya ia berlari yang lurus dan tegak meski terlihat tergesa-gesa. Semakin ia mendekati cakrawala, tubuhnya mulai memudar dan menghilang menjadi titik cahaya.
Untuk sementara waktu, aku mencoba mengingat wajahnya, gema kalimatnya telah berakhir, tetapi jantungku malah berdegup kencang.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
