Bab 03 Sekali Lagi, bukan mimpi ataupun alternatif universe

0
0
Deskripsi

Hal pertama yang aku rasakan adalah bau angin yang menggelitik hidung.

Kesadaranku terasa kabur, tapi aku bisa merasakan kehangatan di kulitku.

Taklama, suara yang begitu berisik. Terdengar bukan seperti lato-lato seperti apa yang Rara mainkan, tetapi terdengar seperti suara alarm.

Kemudian merasakan sesuatu yang lembut di punggung dan semacam aroma manis menggelitik lubang hidung.

Lingkungan terlihat gelap, mungkin karena mataku yang masih tertutup.

Kupikir-pikir rasanya aneh, jadi aku mencoba mematikan alarm dan bangun dari tidur.

“Nh…”

Hal pertama yang aku rasakan adalah bau angin yang menggelitik hidung.

Kesadaranku terasa kabur, tapi aku bisa merasakan kehangatan di kulitku.

Taklama, suara yang begitu berisik. Terdengar bukan seperti lato-lato seperti apa yang Rara mainkan, tetapi terdengar seperti suara alarm.

Kemudian merasakan sesuatu yang lembut di punggung dan semacam aroma manis menggelitik lubang hidung.

Lingkungan terlihat gelap, mungkin karena mataku yang masih tertutup.

Kupikir-pikir rasanya aneh, jadi aku mencoba mematikan alarm dan bangun dari tidur.

“Nh…”

Aku mengucek kedua mata lalu  membuka mata sekaligus memposisikan diri dengan duduk. Hal pertama yang aku lihat adalah kasur yang sedang aku duduki, kemudian di sekitarku terdapat mebel furniture sepanjang mata memandang. 

Bunga merah muda dan putih mekar di dalam vas bunga di samping jendela, merekalah sumber aroma manis yang aku tangkap pada awalnya.

“Ini…?”

Aku mencoba memecahkan teka-teki di mana aku berada.

Hari ini aku bertemu Rendra di tempat kerjanya lalu menginterviewnya, sebelum pulang karena aku mendengar bunyi perut keroncongan Rendra secara tidak sengaja aku mengajaknya makan malam bersama di rumah. Lalu…

Pikiran berangsur-angsur menjadi lebih jernih, menghilangkan rasa kantuk secara instan.

Hal terakhir yang aku lihat adalah…

"Rendra jatuh setelah minum."

Ya, setelah minum Rendra menjatuhkan gelas. Aku juga meminumnya, yang kulihat pandanganku semakin kabur dan kehilangan kesadaran.

“Tapi, kenapa? Dan sekarang aku…”

Aku melihat sekeliling, tapi tidak menemukan Rendra dimanapun.

“Dimana ini?”

Apa Rendra bangun terlebih dahulu dan menemukanku juga jatuh pingsan, lalu membawaku ke kamar? Tapi aku tidak ingat menata kamarku seperti ini, begitu juga kamarnya Rara.

Aku tidak begitu yakin, jadi aku mengetuk berbagai perabotan sambil berkeliling.

Suara nyaring ketukan kayu, menjadi lagu tanpa harmonisasi.

“...?!”

Layar kaca yang mampu menopang dirinya sendiri berada di depan mataku, tapi pantulan di balik kaca lebih mengagetkanku. Gadis dengan wajah lugu, rambutnya berantakan. Aku memperhatikan dengan seksama, tidak salah lagi, itu adalah aku.

"Aku? Kenapa pendek?"

Pulih dari keterkejutan, aku melihat ke bagian bawah, piyama yang sedang aku pakai. Terlihat kekanak-kanakan.

"…ini bukannya!?"

Piyama ini, adalah apa yang aku pakai saat masih SMA. setelah aku melihat kembali ke pantulan cermin, itu adalah aku saat masih SMA, aku melihat kembali sekeliling, barang-barang yang pernah aku pakai selama SMA.

“Tunggu, bagaimana dengan Rara?!”

Dalam situasi seperti itu, Aku seharusnya tidak boleh panik.

Tapi, kekhawatiranku sampai ke ubun-ubun, aku membuka lemari berharap ada kamera tersembunyi dan orang di dalamnya yang bersiap mengatakan “prank!”

Tapi, aku tidak menemukan siapapun.

Baju yang tergantung di hanger aku tarik dan aku lempar untuk lebih leluasa melihat ke dalam lemari. Baju, rok, hingga gaun tercecer di atas lantai. tak puas dengan lemari aku melihat di bawah kolong kasur, tetap tidak menemukan siapapun.

Semakin aku mencari, yang kutemukan adalah barang-barang lamaku saat masih SMA.

Mungkin bukan di lemari melainkan di bawah tempat tidur, tetapi aku tetap tidak menemukan siapapun di bawah tempat tidur. Hanya kumpulan barang yang disimpang di bawah tempat tidur.

Mungkinkah mereka ada di plafon? Aku melihat ke atas, menyusuri semua lapisan cat, berharap ada bagian yang bolong untuk memperkuat hipotesaku. Tetapi, tetap saja aku tak menemukan apapun, hanya jaring laba-laba yang bergelentaung pelan karena angin sepoi-sepoi dari jendela.

"Aku tidak mengerti, apa yang terjadi?"

Ketenangan dari sebelumnya benar-benar tersapu, badanku lemas, aku terduduk lunglai dengan kaki membentuk huruf W.

Aku tidak bisa menahannya lagi, mataku berat, penglihatanku berair. Tetesan air mengenai punggung tangan.

Aku tidak peduli dengan bagaimana wajahku yang tampil di balik cermin, yang kurasakan hanya kehampaan. Bagai seember air yang tumpah, tanpa ada lagi yang mengisinya.

Tidak ada yang menghentikan tangisanku, kecuali pintu kamar yang terbuka.

Aku pikir akhirnya para kru menyerah, tetapi tetap saja aku tak melihat mereka melainkan orang yang baru masuk itu adalah ibuku, seseorang yang telah lama tidak aku lihat, kini berdiri dengan wajah penuh kebingungan.

Tanpa mengerti apa yang terjadi dia mendekatiku, memelukku erat sambil berbisik dan menanyakan apa yang terjadi.

Jujur aku bingung bagaimana mengatakannya, mungkin saja ibu tidak percaya, atau aku yang berhalusinasi.

 Aku hanya berkata baru saja bermimpi buruk, tapi aku tahu itu tidak menjelaskan kenapa keadaan kamarku sangat berantakan seperti kapal pecah.

Ibu hanya mengiyakan, mengelus lembut rambutku, menenangkanku.

“Sudah sudah, hanya mimpi buruk. Yuk siap-siap berangkat.”

“...Berangkat?” Tanyaku bingung.

“Iya, hari ini kan hari pertama sekolah.”

Mendengar hari pertama sekolah, membuat mataku melek seketika, air mata yang telah mengalir mengerem mendadak seakan berhenti karena dihadang oleh polisi, tetapi tidak bisa putar arah dan masuk ke dalam mata lagi.

***

Aku harap make up dapat menutupi mataku yang membengkak. 

Aku bukan penggemar film sci-fi, jadi pengalaman yang kurasakan sekarang sangat tidak masuk akal, apakah mungkin saja ini adalah alternatif universe? Tapi siapa aku yang menjadi orang terpilih yang melalui perjalanan lintas universe, lagipula sejauh ini apa yang aku alami sama persis dengan yang aku ingat, berbeda dengan yang ada di film, beda universe orang-orangnya absurd. 

Pilihan terakhir aku berpikir kembali ke masa lalu hanya ada di film-film, atau jangan-jangan film-film itu berdasarkan kisah nyata? Dan aku tidak sengaja kembali ke masa lalu? Tapi bagaimana bisa?

‘Hngg…’

Apa yang kupikirkan, jelas tidak mungkin.

Pikiranku semakin pusing seiring berjalan di jalanan yang sering aku lalui saat SMA, sekarang aku melaluinya lagi. Jarak antara sekolah dengan rumahku tidak terlalu jauh hingga aku dapat mengjangkaunya dengan berjalan kaki.

Dan sekarang, di sinilah aku. Sekolah yang menjadi salah satu kenanganku.

Daripada disebut nostalgi, lebih tepat disebut familiar karena pondasi bangunan masih terlihat bagus tidak seperti saat aku melakukan reuni di beberapa tahun mendatang. 

Aku ragu untuk masuk, tetapi jika terus diam di sini tidak akan menghasilkan apapun. Jadi aku memberanikan diri, melangkahkan kaki kanan ke depan dan berjalan melewati gerbang seperti anak-anak lain yang telah melewatinya dari tadi.

Gerbang sekolah yang dijaga oleh penjaga sekolah, penjaga itu berdiri tegap dan tersenyum pada setiap siswa-siswi yang melewatinya. Aku pun tersenyum dan membalas sapaan petugas gerbang.

Setelah melewati gerbang, Di sisi kiri aku dapat melihat lapangan sekolah yang luas lengkap dengan cor semen sebagai pondasi dan garis putih yang membentuk lapangan basket. Sisi lapangan itu dilengapi dengan tiang bendera.

Meskipun masih pagi, beberapa siswa telah memakai lapangan itu lengkap dengan seragam sekolahnya. Ada yang bermain basket dan ada yang duduk berkumpul di pinggir lapangan.

Setelah berhasil melewati sisi lapangan, lorong sekolah menyambutku. Lorong sekolah yang ramai akan siswa-siswi lewat membuatku tidak dapat mencapai kelas dengan berjalan terus.

Penampilan mereka semua sama, baju putih sebagai pakaian atas dan rok atau celana abu-abu sebagai pakaian bagian bawah tubuh. Yang membedakan dari mereka adalah sepatu dan tas yang mereka pakai. Untuk siswi sepertiku, semua siswi memakai sepatu dengan jenis yang sama. Sepatu seperti pantofel berwarna hitam, aku jadi ingat pengalamanku dulu yang sering tertukar sepatu karena kemiripannya dengan anak yang lain. Satu-satunya cara agar tidak tertukar adalah terbiasa dengan perasaan kaki ketika memasuki sepatu, atau diberi penanda khusus di dalam sepatu.

Aku jadi iri dengan sepatu laki-laki, mereka bebas memakai jenis sepatu yang mereka inginkan asalkan berwarna hitam. Tak jarang aku melihat sepatu yang mereka gunakan seperti sepatu olahraga. Hal ini membuat mereka efisien, satu sepatu untuk banyak jenis kegiatan. Berbeda denganku yang harus mempunyai sepatu khusus untuk olahraga.

Aku berjalan dengan perlahan dan berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Ketika melihat sekeliling, aku mengenal beberapa wajah yang baru saja aku lewati, wajah itu ketika mereka dewasa, tetapi ketika melihat wajah dewasa menjadi anak-anak lagi terasa sedikit aneh karena semuanya terlihat sangat familiar tetapi juga sangat berbeda. Aku berusaha untuk tidak terlalu terpaku pada perasaan yang sangat membingungkan ini.

Meskipun sudah lama tidak kesini, tidak menghalangiku untuk berjalan terus ke kelas karena struktur bangunan sekolah tidak terlalu rumit, tidak perlu hafalan khusus ataupun memakai GPS, cukup berjalan lurus dan tempat pemberhentianku ada di sebelah kanan.

Akhirnya, sampai juga di kelas. Beberapa siswa memilih berkumpul di depan kelas, aku tidak menggubrisnya karena aku ingin masuk ke dalam kelas, saat aku melangkah masuk, semua mata tiba-tiba tertuju padaku. Aku hanya diam dan mereka kembali ke kegiatannya masing-masing.

Di papan tulis tertempel selembar kertas dengan instruksi dan denah tempat duduk, tempat duduk dengan masing-masing yang memiliki nama lengkap dan nomor absen.

Tanpa banyak bicara aku ke bangku yang ditujukan untukku. Mungkin karena aku memiliki nama berawalan “A”, aku mendapat tempat di sekitaran depan. Tidak buruk, lagi pula aku pernah melaluinya selama tiga tahun. Setidaknya aku beruntung mendapat tempat di sebelah jendela, lokasi ini sangat enak untuk dijadikan landmark, aku sering memandangi luar kelas ketika bosan.

Memandangi siswa yang berjalan santai melalui lorong dengan alasan ke toilet padahal jalan-jalan ke kantin. Atau melihat staf kebersihan yang sibuk memotong rumput.

Tanpa basa-basi lagi aku pun duduk, tidak ingin berbicara dengan siapapun. Aku ingin waktu untuk sendiri meskipun aku berada di tempat yang ramai. Mungkin sekitar 15 menit berlalu, aku merasa ada tatapan intens yang tertuju padaku, perlahan aku menolehkan kepala. 

Dia… ada di sana.

‘Ren…dra?’ Aku bergumam pelan saat menemukan seorang siswa yang mengarahkan tatapannya ke arahku. Aku tidak yakin dia benar-benar menatapku, tetapi jika aku menaruh tali di atas kepalanya, aku yakin tali itu akan lurus dan menusuk melewatiku

Saat itu juga, aku membayangkan ingatan pengalamanku saat masih SMA, melalui masa-masa SMA, disaat suka ataupun duka, aku tidak sendiri, seseorang bersamaku, dialah Rendra. Seakan baru terjadi kemarin, wajah Rendra ketika dewasa kini muda lagi, tidak terlihat kerutan atau kantung mata yang menggantung di bawah matanya, tubuhnya yang besar sekarang kembali mengecil. Rasanya seperti conan yang meminum ramuan dan kembali ke tubuh saat kecil, bedanya dari orang dewasa menjadi remaja SMA. Mungkin jika conan minum ramuan itu saat kakek-kakek, apa dia akan tetap ke tubuh anak SD ataukah tubuh yang sedikit dewasa seperti SMA?

Kalau kulihat-lihat, Rendra benar-benar seperti saat dia SMA. Tingginya sama, wajahnya sama, pakaian sama. Tapi apakah dia orang yang sama?

Ini tampaknya seperti bagian dari fiksi atau cerita imajiner yang menggambarkan tokoh Rendra yang tampak seperti saat dia bersekolah menengah atas, tetapi dengan tubuh yang lebih muda. Cerita ini mempertanyakan apakah orang yang tampak seperti itu benar-benar sama dengan yang dikenal sebelumnya, dan membandingkan situasi dengan tokoh Conan yang meminum ramuan dan kembali ke masa kecilnya.

Tapi tiba-tiba, aku terbangun dari lamunanku karena sesaat kemudian dia berpaling dan menyibukkan diri dengan buku tulisnya.

‘Ah,’ dia selalu begitu, lebih suka menyendiri dan mengerjakan sesuatu sendirian. Tetapi wajahnya yang terlihat serius begitu menggemaskan. Baik itu masa kini ataupun masa depan.

Sekarang aku kembali berbicara dengan diri sendiri, masih banyak hal yang belum terpecahkan. Setidaknya semua 5W+1H akan terpakai, tapi pertanyaan terberat jatuh pada ‘Apakah Tuhan mengirimku kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubungan dengan Rendra? Atau menjauhinya?’

Tidak ada jawaban pasti, ataupun seseorang yang bisa memberinya jawaban. Karena itu aku memilih biarkan masa depan sekali lagi menentukan nasibnya.

Ada pepatah mengatakan jika jatuh cinta kepada orang yang sama seperti membaca buku untuk yang kedua kalinya, endingnya sama. Tapi, bagaimana jika buku itu remake? Ke masa lalu dengan membawa ingatan yang aku bawa bisa mengubah ending. Setidaknya itu yang terjadi pada komik-komik yang populer.

***

Saat lonceng sekolah berdentang, diikuti wali murid memasuki kelas. Mengucapkan salam lembut dan melangkah masuk.

Hal pertama yang aku dapatkan di sekolah adalah jadwal seminggu kedepan dan segera berganti menjadi perkenalan dengan teman-teman sekelas. Satu demi satu anak berdiri dan memperkenalkan diri.

Aku tak terlalu memperhatikan mereka, selain karena aku masih ingat beberapa hal tentang mereka. Kepalaku masih memikirkan banyak hal, hingga aku tidak memperhatikan perintah bu guru kalau sekarang giliranku.

Sialnya, aku tidak siap mempersiapkan diri saat tiba giliranku. Aku pun berdiri, menarik menarik beberapa nafas. Kalau ini dulu, mungkin aku sudah gemetaran, tetapi kali ini berbeda. Mereka hanyalah anak kecil di mataku, aku adalah wanita dewasa yang terjebak di tubuh anak kecil. Ditambah lagi aku ingat saat-saat Rendra mengajariku publick speaking. Terima kasih untuk kebolehannya dalam berbicara, dia dapat mencapai tempat yang tinggi, sayangnya kepintarannya tidak ditunjang oleh bos yang kompeten. Membuat perusahaannya sendiri bangkrut karena terlalu serakah, karena itu Rendra harus segera mencari tempat kerja baru, tapi karena dia harus menghidupi dirinya sendiri dan juga aku saat itu, ia terjebak dengan perusahaan gelap.

Aku benci ketika mengingat kembali muka Rendra yang setiap harinya terlihat lesuh dan tidak bersemangat.

Kalau bukan karena aku, mungkin dia tidak akan mengambil pekerjaan baru itu dengan buru-buru. Mungkin itu sebabnya ia bisa sukses ketika kami berpisah.

Mungkin, aku bisa memberikan saran kepada Rendra tentang pekerjaan yang sesuai dengannya, tanpa harus melalui proses masuk ke perusahaan gelap itu. Tapi, aku harus berteman baik dengannya dulu.

Omong-omong, karena aku memikirkan banyak hal sekaligus. Aku mengatakan apapun yang aku pikirkan saat itu juga. Dan itu menjadi kesialanku, aku menyebutkan alamat rumah saat aku masih bersama Rendra hanya karena aku memikirkan Rendra saat ini,

Duh, malunya. Saat aku melihat Rendra dia tidak bereaksi apapun dengan apa yang aku ucapkan. Sepertinya dia tidak kembali ke masa lalu sepertiku.

Hatiku sedih karena aku benar, hanya aku yang mengingatnya, tapi disaat yang sama aku mencoba bahagia karena mungkin Rendra akan lebih bahagia jika tidak bertemu denganku di kehidupan kali ini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 04 Sekali Lagi, bangun dan semua terlihat muda
0
0
Aku merasa nafasku sesak, lebih tepatnya tidak ada oksigen yang bisa aku hirup. Semakin lama, aku kesulitan bernafas. Berontak, hanya itu yang bisa kulakukan.Aku menyentak, membanting tubuh ke atas dan menemukan diriku di atas kasur, tak jauh dariku aku menemukan seekor kucing dengan posisi keempat kakinya menumpu di atas lantai, sedikit menggerakkan kakinya seperti memposisikan diri agar tidak terjauh, kemudian salah satu kaki depannya ia jilat. Seolah tahu aku sedang mengamatinya, ia membalas menatap.Kucing berbulu hitam dari ujung ekor hingga ujung telinga, ukurannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.‘Dia seperti kulin. Aku jadi kangen kulin, tapi dia sudah lama mati.’
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan